Kita
adalah bangsa yang paling tidak pantai bersyukur. Limpahan anugerah Tuhan dalam
bentuk sumber daya alam dan sumber daya hayati yang begitu besar ternyata tak
mampu dijaga dan dimanfaatkan secara baik dan bijak. Indonesia adalah negara
yang menduduki peringkat ketiga di dunia dalam hal luas hutan tropis. Namun,
dalam hal keanekaragaman hayati, Indonesia menempati peringkat kedua setelah
Brazil. Indonesia memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui (mammalia)
yang ada di dunia. Dari 515 spesies mammalia tersebut 36% di antaranya adalah
endemik, termasuk spesies-spesies langka seperti harimau Sumatera, badak
Sumatera dan Badak Jawa, dan juga orang utan. Indonesia menduduki peringkat
ketiga tertinggi di dunia dalam hal jumlah spesies reptil dan ampibi (16% dari
total dunia). Indonesia juga kaya dengan jenis-jenis burung dengan lebih dari
1.519 spesies dan menempati urutan ke empat dari total spesies burung di dunia.
Indonesia memiliki 25% spesies ikan dunia. Yang tidak kalah luar biasanya,
Indonesia ternyata menduduki peringkat pertama untuk keragaman kupu-kupu ekor
walet. Indonesia juga diperkirakan memiliki lebih dari 25.000 spesies tumbuhan
berbunga, 400 spesies meranti-merantian.
Namun demikian, keberadaan
hutan tropis di Indonesia dalam kondisi terancam. Konversi hutan menjadi lahan
perkebunan besar merupakan ancaman tertinggi terhadap keberadaan hutan tropis
Indonesia. Menurut data Kementerian Kehutanan Republik Indonesia laju kerusakan
hutan Indonesia antara 1985 – 1997 mencapai 1,7 juta ha per tahun dan mencapai
puncaknya sebesar 3,51 juta ha per tahun pada tahun 1997-2000, selanjutnya
menurun menjadi 1,08 juta ha per tahun antara 2000 – 2005. Luas tutupan hutan
tropis Indonesia pada tahun 2000 sebesar 94.867 kha mengalami penurunan menjadi
86.039 kha pada tahun 2010 atau sebesar 9,3%.
Indonesia yang pada akhir 1890-an dikagumi sebagai
paru-paru Dunia dengan Borneo sebagai sumber oksigen terbesar, kini terancam
penggundulan dan alih fungsi hutan yang memprihatinkan. Sebetulnya, konversi
hutan menjadi lahan tanam produksi kelapa sawit industri yang selama ini diduga
sebagai “pelaku utama” penggundulan hutan di Sumatra, tak lagi sendiri. Ada
beberapa faktor utama lain yang tak begitu diperhatikan.
Studi terbaru yang dirilis Mongabay,
lembaga periset dan pemerhati hutan menjelaskan bahwa setidaknya 10% dari
seluruh penyebab alih fungsi hutan adalah aktivitas manusia sehari-hari
(bercocok tanam/berkebun, membangun pemukiman dan jual-beli lahan). Greenpeace
yang selama ini gencar melakukan kampanye perlawanan terhadap penggundulan
hutan di Sumatra dan menentang pertambangan batu bara di sebagian selatan
Indonesia juga setuju bahwa industri kelapa sawit, kertas dan kayu tidak lagi
bermain sendiri di Sumatra dan Kalimantan.
FAO mencatat sebesar 51% atau 94.432.000 hektare lahan
Indonesia adalah hutan. Setengahnya adalah hutan primer dan sebanyak 3.549.000
hektare hutan perkebunan. Antara 1990 hingga 2010, Indonesia kehilangan 1,02%
luas hutan per tahun, yang berarti total penggundulan atau alih fungsi dalam 20
tahun terakhir sebesar 20,3%. Kementerian Kehutanan hingga tahun 2012 telah
mengeluarkan izin alih fungsi hutan seluas 342.709 hektare kepada industri dan
perseorangan (The Jakarta Globe, 7/8/2012). Dirjen Pemetaan Hutan Joko
Mulyono pernah mengatakan, izin alih fungsi hutan diutamakan untuk sasaran penanaman
tanaman produksi masyarakat dan pengembangan industri gula, meski ia tak
memungkiri bahwa sebagian besar pemohon alih fungsi ini adalah industri yang
mengolah minyak sawit.
Indonesia yang pada akhir 1890-an dikagumi sebagai
paru-paru Dunia dengan Borneo sebagai sumber oksigen terbesar, kini terancam
penggundulan dan alih fungsi hutan yang memprihatinkan. Tingkat alih fungsi
ataupun penggundulan hutan di Indonesia sedang disorot seksama oleh dunia.
Betapa tidak, Indonesia yang separuh wilayahnya terdiri dari hutan (primer dan
terkelola) menyumbang 18,7 miliar ton emisi karbon dan efek rumah kaca, hanya
satu tingkat di bawah Brasil di urutan pertama. Demikian data Food and
Agricultural Organization (FAO) melingkup termin waktu sejak 1990 hingga 2010.
Hutan Indonesia adalah harapan hidup untuk tidak
hanya manusia dan industri, tetapi juga kehidupan satwa dan flora yang beragam.
Sayangnya, tercatat sebesar 80% dari total luas lahan hutan gambut di Taman
Nasional Tripa, Aceh telah rusak dan mengancam populasi orang utan (Guardian,
14/2). Perburuan, perusakan sampai konflik antar-manusia berada di daftar
teratas ancaman keberlangsungan hidup orang utan Sumatra. Air hutan kering
karena industri, sementara pohon-pohon yang ditebang tak lagi menjamin
ketersediaan mineral cukup untuk 10 tahun mendatang. Pihak Sumatran
Orangutan Conservation Programme mengklaim, moratorium yang ditetapkan
pemerintah tak menjamin orang utan untuk tetap bisa hidup di hutan, nyaris
percuma.
Pusat Monitor Konservasi Dunia (WCMC) mencatat
Indonesia memiliki 3.305 (belum diperbaharui sejak 2011) spesies amfibi,
burung, mamalia dan reptil. Sebanyak 31,1% dari jumlah ini adalah satwa
endemik, yang berarti belum ditemukan di negara manapun, dan 9,9% terancam
punah. Wilayah tropis Indonesia juga merupakan rumah dari 29.375 spesies
tanaman vaskular, terdiri dari 59,6% flora endemik. Kesemua kekayaan
flora-fauna Indonesia ini sudah dilindungi oleh organisasi konservasi dunia
sesuai konsensus yang diratifikasi sejak beberapa dekade lalu.
Moratorium alih fungsi hutan yang disasarkan ke
industri-industri kelapa sawit dan sekawanan yang berskala besar hanya berlaku
dua tahun sejak 1 Januari 2011. Ini berarti, masa berlaku moratorium tersebut
telah habis pada 1 Januari 2013 lalu. Pemerintah masih kekeuh bahwa
perusahaan industri skala besar di Sumatra dan Kalimantan akan komitmen pada
janji mereka untuk melakukan program penanaman dan penghijauan di setidaknya
setengah lahan industri dalam termin-termin yang disepakati. Namun nyatanya
tidak semua seperti itu. Dengan moratorium yang belum diperpanjang ini, hutan
di Sumatra dan Kalimantan kembali akan menyambut industri-industri yang sudah
punya alasan kuat mengapa mereka menunggu selama dua tahun yang “tidak
produktif”.
Sebagai negara yang memiliki luasan hutan hujan
tropis terbesar ketiga di dunia, Hutan alam Indonesia dihuni oleh berbagai
spesies endemik dimana Indonesia memiliki 10% dari hutan tropis dunia yang
masih tersisa. Alam Indonesia merupakan peringkat ke tujuh dalam keragaman
spesies tumbuhan berbunga, memiliki 12% dari jumlah spesies binatang
menyusui/mamalia (36% diantaranya spesies endemik), pemilik 16% spesies
binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung (28% diantaranya spesies
endemik), 25% dari spesies ikan dunia 121 spesies kupu-kupu ekor walet di dunia
(44% di antaranya endemik), spesies tumbuhan palem paling banyak, kira-kira 400
spesies 'dipterocarps', dan kira-kira 25.000 spesies flora dan fauna1, meskipun
luas daratannya hanya 1,3 persen dari luas daratan di permukaan bumi.
Pada tahun 1999, Pemerintah Indonesia dan Bank
Dunia bekerjasama melakukan pemetaan ulang pada areal tutupan hutan. Menurut
survei 1999 itu, laju deforestrasi rata-rata dari tahun 1985-1997 mencapai 1,7
juta hektar. Selama periode tersebut, Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan
mengalami deforestrasi terbesar. Secara keseluruhan daerah-daerah ini
kehilangan lebih dari 20 persen tutupan hutannya. Kemudian pada periode
1997-2000 deforestasi Indonesia meningkat menjadi 3,8 juta hektar per tahun.
Berdasarkan penelitian World Resouce Institute di tahun 1997, Indonesia telah
kehilangan 72% hutan asli yang ada pada awal abad ini. Berdasarkan penunjukan
kawasan hutan dan perairan Indonesia, saat ini luas hutan Indonesia adalah
109.961.713,28 hektar yang terdiri dari Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Perlindungan Alam
seluas 23.214.626,57 hektar, Hutan Lindung 29.037.397,02 hektar, Hutan Produksi
Terbatas 16.215.977,26 hektar, Hutan Produksi Tetap 27.823.177,43 hektar dan
Hutan Produksi Konversi 13.670.535,00 hektar.
Praktek Kelola Hutan Indonesia
Antara tahun 1985-1997, Indonesia secara
keseluruhan telah kehilangan lebih dari 20 juta ha tutupan hutan atau sekitar
17 persen dari kawasan hutan yang ada pada tahun 1985. Laju deforestasi di
Indonesia semakin meningkat, di mana pada tahun 1980-an laju deforestasi
rata-rata sekitar 1 juta ha pertahun, kemudian meningkat menjadi sekitar 1,7
juta pertahun pada tahun pertama 1990-an. Sejak tahun 1996, laju deforestasi
tampaknya meningkat lagi menjadi rata-rata 2-3 juta ha per tahun. Pada 1998 –
2000, tiap tahunnya tidak kurang dari 3,8 juta ha (FWI, 2001). Kerugain negara
tiap tahun mencapai tidak kurang dari 100 triliun. Berdasarkan data tersebut,
sejak periode 2001-2003, laju kerusakan hutan meningkat lagi menjadi 4,1 juta
ha per tahun dengan kerugian negara 110 triliun. Akar dari Permasalahan
tersebut lebih banyak dikarenakan overcapacity industri pengolahan kayu, sejak
awalnya, harga kayu bulat domestik yang terlalu murah, akibat kebijakan
pemerintah dalam sektor kehutanan dan industri kayu yang tidak tepat, dimana
lebih menguntungkan pengusaha disektor kehutanan ketimbang rakyat sekitar
kawasan hutan atau masyarakat pada umumnya. Melalui konsep dan praktek
pembangunan dengan menggunakan dana pinjaman asing dan hasil penjualan kekayaan
hutan (baca alam) di berbagai pulau demi pertumbuhan ekonomi nasional (Presiden
Suharto pada pidato peresmian Pasar Klewer Solo, 1971). Sejak saat itu
Pemerintah Indonesia melepas 64 juta hektare (ha) hutan Indonesia melalui HPH
kepada 500-an pengusaha swasta asing dan nasional, tidak hanya itu saja, lebih
dari 30 juta ha kawasan hutan diobral untuk dikonversikan menjadi perkebunan,
pertambangan dan lahan-lahan baru untuk pertanian monokultur yang diperuntukan
kepada ratusan perusahaan.
Penebangan hutan untuk industri (industrial
logging) yang tidak terkontrol selama puluhan tahun telah menyebabkan
terjadinya berkurangnya hutan tropis dalam skala besar. Ekspansi besar-besaran
dalam industri kayu lapis dan industri pulp dan kertas selama puluhan tahun
tahun terakhir menyebabkan permintaan terhadap bahan baku kayu pada saat ini
jauh melebihi pasokan legal. Kesenjangannya mencapai 40 juta meter kubik setiap
tahun. Banyak industri pengolahan kayu yang mengakui ketergantungan mereka pada
kayu curian, jumlahnya mencapai 65 persen dari pasokan total pada 2000.
Korupsi dalam pengelolaan hutan
Pada tahun 2006, Human Rights Watch membuat
laporan tentang korupsi di sektor kehutanan Indonesia yang diberi judul “Dana
Liar : Konsekuensi Pembalakan Liar dan korupsi di Sektor Kehutanan Indonesia pada Hak Asasi Manusia”, dalam
laporan tersebut disebutkan bahwa antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2006,
lebih dari setengah kayu tebangan Indonesia merupakan hasil dari pembalakan
liar dan luput dari pajak. Subsidi siluman, termasuk penetapan harga kayu dan
nilai tukar mata uang yang oleh pemerintah sengaja dipatok lebih rendah dari
harga riil dan penghindaran pajak oleh eksportir dengan taktik yang dikenal
sebagai “harga transfer” semakin memperbesar kerugian yg ada. Dengan menggunakan
metode yang sama yang digunakan oleh industri kayu serta memperbandingkan
dengan seksama antara konsumsi kayu Indonesia dan pasokan kayu resmi, maka
didapat total kerugian yang menggerogoti kas negara Indonesia pada tahun 2006
sebesar 2 milyar US Dollar.
Angka kerugian sebesar 2 milyar US Dollar yang
hilang setiap tahun antara 2003 sampai dengan 2006 tersebut sama nilainya
dengan gabungan seluruh alokasi anggaran untuk kesehatan Nasional, Provinsi dan
Kabupaten di Indonesia. Nilai kehilangan tahunan ini juga sama dengan
perhitungan Bank Dunia terhadap anggaran yang cukup untuk memberikan layanan
dasar kepada 100 juta penduduk miskin selama hampir 2 tahun. Dan Indonesia sendiri
merupakan salah satu negara di Asia dengan anggaran kesehatan perkapita
terkecil bahkan jika dibandingkan dengan negara yang memiliki GDP lebih rendah.
Salah satu kasus terbesar illegal logging di
Indonesia namun tidak pernah dituntaskan adalah kasus illegal logging 14
perusahaan HTI di Riau, dimana kasus yang merugikan negara trilyunan rupiah itu
menguap dengan adanya SP3 dari pihak kepolisian. Berkaca pada kasus ini nampak
jelas bahwa pada level pemerintah, upaya untuk penyelamatan hutan di Indonesia masih
pada tataran wacana.
Perkembangan Pembangunan (Industri) Kehutanan
Indonesia
Berdasarkan study IWGFF, Perkembangan industri
pulp di Indonesia pesat selama dua puluh tahun terakhir, meningkat dari 0.5
juta ton pada tahun 1987 menjadi 6.5 juta ton pada tahun 2010 dengan kebutuhan
bahan baku sekitar 30 juta m3 setiap tahunnya4. Dari 7 perusahaan pulp di
Indonesia, kurang lebih 4 juta ton diantaranya dikuasai oleh PT Indah Kiat Pulp
and Paper dan PT Riau Andalan Pulp and Paper di Riau5, dan selama lima tahun
terakhir ternyata sumbangan bahan baku dari hutan alam kepada industri pulp
rata-rata pertahunnya sebesar 54 persen, dan sisanya pasokan bahan baku dari
hutan tanaman. Besaran
Gap antara supply dan demand atas kayu yang berakibat pada praktek-praktek
illegal untuk mendapatkan kayu dari hutan tidak
dijadikan dasar bagi kebijakan pemerintah saat ini untuk menata ulang pola
produksi sektor kehutanan. Untuk pemenuhan kebutuhan kayu, saat ini, ada 210
unit perusahaan HTI dengan izin definitif mencapai 8,83 juta ha. Selain itu, ada
25 unit yang sudah mendapat izin prinsip (sebanyak 484.000 ha) dan yang dalam
tahap pencadangan sebanyak 49 unit seluas 2,7 juta ha, dg kata lain ada 11,53
juta ha kawasan HTI. Namun realisasi tanam dari HTI tersebut sangat kecil,
dimana dari ijin seluas 1,55 juta ha yang diberikan pada kurun waktu 2008,
realisasi tanam hanya 63.233 ha6.
Sementara itu, berdasarkan realisasi penanaman
HTI dari 1990-2008 luas areal HTI yang sudah ditanam seluas 4,292,222 hektar.
Angka tersebut menunjukan angka kumulatif total luas areal HTI yang sudah
ditanami sejak awal pembangunan HTI. Sampai tahun 2008 berdasarkan daur tebang
7 – 10 tahun, data realisasi penanaman HTI ini sudah memasuki daur kedua atau
ketiga. Artinya sudah ada pemanenan/penebangan sesuai daur penebangan. Oleh
karena data real luas tanaman yang saat ini ada (existing) belum bisa dipastikan.
Namun dengan menggunakan asumsi daur tebang 7 tahun maka berdasarkan data
realisasi tanam, HTI 2002 – 2008 dapat diperkirakan seluas 1,414,329 Ha7. Apabila
kita melihat pada rajinnya Kementerian Kehutanan memberikan izin pinjam pakai kawasan
hutan dimana sampai dengan bulan Mei 2010 yang lalu telah diberikan izin untuk 184
unit HTI dengan luasan sekitar 149,5 ribu hektar.
Ditahun 2011 Kemenhut mencadangkan 9,1 juta ha
untuk HTI dari 35,4 juta ha kawasan yang dianggap Kemenhut sebagai kawasan
terdegedrasi. Ditahun 2011 Menteri Kehutanan telah menerbitkan ijin definitif
bagi 12 investor HTI seluas 373.308 hektar. Dengan demikian maka kawasan hutan
alam yang dirubah menjadi kawasan hutan monocultur semakin besar sementara
produktivitasnya sampai saat ini masih rendah. Pemberian insentif yang berlebih
di sektor industri kehutanan tersebut berdampak pada malasnya pengusaha untuk
mendorong produktivitas dari hutan tanaman dan semakin mengandalkan pada
penebangan hutan alam sebagai penyedia bahan baku industri-industri kehutanan.
Problem Berkelanjutan di sektor Kehutanan
Dari tahun ketahun, problem dasar sektor
kehutanan hampir sama, dimana terjadi tumpang tindih perijinan di kawasan hutan
yang menimbulkan konflik baik itu konflik vertikal maupun konflik horizontal.
Konflik tersebut semakin meruncing dimana tidak ada jatah untuk masyarakat
dalam pengelolaan hutan, sampai dengan tahun 2010 ini terdapat 19.420 desa di kawasanan
hutan di 32 provinsi; Di dalam Kawasan Hutan Lindung 6.243 desa; Di dalam Kawasan
Konservasi 2.270 desa; Di dalam Kawasan Hutan Produksi 7.467 desa; Di dalam Kawasan
Hutan Produksi Terbatas 4.744 desa; Di dalam Kawasan Hutan Produksi Konversi 3.848
desa. Sampai dengan tahun 2010, ada 22,5-24,4 jt Ha konflik (klaim)
desa/kampung atas kawasan hutan. Disisi lain Izin pinjam pakai kawasan hutan yg
terdaftar di Kemenhut sampai dengan bulan Mei 2010 tercatat telah diberikan
izin untuk 184 unit kegiatan usaha. Fakta kekacauan penetapan kawasan hutan
dapat dilihat dari kasus kawasan transmigrasi Desa Sungai Deras, Kecamatan
Teluk Pekadai, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, dimana kawasan yg dihuni
sekitar 4000 keluarga transmigrasi tersebut dimasukan ke dalam peta kawasan
hutan lindung gambut berdasarkan SK Menhut nomor 259 tahun 2000.
Padahal sejak tahun 1954 kawasan tersebut sudah
menjadi kawasan transmigrasi. Bila kita lihat pada tabel 1 diatas, perbandingan
antara penyediaan kesempatan untuk partisipasi masyarakat dalam pengusahaan
kawasan hutan sangat rendah dimana alokasi untuk partisipasi masyarakat
masih sangat jauh dibandingkan untuk pengusaha atau swasta besar.
Pengelolaan hutan berbasis keadilan dan
lokalitas
Dalam berbagai kesempatan selalu disebutkan
bahwa kepentingan rakyat merupakan salah satu hal yang diperjuangkan pemerintah
dalam pembangunan, namun melihat dari berbagai regulasi dan kenyataan yang ada,
fasilitasi kepentingan rakyat yang hidup dalam kawasan maupun dipinggiran
kawasn hutan masih sangat minim ditambah rumit dan sulitnya rakyat secara
langsung untuk mengakses berbagai skema model kelola yang ditawarkan oleh pemerintah
melalui Kementerian kehutanan menimbulkan ketimpangan baru. Pengalaman memfasilitasi
beberapa desa untuk mengakses skema kelola Hutan Desa memberikan gambaran
betapa lemahnya dukungan aparatus ditingkat pemerintah terhadap hal ini, alasan
utama yang hampir selalu terlontar dari aparatus kehutanan adalah ketidak
percayaan mereka akan kemampuan masyarakat untuk mengelola hutan, mereka lebih
yakin bahwa apabila hutan dikelola oleh perusahaan maka akan mendatangkan
keuntungan besar, dan rakyat cukup hanya menjadi buruh-buruh
diperusahaan-perusahaan tersebut.
Minimnya dukungan ini memperlihatkan betapa
terbelakangnya paradigma aparatus pemerintah dan minimnya pengetahuan mereka
tentang kondisi dan kenyataan di tingkat lapang. Dari sini bisa kita
lihat bahwa kesenjangan yang terjadi justru ditimbulkan oleh kebodohan aparatus
pemerintah, pemiskinan secara sistematik terjadi karena model kelola yang
berkeadilan tidak menjadi dasar dalam tindakan dan pemikiran pengelolaan hutan secara
lestari dan berkeadilan. Pengarus utamaan korporasi sebagai tulang punggung pengelola
kawasan hutan merupakan kecelakaan berpikir yang fatal karena terbukti sejak awal
ketidak mampuan korporasi mengelola hutan secara lestari. Data yang dilansir
oleh APHI menunjukan bahwa saat ini dari sekitar 80 juta hektar kawasan hutan
produksi, 28 juta hektar merupakan kawasan kelola HPH dimana ada sekitar 300
HPH yang menguasai kawasan tersebut namun dari sekian besar jumlah HPH
tersebut, hanya sekitar 50% saja yang masih aktif. Sementara itu terdapat 52
juta hektar kawasan hutan produksi yang belum dibebani hak namun keberadaannya
tidak diketahui secara pasti, maksudnya sejauh ini belum ada inventarisasi yang
mendalam untuk bisa menggambarkan kondisi dan situasi kawasan tersebut.
Kecenderungan semakin berkurangnya HPH dan
terpuruknya HPH di Indonesia mengidentifikasikan bahwa kemampuan daur produksi
dari HPH dari tahun pertahun semakin berkurang. Terlebih bila kita mengacu pada
HPH-HPH besar di masa orde baru yang hampir semuanya sekarang tiarap. Dan
kegagalan kelola hutan berbasis korporasi ini tidak pernah menjadi pembelajaran
yang berarti. Dari sekitar 32 juta hektar kawasan eks HPH, saat ini sekitar 10
jutanya dikelola oleh Hutan Tanaman Industri, yang sebagaimana penuturan di atas
memiliki tingkat produktivitas yang rendah.
Moratorium sebagai solusi
Mendorong penyelamatan hutan lewat
komersialisasi hutan dengan mendorong swasta sebagai motor utama melalui
pemberian IUPHHK-RE atau dikenal juga dengan nama HPH Restorasi Ekosistem
justru akan semakin memperparah kompleksitas permasalahan kehutanan Indonesia,
demikian juga dengan mendorong skema-skema mitigasi perubahan iklim yang
berbasiskan pada pasar serta carbon offset. Sistem dan mekanisme yang dibangun
dalam skema mitigasi ini tidak dilandaskan atas kebutuhan mendasar penyelamatan
hutan dan distribusi kesejahteraan warga. Skema yang dibangun lebih mendorong
pada memfasilitasi kebutuhan negara-negara industri untuk tetap bisa membuang
emisi dan mengotori bumi. Dan kedua hal tersebut justru memperparah
permasalahan kehutanan di Indonesia. Jalan satu-satunya untuk mencegah
kekacauan dan membesarnya kerusakan hutan di Indonesia adalah dengan melakukan
Moratorium penebangan hutan alam dan konversi hutan.
Moratorium pemberian ijin baru dan konversi
hutan atau Jeda Tebang adalah berhenti sejenak dari aktivitas
penebangan dan konversi hutan. Tujuannya adalah untuk mengambil jarak dari
masalah agar didapat jalan keluar yang bersifat jangka panjang dan permanen. Jadi
dampak yang diharapkan dari sebuah moratorium tidak dampak sesaat tetapi jangka
panjang, dampaknya juga harusnya meluas dan memberikan jaminan terhadap
penyelesaian problematika sektor kehutanan yang kompleks sehingga moratorium
tidak bisa dilakukan dengan hanya dua tahun tanpa ada prinsip dan kriteria yang
menjadi pijakannya. Dukungan terhadap moratorium hendaknya juga dilakukan oleh
korporasi dengan membuat rencana kerja jangka panjang selama proses moratorium
berlangsung. Dimana asumsi yang digunakan oleh korporasi harusnya mengacu pada
kondisi dimana ada keharusan untuk tidak menggunakan hutan alam sebagai bahan
baku dan tidak ada konversi selama proses itu berlangsung. Dengan jeda, seluruh
kepentingan bisa dipinggirkan terlebih dahulu untuk kemudian permasalahan
didalam tata kelola dan kebijakan yang tumpang tindih bisa diperbaiki. Demikian
halnya dengan penyelesaian konflik, peraturan perizinan dan sistem kelola hutan
rakyat bisa dilihat secara lebih jernih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar