Pendahuluan
Soeharto dikenal sebagai Bapak Pembangunan.
Gelar tersebut memang pantas disematkan padanya, karena ia dengan cukup
berhasil memodernisasi berbagai struktur kehidupan bangsa Indonesia. Tetapi,
kalau ditilik dari sudut pandang teori “modernisasi” maka kita akan sangat
terkecoh karena yang khas dan cukup penting dari teori ini adalah bahwa proses
perkembangan suatu bangsa atau komunitas dibangun dalam sistem yang rasional.
Ini dipercaya akan secara otomatis memperlemah nilai-nilai lama yang menjadi
penyangga berdirinya suatu komunitas tradisional. Kita akan terkecoh karena watak pemerintahan Soeharto tidak bebas dari nilai-nilai tradisional
yang menyangga pemerintahannya. Watak pemerintahan Orde Baru jelas-jelas Jawa
dan mempertunjukkan bahwa gagasan tentang tatanan ideal kerajaan Jawa masih
tetap hidup.[1]
Beberapa
ahli juga mengamini perihal keberlanjutan budaya kerajaan tersebut. Tradisi
Jawa merupakan cermin bukan hanya bagi Presiden Soeharto dan pemerintahannya,
melainkan juga bagi para pendahulunya dan bahkan konsepsi yang mendasari logika
negara Indonesia. Rezim Soeharto melihat dirinya sebagai seorang sultan Jawa
tradisional yang mengkonsolidasikan semua kekuasaan di tangannya dan
menggunakan kantornya untuk menyalurkan hadiah kepada para abdinya. Di
daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan, yakni Jakarta, Soeharto
menempatkan para loyalitasnya pada posisi-posisi kunci di institusi politik,
militer, dan birokrasi untuk menyokong kekuasaannya. Tidak diragukan lagi bahwa
pencitraan Soeharto sebagai sultan terlihat sangat pas, mengingat otoritas
tunggal yang dimilikinya atas kekuasaan politik Indonesia dalam rentang waktu
yang lama.[2]
Salah
seorang yang tertarik pada pendekatan kultural tentang politik Indonesia adalah
Niels Mulder. Menurutnya, Soeharto memproyeksikan diri sebagai orde kultural
dengan justifikasi atas nama “tradisi” dan “keaslian”. Rezim ini mencitakan
pembangunan sebuah negara Pancasila berisikan manusia Indonesia seutuhnya yang
berbudaya dan sarat sekali dengan investasi dan pendidikan nilai-nilai.[3]
Dan, untuk bisa lebih baik memahami bagaimana konsepsinya tentang berbagai
aspek pembangunan Indonesia, kita harus menyelami latar belakang kultural
mengenai semua itu.
Bagi Mulder, rezim Orde Baru secara sistematis
melalui kekuasaannya yang sangat absolut menanamkan nilai-nilai kebudayaan Jawa
kepada seluruh rakyat Indonesia. Dalam istilah Mulder, pengaruh kebudayaan Jawa
yang demikian besar ini sebagai proses jawanisasi. Bagi beberapa orang,
jawanisasi secara sederhana berarti persebaran
penduduk Jawa – entah melalui transmigrasi atau yang lainnya – ke
daerah-daerah di luar Jawa yang populasi penduduknya masih kurang.[4]
Namun, artinya tidak sesederhana itu. Bagi beberapa kalangan, hal itu merupakan
bentuk dari imprialisme kebudayaan atau pemaksaan penggunaan pola pikir dan
perilaku Jawa ke seluruh Nusantara.[5]
Entah itu dilakukan secara sengaja atau tidak. Frase dari kata “luar Jawa”
sebenarnya sudah menjelaskan sendiri bahwa, Jawa adalah pusat, jantung, batin
negeri ini, dan dalam pandangan orang Jawa, batin adalah pusat kehidupan
sehingga pantas mendominasi aspek-aspek luar. Fakta bahwa sebagian terbesar
perwira, pegawai negeri eselon atas, dan para gubernur berasal dari Jawa memancing
orang untuk berbicara tentang imperialisme Jawa. Orang Jawa adalah
majikan-majikan baru, yang mendefinisikan apa itu Indonesia, siapa orang
Indonesia, dan bagaimana menjadi orang Indonesia.[6]
Jawanisasi dalam bentuk yang terakhir sangat
jelas diterapkan oleh rezim Orde Baru, di mana unsur terburuk kebudayaan Jawa
disebarkan, seperti kekakuan hierarkis, otoriterianisme, kesewenang-wenangan
dan arogansinya. Beberapa orang Jawa yang berpikiran modern juga tanpa
ragu-ragu menunjukkan bahwa sikap-sikap itu merupakan warisan mentalitas lama
yang mereka gambarkan sebagai neo-feodalisme dan neo-priyaiisme. Bahkan mereka
juga menggunakan sebutan “mataramisasi” sebagai referensi yang jelas
pada tata cara masyarakat istana zaman dahulu.[7]
Sebutan ini pada dasarnya bukan hanya analogi sewenang-wenang karena rezim Orde
Baru juga berusaha mengasosiasikan dirinya pada salah satu kerajaan Jawa
tersebut.[8]
Kesan
mencolok dari diskursus politik Indonesia memang cenderung untuk
mengesampingkan praktik-praktik yang dilakukan oleh aparatus negara yang
didasarkan pada nilai-nilai yang diwarisi dari mentalitas lama. Oleh karena
itu, pembahasan dari sudut pandang ini cenderung diabaikan dalam pembicaraan
tentang kekuasaan. Padahal, sebagaimana diutarakan oleh beberapa akademisi di
atas, rezim Soeharto atau pun rezim pendahulunya, tidak luput dipengaruhi oleh
nilai-nilai ideal budaya lokal Jawa.
Itulah
tujuan tulisan ini, yakni mencoba melihat kontinuitas struktur warisan
mentalitas lama dalam bangunan sosial Indonesia. Pada akhirnya, hal ini akan
mengarahkan kita pada sesuatu yang barangkali paling penting yaitu memahami
bagaimana gagasan Indonesia dikonstruk dalam sketsa atau idiom terutama pada
pemerintahan Soeharto. Saya sengaja menekankan pembahasan tulisan ini pada Orde
Soeharto, karena secara priode rezim Soeharto memerintah Indonesia dalam waktu
yang paling lama. Terlebih, Soeharto berhasil secara massif dan sistemis
memproduksi nilai-nilai ideologis atau menghegemoni – menggunakan istilah
Gramsci – rakyat Indonesia melalui
pendidikan bahkan pemaksaan.
Tujuannya
adalah untuk menguak apa yang oleh Chomsky disebut sebagai “struktur-struktur
dalam” (deep structures), yakni struktur bawah sadar dari prinsip fungsi
mental yang mempengaruhi kehidupan kita, tapi keberadaannya sungguh tidak
disadari. Hal ini diharapkan dapat memberikan kesadaran baru terkati
faktor-faktor determinan dari perilaku yang bersifat bawah sadar dan kolektif
terhdap fenomena budaya.
Asumsi
awalnya adalah bahwa manusia tidak selalu bertindak sadar dan membuat
pilihan-pilihan dalam kebebasan total, tetapi dalam “struktur” yang diam-diam
tanpa disadari serta menentukan tindakan dan pilihan-pilihan partikular
individu-individu. Pandangan ini sebenarnya populer menjadi bahasan bahkan
menjadi teori dasar dalam strukturalisme. Pendekatan ini sangat berbenturan dengan
eksistensialisme yang secara optimis mewartakan bahwa eksistensi manusia
mendahului esensi sebagai subjek, manusia bebas total. Levi-Strauss – sebagai
tokoh utama aliran pemikiran ini – yang berkecimpung dalam antropologi budaya
kemudian berkeyakinan bahwa tugas disiplin ilmu ini adalah untuk mempelajari
“struktur dalam” yang tersembunyi di balik ungkapan-ungkapan individual yang
sekilas tanpak kacau, tak beraturan (chaotic), beragam, dan tak dapat
diprediksi. Namun, sesungguhnya itu hanya dipermukaan, di balik atau di
dalamnya ada mekanisme generatif yang kurang lebih konstan. Mekanisme generatif
yang ada di dalam itu tidak hanya eksis dan bersifat potensial, melainkan juga
terorganisasi dan berpola. Kaum strukturalis percaya bahwa struktur “yang
dalam” tersebut terdiri atas blok-blok yang bila dikombinasikan dapat dipakai
untuk menjelaskan yang ada dipermukaan.[9]
Oleh karena itu, para strukturalis menentang eksistensialisme dan fenomenologi
yang menurut mereka terlalu “individualistik”. Kedua pendekatan yang disebut
terakhir ini melupakan peran masyarakat dan kebudayaan yang membentuk cara
berpikir dan tindakan-tindakan dari tiap individu. Bahkan Levi-Strauss
menegaskan bahwa tujuan ilmu-ilmu kemanusiaan bukanlah mengonstitusi, melainkan
meluruhkan manusia. Pendekatan strukturalisme cenderung untuk mengurangi,
mengabaikan, bahkan menegasikan peran subjek. Tekanannya adalah peran dan
pengaruh sistem kultural daripada kesadaran dan kejeniusan agensi individual
(subjek pelaku tindakan).
Pendekatan
strukturalisme dalam penulisan sejarah Indonesia – dan ini sangat mempengaruhi
tulisan ini – dapat dilihat dalam penulisan sejarah Denys Lombard. Dalam
krangka ini, yang terpenting dalam penulisan sejarah adalah “sejarah
mentalitas” yang mendasari dan membentuk struktrur-struktur konstan dalam waktu
yang sangat lama. “Struktur-sturuktur” adalah suatu organisasi,
hubungan-hubungan yang koheren – yang dalam istilah Lombard disebut “jaringan”
yang cukup tetap di antara realitas-realitas dan massa sosial.[10]
Berdasarkan
krangka tersebut, umumnya sejarawan arus “sejarah sosial” dalam tradisi
strukturalis berkonsentrasi pada kontinuitas-kontinuitas jangka panjang dalam
sejarah struktur-struktur geografi, ekonomi, sosial, dan kultural bercakupan
luas yang bersembunyi di bawah kegiatan-kegiatan personal sehari-hari.
Struktur-struktur tersebut dirumuskan sebagai bersifat eksternal bagi
pemikiran, tetapi menentukan bagi kondisi-kondisi mentalitas manusia dan
kehidupan fisik.[11]
Salah
satu kelemahan pokok dalam pendekatan seperti ini adalah cenderung
terabaikannya perubahan-perubahan tertentu, yang kadang-kadang amat radikal
dalam perjalanan sejarah, dan selanjutnya dapat memunculkan struktrur-struktur
baru pula. Dengan kata lain, mentalitas yang kelihatannya diasumsikan cukup
konstan sepanjang waktu, secara aktual sebenarnya terjadi pergeseran dan
perubahan signifikan pula.
Tulisan
ini juga tidak mudah keluar dari kelemahan-kelemahan tersebut. Posisi saya
sebagai seorang yang bukan berasal dari masyarakat Jawa maka, dari sana sudah
terlihat satu persoalan mendasar yang tak mudah terlampaui. Yakni keberjarakan
dari realitas subjek yang dianalisa. Di samping itu, saya sebelumnya tidak
familiar dengan nilai-nilai kebudayaan Jawa, dan ini berdampak pada pembahasan
yang seperti mengambil sebagian dan menutupi yang sebagiannya lagi. Oleh karena
itu, untuk meminimalisir kelemahan-kelemahan tersebut, secara tidak langsung saya
membatasi diri pada diskursus sosio-politik dan kultural Orde Baru, dengan
penguasanya yang terlihat sangat terpengaruhi nilai-nilai budaya Jawa.
Warisan
Mentalitas Yang Berlanjut
Para
ahli yang mempelajari konsep kuno tentang kekuasaan raja di Asia Tenggara, melihat
kerajaan-kerajaan pertama sebagai mikrokosmos, dengan raja sebagai pelaku
utamanya yang bertugas menjaga keserasian antara mikrokosmos dan makrokosmos.
Di Jawa, konsep-konsep cendekia dari telaah-telaah kosmologi Sansekerta telah
datang melingkupi bentuk-bentuk pemujaan asli yang lebih kuno yang ditujukan
kepada gunung-gunung dan yang dikaitkan pada diri sang raja. Orang-orang Jawa
kuno menyembah gunung-gunung berapi tertentu, seperti orang Bali dewasa ini
memuja Gunung Agung dan penduduk Tengger (Jawa Timur) memuja kawah Gunung
Bromo. Pada pemujaan kuno itu tercangkoklah tema Gunung Meru, pusat jagat raya,
baik yang bersifat Brahmana maupun Buddhis, lalu gagasan māhārāja terkait
pada poros itu dan harus dianggap sebagai “penguasa gunung”, seperti Dewa Siva
yang di India memang dianggap sebagai Dewa Gunung.[12]
Pada
abad ke-14, di awal Nāgarakertāgama, Prapanca memohon perlindungan Parwanātha,
“Penguasa Gunung”, yang tiada lain adalah raja yang sedang berkuasa, Hayam
Wuruk. Mpu Tantular berbuat hal serupa dalam karyanya, Sutasoma dengan
mempersembahkan salah satu lagu pujiannya kepada Girināta, yang juga memiliki
arti raja gunung. Siti Inggil (tahta), sebuah tempat keramat kerajaan
tradisional juga mengingatkan kita pada mitologi Hindu bahwa para dewa tinggal
di puncak gunung. Siti Inggil berarti “tanah yang tinggi” atau gunung.
Artinya, raja – seperti juga para pengeran dan abdi dalem kraton – tinggal
secara simbolis di atas gunung.[13]
Yang
penting untuk diperhatikan adalah bahwa meskipun proses modernisasi sedang
berlangsung, konsep-konsep kuno tentang kekuasaan itu berhasil bertahan hingga
sekarang. Itu tidak hanya terdapat di “museum hidup” masa lalu, seperti
kerajaan-kerajaan Jawa Tengah, tetapi juga di Jakarta dalam lingkungan
kepresidenan Republik Indonesia. Kedua Presiden RI adalah orang Jawa yang cenderung
menghidupkan kembali ciri-ciri tertentu dari kekuasaan raja tradisional. Untuk
pembahasan yang terakhir akan lebih banyak diulas pada pembahasan berikutnya.
Tentang
diri Hamengkubuwono IX, Sultan Yogyakarta dari 1940 sampai 1988, kita mempunyai
sebuah sumber berupa buku yang diterbitkan pada tahun 1982, bertepatan dengan
hari ulang tahunnya yang ketujuhpuluh. Dalam buku itu, Sri Sultan dilukiskan
sebagai tokoh yang sangat terbuka pada gagasan baru dan bernaluri politik.
Namun, ia sangat terikat pada konsep-konsep kuno tentang kekuasaan. Pada kover
buku yang berjudul “Tahta Untuk Rakyat; Celah-Celah Kehidupan Sultan
Hamengkubuwono IX”, nampak ia tersenyum lebar dengan latar belakang sebuah
gunung berapi yang sedang meletus…yang tiada lain adalah Gunung Merapi. Tanpa
komentar apa pun, asosiasi ini mengingatkan kita pada posisi raja-raja Jawa
zaman dahulu sebagai raja gunung. Beberapa bagian buku itu juga menampilkan
unsur-unsur mistik. Misalkan bab 6 yang memfokuskan episode “bisikan gaib”, yang
menuntun keputusan-keputusan politik yang diambilnya. Bisiskan dari dunia gaib
ini mengingatkan kita pada konsep wahyu atau wangsit dalam kepercayaaan
krajaan-krajaan Jawa sebelumnya. Pembahasan tentang hal-hal “irasional” dan
berbau mistik itu banyak ditemukan pada bab-bab selanjutnya, misalkan
pertemuaannya dengan “Eyang Roro Kidul” atau tentang ramalan-ramalan Jayabaya.[14]
Warisan
mentalitas lama itu juga tidak hanya dijangkiti oleh orang-orang yang secara
historis memiliki darah para raja. Hal itu juga menjangkiti presiden pertama
Soekarni. Apalagi sesudah 1965, sifat “kejawen rezim Soekarno dibicarakan
orang, mulai dari “sinkretisme ideologi Pancasila, pengaruh wayang dalam
pidato-pidatonya, dengan sifat Soekarno sebagai seorang dalang yang lebih
menyukai dunia bayang-bayang daripada kenyataan, sampai kepada nafsu birahi
yang setara dengan nafsu seorang Raja Majapahit atau Mataram. Yang menarik bukan tentang apa pun pendapat
Bung Karno tentang kekuasaan, tapi yang penting adalah cara rakyat memahami
gaya pemerintahannya. Tidak kurang jumlah terbitan setelah Soekarno wafat
(tahun 1970), yang memberi informasi tentang hal itu, terutama yang terbit
sewindu setelahnya, atau pada tahun 1978, setelah pemerintahan Orde Baru
membuka peluang untuk membicarakan Soekarno dan mengizinkan
“merehabilitasi”nya. Yang tampil adalah gambaran seorang tokoh yang sangat
legendaries. Asal usulnya misterius: konon ia putera kandung Sunan Pakubuwono X, dan keturunan Sunan Kali
Jaga atau keturunan raja-raja Pajajaran. Cerita lain menggambarkannya sebagai
peramal, satu hal yang sudah nampak pada pidato-pidatonya yang pertama. Ia juga
dihubungkan dengan Ratu Adil, tokoh utama milenarisme Jawa.[15]
Tentang
Jenderal Soeharto, sudah sering dia meminta nasihat pada dukun Jawa, dan bahwa
istrinya berusaha untuk memperkokoh hubungan kekerabatannya dengan
Mangkunegaran, artinya dengan Mataram.[16]
Presiden Soeharto sebagaimana pendahulunya juga diketahui sangat percaya pada
mistik. Dia suka mengunjungi Imogiri untuk bermeditasi di makam para raja
Mataram. Ia juga biasa berkonsultasi pada guru spiritualnya di Semarang untuk
memandunya dalam bertindak. Dia juga membajak kris penting dari kraton
Surakarta yang dia yakini memperkuat dan melindungi sang presiden yang konon
berambisi menjadi paranormal paling hebat di negeri ini.[17]
Dalam masyarakat Jawa, benda-benda seperti itu adalah pusaka
keramat yang harus dipuja dan dihormati dengan ritual. Benda-benda itu dipercaya
memiliki kekuatan gaib yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perlindungan,
magis, dan mistis. Makam leluhur, para raja, guru-guru Islam terkemuka dan guru
mistik juga dianggap sebagai tempat keramat (tempat suci) yang menjadi tempat
sebagai situs pertapaan guna mendapatkan ilham kewaskitaan dan kekuatan
spiritual. Hubungan antara alam dan supranatural sedemikian eratnya sehingga
mustahil menarik garis pembatas di antaranya. Kedua-duanya punya andil dalam
ketunggalan wujud, dan benda-benda biasa mungkin saja memuat tanda-tanda yang
dapat menguak proses kosmos.[18]
Warisan
mentalitas lama itu tereksperesikan tidak hanya melalui laku mistis pribadi presiden,
namun juga teraktualisasi dalam arsitektur-arsitektur bangunan yang menjadi land
mark negara. Terbukti pada sekurang-kurangnya tiga monumen simbolis yang
dibangun atau dipugar kembali pada tahun-tahun belakangan, bahwa penguasa zaman
‘modern’ pun tetap diresapi oleh tradisi lama. Yang pertama adalah monumen
nasional (MONAS) yang menjulang tinggi di tengah-tengah bagaikan pusar seluruh
negeri. Monumen yang dirancang pada zaman Presiden Soekarno itu diubah dan
diselesaikan di bawah pemerintahan Orde Baru. Tampak luarnya berupa sebuah tugu
yang menopang “lidah api” emas. Hal ini juga mengingatkan kita pada kepercayaan
terhadap wahyu atau pulung yang bersinar sebagai lambang suksesi atau
legitimasi kekuasaan dalam kerajaan-kerajaan Jawa masa lampau. Yang kedua
adalah Taman Mini Indonesia Indah (TMII), sebuah miniatur yang dibuat di atas
sebuah danau buatan. Di sekelilingnya terdapat anjungan-anjungan yang mewakili
masing-masing provinsi. Anjungan berarsitektur tradisional itu menampilkan
masing-masing daerah. Rancangan arsitektur TMII sangat modern, namun juga
mengingatkan kita pada sebuah kutipan dari Nāgarakertāgama yang
menampilkan ibu kota sebagai semacam mikrokosmos yang mencerminkan seluruh
kerajaan. Monumen yang ketiga adalah Candi Ceta yang dibangun pada abad ke-15,
di lereng Gunung Lawu. Candi itu dipugar dan dilengkapi dengan bangunan baru
yang dibuat bukan atas prakarsa para arkeolog – mungkin diyakini sebagai situs
keramat – tetapi atas pemintaan kepresidenan, yang juga sudah mengusahakan
jalan setapak menuju candi itu.[19]
Warisan
mentalitas lama yang menjadi warisan kerajaan-kerajaan agraris juga terus
mempengaruhi bangunan mentalitas masyarakat selanjutnya,[20]
misalkan dalam birokrasi pegawai negeri, hubungan klien antar individu, norma
dan perilaku wajib bagi para pegawai atau pangreh praja, bahkan dwifungsi ABRI,
mendapatkan pengaruh dari warisan mentalitas lama kerajaan-kerajaan agraris
yang jauh sebelumnya.[21]
Warisan
mentalitas lama ini masih sangat kental mewarnai kehidupan sosial masyarakat.
Hal itu tergambar terutama dalam praktik mistik (kejawen) dan
pandangan-pandangan hidup masyarakat. Niels Mulder mengatakan bahwa kontinuitas
itu mungkin terjadi karena di tengah-tengah orang Jawa, alam pikiran dari masa
kanak-kanak yang penuh magi dan fantasi dengan mudah sekali dapat menular dalam
usia dewasa. Rupanya tapal batas antara dunia obyektif dan dunia khayalan
samar-samar, tidak jelas dan tidak penting. Orang ingin percaya akan
ramalan-ramalan, mukjizat-mukjizat, pristiwa-pristiwa yang akan secara mendadak
merubah dan memperbaiki dunia, dan menantikan suatu masyarakat yang adil makmur
yang akan dibawa oleh salah satu Ratu Adil.[22]
Akar-akar
keadaan dunia beserta kehiduapn manusia diyakini berasal dari dalam alam gaib,
dan di sanalah akar-akar itu dapat dipengaruhi oleh doa-doa dan ritual-ritual
simbolis. Mentalitas ini menjangkiti semua lapisan masyarakat, baik dari
kalangan awam hingga para cendekia. Dosen-dosen pada universitas, pengusaha,
pegawai negeri, militer, pemerintah, dokter, insinyur, dan petani-petani biasa.
Mereka semua mencari keterangan dalam primbon-primbon, mengadakan perhitungan
magis (petungan) agar rencana-rencana dan kegiatan mereka bertepatan
dengan saat dan keadaan yang tepat. Samadi dan tapa sering dijalankan agar
lulus dalam ujian dan selamat bila menghadapi sebuah keputusan penting. Seorang
ahli bedah terkenal pernah bersemadi semalam suntuk di sebuah pavilium rumah
sakit yang belum selesai pada tanggal yang telah ditunjukkan oleh petungan-nya.[23]
Mengacu
pada fenomena peresapan tradisi lama tersebut yang tidak memandang status
sosial dan posisi intelektualitas individu-indivu, membuat kita tidak bisa
untuk melupakan warisan masa lalu itu jika ingin melihat Indonesia dari sudut
pandang yang lebih baik.
Warisan
Mentalitas Lama Dalam Kekuasaan Orde Baru
Terlepas
dari citra otoriternya, Soeharto mampu mempertahankan orde kekuasaannya dalam
waktu yang sangat panjang. Ia dengan sangat berhasil mengkonsolidasikan
pengaruhnya kepada setiap orang yang berada di sekitarnya melalui “strategi” yang
saya sebut patrimonialisme-pretorianisme. Penggabungan kedua tipe kepemimpinan
tersebut menurut saya lebih tepat dari pada pengambilan salah satu yang paling
dominan di antara keduanya. Karena Presiden Soeharto menggunakan keduanya dalam
satu tarikan yang saling melengkapi
Benedict
Anderson dalam tulisannya, “The Idea of Power in Javanese Culture”
menilai bahwa pemerintahan Indonesia di bawah rezim Orde Baru mempunyai
karakter yang sama sebagaiman terdapat di Jawa pada masa sebelum penjajahan
Belanda. Munculnya kembali bentuk-bentuk pemerintahan sebelum masa kolonial
Belanda sering mendapatkan komentar dan dikutuk oleh para cendekia. Banyak
kritikus mencela cara-cara Soeharto memerintah seperti “Mataram Baru”, suatu
sindiran dengan mengacu pada kerajaan penting di Jawa setalah 1582 dan pada
keberhasilan presiden dalam membangun suasana kraton Jawa. Ini mengacu pada
situasi di mana politik sering menjadi intrik di balik layar dengan seorang
“pangeran” yang kuat mempecundangi yang lain dengan adu domba guna menjunjung
tinggi sang penguasa. Kritik lain menunjuk pada praktik-praktik patrimonial
yang merajalela di bidang ekonomi. Menurut para pengkritik ini, orang tak perlu
melihat jauh untuk menemukan penguasa yang mengikuti bentuk-bentuk tradisional
dengan menggunakan kekuasaan guna memberikan alokasi tertentu kepada para
bawahan.[24]
Mengacu
pada hubungan tradisional antara penguasa dan struktur pemerintahan yang
diperintah, Anderson mencatat gambaran yang diberikan oleh Schrieke tentang
struktur administrasi kerajaan Jawa sebelum masa kolonial Belanda. Dan secara
menakjubkan begitu cocok dengan model Weber tentang negara patrimonial. Menurut
model ini pemerintahan pusat pada dasarnya merupakan perluasan rumahtangga
penguasa beserta pembantu-pembantunya. Para pejabat diberi kedudukan dan
hak-hak serta penghasilan yang menyertainya sebagai penghargaan pribadi
penguasa. Anderson mencatat, “meskipun secara formal struktur administrasi
bersifat hierarkis, pada kenyataannya terdiri dari sekelompok lapisan dalam
hubungan patron klien”. Selanjutnya baik di daerah maupun di pusat para pejabat
dikelilingi oleh sekelompok bawahan pembantu pribadi dalam model penguasa
tertinggi. Nasib para bawahan tersebut tergantung pada keberhasilan dan
kegagalan patron mereka.
Menurut
Anderson, yang dapat kita lihat dalam hal ini adalah adanya penanda yang sesuai
dengan konsep tradisional Jawa mengenai kekuasaan dengan struktur dan prilaku
politik patrimonial. Terlebih lagi pempribumian struktur dan prilaku birokrasi
di Indonesia yang kentara pada pertengahan tahun 1950-an biasanya dapat
dipandang sebagai timbulnya kembali model patrimonial. Sementara alasan utama
timbulnya kembali patrimonialisme adalah kenyataan yang tak diragukan bahwa
birokrasi masa Belanda yang legal-rasional, secara ekonomi terbukti tidak
bertahan ketika keadaan ekonomi merosot. “pemegang kekuasaan patrimonialisme
rupanya juga memberi tekanan keteguhan sesuai perspektif tradisional.
Bagi
Anderson, pertanda ketaksediaan pusat untuk menyetujui tuntutan desentralisasi
dan otonomi daerah pada akhir masa parlemen 1956-1958, dapat juga dianggap
sebagai bagian dari akibat lanjutan konsepsi lama atas hubungan pusat-daerah
sebagai indikator “sehatnya” suatu rezim. Padahal jelas terdapat ketakutan pada
perbendaharaan nasional. Dalih serupa dengan hal itu berupa bentuk-bentuk
perilaku administrasi di pusat, terutama setelah kembali ke UUD 1945.
Ditekankan bahwa konstitusi ini secara jelas menyebutkan para menteri kabinet
merupakan pembantu presiden dan bertanggungjawab semata-mata kepadanya.
Di bawah UUD 1945, norma
resmi dan kecenderungan tradisional menjadi berkesesuaian. Selama kekuasaan
yang sesungguhnya dianggap mengalir dan konsentrasi pusat dan bukannya dari
arah sekeliling yang tersebar, perilaku para menteri harus mencerminkan harapan
pusat bukan yang lain. Alasan yang sama membantu menjelaskan kasus-kasus di
mana banyak orang Jawa menerima munculnya dua rezim otoriter, Soekarno dan
Soeharto sebagai kelompok informal sangat kuat di luar struktur “legal formal”
birokrasi. Apa yang disebut “golongan istana” di bawah demokrasi terpimpin dan
SPRI presiden di bawah Orde Baru mencerminkan dapur kabinet penguasa,
agen-agen, dan pembantu pribadi. Kekuasaan besar yang mereka himpun dalam kenyataan
sama sekali tergantung pada kedekatan dengan pusat, sesuatu yang sangat dikenal
oleh seluruh administrasi politik elit.
Gaya
kepemimpinan Soeharto juga dapat dijelaskan dalam istilah “praetorian” di mana
para opsir militer menjadi “aktor politik utama” yang lebih berkuasa disebabkan
oleh kekuatan nyata atau ancaman kekerasan. Istilah praetorian ini diambil dari
Garda Praetoria Kerajaan Romawi yang dibangun untuk melindungi kaisar dan
mengendalikan proses penunjukan penggantinya. Sebagaimana ditulis Nordlinger,
praetorianisme atau intervensi militer timbul dalam berbagai situasi kudeta,
terutama ketika para opsir itu sendiri mengambil kendali pemerintahan. Dalam
kasus-kasus semacam ini, rezim sipil diubah menjadi rezim militer. Meskipun
sejumlah tokoh dan kelompok sipil tertentu sering mendapat kedudukan bagus
akibat pengaruh politik.
Sifat
praetorian memberikan berbagai gambaran diri mereka sebagai para perwira
bertanggungjawab dan patriotik yang melakukan intervensi ke dalam urusan sipil
menolak bertanggungjawab kepada konstitusi dan bangsa. Mereka mengambil
tanggung jawab sendiri dan menyatakan bahwa konstitusi telah diperkosa atau
kepentingan nasional telah dikhianati, maka intervensi dibenarkan. Alasannya,
pihak militer mempunyai tanggung jawab khusus, yaitu “suatu tugas mendesak
melampaui kewajiban mereka kepada otoritas yang ada.” Menurut Nordlinger, hal
ini merupakan dasar pokok alasan umum praetorianisme.
Indonesia
dalam masa Orde Baru menunjukkan banyak – jika bukan semua – karakteristik yang
digambarkan oleh Nordlinger dan cocok dengan apa yang ia gambarkan sebagai
penguasa praetorian. Pada saat yang sama, terdapat sejumlah gambaran yang
membuat pengalaman Indonesia menjadi unik. Dalam satu hal, hak militer
melakukan partisipasi dalam urusan non-militer dapat dilacak kembali ke dalam
masa revolusi yang memberikan ilham setengah mistik yang disebut-sebut tadi.
Sebagaimana disebut Anderson, “bahkan berbeda dengan rezim Pinochet di Chili,
rezim Orde Baru mencengkram kuat hingga tidak ada prosepek kembalinya penguasa
sipil atau pemulihan pemerintahan parlementer.” Dalam hal lain, tipe penguasa
praetorian di Indonesia adalah pemusatan luarbiasa pada sosok Soeharto serta
sejumlah kecil tokoh kunci di lingkaran dalam.
Sejumlah
kecil tokoh kunci yang kemudian menjadi kelompok inti berada dalam orbit di
sekitar Soeharto dan ia mampu memanipulasi mereka sedemikian rupa sehingga
membuat mereka menjadi tidak bersatu, tetapi saling berlomba satu sama lain.
Dengan keterampilan tingkat tinggi dalam memainkan seorang “pangeran” melawan
pangeran lainnya dan percaya akan perlunya suatu “ketegangan kreatif” di antara
para pembantunya. Soeharto menerapkan gaya divide et impera, pecah belah
dan kuasai. Dengan cara itu, maka mereka yang berpotensi menjadi rivalnya, secara
efektif menjadi lemah sementara posisinya sendiri diperkuat.[25]
Untuk
mengetahui bagaiama struktur kekuasaan raja itu dijalankan oleh Soeharto, maka
tidak mungkin melupakan pembahasan tentang konsep kekuasaan dalam kultur Jawa,
dan bagaimana nilai-nilai itu disebarkan oleh rezim Orde Baru Soeharto
Konsep
Kekuasaan Dalam Kultur Jawa
“Beliau
adalah yang Mahasempurna yang jadi raja di dunia seperti para nabi zaman
dahulu”. Dengan kata-kata itulah Susuhunan Pakubuwono IX melukiskan Sultan
Agung, Raja Mataram di abad ke-17. Seakan-akan nenek moyangnya yang mashur itu
adalah titisan para nabi, atau mungkin adalah titisan Tuhan sendiri. Tentu
ketuhanan menitis pada raja tidak secara badaniah, tetapi secara spiritual.
Artinya, raja adalah penerima wahyu Tuhan yang terkenal sebagai wahyu
kedaton.[26]
Memang
legitimasi raja Jawa sering didasarkan pada wahyu yang diterimanya. Konsep ini
lebih dominan daripada konsep legitimasi berdasarkan hak-hak lain, misalnya
keturunan. Konsep wahyu di satu pihak, menjelaskan kekuasaan mutlak raja dan
menganggap perlawanan terhadapnya sebagai perlawanan terhadap Tuhan.Terutama,
kebanyakan ajaran mistik yang berorientasi kraton menekankan penghormatan pada
tatanan hierarkis negara sebagai langkah awal seseorang menuju “Tuhan”. Jika
seseorang berbakti kepada rajanya maka ia berbakti kepada Tuhan, begitu juga
sebaliknya. Karena, dibimbing oleh ilham kekuasaan supranatural itu, raja
menjadi tidak bisa salah, dan melalui legitimasi itu ia mengajarkan perintah-perintah
bijak bagi para kawulanya. Raja dipandang sebagai sesuatu yang dalam pengertian
tertentu bersifat kedewaan sehingga sebagai figur supra-manusiawi itu, ia
berhak memperoleh penyembahan dan pelayanan dari semua penduduk kerajaannya,
bahkan para pendeta.[27]
Legitimasi
ketuhanan itu menjadikan raja berada pada puncak piramida atau lebih tepatnya
di pusat konstelasi sosial. Dalam pandangan tradisional Jawa, para raja
dianggap sebagai anasir mistik paling digdaya di muka bumi, dipandang sebagai
wadah potensi kosmis. Kekuasaan duniawi mereka mencerminkan karisma mereka,
sebagaimana ditunjukkan kemampuan mereka menerima mandat supranatural atau
wahyu untuk berkuasa. Wahyu itu menjadi pertanda benderang bagi keberkaitan
mereka dengan – dan konsentrasi – kasakten (potensi kosmis). Yang
dianggap memancarkan kekuatan magis. Sebagai pusat kerajaan, raja adalah poros
atau paku (paku alam atau paku buwono), tempat segala
sesuatu yang lain bergerak berputar di sekitarnya. Posisinya yang diam, tidak
bergerak membuktikan bahwa ia memang mengendalikan segala sesuatu. Sebagai sosok
yang memiliki kesaktian, orang harus tunduk dan memberikan hormat kepadanya.
Raja melambangkan kesatuan kerajaan dan semua yang ada di dalamnya, tidak ada
bandingannya, tidak ada yang sejajar di sisinya. Ia merupakan perwujudan
negara, melampaui keanekaragaman dan membaurkannya dalam keutuhan dirinya yang
tidak terurai. Bertindak atau berbicara menentangnya adalah memberontak,
berdosa dan pantas dihukum.[28]
Istana-istana
dibangun sebagai gambaran model kosmos, menyimbolkan kedudukan raja di dunia
selaku pusat semesta.[29]
Sebuah kraton yang mencerminkan tatanan kosmos, menjadi pusat panutan yang
memancarkan berkah ilahiah bagi kerajaan dan penduduknya dan dalam tradisi
kraton, pelembagaan produksi dan distribusi nilai-nilai dan simbol-simbol ada
di bawah patronase raja. Dalam lembaga keabdidaleman ditampung berbagai
macam pekerjaan kreatif dari penciptaan karya-karya sastra sampai keseniam
representasional.[30]
Namun,
kekuasaan yang sangat mutlak itu juga menyimpan bahaya laten. Kekacauan dalam
bentuk konflik terbuka, protes, atau pun kecaman mencerminkan kelemahan
sehingga tidak dapat dibiarkan. Kekacauan dipandang bahwa sang raja tidak lagi
memiliki legitimasi supranatural yang mampu mengendalikan dan menertibkan para
pengikut dan kawulanya. Keadaan tersebut membahayakan kharismanya dan raja yang
tidak lagi dihormati berarti diragukan kewibawaannya, wataknya, dan
kemampuannya.
Sementara
bagi rakyat, harga diri dan reputasi sangat erat terkait. Konflik atau prilaku
berontak yang diketahui umum adalah sesuatu yang sangat tabu dan tidak disukai.
Karena perbuatan itu tidak hanya berpotensi mencoreng status keluarga, tetapi
juga menunjukkan bahwa keadaan seseorang sedang tidak stabil, tidak bersatu,
dan tidak dalam keadaan serasi sebagaimana seharusnya. Oleh karena itu, orang
selalu terdorong untuk selalu dapat mengendalikan diri dan biasanya dilakukan
melalui praktik asketisme, karena berusaha menguasai diri merupakan hal yang
bijaksana.
Konflik
harus ditekan atau bila mungkin ditolak karena tidak ada mekanisme yang baik
untuk menyelesaikannya. Jika itu terlanjur meledak ke permukaan dan terus
berlanjut, maka penyelesaiannya hanya dapat dilakukan dengan perang, seperti
dalam lakon peperangan tiada akhir antara Kurawa dan Pandawa, di mana pihak
yang benar selalu menang dan dihalalkan membunuh lawannya, sehingga dengan
jalan itu, konflik akan terselesaikan. Kompromi juga tidak akan terjadi karena
setiap orang yang mau menyerah, sama artinya dengan kalah. Dengan kata lain,
konflik bukan diselesaikan, melainkan diakhiri. Persepsi tentang ancaman laten
ini membuat tekanan terus menerus untuk hidup secara rukun dan harmonis dapat
dipahami.[31]
Hans Resink menganut gaya ini dalam menilai gaya modern pemerintahan Soeharto.
Menurutnya, kita menyaksikan pemulihan kembali negara yang berpusat ke kraton,
dan dalam keadaan ini, kesempurnaan batin raja berkaitan erat dengan
kemampuannya menjaga ketertiban. Resink juga meyakini bahwa epos Ramayana mengandung
mitos yang menimbulkan motivasi dan bahwa pembunuhan massal beberapa tahun
sebelumnya merupakan perwujudan Bharatayuda, perang untuk mengakhiri
segala macam perang, dari siklus Mahabarata.[32]
Seorang
raja yang menjaga wahyunya dengan cara konsentrasi mistis harus mewujudkan
keadaan yang lebih baik dalam kekuasaan duniawinya. Begitu pula dengan upaya
mistik pribadi dimana aspek luar (lair) harus dikondisikan oleh aspek
dalam (batin). Spiritualitas dan hubungan batin yang berlangsung antara
kosmos dan masyarakat menjadikan – dan menyebabkan – kondisi kekinian manusia.
Tatanan
kehidupan dan kosmos dipandang sebagai suatu hierarki spiritual. Kekuasaan dan
keningratan duniawi secara harfiah dipandang lebih dekat kepada kebenaran.
Dengan demikian, berada pada kedudukan yang lebih menguntungkan dalam
berkomunikasi dengan kekuatan-kekuatan lebih tinggi dibanding dengan manusia
rendahan yang menyandarkan diri pada hubungan dengan bumi untuk penghidupannya.
Tak perlu dijelaskan kalau sistem hierarki menjadi tulang punggung
masyarakat istana. Dengan raja di puncak dan berada di istana sendirian dengan
segala kelengkapannya. Hirarki ini memperhitungkan peringkat dan status
berdasarkan jarak dari sang penguasa. Dalam batasan demikian, inilah sebuah
masyarakat yang syarat dengan personalisasi di mana orang dikenal dan juga
dipersamakan dengan posisi yang mereka duduki dalam hierarki itu. Untuk
merangkak ke atas, sikap yang dibuat-buat dan sanjungan, intrik dan
persekongkolan adalah cara-cara semacam itu betul-betul merangsang pengendalian
etiket, tata cara yang bagus, dan gagasan tentang ketertiban dan keselarasan.
Semua itu menjadi ciri khas gentelment priyai yang luhur.[33]
Dalam
lingkungan yang sedemikian memikat perasaan dan emosi, maka suatu arah kepada
kenyataan yang biasa dan konkrit hampir tak dapat diharapkan; tujuan perjuangan
dan cita-cita tak perlu dicarikan di dalam dunia ini. Identitas seseorang
ditentukan oleh keluarganya, oleh agama atau alirannya, atau oleh orang-orang
dari kampung halamannya. Dalam golongan seperti itu, kerukunan merupakan norma
tertinggi, dan orang-orang sangat tidak suka dengan macam-macam organisasi dan
tujuan-tujuan yang terletak di luar lingkup mereka. Tujuan-tujuan semacam itu
akan menimbulkan ambisi perseorangan dan mengancam keselarasan komunitas.
Sangat dipentingkan agar dalam kelakuan mereka semua seragam, dan keragaman
tersebut dijamin oleh sebuah sistem kontrol sosial yang ketat. Tujuan paling
luhur dalam hidup ini adalah keselarasan dengan alam semesta, dan
golongan-golongan yang merupakan inti kehidupan merupakan sarana bagi keselarasan
tersebut. Itulah unsur-unsur hakiki dalam tata tertib sosial yang dikehendaki
oleh Tuhan, dan seperti seorang raja dan guru, maka keluarga, tetangga dan
dusun merupakan tahap-tahap pokok dalam perjalanan menuju Tuhan. Tidak patuh
terhadap unsur-unsur hakiki tersebut akan menimbulkan hukuman menurut hukum
karma, sedangkan ketaatan akan memajukan keselamatan pribadi dan masyarakat.[34]
Dalam
suasana ini, kepemimpinan hampir identik dengan kepemimpinan karismatis.
Seorang pemimpin adalah orang yang secara efektif ada hubungan dengan dunia
luar dan dengan alam gaib. Seorang pemimpin yang efisien atau seorang pemimpin
administrator tidak populer. Seorang yang hanya mengurusi kenyataan duniawi
semata, tidak akan menimbulkan reaksi, tetapi seorang yang menciptakan kerukunan,
seorang tokoh dengan karisma, dialah yang dapat menggerakkan rakyat.
Penalaran
mistik Jawa menarik kesejajaran dengan mitologi wayang dalam menjelaskan
peristiwa dan keadaan zaman sekarang. Ketika wakil-wakil golongan anarki
menduduki tampuk kekuasaan, kehidupan di bumi mengalami kekacauan. Sebaliknya
kedamaian dan kebahagiaan terwujud manakala kekuatan proketertiban berkuasa.
Kehidupan di bumi dikoordinasikan dengan kejadian-kejadian kosmis dan manusia
hanya bisa menerima hidupnya sebagaimana digariskan nasib. Oleh karena itu,
bagaimana pun juga, kehidupan di dunia ini tak lain dan tak bukan adalah
cerminan kondisi kosmis yang berlaku.
Akan
tetapi dengan renungan yang lebih dalam, hubungan itu akan menampakkan diri
dalam tampilan dua sisi. Ketika kondisi spiritual manusia tertata dan tenang,
saat ia tidak dituntun oleh gairah dan hasrat pribadinya maka kehidupan di muka
bumi akan adil dan makmur, pada gilirannya ini mencerminkan kosmos yang teratur
dan harmoni antara “Tuhan” dan manusia.
Sehingga
dengan renungan yang lebih dalam lagi, manusia sendiri yang memegang kunci bagi
keadaannya. Dalam mistisisme dan magi, ia bisa menghubungi golongan
proketertiban atau anarki. Pada dasarnya, kosmos itu netral secara moral dan
manusialah penyebab dari segala kondisinya sendiri.[35]
Manusia sendirilah penyebab dari kondisi di bumi karena moral dan perilaku
spiritualnya. Oleh karena itu, melalui latihan-latihan asketis seseorang
mempersiapkan diri untuk menjalin kontak dengan dunia supranatural yang akan
menuntun perilaku mereka.
Jika
manusia sebagai penyebab utama bagi kondisi kosmis, maka moral dan perilaku
spiritual harus diperhatikan. Pada zaman Orde Baru, pengawasan terhadap moral
dan perilaku spiritual menjadi tugas Pakem dan Kementerian Agama. Kementerian
itu juga harus membina ketekunan peribadatan agama-agama resmi karena jika
semua orang menaati perintah agama mereka, kehidupan dalam masyarakat akan
selaras. Inilah pemikiran mendasar tentang pentingnya moral dan tingkah laku
spiritual yang melahirkan kontrol ketat dari penguasa.
Ideal
mistik tentang kesatuan dan harmoni antara manusia dengan Tuhan hadir sebagai
model bagi hubungan antara manusia dan masyarakat. Upaya mencapai keselarasan
dan pemeliharaan ketertiban adalah anasir yang menonjol. Gagasan kesatuan
menyiratkan keteraturan. Hasrat, ambisi, dan nafsu pribadi dianggap mengancam
harmoni, sampai-sampai timbul pemikiran bahwa “berkorban demi harmoni sosial
akan mengantarkan pada pahala tinggi”. Seseorang lebih baik mengalah pada
masyarakat daripada mencoba memaksa kehendaknya. Etika sosial itu tercermin dalam istilah sepi
ing pamreh, rame ing gawe, mamayu hayuning bawono. Terjemahannya kira-kira
berbunyi “tidak mementingkan diri sendiri, rajin bekerja, dan memperindah
dunia. Rumusan ini dimaksudkan untuk mengontrol secara sadar nafsu seseorang,
tidak mementingkan diri, tidak dikendalikan oleh hasrat demi keuntungan
pribadi, sebab nafsu-nafsu itu mencegah pencapaian hal yang tenang (tatatenteram).[36] Untuk
mencapai tujuan itu, kehidupan sosial wajib diatur dan lebih sering dengan
kelewat ketat. Masyarakat harus dilindungi dari dorongan dan emosi
individu-individu yang tidak tahu aturan.[37]
Dalam
kehidupan sosial, keserasian seharusnya terjadi seperti dalam keluarga, dengan
kesadaran bahwa kepentingan bersama melebihi individu. Dalam kosmologi Jawa,
keluarga melebihi dunia moral yang diberi ciri saling memiliki kewajiban.
Pertama-tama, kewajiaban ini tidak sama antar individu. Inilah yang memberikan
landasan moral tentang adanya hierarki dan kewajiban seseorang untuk membimbing
dan memimpin yang lain. Orang yang lebih tua, guru, dan khususnya orang tua,
adalah pribadi yang sangat dihormati, menjadi pephunden, suatu kedudukan
yang layak bagi mereka karena perhatian, perlindungan, dan ajarannya. Sebagai
pengatur dan wakil kehidupan, orang tua memegang kedudukan setengah religius
yang dihiasi oleh ide bahwa menentang mereka merupakan dosa yang akan dihukum
oleh sangsi gaib yang tidak kentara (kuwalat).
Dengan
kata lain, keluarga adalah sebuah dunia moral dengan jenjang yang ketat yang
harus didasarkan pada asas solidaritas dan tentu saja bukan oleh kesetaraan.
Orang tua harus membimbing dan mengajar – sebuah kewajiban moral – sedangkan
kewajiban anak-anak adalah menerima dan mengikuti (nurut).
Konseptualisasi ini memberikan kunci bagi praktik dan teori kepemimpinan yang
diilhami oleh orang Jawa. Gambaran yang praktis ada pada militer atau sistem
feodal, di mana para pengikut (anak-anak) berkumpul di bawah panji-panji pemimpin,
dan kepadanyalah mereka diharapkan sangat loyal. Pemimpin adalah seorang bapak,
pelindung yang dapat dipercaya, harus dihormati, dan harus diteladani, yang
perilaku dan keinginannya merupakan perintah.
Gambaran
organisasi sosial ini berakar dalam keluarga dan meluas ke dalam masyarakat
secara menyeluruh. Agar maju dalam kehidupannya, seorang memerlukan patron,
pelindung di luar lingkungan rumahnya. Semua berbagi dalam kepentingan bersama;
jika pelindungnya tumbuh subur, demikian pula kliennya. Justru karena sifatnya,
patronase menjadi hierarkis sehingga ia cenderung mengikat orang menjadi satu
dalam ikatan pribadi dengan nilai moral dan material yang tidak sama, di mana
yang berada di tingkat lebih tinggi akan memperhatikan, sedangkan yang di bawah
akan taat dan menurut. Sambil membangkitkan perasaan kagum dan cinta, yang
lebih tinggi harus menunjukkan simpati terhadap yang lebih rendah.
Niels
Mulder melacak beberapa prinsip dasar kehidupan keluarga Jawa yang tampaknya
menjadi basis pemikiran elit politik mengenai kepemimpinan dan negara.
Sebagaimana tampak dalam pendidikan Pancasila yang berisi tentang ideologi,
meskipun tidak terlalu menyentuh pemahaman mengenai struktur keluarga, banyak
berbicara tentang fungsi dan peran negara sebagai perwujudan dan pelindung
keluarga nasional.
Dengan
membawa masuk asumsi keluarga yang terselubung, berfungsinya negara sebagai
sebuah keluarga besar dengan seorang bapak di pucuk pimpinanannya menjadi
jelas. Bapak Negara melindungi dan membimbing, sedangkan rakyat tunduk dan
mengikuti. Untuk menanamkam sikap yang diperlukan, maka negara sebagai bapak
yang baik, harus membimbing rakyat menjadi matang, menjadi anggota terhormat
dari keluarga bangsa, manusia Pancasila yang sejati. Dari segi kemanfaatan bagi
negara, ketertiban harus dipaksakan kepada penduduk yang tidak terorganisasi.
Jika tidak demikian maka mereka akan menjadi keras kepada dan tidak terkendali.
Oleh karena itu, sebagai pemimpin, seorang bapak dominan pengaruhnya[38]
Warisan
mentalitas lama itu secara substansial mempengaruhi struktur bangunan Indonesia
secara ideologis, seperti Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, persatuan dan kesatuan,
bahkan sampai pada dimensi konstitutif UUD 1945.
Bagi
Mulder, pemakaian Pancasila tampaknya merupakan sebuah kegandrungan yang lebih
dari sekedar mempertahankan kesatuan nasional atau semboyan bangsa yang
tersohor “Bhineka Tunggal Ika”. Di sini tercium ketakutan pada keragaman yang
tentu saja, bukan barang asing dalam rezim yang kental warna militernya.
Keanekaragaaman harus diatasi, persis seperti mistikus harus mengatasi
kebingungan yang ditimbulkan oleh inderanya, sampai akhirnya melebur dengan yang
satu.
Seperti
disebutkan diawal bahwa Soeharto dengan sangat kentara menggambarkan dirinya
dengan citra seorang raja Jawa yang tentu juga sangat terbawa dalam
sistem-sistem kulturan negara kerajaan tradisional. Oleh karena itu, proses
jawanisasi baik itu yang dilakukan secara sengaja atau tidak maupun disadari
atau tidak, pada faktanya itu sangat dominan.
Pada zaman kemerdekaan dan revolusi kita bisa menyaksikan permulaan
literature Pancasila dan slogan-slogan Soekarno menimbulkan kesan adanya usaha
untuk menguasai perpolitikan dengan memanfaatkan mantra-mantra sakti. Tak bisa
disangkal bahwa banjir formula bak mantra, semakin menggila di zaman Orde Baru.
Kemunculannya saja sudah diawali dengan kata bertuah Supersemar yang
mendatangkan berkah Tuhan Jawa, nenek moyang ras Jawa. Kata Super itu
bahkan menunjuk manifestasi ketuhanannya yang sempurna, Ismaya, kakak Dewa
Shiwa. Seperti dimaklumi semua orang yang akrab dengan wayang, Semar hanya
mendukung pemenang. Kata Supersemar itu sendiri tidak lain dan tak bukan adalah
akronim dari Surat Perintah Sebelas Maret, perintah Presiden Soekarno kepada
Jend. Soeharto untuk memelihara ketertiban dalam negeri. Sayangnya, tak seorang
pun pernah melihat dokumen tersebut sejak saat itu. Surat itu dipersiapkan
entah dari mana dan belum ditemukan kembali sampai sekarang, namun ini soal
kecil. Yang penting dalam hal ini adalah: sebuah formula sangat bertuah telah
mentahbiskan Orde Baru dengan pengertian Jawa tentang koordinasi dan koinsiden,
Supersemar adalah sebuah kebeneran sejati, bukan kejadian tak
sengaja. Dilengkapi dengan kenyataan bahwa orang-orang Jawa masa lalu telah
gemar menyusun semacam kronogram yang esoterik, candra sangkala, maka
sungguh musykil mempercayai bahwa ucapan yang nyaris seperti mantra itu adalah
produk dari kebetulan belaka.
Dalam proses stabiliasai lebih lanjut, Pancasila dan UUD 1945
menjadi pusaka keramat yang semakin berkembang dan tak bisa diganggu-gugat.
Keduanya sudah menjadi formula suci pelindung benda-benda dan yang
kepemilikannya melegitimasi rezim dan memberkati jalur yang dilayarinya.
Pancasila dan UUD 1945 menjadi seperti wahyu, sebuah mandate ketuhanan. Di atas
segalanya, ketika memiliki mantra-mantra yang jitu, seorang penguasa jadi tidak
bisa kalah. Jika melihat dari sudut pandang itu, terpikir oleh kita bahwa bukan
kebetulan apabila UUD RI memberi kepada presiden kekuasaan yang hampir mutlak.
Sangkan
paran (asal dan tujuan) sudah diketahui. Yang
diperlukan hanya mewujudkannya. Realitas yang nyata perlu di dorong, ditekan
dan dipacu. Ia harus diwujudkan melalui aktivitas yang dikenal dengan sebutan Pembangunan.
Pembangunan itu terdiri dari dua aspek; aspek dalam (spiritual) dan aspek
luar (material). Aspek kedua ini, komponen batiniah upaya nasional ini
bertujuan menciptakan kepribadian Pancasila. Manusia Indonesia seutuhnya, yang
menghuni sebuah masyarakat harmonis, stabil namun dinamis, senantiasa dibimbing
kepentingan bersama, dorongan-dorongan individual terhapus, ia aktif
mengusahakan manfaat bagi keuntungan semua orang, menjadikan negeri ini sebuah
tempat yang lebih baik dan lebih indah.[39]
Barangkali pemikiran semacam itu – barangkali memang murni
ideologis, namun jelas itu terpromosi kuat dengan kekuasaan. – adalah sebuah
pertanda jawanisasi kebudayaan Indonesia. Pada masa pasca-revolusi,
komandan-komandan daerah yang bermasalah dan membangkang – meskipun telah menjadi pahlawan pada masa revolusi –
juga disingkirkan, seringkali digantikan oleh perwira-perwira suku Jawa. Pada
waktu yang sama, pamong praja karir Jawa menggantikan pejabat-pejabat lokal di
daerah-daerah pemberontak. Akibatnya, daerah Minagkabau di Sumatra Barat
“merasa seperti daerah terjajah, di mana penduduk setempat tak lagi dipercaya
menduduki jabatan tinggi militer atau sipil”.[40]
Tidak heran kemudian muncul suara-suara yang
menentang pemerintahan pusat. Hassan Muhammad Tiro kemudian memproklamasikan
Republik Indonesia federal di berbagai bagian Negara pada 1960 untuk “melawan
diktator Soekarno di Jakarta, yang menerapkan kolonialisme Jawa terhadap
selusin lebih suku di Indonesia”. Sukut-suku tersebut, Tiro bersikeras, “bukan
memperjuangkan separatism melainkan murni demi hak memerintah diri sendiri yang
telah dirampas rezim Jawa Soekarno.”[41]
Oleh karena itu bagi Nelson, pembentukan semacam
kesatuan politis sebenarnya membahayakan, mengabaikan, atau membongkar dan
membentuk ulang hubungan-hubungan ekonomi dan budaya yang telah ada. Ekonomi
kolonial Jawa menjadi model, dengan fokus Negara-negara Barat yang mengimpor produk
kawasan tropis. Wilayah lain yang sebelumnya berorientasi ke Singapura (dan
dalam skala yang lebih kecil, Penang) dan terintegrasi ke dalam perdagangan
antarnegara lewat pelabuhan ke Singapura, dipaksa meniru pola Jawa.
Keseluruhannya tidak diciptakan dari nol; tapi sejak awal sudah ada Negara yang
berpusat di Jawa, dengan tambahan dari luar. Pola itu punya dampak khusus bagi
Indonesia kawasan Timur, karena mambuat Indonesia Timur tidak lagi mendapat
kontak dunia luar, sehingga kawasan tersebut “kelak menjadi danau Belanda”.
Sifat-sifat Negara yang menyebabkan perubahan keadaan itu akan bertahan lama:
Negara kuat, sangat terpusat, sangat birokratis, diatur dari dan dibentuk
berdasarkan pengalaman Jawa. Hal tersebut juga dapa dilihat secara lebih jauh pada
konsep awal tentang kraton sebagai pusat kosmis atau mandala. Konsekuensi dari
sistem ini adalah pengaruh ataupun perhatian penguasa akan semakin meluruh
seiring dengan jarak sebuah daerah dari pusat kosmis atau kraton.
Kiranya itulah yang dipikirkan Hendrikus
Colijn, anak didik van Heutsz, yang menolak pemikiran inklusiv-unitaris tentang
kemungkinan lahirnya Hindia Timur Belanda sebagai sebuah Negara modern model
Barat. Ia menganggap bahwa budaya, masyarakat, dan identitas lokal Hindia perlu
dipelihara. Dan jika tidak, kecenderungan generalisasi bakal membuat seluruh
Hindia tunduk kepada orang Jawa. Sebagaimana ditulis Nelson;
…Jawa
sebagai pusat memang berkah, tapi sekaligus kutukan; dengan menyatukan
orang dari segala penjuru, Jawa menumbuhkan kebersamaan, tapi pada waktu yang
sama juga mendominasi dan menghilangkan jarak serta sudut pandang yang
diperlukan untuk memahami keadaan baru dengan lebih baik…[42]
Jawanisasi juga mengemuka dalam pengangkatan Pancasila sebagai
ideologi resmi. Mulai tahun 1978, dengan gencarnya negara menyebarkan
penafsiran kelima Pancasila. Penafsiran tersebut menjadi pandangan dunia bangsa
Indonesia atau falsafah hidup yang memberikan arah bagi rakyat, bangsa, dan
negara. Dari pemikiran ini maka sangat logis bila tindakan yang menyusul adalah
dicetuskannya Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi segala macam kehidupan
terorganisir di negeri ini pada tahun 1985. Pancasila mengungguli agama-agama
dan ideologi politik tertentu. Semua orang diharapkan menjadi Pancasilais.
Semuanya akan dipersatukan dalam satu arus pemikiran. Bersatu padu mereka akan
mewujudkan masyarakat Pancasila, masyarakat yang didiami oleh Manusia Indonesia
Seutuhnya. Guna mewujudkan ambisi ini, negara segera melaksanakan propaganda
pandangan-pandangannya. Disekolah-sekolah, pelajaran Pancasila dijadikan
sebagai pendidikan moral - mata pelajaran wajib – di setiap jenjang pendidikan
hingga universitas. Tak ketinggalan, generasi tua juga harus ditempa dalam
mentalitas tersebut. Demi kemaslahatan mereka, sebuah upaya nasional
digalakkan, dikenal sebagai pemasyarkatan P4 (Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila). Semua orang yang bekerja pada negara harus mengikuti
penataran yang ditawarkan oleh program tersebut dan secara berkala harus
mengikuti penataran penyegaran.[43]
Keasyikan orang Jawa dengan ideal-ideal persatuan dan ketertiban –
seringkali tampil untuk makna yang sama
- bisa ditafsirkan sebagai kehendak untuk melarikan diri dari
keanekaragaman dan kebingungan. Persatuan dan ketertiban bermakna kedamaikan,
ketentraman, penguasaan, keberhasilan, dan kemakmuran. Pendeknya sebuah cara
hidup yang bermoral lagi beradab. Keadaan ini terancam oleh alam belantara yang
tak terkendalikan; dorongan dan kehendak pribadi yang belum dijinakkan; bujuk
rayu dunia roh; dan kehidupan di dalam perkotaan modern yang tak bernama.
Ada priode-priode historika ketika, betapa pun besarnya keinginan
rakyat untuk menjauhkan diri dari itu, mereka harus terperangkap dalam
pertikaian. Dalam periode-periode demikian, seolah-olah raja, pemimpin,
kehilangan wahyunya, mandat ilahiyahnya untuk memerintah. Ini mengakibatkan datangnya
“zaman edan” di mana orang digiring oleh nafsu dan ketamakan mereka, oleh
kehendak dan dorongan mementingkan diri tidak terkendali. Dari segi pandangan
modern, atau persaingan politik sengit, demonstrasi protes teramat gencar,
perang saudara dan kebencian, pertentangan agama, dan permusuhan sosial yang
tajam.
Untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif, dia mesti – lazimnya –
mampu mengatasi gejolak sosial demikian itu. Meski begitu, kemanjuran seseorang
adalah terutama sebuah sumber daya batin. Ini adalah persoalan mengerahkan
segala potensi melalui pengatasan gejolak dalam diri. Dengan demikian, praktik
ulung kebatinan dan kepemimpinan yang efektif adalah satu. Melalui pelatihan
sumber daya batin mereka, para pemimpin ideal bermaksud mengatasi nafsu, hasrat
badaniyah dan pamrih mereka. Begitulah sembari memunculkan kedisiplinan,
wawasan, kesabaran, ketabahan, dan ketenangan batin. Tenang sekali tanpa bisa
diusik, mereka memperlihatkan kekuatan batin dan ketajaman rasa mereka atau
indera keenam, dengan penguasaan dan antisipasi sebagai peristiwa. Jelas mereka
berlaku sejajar dengan skema besar kepastian, kodrat, secara alamiah mereka
menarik para murid dan pengikut.
Inilah gambaran orde baru yang memproyeksikan diri dalam
otobiografinya. Orde Barunya adalah keharusan historis di jalan Indonesia
menuju kesempurnaan. Orde ini beredar di sekeliling sosok Soeharto yang
menjiwai kenyataan itu adalah konsentrasi potensinya. Oleh karena itu, ia tidak
berutang pada siapa pun. Arsitek-arsitek terkemuka Orde Baru lainnya hanyalah
orang-orang yang ditarik oleh kekuatan batinnya. Mereka tak lebih dari antek
dan pengikut. Satu-satunya yang harus mendapatkan pengakuan positif hanyalah
legitimator dan pendahulunya, Soekarno. Dengan cara demikian, Soeharto berhasil
memproyeksikan diri sebagai semacam pangeran mahkota bayangan, sebuah gerakan
diam-diam dan mendesak dikoordinasikan melalui pristiwa-pristiwa di Indonesia
hingga Supersemar, sebagai kebeneran agung, mengangkatnya ke pusat
panggung sejarah. Mulai saat itu dan seterusnya, melalui keberhasilan dalam
menentramkan, melalui pembungkaman segala macam protes dan pembangkangan,
melalui pemberlakuan ketertiban, keamanan dan stabilitas, Presiden Soeharto
membuktikan bahwa ia memegang wahyu, mandat ilahiah yang mengesahkan kekuasaan
lebih dari yang diberikan parlemen, pemilihan umum, atau bangsanya.
Penutup
Warisan
kebudayaan kerajaan Jawa terlihat lestari dalam rezim Soeharto. Bahkan, ia
dengan sengaja mengidentifikasi kekuasaannya sebagai seorang raja generasi
penerus dari raja-raja masa lampau. Tidak ayal, hal itu juga mempengaruhi
konsepsinya tentang konstruk Indonesia yang terbaik. Rezim Soeharto kemudian
memproyeksikan berbagai langkah demi terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya,
dan ini tentunya sesuai dengan pandangannya tentang masyarakat ideal. Oleh
karena itu, menjadi Indonesia berarti menjadi sesuatu yang sesuai dengan sketsa
yang dibangun dalam pikiran Soeharto.
Sebagaimana
dalam konsepsi raja sebagai pusat konstelasi sosial dan keratonnya dilambangkan
sebagai pusat kosmis. Dalam sistem ini, pengaruh kekuasaan dan tentu juga perhatian
politik (pembangunan) sangat tergantu
pada jarak sebuah daerah dari pusat kosmis itu. Semakin jauh, maka semakin
kecil pengaruh kekuasaan dan semakin kecil upaya-upaya membagi jatah
pembangunan secara merata. Hal ini berdampak pada kesenjangan yang sangat
jomplang dalam berbagai bidang antara pulau Jawa dan pulau-pulau yang jauh.
Rezim
Soeharto mengidealisasikan kepemimpinannya seperti sistem kepemimpinan bapak
dalam keluarga Jawa. Sebagai seorang bapak (negara) ia memiliki kewajiban moral
untuk melindungi, mengajari sekaligus mengontrol – tak jarang sangat ketat –
anak-anaknya (rakyatnya). Ia juga menyusun sebuah cita-cita bagi masa
depan anak-anaknya, yaitu menjadi
manusia Indonesia seutuhnya (manusia Pancasilais).
Melenceng
dari apa yang telah digariskannya berarti memberikan celah untuk diklaim tidak
sejalan dengan konvensi sosial dan itu berari melanggar aspek moral
kesejahtraan dan ketentraman sosial dibangun. Dengan demikian, kita harus
bersedia didekte dan dikontrol secara sangat ketat. Hasrat subjektifitas harus
senantiasa ditekan karena ditakutkan merugikan kepentingan bersama.
▷ Casino site for beginners
BalasHapusCasino Site Review ➜ How Does the Site Works luckyclub and How Does The Casino Work? ✓ How Can you Trust the Website to Avoid Scams? ➜ Why Do Online Casinos Have