Rabu, 17 Juni 2015

Warisan Mentalitas Lama Dalam Gagasan Indonesia

Pendahuluan
Soeharto dikenal sebagai Bapak Pembangunan. Gelar tersebut memang pantas disematkan padanya, karena ia dengan cukup berhasil memodernisasi berbagai struktur kehidupan bangsa Indonesia. Tetapi, kalau ditilik dari sudut pandang teori “modernisasi” maka kita akan sangat terkecoh karena yang khas dan cukup penting dari teori ini adalah bahwa proses perkembangan suatu bangsa atau komunitas dibangun dalam sistem yang rasional. Ini dipercaya akan secara otomatis memperlemah nilai-nilai lama yang menjadi penyangga berdirinya suatu komunitas tradisional. Kita akan terkecoh karena watak pemerintahan Soeharto tidak bebas dari nilai-nilai tradisional yang menyangga pemerintahannya. Watak pemerintahan Orde Baru jelas-jelas Jawa dan mempertunjukkan bahwa gagasan tentang tatanan ideal kerajaan Jawa masih tetap hidup.[1]         
Beberapa ahli juga mengamini perihal keberlanjutan budaya kerajaan tersebut. Tradisi Jawa merupakan cermin bukan hanya bagi Presiden Soeharto dan pemerintahannya, melainkan juga bagi para pendahulunya dan bahkan konsepsi yang mendasari logika negara Indonesia. Rezim Soeharto melihat dirinya sebagai seorang sultan Jawa tradisional yang mengkonsolidasikan semua kekuasaan di tangannya dan menggunakan kantornya untuk menyalurkan hadiah kepada para abdinya. Di daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan, yakni Jakarta, Soeharto menempatkan para loyalitasnya pada posisi-posisi kunci di institusi politik, militer, dan birokrasi untuk menyokong kekuasaannya. Tidak diragukan lagi bahwa pencitraan Soeharto sebagai sultan terlihat sangat pas, mengingat otoritas tunggal yang dimilikinya atas kekuasaan politik Indonesia dalam rentang waktu yang lama.[2]
Salah seorang yang tertarik pada pendekatan kultural tentang politik Indonesia adalah Niels Mulder. Menurutnya, Soeharto memproyeksikan diri sebagai orde kultural dengan justifikasi atas nama “tradisi” dan “keaslian”. Rezim ini mencitakan pembangunan sebuah negara Pancasila berisikan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudaya dan sarat sekali dengan investasi dan pendidikan nilai-nilai.[3] Dan, untuk bisa lebih baik memahami bagaimana konsepsinya tentang berbagai aspek pembangunan Indonesia, kita harus menyelami latar belakang kultural mengenai semua itu.
Bagi Mulder, rezim Orde Baru secara sistematis melalui kekuasaannya yang sangat absolut menanamkan nilai-nilai kebudayaan Jawa kepada seluruh rakyat Indonesia. Dalam istilah Mulder, pengaruh kebudayaan Jawa yang demikian besar ini sebagai proses jawanisasi. Bagi beberapa orang, jawanisasi secara sederhana berarti persebaran  penduduk Jawa – entah melalui transmigrasi atau yang lainnya – ke daerah-daerah di luar Jawa yang populasi penduduknya masih kurang.[4] Namun, artinya tidak sesederhana itu. Bagi beberapa kalangan, hal itu merupakan bentuk dari imprialisme kebudayaan atau pemaksaan penggunaan pola pikir dan perilaku Jawa ke seluruh Nusantara.[5] Entah itu dilakukan secara sengaja atau tidak. Frase dari kata “luar Jawa” sebenarnya sudah menjelaskan sendiri bahwa, Jawa adalah pusat, jantung, batin negeri ini, dan dalam pandangan orang Jawa, batin adalah pusat kehidupan sehingga pantas mendominasi aspek-aspek luar. Fakta bahwa sebagian terbesar perwira, pegawai negeri eselon atas, dan para gubernur berasal dari Jawa memancing orang untuk berbicara tentang imperialisme Jawa. Orang Jawa adalah majikan-majikan baru, yang mendefinisikan apa itu Indonesia, siapa orang Indonesia, dan bagaimana menjadi orang Indonesia.[6]
Jawanisasi dalam bentuk yang terakhir sangat jelas diterapkan oleh rezim Orde Baru, di mana unsur terburuk kebudayaan Jawa disebarkan, seperti kekakuan hierarkis, otoriterianisme, kesewenang-wenangan dan arogansinya. Beberapa orang Jawa yang berpikiran modern juga tanpa ragu-ragu menunjukkan bahwa sikap-sikap itu merupakan warisan mentalitas lama yang mereka gambarkan sebagai neo-feodalisme dan neo-priyaiisme. Bahkan mereka juga menggunakan sebutan “mataramisasi” sebagai referensi yang jelas pada tata cara masyarakat istana zaman dahulu.[7] Sebutan ini pada dasarnya bukan hanya analogi sewenang-wenang karena rezim Orde Baru juga berusaha mengasosiasikan dirinya pada salah satu kerajaan Jawa tersebut.[8]
Kesan mencolok dari diskursus politik Indonesia memang cenderung untuk mengesampingkan praktik-praktik yang dilakukan oleh aparatus negara yang didasarkan pada nilai-nilai yang diwarisi dari mentalitas lama. Oleh karena itu, pembahasan dari sudut pandang ini cenderung diabaikan dalam pembicaraan tentang kekuasaan. Padahal, sebagaimana diutarakan oleh beberapa akademisi di atas, rezim Soeharto atau pun rezim pendahulunya, tidak luput dipengaruhi oleh nilai-nilai ideal budaya lokal Jawa.
Itulah tujuan tulisan ini, yakni mencoba melihat kontinuitas struktur warisan mentalitas lama dalam bangunan sosial Indonesia. Pada akhirnya, hal ini akan mengarahkan kita pada sesuatu yang barangkali paling penting yaitu memahami bagaimana gagasan Indonesia dikonstruk dalam sketsa atau idiom terutama pada pemerintahan Soeharto. Saya sengaja menekankan pembahasan tulisan ini pada Orde Soeharto, karena secara priode rezim Soeharto memerintah Indonesia dalam waktu yang paling lama. Terlebih, Soeharto berhasil secara massif dan sistemis memproduksi nilai-nilai ideologis atau menghegemoni – menggunakan istilah Gramsci –   rakyat Indonesia melalui pendidikan bahkan pemaksaan.
Tujuannya adalah untuk menguak apa yang oleh Chomsky disebut sebagai “struktur-struktur dalam” (deep structures), yakni struktur bawah sadar dari prinsip fungsi mental yang mempengaruhi kehidupan kita, tapi keberadaannya sungguh tidak disadari. Hal ini diharapkan dapat memberikan kesadaran baru terkati faktor-faktor determinan dari perilaku yang bersifat bawah sadar dan kolektif terhdap fenomena budaya.
Asumsi awalnya adalah bahwa manusia tidak selalu bertindak sadar dan membuat pilihan-pilihan dalam kebebasan total, tetapi dalam “struktur” yang diam-diam tanpa disadari serta menentukan tindakan dan pilihan-pilihan partikular individu-individu. Pandangan ini sebenarnya populer menjadi bahasan bahkan menjadi teori dasar dalam strukturalisme. Pendekatan ini sangat berbenturan dengan eksistensialisme yang secara optimis mewartakan bahwa eksistensi manusia mendahului esensi sebagai subjek, manusia bebas total. Levi-Strauss – sebagai tokoh utama aliran pemikiran ini – yang berkecimpung dalam antropologi budaya kemudian berkeyakinan bahwa tugas disiplin ilmu ini adalah untuk mempelajari “struktur dalam” yang tersembunyi di balik ungkapan-ungkapan individual yang sekilas tanpak kacau, tak beraturan (chaotic), beragam, dan tak dapat diprediksi. Namun, sesungguhnya itu hanya dipermukaan, di balik atau di dalamnya ada mekanisme generatif yang kurang lebih konstan. Mekanisme generatif yang ada di dalam itu tidak hanya eksis dan bersifat potensial, melainkan juga terorganisasi dan berpola. Kaum strukturalis percaya bahwa struktur “yang dalam” tersebut terdiri atas blok-blok yang bila dikombinasikan dapat dipakai untuk menjelaskan yang ada dipermukaan.[9] Oleh karena itu, para strukturalis menentang eksistensialisme dan fenomenologi yang menurut mereka terlalu “individualistik”. Kedua pendekatan yang disebut terakhir ini melupakan peran masyarakat dan kebudayaan yang membentuk cara berpikir dan tindakan-tindakan dari tiap individu. Bahkan Levi-Strauss menegaskan bahwa tujuan ilmu-ilmu kemanusiaan bukanlah mengonstitusi, melainkan meluruhkan manusia. Pendekatan strukturalisme cenderung untuk mengurangi, mengabaikan, bahkan menegasikan peran subjek. Tekanannya adalah peran dan pengaruh sistem kultural daripada kesadaran dan kejeniusan agensi individual (subjek pelaku tindakan).  
Pendekatan strukturalisme dalam penulisan sejarah Indonesia – dan ini sangat mempengaruhi tulisan ini – dapat dilihat dalam penulisan sejarah Denys Lombard. Dalam krangka ini, yang terpenting dalam penulisan sejarah adalah “sejarah mentalitas” yang mendasari dan membentuk struktrur-struktur konstan dalam waktu yang sangat lama. “Struktur-sturuktur” adalah suatu organisasi, hubungan-hubungan yang koheren – yang dalam istilah Lombard disebut “jaringan” yang cukup tetap di antara realitas-realitas dan massa sosial.[10]
Berdasarkan krangka tersebut, umumnya sejarawan arus “sejarah sosial” dalam tradisi strukturalis berkonsentrasi pada kontinuitas-kontinuitas jangka panjang dalam sejarah struktur-struktur geografi, ekonomi, sosial, dan kultural bercakupan luas yang bersembunyi di bawah kegiatan-kegiatan personal sehari-hari. Struktur-struktur tersebut dirumuskan sebagai bersifat eksternal bagi pemikiran, tetapi menentukan bagi kondisi-kondisi mentalitas manusia dan kehidupan fisik.[11]
Salah satu kelemahan pokok dalam pendekatan seperti ini adalah cenderung terabaikannya perubahan-perubahan tertentu, yang kadang-kadang amat radikal dalam perjalanan sejarah, dan selanjutnya dapat memunculkan struktrur-struktur baru pula. Dengan kata lain, mentalitas yang kelihatannya diasumsikan cukup konstan sepanjang waktu, secara aktual sebenarnya terjadi pergeseran dan perubahan signifikan pula.
Tulisan ini juga tidak mudah keluar dari kelemahan-kelemahan tersebut. Posisi saya sebagai seorang yang bukan berasal dari masyarakat Jawa maka, dari sana sudah terlihat satu persoalan mendasar yang tak mudah terlampaui. Yakni keberjarakan dari realitas subjek yang dianalisa. Di samping itu, saya sebelumnya tidak familiar dengan nilai-nilai kebudayaan Jawa, dan ini berdampak pada pembahasan yang seperti mengambil sebagian dan menutupi yang sebagiannya lagi. Oleh karena itu, untuk meminimalisir kelemahan-kelemahan tersebut, secara tidak langsung saya membatasi diri pada diskursus sosio-politik dan kultural Orde Baru, dengan penguasanya yang terlihat sangat terpengaruhi nilai-nilai budaya Jawa.
Warisan Mentalitas Yang Berlanjut
Para ahli yang mempelajari konsep kuno tentang kekuasaan raja di Asia Tenggara, melihat kerajaan-kerajaan pertama sebagai mikrokosmos, dengan raja sebagai pelaku utamanya yang bertugas menjaga keserasian antara mikrokosmos dan makrokosmos. Di Jawa, konsep-konsep cendekia dari telaah-telaah kosmologi Sansekerta telah datang melingkupi bentuk-bentuk pemujaan asli yang lebih kuno yang ditujukan kepada gunung-gunung dan yang dikaitkan pada diri sang raja. Orang-orang Jawa kuno menyembah gunung-gunung berapi tertentu, seperti orang Bali dewasa ini memuja Gunung Agung dan penduduk Tengger (Jawa Timur) memuja kawah Gunung Bromo. Pada pemujaan kuno itu tercangkoklah tema Gunung Meru, pusat jagat raya, baik yang bersifat Brahmana maupun Buddhis, lalu gagasan māhārāja terkait pada poros itu dan harus dianggap sebagai “penguasa gunung”, seperti Dewa Siva yang di India memang dianggap sebagai Dewa Gunung.[12]
Pada abad ke-14, di awal Nāgarakertāgama, Prapanca memohon perlindungan Parwanātha, “Penguasa Gunung”, yang tiada lain adalah raja yang sedang berkuasa, Hayam Wuruk. Mpu Tantular berbuat hal serupa dalam karyanya, Sutasoma dengan mempersembahkan salah satu lagu pujiannya kepada Girināta, yang juga memiliki arti raja gunung. Siti Inggil (tahta), sebuah tempat keramat kerajaan tradisional juga mengingatkan kita pada mitologi Hindu bahwa para dewa tinggal di puncak gunung. Siti Inggil berarti “tanah yang tinggi” atau gunung. Artinya, raja – seperti juga para pengeran dan abdi dalem kraton – tinggal secara simbolis di atas gunung.[13]
Yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa meskipun proses modernisasi sedang berlangsung, konsep-konsep kuno tentang kekuasaan itu berhasil bertahan hingga sekarang. Itu tidak hanya terdapat di “museum hidup” masa lalu, seperti kerajaan-kerajaan Jawa Tengah, tetapi juga di Jakarta dalam lingkungan kepresidenan Republik Indonesia. Kedua Presiden RI adalah orang Jawa yang cenderung menghidupkan kembali ciri-ciri tertentu dari kekuasaan raja tradisional. Untuk pembahasan yang terakhir akan lebih banyak diulas pada pembahasan berikutnya.
Tentang diri Hamengkubuwono IX, Sultan Yogyakarta dari 1940 sampai 1988, kita mempunyai sebuah sumber berupa buku yang diterbitkan pada tahun 1982, bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ketujuhpuluh. Dalam buku itu, Sri Sultan dilukiskan sebagai tokoh yang sangat terbuka pada gagasan baru dan bernaluri politik. Namun, ia sangat terikat pada konsep-konsep kuno tentang kekuasaan. Pada kover buku yang berjudul “Tahta Untuk Rakyat; Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX”, nampak ia tersenyum lebar dengan latar belakang sebuah gunung berapi yang sedang meletus…yang tiada lain adalah Gunung Merapi. Tanpa komentar apa pun, asosiasi ini mengingatkan kita pada posisi raja-raja Jawa zaman dahulu sebagai raja gunung. Beberapa bagian buku itu juga menampilkan unsur-unsur mistik. Misalkan bab 6 yang memfokuskan episode “bisikan gaib”, yang menuntun keputusan-keputusan politik yang diambilnya. Bisiskan dari dunia gaib ini mengingatkan kita pada konsep wahyu atau wangsit dalam kepercayaaan krajaan-krajaan Jawa sebelumnya. Pembahasan tentang hal-hal “irasional” dan berbau mistik itu banyak ditemukan pada bab-bab selanjutnya, misalkan pertemuaannya dengan “Eyang Roro Kidul” atau tentang ramalan-ramalan Jayabaya.[14]
Warisan mentalitas lama itu juga tidak hanya dijangkiti oleh orang-orang yang secara historis memiliki darah para raja. Hal itu juga menjangkiti presiden pertama Soekarni. Apalagi sesudah 1965, sifat “kejawen rezim Soekarno dibicarakan orang, mulai dari “sinkretisme ideologi Pancasila, pengaruh wayang dalam pidato-pidatonya, dengan sifat Soekarno sebagai seorang dalang yang lebih menyukai dunia bayang-bayang daripada kenyataan, sampai kepada nafsu birahi yang setara dengan nafsu seorang Raja Majapahit atau Mataram.  Yang menarik bukan tentang apa pun pendapat Bung Karno tentang kekuasaan, tapi yang penting adalah cara rakyat memahami gaya pemerintahannya. Tidak kurang jumlah terbitan setelah Soekarno wafat (tahun 1970), yang memberi informasi tentang hal itu, terutama yang terbit sewindu setelahnya, atau pada tahun 1978, setelah pemerintahan Orde Baru membuka peluang untuk membicarakan Soekarno dan mengizinkan “merehabilitasi”nya. Yang tampil adalah gambaran seorang tokoh yang sangat legendaries. Asal usulnya misterius: konon ia putera kandung  Sunan Pakubuwono X, dan keturunan Sunan Kali Jaga atau keturunan raja-raja Pajajaran. Cerita lain menggambarkannya sebagai peramal, satu hal yang sudah nampak pada pidato-pidatonya yang pertama. Ia juga dihubungkan dengan Ratu Adil, tokoh utama milenarisme Jawa.[15]
Tentang Jenderal Soeharto, sudah sering dia meminta nasihat pada dukun Jawa, dan bahwa istrinya berusaha untuk memperkokoh hubungan kekerabatannya dengan Mangkunegaran, artinya dengan Mataram.[16] Presiden Soeharto sebagaimana pendahulunya juga diketahui sangat percaya pada mistik. Dia suka mengunjungi Imogiri untuk bermeditasi di makam para raja Mataram. Ia juga biasa berkonsultasi pada guru spiritualnya di Semarang untuk memandunya dalam bertindak. Dia juga membajak kris penting dari kraton Surakarta yang dia yakini memperkuat dan melindungi sang presiden yang konon berambisi menjadi paranormal paling hebat di negeri ini.[17]
Dalam masyarakat Jawa, benda-benda seperti itu adalah pusaka keramat yang harus dipuja dan dihormati dengan ritual. Benda-benda itu dipercaya memiliki kekuatan gaib yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perlindungan, magis, dan mistis. Makam leluhur, para raja, guru-guru Islam terkemuka dan guru mistik juga dianggap sebagai tempat keramat (tempat suci) yang menjadi tempat sebagai situs pertapaan guna mendapatkan ilham kewaskitaan dan kekuatan spiritual. Hubungan antara alam dan supranatural sedemikian eratnya sehingga mustahil menarik garis pembatas di antaranya. Kedua-duanya punya andil dalam ketunggalan wujud, dan benda-benda biasa mungkin saja memuat tanda-tanda yang dapat menguak proses kosmos.[18]
Warisan mentalitas lama itu tereksperesikan tidak hanya melalui laku mistis pribadi presiden, namun juga teraktualisasi dalam arsitektur-arsitektur bangunan yang menjadi land mark negara. Terbukti pada sekurang-kurangnya tiga monumen simbolis yang dibangun atau dipugar kembali pada tahun-tahun belakangan, bahwa penguasa zaman ‘modern’ pun tetap diresapi oleh tradisi lama. Yang pertama adalah monumen nasional (MONAS) yang menjulang tinggi di tengah-tengah bagaikan pusar seluruh negeri. Monumen yang dirancang pada zaman Presiden Soekarno itu diubah dan diselesaikan di bawah pemerintahan Orde Baru. Tampak luarnya berupa sebuah tugu yang menopang “lidah api” emas. Hal ini juga mengingatkan kita pada kepercayaan terhadap wahyu atau pulung yang bersinar sebagai lambang suksesi atau legitimasi kekuasaan dalam kerajaan-kerajaan Jawa masa lampau. Yang kedua adalah Taman Mini Indonesia Indah (TMII), sebuah miniatur yang dibuat di atas sebuah danau buatan. Di sekelilingnya terdapat anjungan-anjungan yang mewakili masing-masing provinsi. Anjungan berarsitektur tradisional itu menampilkan masing-masing daerah. Rancangan arsitektur TMII sangat modern, namun juga mengingatkan kita pada sebuah kutipan dari Nāgarakertāgama yang menampilkan ibu kota sebagai semacam mikrokosmos yang mencerminkan seluruh kerajaan. Monumen yang ketiga adalah Candi Ceta yang dibangun pada abad ke-15, di lereng Gunung Lawu. Candi itu dipugar dan dilengkapi dengan bangunan baru yang dibuat bukan atas prakarsa para arkeolog – mungkin diyakini sebagai situs keramat – tetapi atas pemintaan kepresidenan, yang juga sudah mengusahakan jalan setapak menuju candi itu.[19]
Warisan mentalitas lama yang menjadi warisan kerajaan-kerajaan agraris juga terus mempengaruhi bangunan mentalitas masyarakat selanjutnya,[20] misalkan dalam birokrasi pegawai negeri, hubungan klien antar individu, norma dan perilaku wajib bagi para pegawai atau pangreh praja, bahkan dwifungsi ABRI, mendapatkan pengaruh dari warisan mentalitas lama kerajaan-kerajaan agraris yang jauh sebelumnya.[21] 
Warisan mentalitas lama ini masih sangat kental mewarnai kehidupan sosial masyarakat. Hal itu tergambar terutama dalam praktik mistik (kejawen) dan pandangan-pandangan hidup masyarakat. Niels Mulder mengatakan bahwa kontinuitas itu mungkin terjadi karena di tengah-tengah orang Jawa, alam pikiran dari masa kanak-kanak yang penuh magi dan fantasi dengan mudah sekali dapat menular dalam usia dewasa. Rupanya tapal batas antara dunia obyektif dan dunia khayalan samar-samar, tidak jelas dan tidak penting. Orang ingin percaya akan ramalan-ramalan, mukjizat-mukjizat, pristiwa-pristiwa yang akan secara mendadak merubah dan memperbaiki dunia, dan menantikan suatu masyarakat yang adil makmur yang akan dibawa oleh salah satu Ratu Adil.[22]
Akar-akar keadaan dunia beserta kehiduapn manusia diyakini berasal dari dalam alam gaib, dan di sanalah akar-akar itu dapat dipengaruhi oleh doa-doa dan ritual-ritual simbolis. Mentalitas ini menjangkiti semua lapisan masyarakat, baik dari kalangan awam hingga para cendekia. Dosen-dosen pada universitas, pengusaha, pegawai negeri, militer, pemerintah, dokter, insinyur, dan petani-petani biasa. Mereka semua mencari keterangan dalam primbon-primbon, mengadakan perhitungan magis (petungan) agar rencana-rencana dan kegiatan mereka bertepatan dengan saat dan keadaan yang tepat. Samadi dan tapa sering dijalankan agar lulus dalam ujian dan selamat bila menghadapi sebuah keputusan penting. Seorang ahli bedah terkenal pernah bersemadi semalam suntuk di sebuah pavilium rumah sakit yang belum selesai pada tanggal yang telah ditunjukkan oleh petungan-nya.[23]
Mengacu pada fenomena peresapan tradisi lama tersebut yang tidak memandang status sosial dan posisi intelektualitas individu-indivu, membuat kita tidak bisa untuk melupakan warisan masa lalu itu jika ingin melihat Indonesia dari sudut pandang yang lebih baik.
Warisan Mentalitas Lama Dalam Kekuasaan Orde Baru
Terlepas dari citra otoriternya, Soeharto mampu mempertahankan orde kekuasaannya dalam waktu yang sangat panjang. Ia dengan sangat berhasil mengkonsolidasikan pengaruhnya kepada setiap orang yang berada di sekitarnya melalui “strategi” yang saya sebut patrimonialisme-pretorianisme. Penggabungan kedua tipe kepemimpinan tersebut menurut saya lebih tepat dari pada pengambilan salah satu yang paling dominan di antara keduanya. Karena Presiden Soeharto menggunakan keduanya dalam satu tarikan yang saling melengkapi
Benedict Anderson dalam tulisannya, “The Idea of Power in Javanese Culture” menilai bahwa pemerintahan Indonesia di bawah rezim Orde Baru mempunyai karakter yang sama sebagaiman terdapat di Jawa pada masa sebelum penjajahan Belanda. Munculnya kembali bentuk-bentuk pemerintahan sebelum masa kolonial Belanda sering mendapatkan komentar dan dikutuk oleh para cendekia. Banyak kritikus mencela cara-cara Soeharto memerintah seperti “Mataram Baru”, suatu sindiran dengan mengacu pada kerajaan penting di Jawa setalah 1582 dan pada keberhasilan presiden dalam membangun suasana kraton Jawa. Ini mengacu pada situasi di mana politik sering menjadi intrik di balik layar dengan seorang “pangeran” yang kuat mempecundangi yang lain dengan adu domba guna menjunjung tinggi sang penguasa. Kritik lain menunjuk pada praktik-praktik patrimonial yang merajalela di bidang ekonomi. Menurut para pengkritik ini, orang tak perlu melihat jauh untuk menemukan penguasa yang mengikuti bentuk-bentuk tradisional dengan menggunakan kekuasaan guna memberikan alokasi tertentu kepada para bawahan.[24]
Mengacu pada hubungan tradisional antara penguasa dan struktur pemerintahan yang diperintah, Anderson mencatat gambaran yang diberikan oleh Schrieke tentang struktur administrasi kerajaan Jawa sebelum masa kolonial Belanda. Dan secara menakjubkan begitu cocok dengan model Weber tentang negara patrimonial. Menurut model ini pemerintahan pusat pada dasarnya merupakan perluasan rumahtangga penguasa beserta pembantu-pembantunya. Para pejabat diberi kedudukan dan hak-hak serta penghasilan yang menyertainya sebagai penghargaan pribadi penguasa. Anderson mencatat, “meskipun secara formal struktur administrasi bersifat hierarkis, pada kenyataannya terdiri dari sekelompok lapisan dalam hubungan patron klien”. Selanjutnya baik di daerah maupun di pusat para pejabat dikelilingi oleh sekelompok bawahan pembantu pribadi dalam model penguasa tertinggi. Nasib para bawahan tersebut tergantung pada keberhasilan dan kegagalan patron mereka.
Menurut Anderson, yang dapat kita lihat dalam hal ini adalah adanya penanda yang sesuai dengan konsep tradisional Jawa mengenai kekuasaan dengan struktur dan prilaku politik patrimonial. Terlebih lagi pempribumian struktur dan prilaku birokrasi di Indonesia yang kentara pada pertengahan tahun 1950-an biasanya dapat dipandang sebagai timbulnya kembali model patrimonial. Sementara alasan utama timbulnya kembali patrimonialisme adalah kenyataan yang tak diragukan bahwa birokrasi masa Belanda yang legal-rasional, secara ekonomi terbukti tidak bertahan ketika keadaan ekonomi merosot. “pemegang kekuasaan patrimonialisme rupanya juga memberi tekanan keteguhan sesuai perspektif tradisional.
Bagi Anderson, pertanda ketaksediaan pusat untuk menyetujui tuntutan desentralisasi dan otonomi daerah pada akhir masa parlemen 1956-1958, dapat juga dianggap sebagai bagian dari akibat lanjutan konsepsi lama atas hubungan pusat-daerah sebagai indikator “sehatnya” suatu rezim. Padahal jelas terdapat ketakutan pada perbendaharaan nasional. Dalih serupa dengan hal itu berupa bentuk-bentuk perilaku administrasi di pusat, terutama setelah kembali ke UUD 1945. Ditekankan bahwa konstitusi ini secara jelas menyebutkan para menteri kabinet merupakan pembantu presiden dan bertanggungjawab semata-mata kepadanya.
Di bawah UUD 1945, norma resmi dan kecenderungan tradisional menjadi berkesesuaian. Selama kekuasaan yang sesungguhnya dianggap mengalir dan konsentrasi pusat dan bukannya dari arah sekeliling yang tersebar, perilaku para menteri harus mencerminkan harapan pusat bukan yang lain. Alasan yang sama membantu menjelaskan kasus-kasus di mana banyak orang Jawa menerima munculnya dua rezim otoriter, Soekarno dan Soeharto sebagai kelompok informal sangat kuat di luar struktur “legal formal” birokrasi. Apa yang disebut “golongan istana” di bawah demokrasi terpimpin dan SPRI presiden di bawah Orde Baru mencerminkan dapur kabinet penguasa, agen-agen, dan pembantu pribadi. Kekuasaan besar yang mereka himpun dalam kenyataan sama sekali tergantung pada kedekatan dengan pusat, sesuatu yang sangat dikenal oleh seluruh administrasi politik elit.
Gaya kepemimpinan Soeharto juga dapat dijelaskan dalam istilah “praetorian” di mana para opsir militer menjadi “aktor politik utama” yang lebih berkuasa disebabkan oleh kekuatan nyata atau ancaman kekerasan. Istilah praetorian ini diambil dari Garda Praetoria Kerajaan Romawi yang dibangun untuk melindungi kaisar dan mengendalikan proses penunjukan penggantinya. Sebagaimana ditulis Nordlinger, praetorianisme atau intervensi militer timbul dalam berbagai situasi kudeta, terutama ketika para opsir itu sendiri mengambil kendali pemerintahan. Dalam kasus-kasus semacam ini, rezim sipil diubah menjadi rezim militer. Meskipun sejumlah tokoh dan kelompok sipil tertentu sering mendapat kedudukan bagus akibat pengaruh politik.
Sifat praetorian memberikan berbagai gambaran diri mereka sebagai para perwira bertanggungjawab dan patriotik yang melakukan intervensi ke dalam urusan sipil menolak bertanggungjawab kepada konstitusi dan bangsa. Mereka mengambil tanggung jawab sendiri dan menyatakan bahwa konstitusi telah diperkosa atau kepentingan nasional telah dikhianati, maka intervensi dibenarkan. Alasannya, pihak militer mempunyai tanggung jawab khusus, yaitu “suatu tugas mendesak melampaui kewajiban mereka kepada otoritas yang ada.” Menurut Nordlinger, hal ini merupakan dasar pokok alasan umum praetorianisme.
Indonesia dalam masa Orde Baru menunjukkan banyak – jika bukan semua – karakteristik yang digambarkan oleh Nordlinger dan cocok dengan apa yang ia gambarkan sebagai penguasa praetorian. Pada saat yang sama, terdapat sejumlah gambaran yang membuat pengalaman Indonesia menjadi unik. Dalam satu hal, hak militer melakukan partisipasi dalam urusan non-militer dapat dilacak kembali ke dalam masa revolusi yang memberikan ilham setengah mistik yang disebut-sebut tadi. Sebagaimana disebut Anderson, “bahkan berbeda dengan rezim Pinochet di Chili, rezim Orde Baru mencengkram kuat hingga tidak ada prosepek kembalinya penguasa sipil atau pemulihan pemerintahan parlementer.” Dalam hal lain, tipe penguasa praetorian di Indonesia adalah pemusatan luarbiasa pada sosok Soeharto serta sejumlah kecil tokoh kunci di lingkaran dalam.
Sejumlah kecil tokoh kunci yang kemudian menjadi kelompok inti berada dalam orbit di sekitar Soeharto dan ia mampu memanipulasi mereka sedemikian rupa sehingga membuat mereka menjadi tidak bersatu, tetapi saling berlomba satu sama lain. Dengan keterampilan tingkat tinggi dalam memainkan seorang “pangeran” melawan pangeran lainnya dan percaya akan perlunya suatu “ketegangan kreatif” di antara para pembantunya. Soeharto menerapkan gaya divide et impera, pecah belah dan kuasai. Dengan cara itu, maka mereka yang berpotensi menjadi rivalnya, secara efektif menjadi lemah sementara posisinya sendiri diperkuat.[25]        
Untuk mengetahui bagaiama struktur kekuasaan raja itu dijalankan oleh Soeharto, maka tidak mungkin melupakan pembahasan tentang konsep kekuasaan dalam kultur Jawa, dan bagaimana nilai-nilai itu disebarkan oleh rezim Orde Baru Soeharto


Konsep Kekuasaan Dalam Kultur Jawa
“Beliau adalah yang Mahasempurna yang jadi raja di dunia seperti para nabi zaman dahulu”. Dengan kata-kata itulah Susuhunan Pakubuwono IX melukiskan Sultan Agung, Raja Mataram di abad ke-17. Seakan-akan nenek moyangnya yang mashur itu adalah titisan para nabi, atau mungkin adalah titisan Tuhan sendiri. Tentu ketuhanan menitis pada raja tidak secara badaniah, tetapi secara spiritual. Artinya, raja adalah penerima wahyu Tuhan yang terkenal sebagai wahyu kedaton.[26]
Memang legitimasi raja Jawa sering didasarkan pada wahyu yang diterimanya. Konsep ini lebih dominan daripada konsep legitimasi berdasarkan hak-hak lain, misalnya keturunan. Konsep wahyu di satu pihak, menjelaskan kekuasaan mutlak raja dan menganggap perlawanan terhadapnya sebagai perlawanan terhadap Tuhan.Terutama, kebanyakan ajaran mistik yang berorientasi kraton menekankan penghormatan pada tatanan hierarkis negara sebagai langkah awal seseorang menuju “Tuhan”. Jika seseorang berbakti kepada rajanya maka ia berbakti kepada Tuhan, begitu juga sebaliknya. Karena, dibimbing oleh ilham kekuasaan supranatural itu, raja menjadi tidak bisa salah, dan melalui legitimasi itu ia mengajarkan perintah-perintah bijak bagi para kawulanya. Raja dipandang sebagai sesuatu yang dalam pengertian tertentu bersifat kedewaan sehingga sebagai figur supra-manusiawi itu, ia berhak memperoleh penyembahan dan pelayanan dari semua penduduk kerajaannya, bahkan para pendeta.[27]
Legitimasi ketuhanan itu menjadikan raja berada pada puncak piramida atau lebih tepatnya di pusat konstelasi sosial. Dalam pandangan tradisional Jawa, para raja dianggap sebagai anasir mistik paling digdaya di muka bumi, dipandang sebagai wadah potensi kosmis. Kekuasaan duniawi mereka mencerminkan karisma mereka, sebagaimana ditunjukkan kemampuan mereka menerima mandat supranatural atau wahyu untuk berkuasa. Wahyu itu menjadi pertanda benderang bagi keberkaitan mereka dengan – dan konsentrasi – kasakten (potensi kosmis). Yang dianggap memancarkan kekuatan magis. Sebagai pusat kerajaan, raja adalah poros atau paku (paku alam atau paku buwono), tempat segala sesuatu yang lain bergerak berputar di sekitarnya. Posisinya yang diam, tidak bergerak membuktikan bahwa ia memang mengendalikan segala sesuatu. Sebagai sosok yang memiliki kesaktian, orang harus tunduk dan memberikan hormat kepadanya. Raja melambangkan kesatuan kerajaan dan semua yang ada di dalamnya, tidak ada bandingannya, tidak ada yang sejajar di sisinya. Ia merupakan perwujudan negara, melampaui keanekaragaman dan membaurkannya dalam keutuhan dirinya yang tidak terurai. Bertindak atau berbicara menentangnya adalah memberontak, berdosa dan pantas dihukum.[28]
Istana-istana dibangun sebagai gambaran model kosmos, menyimbolkan kedudukan raja di dunia selaku pusat semesta.[29] Sebuah kraton yang mencerminkan tatanan kosmos, menjadi pusat panutan yang memancarkan berkah ilahiah bagi kerajaan dan penduduknya dan dalam tradisi kraton, pelembagaan produksi dan distribusi nilai-nilai dan simbol-simbol ada di bawah patronase raja. Dalam lembaga keabdidaleman ditampung berbagai macam pekerjaan kreatif dari penciptaan karya-karya sastra sampai keseniam representasional.[30]
Namun, kekuasaan yang sangat mutlak itu juga menyimpan bahaya laten. Kekacauan dalam bentuk konflik terbuka, protes, atau pun kecaman mencerminkan kelemahan sehingga tidak dapat dibiarkan. Kekacauan dipandang bahwa sang raja tidak lagi memiliki legitimasi supranatural yang mampu mengendalikan dan menertibkan para pengikut dan kawulanya. Keadaan tersebut membahayakan kharismanya dan raja yang tidak lagi dihormati berarti diragukan kewibawaannya, wataknya, dan kemampuannya.
Sementara bagi rakyat, harga diri dan reputasi sangat erat terkait. Konflik atau prilaku berontak yang diketahui umum adalah sesuatu yang sangat tabu dan tidak disukai. Karena perbuatan itu tidak hanya berpotensi mencoreng status keluarga, tetapi juga menunjukkan bahwa keadaan seseorang sedang tidak stabil, tidak bersatu, dan tidak dalam keadaan serasi sebagaimana seharusnya. Oleh karena itu, orang selalu terdorong untuk selalu dapat mengendalikan diri dan biasanya dilakukan melalui praktik asketisme, karena berusaha menguasai diri merupakan hal yang bijaksana.
Konflik harus ditekan atau bila mungkin ditolak karena tidak ada mekanisme yang baik untuk menyelesaikannya. Jika itu terlanjur meledak ke permukaan dan terus berlanjut, maka penyelesaiannya hanya dapat dilakukan dengan perang, seperti dalam lakon peperangan tiada akhir antara Kurawa dan Pandawa, di mana pihak yang benar selalu menang dan dihalalkan membunuh lawannya, sehingga dengan jalan itu, konflik akan terselesaikan. Kompromi juga tidak akan terjadi karena setiap orang yang mau menyerah, sama artinya dengan kalah. Dengan kata lain, konflik bukan diselesaikan, melainkan diakhiri. Persepsi tentang ancaman laten ini membuat tekanan terus menerus untuk hidup secara rukun dan harmonis dapat dipahami.[31] Hans Resink menganut gaya ini dalam menilai gaya modern pemerintahan Soeharto. Menurutnya, kita menyaksikan pemulihan kembali negara yang berpusat ke kraton, dan dalam keadaan ini, kesempurnaan batin raja berkaitan erat dengan kemampuannya menjaga ketertiban. Resink juga meyakini bahwa epos Ramayana mengandung mitos yang menimbulkan motivasi dan bahwa pembunuhan massal beberapa tahun sebelumnya merupakan perwujudan Bharatayuda, perang untuk mengakhiri segala macam perang, dari siklus Mahabarata.[32]
Seorang raja yang menjaga wahyunya dengan cara konsentrasi mistis harus mewujudkan keadaan yang lebih baik dalam kekuasaan duniawinya. Begitu pula dengan upaya mistik pribadi dimana aspek luar (lair) harus dikondisikan oleh aspek dalam (batin). Spiritualitas dan hubungan batin yang berlangsung antara kosmos dan masyarakat menjadikan – dan menyebabkan – kondisi kekinian manusia.
Tatanan kehidupan dan kosmos dipandang sebagai suatu hierarki spiritual. Kekuasaan dan keningratan duniawi secara harfiah dipandang lebih dekat kepada kebenaran. Dengan demikian, berada pada kedudukan yang lebih menguntungkan dalam berkomunikasi dengan kekuatan-kekuatan lebih tinggi dibanding dengan manusia rendahan yang menyandarkan diri pada hubungan dengan bumi untuk penghidupannya.
Tak perlu dijelaskan kalau sistem hierarki menjadi tulang punggung masyarakat istana. Dengan raja di puncak dan berada di istana sendirian dengan segala kelengkapannya. Hirarki ini memperhitungkan peringkat dan status berdasarkan jarak dari sang penguasa. Dalam batasan demikian, inilah sebuah masyarakat yang syarat dengan personalisasi di mana orang dikenal dan juga dipersamakan dengan posisi yang mereka duduki dalam hierarki itu. Untuk merangkak ke atas, sikap yang dibuat-buat dan sanjungan, intrik dan persekongkolan adalah cara-cara semacam itu betul-betul merangsang pengendalian etiket, tata cara yang bagus, dan gagasan tentang ketertiban dan keselarasan. Semua itu menjadi ciri khas gentelment priyai yang luhur.[33]
Dalam lingkungan yang sedemikian memikat perasaan dan emosi, maka suatu arah kepada kenyataan yang biasa dan konkrit hampir tak dapat diharapkan; tujuan perjuangan dan cita-cita tak perlu dicarikan di dalam dunia ini. Identitas seseorang ditentukan oleh keluarganya, oleh agama atau alirannya, atau oleh orang-orang dari kampung halamannya. Dalam golongan seperti itu, kerukunan merupakan norma tertinggi, dan orang-orang sangat tidak suka dengan macam-macam organisasi dan tujuan-tujuan yang terletak di luar lingkup mereka. Tujuan-tujuan semacam itu akan menimbulkan ambisi perseorangan dan mengancam keselarasan komunitas. Sangat dipentingkan agar dalam kelakuan mereka semua seragam, dan keragaman tersebut dijamin oleh sebuah sistem kontrol sosial yang ketat. Tujuan paling luhur dalam hidup ini adalah keselarasan dengan alam semesta, dan golongan-golongan yang merupakan inti kehidupan merupakan sarana bagi keselarasan tersebut. Itulah unsur-unsur hakiki dalam tata tertib sosial yang dikehendaki oleh Tuhan, dan seperti seorang raja dan guru, maka keluarga, tetangga dan dusun merupakan tahap-tahap pokok dalam perjalanan menuju Tuhan. Tidak patuh terhadap unsur-unsur hakiki tersebut akan menimbulkan hukuman menurut hukum karma, sedangkan ketaatan akan memajukan keselamatan pribadi dan masyarakat.[34] 
Dalam suasana ini, kepemimpinan hampir identik dengan kepemimpinan karismatis. Seorang pemimpin adalah orang yang secara efektif ada hubungan dengan dunia luar dan dengan alam gaib. Seorang pemimpin yang efisien atau seorang pemimpin administrator tidak populer. Seorang yang hanya mengurusi kenyataan duniawi semata, tidak akan menimbulkan reaksi, tetapi seorang yang menciptakan kerukunan, seorang tokoh dengan karisma, dialah yang dapat menggerakkan rakyat.
Penalaran mistik Jawa menarik kesejajaran dengan mitologi wayang dalam menjelaskan peristiwa dan keadaan zaman sekarang. Ketika wakil-wakil golongan anarki menduduki tampuk kekuasaan, kehidupan di bumi mengalami kekacauan. Sebaliknya kedamaian dan kebahagiaan terwujud manakala kekuatan proketertiban berkuasa. Kehidupan di bumi dikoordinasikan dengan kejadian-kejadian kosmis dan manusia hanya bisa menerima hidupnya sebagaimana digariskan nasib. Oleh karena itu, bagaimana pun juga, kehidupan di dunia ini tak lain dan tak bukan adalah cerminan kondisi kosmis yang berlaku.
Akan tetapi dengan renungan yang lebih dalam, hubungan itu akan menampakkan diri dalam tampilan dua sisi. Ketika kondisi spiritual manusia tertata dan tenang, saat ia tidak dituntun oleh gairah dan hasrat pribadinya maka kehidupan di muka bumi akan adil dan makmur, pada gilirannya ini mencerminkan kosmos yang teratur dan harmoni antara “Tuhan” dan manusia.
Sehingga dengan renungan yang lebih dalam lagi, manusia sendiri yang memegang kunci bagi keadaannya. Dalam mistisisme dan magi, ia bisa menghubungi golongan proketertiban atau anarki. Pada dasarnya, kosmos itu netral secara moral dan manusialah penyebab dari segala kondisinya sendiri.[35] Manusia sendirilah penyebab dari kondisi di bumi karena moral dan perilaku spiritualnya. Oleh karena itu, melalui latihan-latihan asketis seseorang mempersiapkan diri untuk menjalin kontak dengan dunia supranatural yang akan menuntun perilaku mereka.
Jika manusia sebagai penyebab utama bagi kondisi kosmis, maka moral dan perilaku spiritual harus diperhatikan. Pada zaman Orde Baru, pengawasan terhadap moral dan perilaku spiritual menjadi tugas Pakem dan Kementerian Agama. Kementerian itu juga harus membina ketekunan peribadatan agama-agama resmi karena jika semua orang menaati perintah agama mereka, kehidupan dalam masyarakat akan selaras. Inilah pemikiran mendasar tentang pentingnya moral dan tingkah laku spiritual yang melahirkan kontrol ketat dari penguasa.
Ideal mistik tentang kesatuan dan harmoni antara manusia dengan Tuhan hadir sebagai model bagi hubungan antara manusia dan masyarakat. Upaya mencapai keselarasan dan pemeliharaan ketertiban adalah anasir yang menonjol. Gagasan kesatuan menyiratkan keteraturan. Hasrat, ambisi, dan nafsu pribadi dianggap mengancam harmoni, sampai-sampai timbul pemikiran bahwa “berkorban demi harmoni sosial akan mengantarkan pada pahala tinggi”. Seseorang lebih baik mengalah pada masyarakat daripada mencoba memaksa kehendaknya.  Etika sosial itu tercermin dalam istilah sepi ing pamreh, rame ing gawe, mamayu hayuning bawono. Terjemahannya kira-kira berbunyi “tidak mementingkan diri sendiri, rajin bekerja, dan memperindah dunia. Rumusan ini dimaksudkan untuk mengontrol secara sadar nafsu seseorang, tidak mementingkan diri, tidak dikendalikan oleh hasrat demi keuntungan pribadi, sebab nafsu-nafsu itu mencegah pencapaian hal yang tenang (tatatenteram).[36] Untuk mencapai tujuan itu, kehidupan sosial wajib diatur dan lebih sering dengan kelewat ketat. Masyarakat harus dilindungi dari dorongan dan emosi individu-individu yang tidak tahu aturan.[37]
Dalam kehidupan sosial, keserasian seharusnya terjadi seperti dalam keluarga, dengan kesadaran bahwa kepentingan bersama melebihi individu. Dalam kosmologi Jawa, keluarga melebihi dunia moral yang diberi ciri saling memiliki kewajiban. Pertama-tama, kewajiaban ini tidak sama antar individu. Inilah yang memberikan landasan moral tentang adanya hierarki dan kewajiban seseorang untuk membimbing dan memimpin yang lain. Orang yang lebih tua, guru, dan khususnya orang tua, adalah pribadi yang sangat dihormati, menjadi pephunden, suatu kedudukan yang layak bagi mereka karena perhatian, perlindungan, dan ajarannya. Sebagai pengatur dan wakil kehidupan, orang tua memegang kedudukan setengah religius yang dihiasi oleh ide bahwa menentang mereka merupakan dosa yang akan dihukum oleh sangsi gaib yang tidak kentara (kuwalat).
Dengan kata lain, keluarga adalah sebuah dunia moral dengan jenjang yang ketat yang harus didasarkan pada asas solidaritas dan tentu saja bukan oleh kesetaraan. Orang tua harus membimbing dan mengajar – sebuah kewajiban moral – sedangkan kewajiban anak-anak adalah menerima dan mengikuti (nurut). Konseptualisasi ini memberikan kunci bagi praktik dan teori kepemimpinan yang diilhami oleh orang Jawa. Gambaran yang praktis ada pada militer atau sistem feodal, di mana para pengikut (anak-anak) berkumpul di bawah panji-panji pemimpin, dan kepadanyalah mereka diharapkan sangat loyal. Pemimpin adalah seorang bapak, pelindung yang dapat dipercaya, harus dihormati, dan harus diteladani, yang perilaku dan keinginannya merupakan perintah.
Gambaran organisasi sosial ini berakar dalam keluarga dan meluas ke dalam masyarakat secara menyeluruh. Agar maju dalam kehidupannya, seorang memerlukan patron, pelindung di luar lingkungan rumahnya. Semua berbagi dalam kepentingan bersama; jika pelindungnya tumbuh subur, demikian pula kliennya. Justru karena sifatnya, patronase menjadi hierarkis sehingga ia cenderung mengikat orang menjadi satu dalam ikatan pribadi dengan nilai moral dan material yang tidak sama, di mana yang berada di tingkat lebih tinggi akan memperhatikan, sedangkan yang di bawah akan taat dan menurut. Sambil membangkitkan perasaan kagum dan cinta, yang lebih tinggi harus menunjukkan simpati terhadap yang lebih rendah.
Niels Mulder melacak beberapa prinsip dasar kehidupan keluarga Jawa yang tampaknya menjadi basis pemikiran elit politik mengenai kepemimpinan dan negara. Sebagaimana tampak dalam pendidikan Pancasila yang berisi tentang ideologi, meskipun tidak terlalu menyentuh pemahaman mengenai struktur keluarga, banyak berbicara tentang fungsi dan peran negara sebagai perwujudan dan pelindung keluarga nasional.
Dengan membawa masuk asumsi keluarga yang terselubung, berfungsinya negara sebagai sebuah keluarga besar dengan seorang bapak di pucuk pimpinanannya menjadi jelas. Bapak Negara melindungi dan membimbing, sedangkan rakyat tunduk dan mengikuti. Untuk menanamkam sikap yang diperlukan, maka negara sebagai bapak yang baik, harus membimbing rakyat menjadi matang, menjadi anggota terhormat dari keluarga bangsa, manusia Pancasila yang sejati. Dari segi kemanfaatan bagi negara, ketertiban harus dipaksakan kepada penduduk yang tidak terorganisasi. Jika tidak demikian maka mereka akan menjadi keras kepada dan tidak terkendali. Oleh karena itu, sebagai pemimpin, seorang bapak dominan pengaruhnya[38]
Warisan mentalitas lama itu secara substansial mempengaruhi struktur bangunan Indonesia secara ideologis, seperti Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, persatuan dan kesatuan, bahkan sampai pada dimensi konstitutif UUD 1945.
Bagi Mulder, pemakaian Pancasila tampaknya merupakan sebuah kegandrungan yang lebih dari sekedar mempertahankan kesatuan nasional atau semboyan bangsa yang tersohor “Bhineka Tunggal Ika”. Di sini tercium ketakutan pada keragaman yang tentu saja, bukan barang asing dalam rezim yang kental warna militernya. Keanekaragaaman harus diatasi, persis seperti mistikus harus mengatasi kebingungan yang ditimbulkan oleh inderanya, sampai akhirnya melebur dengan yang satu.
Seperti disebutkan diawal bahwa Soeharto dengan sangat kentara menggambarkan dirinya dengan citra seorang raja Jawa yang tentu juga sangat terbawa dalam sistem-sistem kulturan negara kerajaan tradisional. Oleh karena itu, proses jawanisasi baik itu yang dilakukan secara sengaja atau tidak maupun disadari atau tidak, pada faktanya itu sangat dominan.
Pada zaman kemerdekaan dan revolusi kita bisa menyaksikan permulaan literature Pancasila dan slogan-slogan Soekarno menimbulkan kesan adanya usaha untuk menguasai perpolitikan dengan memanfaatkan mantra-mantra sakti. Tak bisa disangkal bahwa banjir formula bak mantra, semakin menggila di zaman Orde Baru. Kemunculannya saja sudah diawali dengan kata bertuah Supersemar yang mendatangkan berkah Tuhan Jawa, nenek moyang ras Jawa. Kata Super itu bahkan menunjuk manifestasi ketuhanannya yang sempurna, Ismaya, kakak Dewa Shiwa. Seperti dimaklumi semua orang yang akrab dengan wayang, Semar hanya mendukung pemenang. Kata Supersemar itu sendiri tidak lain dan tak bukan adalah akronim dari Surat Perintah Sebelas Maret, perintah Presiden Soekarno kepada Jend. Soeharto untuk memelihara ketertiban dalam negeri. Sayangnya, tak seorang pun pernah melihat dokumen tersebut sejak saat itu. Surat itu dipersiapkan entah dari mana dan belum ditemukan kembali sampai sekarang, namun ini soal kecil. Yang penting dalam hal ini adalah: sebuah formula sangat bertuah telah mentahbiskan Orde Baru dengan pengertian Jawa tentang koordinasi dan koinsiden, Supersemar adalah sebuah kebeneran sejati, bukan kejadian tak sengaja. Dilengkapi dengan kenyataan bahwa orang-orang Jawa masa lalu telah gemar menyusun semacam kronogram yang esoterik, candra sangkala, maka sungguh musykil mempercayai bahwa ucapan yang nyaris seperti mantra itu adalah produk dari kebetulan belaka.
Dalam proses stabiliasai lebih lanjut, Pancasila dan UUD 1945 menjadi pusaka keramat yang semakin berkembang dan tak bisa diganggu-gugat. Keduanya sudah menjadi formula suci pelindung benda-benda dan yang kepemilikannya melegitimasi rezim dan memberkati jalur yang dilayarinya. Pancasila dan UUD 1945 menjadi seperti wahyu, sebuah mandate ketuhanan. Di atas segalanya, ketika memiliki mantra-mantra yang jitu, seorang penguasa jadi tidak bisa kalah. Jika melihat dari sudut pandang itu, terpikir oleh kita bahwa bukan kebetulan apabila UUD RI memberi kepada presiden kekuasaan yang hampir mutlak.
Sangkan paran (asal dan tujuan) sudah diketahui. Yang diperlukan hanya mewujudkannya. Realitas yang nyata perlu di dorong, ditekan dan dipacu. Ia harus diwujudkan melalui aktivitas yang dikenal dengan sebutan Pembangunan. Pembangunan itu terdiri dari dua aspek; aspek dalam (spiritual) dan aspek luar (material). Aspek kedua ini, komponen batiniah upaya nasional ini bertujuan menciptakan kepribadian Pancasila. Manusia Indonesia seutuhnya, yang menghuni sebuah masyarakat harmonis, stabil namun dinamis, senantiasa dibimbing kepentingan bersama, dorongan-dorongan individual terhapus, ia aktif mengusahakan manfaat bagi keuntungan semua orang, menjadikan negeri ini sebuah tempat yang lebih baik dan lebih indah.[39]
Barangkali pemikiran semacam itu – barangkali memang murni ideologis, namun jelas itu terpromosi kuat dengan kekuasaan. – adalah sebuah pertanda jawanisasi kebudayaan Indonesia. Pada masa pasca-revolusi, komandan-komandan daerah yang bermasalah dan membangkang – meskipun  telah menjadi pahlawan pada masa revolusi – juga disingkirkan, seringkali digantikan oleh perwira-perwira suku Jawa. Pada waktu yang sama, pamong praja karir Jawa menggantikan pejabat-pejabat lokal di daerah-daerah pemberontak. Akibatnya, daerah Minagkabau di Sumatra Barat “merasa seperti daerah terjajah, di mana penduduk setempat tak lagi dipercaya menduduki jabatan tinggi militer atau sipil”.[40]
Tidak heran kemudian muncul suara-suara yang menentang pemerintahan pusat. Hassan Muhammad Tiro kemudian memproklamasikan Republik Indonesia federal di berbagai bagian Negara pada 1960 untuk “melawan diktator Soekarno di Jakarta, yang menerapkan kolonialisme Jawa terhadap selusin lebih suku di Indonesia”. Sukut-suku tersebut, Tiro bersikeras, “bukan memperjuangkan separatism melainkan murni demi hak memerintah diri sendiri yang telah dirampas rezim Jawa Soekarno.”[41]
Oleh karena itu bagi Nelson, pembentukan semacam kesatuan politis sebenarnya membahayakan, mengabaikan, atau membongkar dan membentuk ulang hubungan-hubungan ekonomi dan budaya yang telah ada. Ekonomi kolonial Jawa menjadi model, dengan fokus Negara-negara Barat yang mengimpor produk kawasan tropis. Wilayah lain yang sebelumnya berorientasi ke Singapura (dan dalam skala yang lebih kecil, Penang) dan terintegrasi ke dalam perdagangan antarnegara lewat pelabuhan ke Singapura, dipaksa meniru pola Jawa. Keseluruhannya tidak diciptakan dari nol; tapi sejak awal sudah ada Negara yang berpusat di Jawa, dengan tambahan dari luar. Pola itu punya dampak khusus bagi Indonesia kawasan Timur, karena mambuat Indonesia Timur tidak lagi mendapat kontak dunia luar, sehingga kawasan tersebut “kelak menjadi danau Belanda”. Sifat-sifat Negara yang menyebabkan perubahan keadaan itu akan bertahan lama: Negara kuat, sangat terpusat, sangat birokratis, diatur dari dan dibentuk berdasarkan pengalaman Jawa. Hal tersebut juga dapa dilihat secara lebih jauh pada konsep awal tentang kraton sebagai pusat kosmis atau mandala. Konsekuensi dari sistem ini adalah pengaruh ataupun perhatian penguasa akan semakin meluruh seiring dengan jarak sebuah daerah dari pusat kosmis atau kraton.
Kiranya itulah yang dipikirkan Hendrikus Colijn, anak didik van Heutsz, yang menolak pemikiran inklusiv-unitaris tentang kemungkinan lahirnya Hindia Timur Belanda sebagai sebuah Negara modern model Barat. Ia menganggap bahwa budaya, masyarakat, dan identitas lokal Hindia perlu dipelihara. Dan jika tidak, kecenderungan generalisasi bakal membuat seluruh Hindia tunduk kepada orang Jawa. Sebagaimana ditulis Nelson;
…Jawa sebagai pusat memang berkah, tapi sekaligus kutukan; dengan menyatukan orang dari segala penjuru, Jawa menumbuhkan kebersamaan, tapi pada waktu yang sama juga mendominasi dan menghilangkan jarak serta sudut pandang yang diperlukan untuk memahami keadaan baru dengan lebih baik…[42]
Jawanisasi juga mengemuka dalam pengangkatan Pancasila sebagai ideologi resmi. Mulai tahun 1978, dengan gencarnya negara menyebarkan penafsiran kelima Pancasila. Penafsiran tersebut menjadi pandangan dunia bangsa Indonesia atau falsafah hidup yang memberikan arah bagi rakyat, bangsa, dan negara. Dari pemikiran ini maka sangat logis bila tindakan yang menyusul adalah dicetuskannya Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi segala macam kehidupan terorganisir di negeri ini pada tahun 1985. Pancasila mengungguli agama-agama dan ideologi politik tertentu. Semua orang diharapkan menjadi Pancasilais. Semuanya akan dipersatukan dalam satu arus pemikiran. Bersatu padu mereka akan mewujudkan masyarakat Pancasila, masyarakat yang didiami oleh Manusia Indonesia Seutuhnya. Guna mewujudkan ambisi ini, negara segera melaksanakan propaganda pandangan-pandangannya. Disekolah-sekolah, pelajaran Pancasila dijadikan sebagai pendidikan moral - mata pelajaran wajib – di setiap jenjang pendidikan hingga universitas. Tak ketinggalan, generasi tua juga harus ditempa dalam mentalitas tersebut. Demi kemaslahatan mereka, sebuah upaya nasional digalakkan, dikenal sebagai pemasyarkatan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Semua orang yang bekerja pada negara harus mengikuti penataran yang ditawarkan oleh program tersebut dan secara berkala harus mengikuti penataran penyegaran.[43]
Keasyikan orang Jawa dengan ideal-ideal persatuan dan ketertiban – seringkali tampil untuk makna yang sama  - bisa ditafsirkan sebagai kehendak untuk melarikan diri dari keanekaragaman dan kebingungan. Persatuan dan ketertiban bermakna kedamaikan, ketentraman, penguasaan, keberhasilan, dan kemakmuran. Pendeknya sebuah cara hidup yang bermoral lagi beradab. Keadaan ini terancam oleh alam belantara yang tak terkendalikan; dorongan dan kehendak pribadi yang belum dijinakkan; bujuk rayu dunia roh; dan kehidupan di dalam perkotaan modern yang tak bernama.
Ada priode-priode historika ketika, betapa pun besarnya keinginan rakyat untuk menjauhkan diri dari itu, mereka harus terperangkap dalam pertikaian. Dalam periode-periode demikian, seolah-olah raja, pemimpin, kehilangan wahyunya, mandat ilahiyahnya untuk memerintah. Ini mengakibatkan datangnya “zaman edan” di mana orang digiring oleh nafsu dan ketamakan mereka, oleh kehendak dan dorongan mementingkan diri tidak terkendali. Dari segi pandangan modern, atau persaingan politik sengit, demonstrasi protes teramat gencar, perang saudara dan kebencian, pertentangan agama, dan permusuhan sosial yang tajam. 
Untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif, dia mesti – lazimnya – mampu mengatasi gejolak sosial demikian itu. Meski begitu, kemanjuran seseorang adalah terutama sebuah sumber daya batin. Ini adalah persoalan mengerahkan segala potensi melalui pengatasan gejolak dalam diri. Dengan demikian, praktik ulung kebatinan dan kepemimpinan yang efektif adalah satu. Melalui pelatihan sumber daya batin mereka, para pemimpin ideal bermaksud mengatasi nafsu, hasrat badaniyah dan pamrih mereka. Begitulah sembari memunculkan kedisiplinan, wawasan, kesabaran, ketabahan, dan ketenangan batin. Tenang sekali tanpa bisa diusik, mereka memperlihatkan kekuatan batin dan ketajaman rasa mereka atau indera keenam, dengan penguasaan dan antisipasi sebagai peristiwa. Jelas mereka berlaku sejajar dengan skema besar kepastian, kodrat, secara alamiah mereka menarik para murid dan pengikut.
Inilah gambaran orde baru yang memproyeksikan diri dalam otobiografinya. Orde Barunya adalah keharusan historis di jalan Indonesia menuju kesempurnaan. Orde ini beredar di sekeliling sosok Soeharto yang menjiwai kenyataan itu adalah konsentrasi potensinya. Oleh karena itu, ia tidak berutang pada siapa pun. Arsitek-arsitek terkemuka Orde Baru lainnya hanyalah orang-orang yang ditarik oleh kekuatan batinnya. Mereka tak lebih dari antek dan pengikut. Satu-satunya yang harus mendapatkan pengakuan positif hanyalah legitimator dan pendahulunya, Soekarno. Dengan cara demikian, Soeharto berhasil memproyeksikan diri sebagai semacam pangeran mahkota bayangan, sebuah gerakan diam-diam dan mendesak dikoordinasikan melalui pristiwa-pristiwa di Indonesia hingga Supersemar, sebagai kebeneran agung, mengangkatnya ke pusat panggung sejarah. Mulai saat itu dan seterusnya, melalui keberhasilan dalam menentramkan, melalui pembungkaman segala macam protes dan pembangkangan, melalui pemberlakuan ketertiban, keamanan dan stabilitas, Presiden Soeharto membuktikan bahwa ia memegang wahyu, mandat ilahiah yang mengesahkan kekuasaan lebih dari yang diberikan parlemen, pemilihan umum, atau bangsanya.
Penutup
Warisan kebudayaan kerajaan Jawa terlihat lestari dalam rezim Soeharto. Bahkan, ia dengan sengaja mengidentifikasi kekuasaannya sebagai seorang raja generasi penerus dari raja-raja masa lampau. Tidak ayal, hal itu juga mempengaruhi konsepsinya tentang konstruk Indonesia yang terbaik. Rezim Soeharto kemudian memproyeksikan berbagai langkah demi terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya, dan ini tentunya sesuai dengan pandangannya tentang masyarakat ideal. Oleh karena itu, menjadi Indonesia berarti menjadi sesuatu yang sesuai dengan sketsa yang dibangun dalam pikiran Soeharto.
Sebagaimana dalam konsepsi raja sebagai pusat konstelasi sosial dan keratonnya dilambangkan sebagai pusat kosmis. Dalam sistem ini, pengaruh kekuasaan dan tentu juga perhatian politik  (pembangunan) sangat tergantu pada jarak sebuah daerah dari pusat kosmis itu. Semakin jauh, maka semakin kecil pengaruh kekuasaan dan semakin kecil upaya-upaya membagi jatah pembangunan secara merata. Hal ini berdampak pada kesenjangan yang sangat jomplang dalam berbagai bidang antara pulau Jawa dan pulau-pulau yang jauh.
Rezim Soeharto mengidealisasikan kepemimpinannya seperti sistem kepemimpinan bapak dalam keluarga Jawa. Sebagai seorang bapak (negara) ia memiliki kewajiban moral untuk melindungi, mengajari sekaligus mengontrol – tak jarang sangat ketat – anak-anaknya (rakyatnya). Ia juga menyusun sebuah cita-cita bagi masa depan  anak-anaknya, yaitu menjadi manusia Indonesia seutuhnya (manusia Pancasilais).
Melenceng dari apa yang telah digariskannya berarti memberikan celah untuk diklaim tidak sejalan dengan konvensi sosial dan itu berari melanggar aspek moral kesejahtraan dan ketentraman sosial dibangun. Dengan demikian, kita harus bersedia didekte dan dikontrol secara sangat ketat. Hasrat subjektifitas harus senantiasa ditekan karena ditakutkan merugikan kepentingan bersama.
           


                [1]Christina S. Handayani & Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, (Yogyakarta: LKIS, 2004), Cet. 1, h. 92
                [2]Simon Philpott, Meruntuhkan Indonesia; Politik Kolonial dan Otoritarianisme, (Yogyakarta: LKIS, 2003), Cet. 1, h. 4
                [3]Niels Mulder, Mistisisme Jawa; Idelogi di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2009), Cet. 3, h. 4, terj.
                [4]Niels Mulder, Mistisisme Jawa, h. 147
                [5]Christina S. Handayani & Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, (Yogyakarta: LKIS, 2004), Cet. 1, h. 92
                [6] Niels Mulder, Mistisisme Jawa; Idelogi di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2009), Cet. 3, h. 149
                [7]Ibid, 
                [8] Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya 3 Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, (Jakarta: Gramedia, 2008), cet. 4, h. 60
                [9]H. Dwi Kristanto, Strukturalisme Levi-Strauss Dalam Kajian Budaya, dalam Teori-Teori Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), Cet. 5, h. 125.
                [10] Azyumardi Azra, Historiografi Islam Indonesia; Antara Sejarah Sosial, Sejarah Total, dan Sejarah Pinggi. Dalam Menjadi Indonesia; 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, (Jakarta: Mizan, 2006) cet. 1, h. 21.
                [11]Ibid, h. 22
                [12]Denys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya 3Warisan Kerajaan Konsentris, (Jakarta: Gramdedia, 2008), Cet. 4, h. 60.
                [13]Onghokham, Wahyu Yang Hilang, Negeri Yang Guncang, (Jakarta: Tempo, 2003), h. 9 
                [14] Denys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya 3Warisan Kerajaan Konsentris, (Jakarta: Gramdedia, 2008), Cet. 4, h. 69
                [15]Ibid,  
                [16]Ibid, h. 71 
                [17]Niels Mulder, Di Jawa; Petualangan Seorang Antropolog, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), Cet. V, h. 98, terj.
                [18]Niels Mulder, Mistisisme Jawa; Ideologi di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2009), Cet. III, h. 49-50, terj.
                [19] Denys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya 3Warisan Kerajaan Konsentris, (Jakarta: Gramdedia, 2008), Cet. 4, h. 71.
                [20]Ibid,
                [21]Mengenai pengaruh budaya Jawa pada lahirnya konsep dwifungsi ABRI, lihat Onghokham, Wahyu Yang Hilang, Negeri Yang Guncang, (Jakarta: Tempo, 2003)
                [22]Niels Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977), Cet. 2, h. 25-26
                [23] Ibid, h. 27
                [24]David Jenkins, Soeharto dan Barisan Jenderal ORBA; Rezim Militer Indonesia 1975-1983, (Depok, Komunitas Bamu, 2010), Cet. 1, h. 21
                [25]Ibid, h. 27
                [26]Onghokham, Wahyu Yang Hilang, Negeri Yang Guncang, (Jakarta: Tempo, 2003), h. 9
                [27]Christina S. Handayani & Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, (Yogyakarta: LKIS, 2004), Cet. 1, h. 103-104
                [28]Ibid, h. 104
                [29]Niels Mulder, Mistisisme Jawa; Idelogi di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2009), Cet. 3, h. 39-40, terj. 
                [30]Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), Cet.1, h. 40
                [31]Christina S. Handayani & Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, (Yogyakarta: LKIS, 2004), Cet. 1, h. 105-106
                [32] Niels Mulder, Di Jawa; Petualangan Seorang Antropolog, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), Cet. V, h. 98, terj. 
                [33]Niels Mulder, Mistisisme Jawa; Ideologi di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2009), Cet. III, h. 199. Diterjemahkan dari Mysticism in Java Ideologi in Indonesia.
                [34] Ibid, h. 27-28
                [35]Niels Mulder, Mistisisme Jawa; Ideologi di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2009), Cet. III, h. 83-87.
                [36]Ibid, h. 91-98.
                [37]Ibid, h.97.
                [38] Christina S. Handayani & Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, (Yogyakarta: LKIS, 2004), Cet. 1, h. 95-97
                [39]Niels Mulder, Mistisisme Jawa; Ideologi di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2009), Cet. III, h. 149
                [40] Reid, an Indonesian Frontier, h. 19, Nelson, h. 310.
                [41] Nelson, h. 311
                [42] Nelson, h. 31
                [43] Niels Mulder, Mistisisme Jawa; Ideologi di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2009), Cet. III, h. 151

1 komentar:

  1. ▷ Casino site for beginners
    Casino Site Review ➜ How Does the Site Works luckyclub and How Does The Casino Work? ✓ How Can you Trust the Website to Avoid Scams? ➜ Why Do Online Casinos Have

    BalasHapus