Sabtu, 19 Agustus 2017

Albert Camus

Para sastrawan memang punya gaya sendiri, begitu pula Albert Camus. Karya-karya kamus menarik, menurut saya, karena ‘kesederhanaan’ dalam aspek-aspek sentimentalitasnya. Camus tidak terobsesi untuk membubuhkan didaktisme dalam karya-karyanya, tokoh-tokohnya ditampilkan sebagai manusia sehari-hari, tak ada heroism, muatan-muatan ideologi, nilai-nilai agung, atau pun prinsip-prinsip luhur yang dibebankan dalam karya-karyanya.
Camus memang sengaja menghilangkan tendensi untuk menghadirkan manusia (narasi) besar. Mersault dalam L’Etranger (Orang Asing) atau dr. Rieux dalam Le Peste (Sampar) misalnya, adalah tokoh anti-hero. Mersault diletakkan dalam peran yang sederhana sebagai protagonis, yakni menghadiri pemakaman ibunya, membunuh secara seorang Arab, dan menjalankan hukuman mati. Begitu pula dengan karakter dr. Rieux yang bekerja untuk para penderita sampar.
Manusia Camus yang tergambar dalam karakter tokoh-tokohnya adalah tema atau suara-suara kecil yang menghancur-leburkan tendensi untuk menemukan totalitas, tatanan besar, moralisme berpretensi, dan segala pemikiran bersistem. Camus tidak mengajari atau memperdengarkan ide-ide, tapi kita melihatnya. Misalnya, dr. Rieux tidak menghutbahkan ide-ide dalam mengorbankan dirinya membantu para penderita sampar yang sangat mungkin membunuh sang dokter.
Tokoh-tokoh dalam karya-karya Camus ditampilkan begitu saja dan mereka tidak juga dibebankan embel-embel yang memberatkan. Camus menampilkan tokohnya sebagai ‘manusia’ belaka. Mersault dan dr. Rieux digambarkan sebagai sosok yang tak beragama atau pun tak bertuhan, tapi mereka juga tak berpretensi untuk membela diri.
Justru karya-karya Camus menarik dengan cara demikian. Menempatkan manusia sebagai ‘manusia’ belaka tidak pernah mudah, bahkan barangkali yang tersulit dari yang bisa dilakukan. Kita terbiasa membubuhi ‘manusia’ dengan imbuhan-imbuhan yang begitu banyak dan seringkali memberatkan. Kita tidak bisa melihat ‘manusia’ belaka, tanpa ditambah-tambahkan dengan ras, ideologi, agama, keyakinan, kebangsaan, dan seterusnya. 
Masalahnya apa yang kita bubuhkan pada kata ‘manusia’ tidak sebatas imbuhan-imbuhan pengenal, namun sebagai ciri atau karakter yang pasti nan baku. Imbuhan-imbuhan itu pada akhirnya seringkali sangat merepotkan karena ia menjadi asal-muasal pengistimewaan, penyingkiran, fragmentasi, dan bahkan pernah sangat merusak dan kejam. Hitler membinasakan jutaan orang Yahudi karena keyahudiannya. Orang Negro diperbudak karena warna kulitnya. Dan kita masih dapat membuat daftar panjang tentang pembinasaan karena kategori-kategori tambahan pada kata ‘manusia’.
Kita memang selalu terobsesi pada imbuhan-imbuhan dalam kata ‘manusia’ itu. Akhirnya, kita tidak bisa tidak berpretensi untuk memanggil “orang itu Islam, Kristen, Hindu, Budha, Sunni, Syi’ah, lesbian, hetero, homo, dan seterusnya.” Persoalannya panggilan ini seringkali berarti kategori pembagian, pengecualian, penyingkiran, dan pembedaan.

Sebab itu, barangkali kita perlu belajar pada manusia-manusia Camus. Mereka bukan manusia luar biasa ala Charles Baudelaire, penyair Prancis, yang dalam mon Coeur mis a nu berkata; “Di antara manusia hanya penyair, pendeta, dan prajuritlah yang agung…. Lainnya hanya bagus buat dicambuk.”

Minggu, 13 Agustus 2017

Merdeka 100%

Oleh: Husnul Aqib

Dirgahayau Republik Indonesia yang ke-72

Tan Malaka pernah sangat berikukuh bahwa Indonesia harus merdeka sepenuhnya dari unsur-unsur penjajah. Sebab itu ia tidak pernah suka dengan cara-cara diplomatis Soekarno dalam menghadapi Belanda. Bagi Tan Malaka, berunding dengan Belanda sama artinya dengan menyerah pada dualisme penjajah dan terjajah, karena itu mustahil berujung pada terwujudnya kemerdekaan yang seutuhnya. Kemerdekaan 100% hanya lahir dari perlawanan hingga tetes darah penghabisan. “Dia selalu tidak senang dengan politik diplomasi”, tulis Harry A Poeze, sejarawan dan peneliti asal Belanda yang kepincut dengan tokoh revolusioner itu.
Semangat Tan Malaka memang benar. Tapi, mungkinkah negara yang lahir dari kolonialisme dapat merdeka 100%? Bisa jadi, pernah Soekarno dengan caranya sendiri, bukan pada Belanda tapi pada bangsanya sendiri, berupaya menghapus unsur-unsur Belanda. Dalam semangat revolusi, Soekarno memutuskan bahwa segala yang berbau Belanda dan tidak menjiwai semangat revolusi harus dimusnahkan. Maka, bahasa Belanda pun mulai hilang, gedung-gedung dihancurkan, nama-nama organisasi diganti, dan di sisi lain monument-monument yang menjadi simbol nasionalisme dibangun dengan megah.
Meski demikian, Tan Malaka tidak pernah bisa berkata “Akhirnya Indonesia merdeka 100%.” Barangkali ada sesuatu yang lain yang kemudian ia sadari. Bahwa penindasan dan diskriminasi tidak selamanya datang dari negara asing, sebuah bangsa merdeka bisa dicengkram oleh anak kandungnya sendiri.
Tragisnya, itulah yang terjadi pada Tan Malaka. Ia pun mati oleh kebengisan bangsanya sendiri. Ia ditembak mati begitu saja oleh prajurit nasionalis. Mayatnya dikubur seadanya dengan tangan masih terikat. Jasatnya pun ditemukan bukan oleh bangsanya sendiri, tapi oleh Harry A Poeze, orang Belanda yang padanya Bangsa Indonesia harus juga berterimakasih.
Betapa banyak negara yang lahir dengan ceceran darah melawan penjajah, tapi selanjutnya jatuh pada penjajahan yang lain, yang lebih tragis, yang susah digambarkan sebab sebelumnya hanya dipahami sebagai agresi dan kezaliman negara asing. Misalnya Vietnam, setelah berhasil mengusir Amerika Serikat tahun 1960, ternyata negeri itu jatuh pada kediktatoran anak kandungnya sendiri. Joan Baez – seorang Amerika Serikat yang menentang negaranya pada agresi tahun itu dan datang ke Hanoi untuk membela Vietnam – terpaksa datang ke Washington pada 1970 untuk menyatakan protesnya bersama dengan wakil-wakil pengungsi Vietnam atas kediktatoran dan pelanggaran hak-hak asasi manusia oleh negeri yang dulu dibelanya. Demikian pula di Yunani, setelah bebas dari cengkraman tentara Nazi, negeri itu justru dicengkram anak kandungnya sendiri, yang terkenal dengan sebutan “para kolonel”. Begitu pula di Iran, Libya, Irak, Mesir, dan termasuk Indonesia.
Bangsa yang dizalimi, ditindas, dan dicengkram anak kandung sendiri tidak mudah dipahami. Dalam konteks oposisi biner Belanda-Indonesia atau penjajah-korban jajahan, konsep tersebut mudah dimengerti dan karena itu strategi perlawanan juga jelas dan tegas. Tapi, dalam konteks yang menjajah, menzalimi, dan mencengkram adalah anak bangsa sendiri, konsep tersebut tidak mudah dicerna; sebab itu, strategi perlawanan pun rancu dan tanggung.
Mula-mula ada kesulitan idiomatik yang dialami bangsa yang dijajah anak kandungnya sendiri, kemudian berlanjut pada kesulitan konseptual, dan seterusnya berdampak pada kesulitan strategi perlawanan. Misalnya di bawah pemerintahan diktator, tidak ada persekutuan utuh di antara masyarakat dan dengan demikian tak ada perlawanan total. Dalam hal ini, mudah dipahami ketika diktator di satu sisi dihujat, tapi ditempat lain dipuja dan namanya dilapalkan menjadi pahlawan.
Barangkali karena kesulitan-kesulitan semacam itu, pernah Pramoedya Ananta Toer dibuat jengkel dengan tulisan Goenawan Mohammd yang berjudul “Surat Terbuka Untuk Pramoedya Ananta Toer”. Dalam tulisan itu, GM – panggilan singkat Goenawan Mohamad – menyesalkan penolakan Pram atas permintaan maaf Abdurrahman Wahid kepada para korban kekerasan negara di masa lalu. GM menyebut inisiatif Abdurrahman Wahid tersebut ‘mirip “pengakuan dosa” di depan publik.’
Salah satu yang membuat Pram jengkel adalah karena GM membanding-bandingkannya dengan Nelson Mandela dan Indonesia dengan Afrika Selatan. “Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan”, tulis Pram mengawali surat balasannya. Bagi Pram, Mandela dan dirinya begitupun dengan Afrika dan Indonesia tidak bisa dibanding-bangdingkan atau pun disamakan. “…..Di Afrika Selatan penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam. Putih melawan hitam, seperti Belanda melawan Indonesia. Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia tidak sesederhana itu: kulit coklat menindas kulit coklat…”
Penindasan sebuah bangsa oleh anak kandungnya sendiri menghancurkan batas-batas yang mudah dipahami antara penjajah-terjajah, Belanda-Indonesia, orang asing-rakyat, dan seterusnya. Begitu pun dengan semangat “merdeka 100%” Tan Malaka. Semangat itu mudah dipahami dalam istilah-istilah itu, namun sukar ketika konteksnya berganti.

Barangkali semangat merdeka 100% itu justru 100% mustahil tewujud setelah batas-batas istilah yang mudah dipahami itu menguap. Selama hayat masih dikandung badan, selama itu pula kemerdekaan 100% akan selalu dihasrati. Dengan demikian, perjuangan pun tak pernah berakhir dan pahlawan-pahlawan baru tetap diharapkan. 

Jumat, 11 Agustus 2017

Antara Kolonialisme dan Perang Saudara

Oleh: Husnul Aqib
Tidak ada yang lebih tragis dalam sejarah modernisme saat ini selain perang saudara yang terjadi di negara-negara Timur Tengah. Bahkan kolonialisme pun masih memiliki sisi yang lebih manusiawi dan beradab.
Tentu kolonialisme tetap merupakan gambaran yang keji – dan hal tersebut bisa kita baca dalam teks-teks sejarah atau, secara lebih sentimental, melalui sastra – namun ia tetap memiliki sisi baik dan janji-janji yang terbukti benar, seperti lahirnya kecakapan dan tehnik baru, pengenalan sistem, nilai dan kebudayaan baru, pembangunan infrasturktur, pengenalan spirit zaman baru seperti modernism, atau intinya persebaran peradaban.
Setidaknya itulah yang dituliskan Pramoedya Ananta Toer dalam pembukaan teatralogi pulau Buru, “Bumi Manusia”. Pram menggambarkan dengan lihai peran kolonialisme bagi munculnya teknologi-teknologi modern semisal kereta api, percetakan, dan photografi, atau pun remah-remah konsep modernisme yang baru muncul di Hindia Belanda saat itu dalam istilah “modernisme” itu sendiri.
Pada sejarah kolonialisme yang lebih awal kita bisa melihat persebaran dan asimilasi peradaban berlangsung antara peradaban penakluk dan peradaban yang ditaklukkan. Misalnya, ketika dunia Arab menginfasi daerah-daerah di Barat, mereka mengasimilasi ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Bahkan aksi kolonialisme tidak selalu berarti penghancuran atau pun penjajahan. Max Dimont dalam “The Idestructable Jew” menyebutkan bahwa penaklukan dunia Arab tersebut justru mengakhiri pemindahan agama kaum Yahudi ke Kristen secara paksa yang telah dimulai oleh Raja Recard pada abad keenam. Di bawah kekuasaan kaum muslim selama 500 tahun setelah itu, muncul spanyol untuk tiga agama dan “satu tempat tidur”. Kaum Muslim, Yahudi, dan Kristen secara bersama-sama menyertai suatu peradaban yang cemerlang.
Orang-orang Mongolia yang terkenal barbar dalam setiap invasi mereka, seperti kerusakan hebat yang mereka lakukan di Persia, tapi di Cina mereka justru mempelajari berbagai hal terkait peradaban.
Bahkan, di bawah kolonialisme yang menjajah dan merampas, kita masih memiliki kesempatan untuk membanggakan sesuatu atau merengkuh suatu nilai. Misalnya perang dan kematian. Dalam perang kolonialisme, terdapat musuh sungguhan yang dilawan sehingga perang tidak pernah anonim. Dan, akibat perang seperti kematian bukanlah pertumpahan darah yang sia-sia. Dalam kolonialisme, kematian bisa dibanggakan. Kematian menjadi peristiwa heroik, pristiwa yang penuh makna, kematian yang punya tujuan, yakni memperjuangkan hak dasar setiap manusia untuk meraih kemerdekaan. Kematian punya kehormatan dengan istilah yang terkenal, martir atau syuhada. Kematian mengajarkan bahwa kehidupan dan hembusan napas itu penuh arti.
Tapi, apa yang tersisa dari perang saudara?
Tak ada yang tersisa dari perang saudara selain kehancuran total. Kematian hanya mewujud sebagai bangkai, yang mengakumulasi keperihan dan kesedihan. Kematian yang sia-sia, karena tak ada yang dipertaruhkan selain tirani waktu sekarang dan keangkuhan. Inilah perang yang paling aneh, karena tidak ada musuh sungguhan yang dilawan, selain antar saudara yang berperang.
Puing-puing reruntuhan gedung sama sekali tidak melahirkan sejarah, selain simbol keangkuhan orang-orang dungu yang berperang untuk kalah. Tak ada kemenangan yang layak diklaim sebanyak apa pun lawan yang dibunuh, sebab tak ada musuh kecuali saudara. Karena itu, tak ada juga wilayah yang berhasil direbut atau dibebaskan sebab perang berkecamuk di atas tanah air sendiri.   
Tapi adakah perang yang bukan perang saudara? Seperti pertanyaan Victor Hugo dalam Les Misérables La guerre civile? Qu’est-ce à dire? Est-ce qu’il y a une guerre étrangère?” “Is there any foreign war? Is not every war between men, war between brothers?”.
Dan, adakah perang saudara yang sepenuhnya inters-state war? Bahkan perang saudara yang berlangsung dalam sejarah Spanyol maupun Prancis tidak sepenuhnya melibatkan hanya inter-state combatant. Perang saudara pada akhirnya memiliki dimensi internasional yang luas. Bahkan, perang saudara berubah menjadi undangan pesta perang antara kekuatan-kekuatan luar yang memperebutkan sumber daya dan mengamankan kepentingan.

Karena itu dapatlah dimengerti ketika Voltaire menyebut “All European Wars are civil war”. Semua perang di Eropa adalah perang saudara. 

Rabu, 09 Agustus 2017

TGB Zainul Majdi: Konflik NW dan Upaya Islah Yang Selalu Gagal

(Diskusi Bersama: Muhammad Hizbullah)
Oleh: Husnul Aqib
Diskusi rutin kami pada hari Minggu kemarin membahas tema yang menarik dan ‘panas’ mengenai berbagai persoalan yang tumbuh dan merayap dalam tubuh Nahdlatul Wathan (NW). Dalam diskusi kali ini, kami mendapatkan kesempatan untuk mengulas hasil penelitian tesis Muhammad Hizbullah yang berjudul “Relasi Kuasa Zaiunl Majdi Dengan Perkembangan dan Upaya Kesatuan Nahdlatul Wathan Di Pulau Lombok (2008-2015).
Seperti biasa, durasi perbincangan kami cukup panjang, dengan beban teoritis yang berat serta lika-liku persoalan NW yang para peserta diskusi sampaikan sehingga beberapa kali saya harus menuntut kejelasan-kejelasan pernyataan untuk mendapat kepastian dari mereka. Di sini, saya hendak mempermaklumkan diri bahwa dengan alasan-alasan tersebut, ditambah kelemahan daya tangkap, serta beberapa pernyataan perlu hanya menjadi pengetahuan di antara peserta diskusi, maka hasil ulasan ini tidak sepenuhnya memuat dinamika perbincangan dan perdebatan yang terjadi.
Saya sebenarnya cukup kesulitan membuat ulasan ini, bahkan untuk menentukan judul yang tepat, sebab ketika berbicara mengenai NW sangat banyak aspek dan persoalan yang tidak mungkin tertinggal. Bahkan, dalam diskusi ini kami seringkali menyerempet ke persoalan-persoalan yang cukup “sensitive” dan tak mungkin diurai secara gamblang dalam ulasan ini sebab membutuhkan konfirmasi data yang lebih valid.
Semangat untuk menempatkan NW sebagai lokus perbincangan dan kritik pada dasarnya mudah dipahami. Bagi kami yang ada di Jakarta misalnya, NW merupakan bagian dari diri kami, atau sebaliknya kami merupakan bagian dari NW. Perasaan ini muncul dari proses panjang menjadi orang NTB, khusunya orang Lombok. Sebagian besar dari kami menempuh pendidikan di lembaga pendidikan NW, belajar tentang agama dan bermasyarakat dari NW, atau setidaknya kami merasa NW merupakan elemen yang tidak mungkin dipinggrikan dari asal-usul primordialitas. Artinya, ketika berbicara tentang Lombok misalnya, hampir tidak mungkin meletakkan NW pada pojok perbincangan.
NW dengan segala signifikansi sekaligus persoalannya memang selalu menarik untuk diulas, dikupas, bahkan untuk “dipergunjingkan”. NW tidak pernah kering dari perhatian, terlebih dengan sosok Tuan Guru Bajang Zainul Majdi yang padanya melekat berbagai status dan citra. Beliau memanggul berbagai jabatan – sebagai gubernur NTB dan ketua pengurus besar NW Pancor – dan menanggung tugas kultural sebagai tuan guru, pendidik, pendakwah, dan suri tauladan secara umum.
Dengan berbagai posisi dan tanggungjawab tersebut, TGB Zainul Majdi akhirnya “berhutang” banyak ekspektasi yakni dalam pemerintahan, dalam organisasi NW, dan sebagai tokoh agama atau tokoh masyarakat. Masalahnya kemudian, TGB menemui banyak kendala untuk memenuhi hutang-hutang ekspektasi tersebut, terutama karena konflik dan perpecahan yang tak kunjung menemukan jalan keluarnya dalam tubuh NW.
Pada konteks inilah penelitian Hizbullah menarik dan penting, serta layak diperhatikan para pemimpin, kader, dan abituren NW. Hizbullah tidak hanya mengulas konflik dan perpecahan NW menjadi NW Pancor dan Anjani, namun juga berhasil menjelaskan karakter konflik tersebut, sekaligus mengidentifikasi bagaimana posisi TGB Zainul Majdi dalam upaya islah. Ini penting sebab selain dapat memberikan insight dan pelajaran bagi para kader NW, penelitian Hizbullah juga dapat memperjelas kendala yang membuat persatuan atau islah selalu menemukan jalan buntu dan karena itu juga berguna untuk mengupayakan niat, upaya, dan cara-cara baru, serta memperhatikan persoalan tersebut secara lebih menyeluruh.
Titik Keberangkatan Teoritis
Penelitian Hizbullah mencoba mengulas konflik NW dari sudut pandang teori-teori budaya dan komunikasi. Grand theory yang coba ia gunakan adalah teori relasi kuasa Paul-Michel Foucault. Pendekatan ini sebenarnya cukup baru dalam beberapa penelitian mengenai NW yang pernah kami diskusikan di lingkaran anak-anak Lombok di Jakarta. Sayangnya, Hizbullah cukup kedodoran memahami dan mengaplikasikan teori kuasa Foucault yang memang terkenal sangat rumit untuk dibaca dan diserap, apalagi untuk digunakan sebagai cara baca mengenai persoalan-persoalan lokal, seperti konflik NW.
Oleh sebab itu, sering sekali dalam uraian maupun penelitiannya, Hizbullah kesusahan membedakan kuasa sebagai strategi budaya dalam terminology Foucault dengan kuasa sebagai strategi politik-administratif sebagaimana secara lumrah dipahami. Hal ini misalnya terlihat ketika Hizbullah mensandingkan teori kuasa Foucault dengan teori kuasa al-Mawardi dan beberapa pemikir lainnya.
Dalam beberapa bagian, Hizbullah memang menunjukkan beberapa perebutan kuasa di antara dua pengurus NW yang masing-masing mengklaim satu wacana yang dianggap benar. Misalnya, mengenai perebutan makna tafsir AD-ART mengenai landasan fiqih NW yang mengacu pada mazhab Imam Syafi’i atau perebutan gelar Tuan Guru Bajang (TGB) yang masing-masing dari pengurus NW Pancor dan Anjani menganggap tokoh mereka yang paling layak, atau perebutan legitimasi sebagai pengurus yang NW yang sah dengan menawarkan berbagai narasi yang diambil dari berbagai sumber di masa lalu, misalnya wasi’at renungan massa, pesan-pesan Maulana Syeikh Tuang Guru Kyai Haji Zainuddin Abdul Majid, dan intensitas kehadiran dalam berbagai moment pengajian Maulana Syeikh.
Terlepas dari problem teoritis yang ada, penelitian Hizbullah berhasil memberikan insight yang cukup berarti mengenai konflik NW.
Konflik NW; Dari Perebutan Kepemimpinan, Aset, hingga Gelar
Pembicaraan tentang konflik NW bisa jadi hanya mengulang-ulang masalah yang sama, namun persoalan itu lah yang membuat setiap perbincangannya selalu menemukan signifikansi. Konflik itu adalah tantangan NW, dan ketika ia masih dibicarakan maka itu menjadi pertanda bahwa NW belum melewati tantangannya. Artinya, masih butuh waktu panjang bagi kita untuk memperbincangkannya. Terlebih, beberapa peserta menyebut bahwa masih sangat jauh waktu yang dibutuhkan untuk NW mampu menyelesaikan masalah tersebut – tentu dengan mengidentifikasi beberapa alasan yang akan diuraikan selanjutnya.
Di samping itu, perpecahan NW menjadi NW Pancor dan Anjani, bukan bifurkasi sederhana. NW tidak membelah diri menjadi dua cabang – yang karena itu bisa disyukuri dan dirayakan – tapi sejenis chaos. Kita tidak mungkin melupakan bagaimana konflik itu pernah berujung pada konflik kekerasan, fragmentasi sosial, bahkan mendorong lahirnya organisasi-organisasi vigilantis seperti Satgas, Hizbullah, dan lain-lain yang sempat membuat kusut ikatan-ikatan keluarga dan sosial di tengah-tengah masyarakat Lombok, bahkan seringkali bergesekan dengan persoalan hukum.
Situasi tersebut hari ini barangkali tidak segawat di awal-awal konflik, namun bukan berarti dampak chaos tersebut menghilang, bahkan seringkali meruncing pada moment-moment tertentu. Berulangkali kita, para kader NW dan orang Lombok, menyaksikan konflik itu dirayakan dipanggung-panggung dakwah oleh elit-elitnya.
Situasi ini sebenarnya paradoks mengingat landasan utama perjuangan NW berpusat pada tiga lokus, yakni pendidikan, dakwah, dan sosial. Ketiga aras perjuangan ini memuat nilai-nilai yang menuntut dan menuntun pada persaudaraan, persatuan, pembangunan sosial, pendidikan masyarakat, dan lain sebagainya. Ketika nilai-nilai tersebut diperjuangkan oleh organisasi yang terpecah, maka di saat itu lah perpecahan di tubuh NW melahirkan paradoks pada dirinya sendiri.
Konflik NW yang berujung pada perpecahan bermula setelah sepeninggalan al-magfurullah TGKH Zainuddin Abdul Majid – pendiri NW – pada 21 Oktober 1997. Kedua putri beliau, Siti Rauhun dan Siti Raihanun masing-masing mengklaim sebagai penerus kepemimpinan ayah mereka. Konflik ini kemudian berkembang pada perebutan kekuasaan sebagai Pengurus Besar NW, yang pada Muktamar X tanggal 24-26 Juli 1998 di Praya Lombok Tengah menghasilkan keputusan Raihanun sebagai ketua umum PBNW. Namun, keputusan tersebut menurut kubu Pancor cacat hukum, tidak sah, dan penuh kecurangan.
Hal tersebut menimbulkan polemik berkepanjangan. Menurut Hizbullah, kedua kubu merasa memiliki landasan pembenaran. Ketika Hizbullah mewawancarai Tuan Guru Anas Asri dari kubu Anjani dan Tuan Guru Yusuf Ma’mun dari Pancor, kedua tuan guru sepuh tersebut masing-masing mengklaim memiliki data yang valid mengenai proses jalannya muktamar X yang menjadi asal-mula konflik. Bahkan, TGB Zainul Majdi pun, menurut Hizbullah mengklaim memiliki data dan informasi yang benar.
Kubu Pancor akhirnya memilih TGB Zainul Majdi, putra Siti Rauhun, sebagai ketua Pengurus Besar NW. TGB Zainul Majdi sendiri terpilih sebagai ketua Pengurus Besar NW pada muktamar tandingan yang kemudian disebut sebagai muktamar reformasi yang diadakan pada tanggap 11-12 September 1999 di Pancor Lombok Timur.
Ada yang menarik dari polemik seputar hasil muktamar yang diadakan di Praya. Hizbullah berhasil menceritakan secara detail dalam tesisnya mengenai proses dan liku-liku muktamar tersebut, namun satu aspek yang cukup menarik adalah mengenai proses perebutan tafsir Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) organisasi. Dalam AD-ART menyebutkan mengenai mazhab fiqih yang dianut adalah mazhab imam Syafi’I, dan perebutan tafsir AD-ART yang dimaksud adalah apakah maksud AD-ART tersebut berarti menganut semua produk hukum mazhab imam Syafi’i atau hanya sebagian. Jika maksudnya adalah semua produk hukum mazhab imam Syafi’i, maka termasuk di dalamnya adalah ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin, dan karena itu, Siti Raihanun tidak sah menjadi ketua PB NW.  
NW Pancor ingin memperjelas maksud AD-ART tersebut dalam sebuah muktamar atau dialog, namun NW Anjani mengatakan bahwa sudah jelas yang dimaksudkan dalam AD-ART tersebut adalah sebagian dari mazhab Imam Syafi’i. Alasan kubu Anjani adalah Maulana Syeikh sendiri semasa hidup pernah merestui kepemimpinan seorang perempuan menjadi kepala desa di Tratak Lombok Timur.
Menurut Hizbullah dan beberapa peserta diskusi menyebutkan ada banyak penjelasan mengenai mengapa NW pecah pada Muktamar X di Praya. Namun yang paling utama adalah ketiadaan sosok yang tepat menggantikan Maulana Syeikh dari kedua putrinya. Siti Rauhun dan Siti Raihanun dianggap tidak mampu mengimbangi figure Maulana Syeikh baik secara intelektual, ketokohan, pemahaman agama, dan pergerekan. Menurut Hizbullah, Siti Rauhun menyadari persoalan ini dan karena itu tidak berniat menjadi pemimpin NW, selain disebabkan oleh penghormatannya terhadap tradisi-tradisi Maulana Syeikh yang berpaham ahlussunnah wal jamaah serta masih ada tokoh lain dari kalangan keluarga yang lebih mampu, misalnya H. Ma’sum Ahmad Abdul Madjid.
Upaya untuk islah beberapa kali dilakukan. Pada tahun 2010 upaya ini sempat berhasil dengan kerjasama kedua pengurus NW Pancor dan Anjani untuk mengusung calon yang sama pada pemilihan Bupati/wakil Bupati Lombok Tengah. Waktu itu, pihak NW mencalonkan Lalu Gede M. Ali Wirasakti Amir Murni (Gede Sakti). Namun, seiring kekalahan calon mereka, konflik kembali berlanjut seperti semula.
Situasi kembali memanas setelah pada tahun 2014 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengeluarkan SK mengenai legalitas organisasi yang memenangkan NW versi Pancor berdasarkan akta pendirian No. 117 di hadapan notaris Hamzan Wahyudi di Mataram.
SK Kemenkumham tersebut kemudian digugat oleh kubu Anjani ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Mereka melandaskan gugatan mereka pada hasil muktamar X dan menurut mereka NW sudah memiliki badan hukum sejak  tahun 1960 yang diumumkan diberita negara RI pada tanggal 8 November 1960. Kubu Anjani mengklaim berdasarkan hal itu, Kemenkumham mencabut SK penetapan kubu Pancor dan Mahkamah Agung telah mengeluarkan surat nomor 37/K/T/UN/2016 tanggal 17 April 2016 yang menegaskan bahwa NW kubu Anjani lah pengurus sah NW. Pikah NW Pancor kemudian membantah klaim tersebut dan menggap kasusnya masih berjalan di MA.
Konflik ini meluas tidak hanya pada persoalan siapa yang layak meneruskan perjuangan Maulana Syeikh, tetapi pada siapa yang paling berhak mengurus NW. Karena itu, konflik pun berujung pada perebutan asset organisasi, yang sayangnya seringkali kita saksikan di panggung-panggung dakwah. Beberapa video mengenai hal ini dapat dicari di youtube.
Salah satu kesimpulan yang muncul dalam diskusi mengenai konflik tersebut adalah tidak ada pemisahan yang jelas antara aset organisasi dan aset keluarga. Misalnya, dalam beberapa kesempatan Zainuddin Tsani, putra Raihanun, mengklaim beberapa bangunan di Pancor adalah kepunyaannya. 
Perpecahan di tubuh NW tidak hanya berlangsung pada perebutan kepengurusan dan aset, tapi menjalar ke persoalan gelar. Tuang Guru Bajang atau TGB yang tersemat pada nama Zainul Majdi digugat oleh pihak Anjani karena dianggap yang layak untuk menggunakan gelar tersebut adalah Zainuddin Tsani. Karena itu Zainuddin Tsani juga menggunakan gelar tersebut dengan menambahkan huruf R menjadi RTGB (Raden Tuan Guru Bajang). Pihak Anjani mengklaim bahwa gelar tersebut diberikan langsung oleh Maulana Syeikh. Klaim ini disampaikan dalam konfrensi pers yang digelar di Restoran Pulau Dua Senayan Jakarta pada tanggal 3 Oktober 2016. Bahkan Lalu Gede M. Ali Wirasakti, Roi’s Am Dewan Mustasyar PB NW Anjani, dalam sebuah kesempatan mengatakan Zainul Majdi telah mengkapitalisasi gelar TGB demi kepentingan-kepentingan politik.
Namun, pihak NW Pancor membantah klaim dan tuduhan pihak Anjani. Menurut Tuan Guru Yusuf Ma’mun, gelar TGB murni panggilan yang diberikan oleh masyarakat, bukan karena faktor keturunan atau pemeberian keluarga. Zainul Majdi sendiri sebagai pengguna gelar tersebut menyebutkan bahwa TGB adalah panggilan masyarakat yang ia peroleh dari aktivitas dakwahnya.
Upaya Islah Yang Selalu Gagal
Persatuan atau islah konon diharapkan oleh kedua pihak dari elit-elit NW Pancor dan NW Anjani. Berbagai cara telah mereka lakukan, tapi jalan ke arah sana tidak kunjung mulus. Hal ini diakui oleh TGB Zainul Majdi dan pengurus-pengurus NW Pancor yang lain. Begitu pula dengan pihak NW Anjani. Mereka menyatakan sangat mendukung upaya islah, namun mereka menganggap pihak NW Pancor tidak serius mengupayakannya. Apa yang mereka anggap sebagai keseriusan NW Pancor mengupayakan islah adalah dengan mengakui kepengurusan NW Anjani yang syah, dan dengan demikian, NW Pancor harus melepaskan jabatan yang mereka klaim.
Menurut pendapat para pemateri dan peserta diskusi ada beberapa kendala kenapa upaya persatuan atau islah selalu gagal. Pertama, dapat disebutkan bahwa faktor yang mula-mula menjadi kendala upaya islah adalah keegoisan kedua pengurus. Hal ini tercermin dari berbagai pernyataan yang saling menegasikan di berbagai kesempatan dan pada klaim masing-masing sebagai pengurus yang paling sah.
Kedua, persaingan politik. Perpecahan antara kedua NW semakin menemukan bahan bakarnya pada setiap moment politik. Kedua NW selalu bersaing dan pada juntrungannya memperbesar konflik dan perpecahan di antara mereka sebab dalam setiap kontestasi mengandaikan negasi satu dengan yang lain. Terlebih dalam perebutan kekuasaan yang menentukan seperti perebutan kursi gubernur/wakil guberunur, bupati/wakil bupati, dan jabatan legislatif. Kendala kedua ini diafirmasi oleh hasil penelitian tesis Hizbullah yang menyebutkan bahwa konflik seringkai meruncing di moment-moment hajatan politik. Beberapa peserta diskusi, salah satunya Ihsan Hamid juga menyetujui pandangan ini. Ia melacak faktor sulit terwujudnya islah dan persatuan karena karakter NW sebagai organisasi dakwah, sosial, dan pendidikan telah bergeser ke persoalan perebutan kekuasaan, terutama setelah Pilkada langsung. Sebagai contoh, untuk hajatan Pilkada 2018, kedua NW Anjani dan Pancor telah mendeklarasikan calon mereka masing-masing. NW Anjani mengusung Lalu Gede M. Ali Wirasakti Amir Murni, sementara NW Pancor mengusung Siti Rohmi Jalilah.
Ketiga, karakter NW yang berbentuk organisasi yayasan. Persoalan konflik NW berakar dari problem kepengurusan yang seringkali muncul dalam organisasi yayasan setelah pendiri pertama mangkat. Pasalnya, organisasi merupakan sumber ekonomi dan kekuasaan, sehingga ia perlu diperebutkan. Ketika sumber ini tidak bisa dikuasai oleh satu tangan, maka sumber tersebut akan menjadi rebutan. Dalam konteks NW, setelah Maulana Syeikh mangkat, tidak ada keturunannya yang dapat secara penuh meneruskan organisasi, terutama karena ketiadaan penerusnya yang putra. Barangkali faktor ini dapat menjelaskan “ramalan” Maulana Syeikh yang termuat di Wasiat Renungan Masa mengenai perpecahan yang akan terjadi di antara kedua putrinya setelah beliau mangkat.
Keempat, faktor internal keluarga. Rauhun dan Raihanun adalah dua bersaudara beda ibu. Meski membutuhkan beberapa penelitian lebih lanjut ataun konfirmasi dari berbagai sumberu, namun asumsi ini perlu mendapat perhatian. Sebab, bisa jadi asal-mula konflik berakar jauh pada persoalan keluarga dan berlanjut pada organisasi yang dikelola sebagai yayasan keluarga.
Kelima, Ada orang-orang yang tidak menginginkan NW bersatu. Kesimpulan dari faktor ini tidak untuk melahirkan prasangka di antara para pengurus NW, tapi kemungkinannya perlu ditelisik. Sebab, NW memang sumber kekuasaan dan ekonomi, dan ketika sumber ini tidak terfokus dan terpusat pada satu organisasi yang padu, maka sumber-sumber tersebut juga membuka kesempatan yang lebih besar bagi pihak-pihak lain untuk turut menikmatinya.
Posisi TGB Zainul Majdi
Bagian ini sebenarnya, pada satu bagian, dapat dianggap sebagai faktor keenam kendala islah di tubuh NW. TGB Zainul Majdi secara umum memang merupakan sosok yang paling lengkap dari semua keturunan Maulana Syeikh. Beliau cerdas dan memiliki karisma seorang tokoh, dan karena itu ia tidak hanya popular di masyarakat, tapi juga menjabat berbagai posisi penting di NTB, yakni sebagai gubernur, ketua PB NW Pancor, dan sebelumnya menjadi Ketua Partai Demokrat di NTB.
TGB Zainul Majdi memiliki kemasyhuran, kebesaran, dan kekuatan politk namun bukan berarti ia sepenuhnya berhasil dengan kelebihan tersebut. Dalam beberapa aspek, berbagai beban struktural yang dipanggulnya, membuat aspek kultural yang juga diembannya justru gagal. Sebagai ketua PBNW Pancor, TGB Zainul Majdi berada di pusat konflik dan dianggap tidak sah oleh kubu Anjani.
Demikian pula dalam jabatannya sebagai gubernur. Menurut hasil wawancara Hizbullah, TGB Zainul Majdi oleh pihak Anjani dianggap tidak adil dalam mendistribusikan bantuan bagi madrasah-madrasah/lembaga pendidikan NW. Pihak NW Anjani menyebut bahwa sepeser pun mereka tidak pernah mendapatkan bantuan selama TGB Zainul Majdi menjadi gubernur. Namun anehnya, pihak Pancor pun menyatakan hal yang sama, sebagaimana ditegaskan Siti Rahmi Djamilah, saudari TGB Zainul Majdi.
Memang, sejak TGB Zainul Majdi menjabat sebagai gubernur, pembangunan di NW Pancor berjalan pesat dan signifikan, serta jauh melangkahi pembangunan di Anjani. Di Pancor, lingkaran akademisnya juga lebih hidup dibandingkan di Pancor. Penyebabnya barangkali karena kekuasaan TGB mempengaruhi berkumpulnya para akademisi dan sarjana di Pancor. Hal ini menimbulkan perasaan iri pada pengurus NW Anjani yang tergambar dari pidato elit-elit mereka yang mengkritik kepemimpinan TGB Zainul Majdi sebagai gubernur dan ketua PBNW Pancor.  
Di samping itu, walaupun TGB Zainul Majdi berhasil menjabat sebagai gubernur NTB selama dua priode, hal tersebut bukan berarti NW berhasil memenangkan politik daerah.  Konflik yang tak kunjung berakhir menyebabkan NW mengalami kekalahan dalam beberapa pertarungan politik di daerah. Di Lombok Timur, pusat NW Pancor dan Anjani, pemimpin pemerintahan dikuasai oleh Ali Bin Dahlan, yang dalam Pilkada sebelumnya berhasil menggeser calon dari NW Sukiman dan Lutfi (Saudara TGB Zainul Majdi). Begitu juga dengan apa yang terjadi di Lombok Tengah. Satu-satunya kabupaten yang dimenangkan oleh NW adalah di kabupaten Lombok Utara dengan bupatinya Najmul Ahyar.

Kesimpulan dan Rekomendasi
Konflik di tubuh NW telah berlangsung hampir dua dekade. Jalan ke arah persatuan atau islah nampaknya masih jauh. Namun, jika pesatuan atau islah yang dimaksud adalah menggabungkan kembali dua kubu NW yang masing-masing telah memiliki tempatnya sendiri, maka hal tersebut tidak perlu dilakukan.
Artinya, pengandaian bahwa persatuan berarti meleburkan kedua kepengurusan NW Pancor dan Anjani bukanlah jalan keluar dan hampir mustahil. Yang diperlukan adalah memperbaiki ikatan-ikatan yang sempat kusut, menurunkan ego, dan membiarkan kedua pengurus NW berjalan masing-masing. Tidak perlu lagi ada negasi mengenai kepengurusan yang sah di antara kedua pengurus karena NW memang lahir bukan semata-mata administrasi. Terlebih, kedua NW tersebut pada dasarnya tidak memiliki kendala sejarah yang terlalu dalam untuk mengupayakan rekonsiliasi. Dengan demikian, masyarakat NW dapat melihat konflik dan perpecahan tersebut berujung menjadi positif dan perjuangan al-Magfurlah Maulana Syeikh dapat berlanjut dengan berbagai tantangan baru.
Di samping itu, kedua pengurus perlu mempertimbangkan ulang mengenai kesempatan-kesempatan politik yang ada. Sebab, kontestasi kekuasaan di tingkat elit NW pada akhirnya mempengaruhi psikologi masyarakat yang dicerca oleh berbagai kampanye yang tidak jarang berlangsung di panggung-panggung dakwah.

Yang tidak kalah penting untuk dipertimbangkan adalah kemungkinan NW menjadi yayasan yang sepenuhnya terbuka. Artinya, kepengurusan NW tidak lagi berdasarkan pada trah atau keturunan sehingga dia tidak berpusat pada satu tokoh. NW Pancor sebenarnya yang paling dekat ke arah ini walaupun jalannya masih cukup panjang.

Senin, 07 Agustus 2017

Surga

Kira-kira, punyakah saya tempat di surga? Jangan-jangan populasi di surga sudah atau akan penuh. Pasalnya, hari-hari ini banyak orang sudah mengkapling-kapling tempat tinggal di sana. Ibarat orang yang takut kehilangan bagian petak rumah di sana.
Orang-orang ini pun mengklaim dengan cara kasar, seolah mereka lah yang paling berhak, sementara orang lain tak pantas. Pertanyaan saya, mungkinkah kita membutuhkan sertifikat untuk membangun rumah dan pekarangan di surga? Jika demikian, saya justru takut masuk ke dalamnya.
Sudah cukup yang saya dibuat takut di bumi ini. Di sini, manusia berjubel dengan sesamanya, binatang, pepohonan, barang-barangnya, kendaraannya, teknologinya, polusinya, dan gedung-gedung. Diperkirakan, di akhir abad ini jumlah populasi manusia saja akan mencapai sekitar 9 milyar jiwa. Sementara, ada yang menyebut kemampuan bumi untuk menampung “populasi penduduk” dengan standar Eropa tak lebih dari 2 milyar. Lantas, bagaimana standar hidup yang sisasnya? Bayangkan sendiri, ibarat sebuah rumah yang tadinya hanya mampu menampung 4 orang, pada waktu belakangan harus menampung 20 orang. Karena itu saya khawatir kita akan berakhir pada kanibalisme dalam arti simbolik dan literal.
Dulu, untuk mencapai populasi dunia 1 milyar jiwa, butuh hingga hampir 2 abad, sekarang hanya dalam hitungan 50 tahun. Robert Malthus sudah sejak tahun 1798 memperingatkan dalam “Essay on Population, bahwa hubungan antara pertumbuhan populasi dan kebutuhan riil tidak akan berjalan seimbang. Malthus menyebutkan teorinya bahwa jumlah penduduk cenderung meningkat secara geometris/deret ukur, sementara kebutuhan riil meningkat secara aritmatik/deret hitung.
Sebab itu, jika di surga saya harus berdesak-desakan, buat apa saya harus mengejarnya. Apalagi harus bersamaan dengan orang-orang yang pelitnya tidak ketulungan, sebab surga pun hendak mereka monopoli. Lagi pula, mereka ini juga suka pamrih, suka meneriaki Tuhan pemilik surge supaya hanya mereka yang didengar. Lantas, jika saya hendak mengadu di sorga, mungkinka saya didengarkan?

Namun, kalau saya mengingat kisah, berita, dan gambaran tentang neraka, saya pun takut dan ngeri. Jangankan melihat orang disiksa begitu rupa dengan kepedihan tiada akhir, melihat darah pun saya tak cukup berani. Lantas, adakah tempat buat saya?

Sabtu, 05 Agustus 2017

Perempuan

Oleh: Husnul Aqib
Perempuan seringkali absen, bahkan dalam cerita yang hendak menampilkannya, atau dalam suara yang hendak berbicara tentangnya.
Di Lombok, ada sebuah epos lokal yang terkenal dan diperingati setiap musim hujan, tepatnya pada musim bau nyale. Dia lah legenda Putri Mandalika. Konon, Putri Mandalika berbesar hati berkorban demi banyak orang ketika membuang diri ke laut. Saat itu, dia merupakan putri sebuah kerajaan lokal yang kecantikannya bersinar ke berbagai penjuru. Inilah yang mengundang para pangeran dari berbagai kerajaan untuk mempersuntingnya. Menjadi objek rebutan membuat Mandalika risau dan bingung, sebab situasi tersebut dapat berujung peperangan berdarah-darah. Memilih satu pangeran hanya akan mengundang serangan pangeran lain.
Mandalika hanya menemukan jalan keluar pada dirinya seorang. Akhirnya, suatu hari ia mengumpulkan orang tuanya, para pangeran, dan rakyatnya di sebuah bukit yang tebingnya berbatasan langsung dengan laut. Singkat cerita, setelah berpamitan kepada para hadirin, Mandalika melemparkan diri ke laut, sebuah keputusan mengorbankan diri demi kedamaian dan ketentraman bersama. Konon, karena pengorbanannya Mandalika tidak mati binasa, tapi berubah menjadi cacing laut, yang pada saat-saat tertentu di musim hujan dapat ditangkap di tepi pantai. Cacing ini biasanya diolah menjadi pepes atau masakan lainnya dan dipercaya memiliki segudang khasiat.
Banyak yang menilai bahwa Putri Mandalika adalah simbol kebesaran perempuan Sasak yang berani berkorban di satu tujuan yang lebih besar dan mulia. Tapi saya bersikeras bahwa legenda itu cerita tentang kematian perempuan baik dalam arti literal maupun dalam makna simbolik. Dalam cerita itu, Mandalika, sebagai representasi perempuan, ditempatkan sebagai “piala rebutan”. Ia juga tidak membuang dirinya ke laut sebagai simbol kebebasan, tapi penyerahan diri. Itulah kenapa Mandalika tidak binasa sepenuhnya dalam keputusan altruisnya membuang diri ke laut. Ia berubah wujud dalam bentuk cacing, supaya ia dapat memenuhi hasrat semua orang pada tubuhnya.
Legenda-legenda serupa – Nyi Roro Kidul misalnya di Jawa – memang menghadirkan sosok perempuan namun sekaligus untuk membatasi, mengurung, atau menyingkirkannya. Sosok perempuan memang menjadi tokoh utama, tapi keberadaan mereka selalu dalam situasi yang tak tersentuh.
Cerita semacam ini juga terjadi dalam legenda yang lain. Siapa yang tidak mengetahui legenda dari Yunani tentang mahluk dunia bawah tanah yang berbadan dan berambut ular, tapi berwajah perempuan. Medusa. Mahluk yang dalam Inferno, novel Dan Brown, disebut sebagai monster chthonic ini memiliki kekuatan pada tatapannya, namun karena itu ia juga tidak bisa disentuh. Setiap yang melihat tatapannya akan berubah menjadi batu.
Citra tak tersentuh itu tidak hanya terekam pada legenda-legenda, namun juga muncul dalam instrument-instrumen terkini. Film Wonder Woman misalnya. Walaupun film ini digarap untuk menghadirkan sosok pahlawan baru, yang tidak selalu laki-laki, bukan berarti Wonder Woman berhasil menghadirkan perempuan. Seperti legenda yang lain, dalam Wonder Woman, perempuan hadir untuk sekaligus dinihilkan.
Diana Prince sebagai Wonder Woman merupakan anak perempuan Zaus. Diana dibesarkan disebuah pulau paradise ciptaan Zaus, Themyscira di pedalaman hutan Amazon. Uniknya, selain tersembunyi dari dunia luar, pulau tersebut hanya ditinggali perempuan. Di tempat inilah Zues menitipkan Diana pada ratu pulau tersebut, Queen Hippolyta. Tempat ini baru tersingkap secara tidak sengaja karena kecelakaan pesawat yang dialami Steve Trevor.
Secara sederhana, film ini juga menempatkan perempuan sebagai yang tak tersentuh. Kesan ini terwakili mula-mula pada ketersembunyian pulau Themyscira dan kesendirian penghuninya. Namun bukan hanya itu, Diana Prince juga memang pahlawan, namun dalam citra kepahlawanan khas laki-laki, yakni dengan kekuatan, maskulinitas, dan kehebatannya sendiri. Dan, dalam akhir film, Wonder Woman akhirnya sendirian seorang diri.

Legenda, epos, atau film tersebut memang cerita tentang perempuan, namun cerita oleh dan untuk laki-laki. Le parle femme atau suara perempuan, dalam istilah Luce Irigaray, karena itu tak pernah hadir.

Kamis, 03 Agustus 2017

Ekofeminisme Pesantren; Agama dan Kesetaraan Holistik Dalam Hidup

                                                                           Rumah Pak Je Abdullah, Pondok Cabe, 30 Agustus 2017


(Diskusi Mingguan Bersama Dian Ma’ruf)
Oleh: Husnul Aqib

Diskusi rutin kami pada hari Minggu yang lalu membahas tema yang tidak kalah menarik dan mencerahkan dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Kali ini, kami mendapatkan kesempatan untuk membahas hasil penelitian Dian Ma’ruf – yang sekaligus menjadi  pemateri – dengan tema “Ekofeminisme Pesantren: Kajian Terhadap Pesantren Ath-Thaariq Garut, Jawa Barat”.
Penelitian tesis Dian – yang sebenarnya masih dalam proses ini – menarik karena selain  menunjukkan perkembangan paradigmatik dalam diskursus feminisme dan pembangunan, ia juga berhasil memperlihatkan perkembangan perspektif dalam pengelolaan pondok pesantren yang tidak hanya dimaknai sebagai wadah pembelajaran agama, tetapi juga terlibat dalam merespon persoalan lokal masyarakat dan terlibat dalam merawat kesetaraan antara sesama manusia, alam, dan mahluk Tuhan lainnya.
Yang tidak kalah penting dari penelitian ini adalah karena berangkat dari kasus spesifik atau contoh nyata pondok pesantren yang menurut Dian menjalankan konsep ekofeminisme, maka penelitian ini tidak hanya menawarkan perspektif di atas kertas namun juga aplikatif baik sebagai role model maupun sebagai inspirasi pengelolaan lembaga pendidikan pondok pesantren. Hal ini juga memberikan optimisme baru bahwa agama dan lembaga pendidikannya dapat berperan dalam ikut merawat alam. Sebab, agama selama ini diragukan keterlibatannya dalam menjaga lingkungan, bahkan dianggap justru berperan dalam mendorong rusaknya lingkungan akibat doktrin antroposentrisnya. Oleh sebab itu, hasil penelitian ini layak mendapat perhatian luas, baik di antara para pengkaji teori-teori sosial dan feminisme, praktisi pendidikan, dan terutama para santri, kyai, atau pemilik pondok pesantren.
Durasi diskusi kami cukup panjang, seperti biasa, menguras sekitar 6 jam waktu libur kami di hari Minggu, yang mulai dari pukul 5.00 sore dan berakhir 11.00 malam. Proses jalannya diskusi juga beberapa kali menyerempet ke topik-topik yang lebih luas, karena memang apa yang dibahas oleh Dian memiliki hubungan yang kompleks dengan berbagai aspek. Sebab itu, saya sempat kesulitan untuk menyusun secara lebih sistematis proses jalannya diskusi dan kesimpulan-kesimpulan yang muncul. Untungnya saya ditemani oleh Antonio Vivaldi, Franz Schubert, dan Niccolo Paganini, dan tentu saja segelas kopi yang membantu saya menjaga ritme dalam memilah berbagai hal yang muncul dalam perbincangan kami sehingga memiliki komposisi seperti ini.
Dua Titik Keberangkatan
Dian memulai penyampaiannya dengan menceritakan pengalaman pribadinya sebagai perempuan yang pernah menjalani hidup di berbagai tempat. Dian punya latar belakang primordial sebagai orang Palembang, tapi menghabiskan masa kecil hingga remaja di Lombok, dan menjalani masa dewasa di Bandung dan Jakarta sebagai mahasiswi. Perjalanan hidup di berbagai tempat dengan kultur yang beragam memberi Dian wawasan yang mendalam tentang berbagai sistem sosial yang bermuara pada pemahamannya tentang ketidaksetaraan holistik yang terjadi baik di antara laki-laki dan perempuan maupun di antara sesama manusia serta antara manusia dan alam.
Inilah yang saya anggap sebagai titik keberangkatan pertama, yakni pengalaman subjektif Dian sebagai perempuan – dan menjadi peneliti dalam konteks penelitian tesisnya. Pengalaman subjektif ini menjadi kekuatan dan aspek penting yang membuat penelitiannya hidup karena mewakili, setidaknya dalam pembagian sex dan gender, satu subjek yang seringkali paling dirugikan dan sekaligus menjadi korban pertama dari ketidaksetaraan holistik itu. Terlebih, kerugian yang dialami perempuan sebagai korban meliputi semua aspek, seperti fisik, psikologis, sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Kenapa pengalaman subjektif sebagai perempuan ini penting karena – walaupun dalam ulasan lanjutan di bawah akan dijelaskan bahwa feminisme tidak lagi woman-oriented perspective – pengalaman menjadi perempuan tetap khas dan karena itu laki-laki tidak akan sepenuhnya dapat menelusuri posisi perempuan sebagai korban.
Sementara itu, titik keberangkatan yang kedua adalah perdebatan konseptual yang menjadi landasan penelitian Dian. Perdebatan konseptual ini meliputi dua hal, yakni pembangunan dan feminisme. Menurut Dian, ide pembangunan yang selama ini menginspirasi pembangunan di berbagai negara, terutama di Dunia Ketiga berangkat dari kekeliruan paradigmatik bahwa tujuan pembangunan adalah untuk mengejar perbaikan standar hidup (high standard of living), bukan pada standar hidup yang berkualitas (high quality of life). Paradigma ini menganggap pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya tujuan utama dalam pembangunan. Akibatnya, keberlangsungan lingkungan hidup termasuk aspek-aspek sosial-budaya sengaja diabaikan. Di samping itu, ide pembangunan ini meminggirkan keterlibatan perspektif perempuan, sehingga berujung tidak hanya pada munculnya berbagai krisis lingkungan, tetapi juga melahirkan diskriminasi. Inilah yang Dian sebut sebagai ide pembangunan yang patriarkis.
Pembangunanisme yang patriarkis ini kemudian terjawantah dalam berbagai bentuk. Dalam industri perkebunan dan pertambangan misalnya, pohon-pohon dan tumbuhan alam dibabat, bukit dan gunung dikeruk, yang semua ini merusak ekosistem lingkungan dan sumber daya-sumber daya yang dekat dengan peran sosial perempuan, misalnya air. Demikian juga dalam pertanian, ide ini akan meminggirkan perspektif perempuan dengan penggunaan massif alat-alat teknologi berat yang hanya bisa dioperasikan laki-laki atau penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang merusak kandungan air dan tanah yang mana dampak buruknya paling mudah dialami perempuan. Dan dampak buruk tersebut dapat bersifat laten dalam tubuh perempuan.
Mengenai yang terakhir ini, Dian menceritakan tentang apa yang dialami oleh Ni Luh Kartini, yang harus menerima kenyataan bahwa anak ketiganya mengidap perilaku mengarah kepada ciri-ciri awal autisme yang sebabnya memiliki hubungan dengan kejadian buruk yang ia alami ketika masih remaja. Ni Luh Kartini ketika masih remaja pernah meminum air dari sumur di sawah yang ternyata tercemar pestisida. Dampaknya tidak hanya langsung membuatnya pingsan, namun unsur-unsur kimiawi pestisida tersebut ternyata mengendap dalam jaringan lemak payudaranya hingga puluhan tahun, yang ia ketahui setelah memeriksa ke dokter kandungan air susunya.
Menurut Dian, pada konteks inilah ekofeminisme lahir. Dian menyebut ekofeminisme sebagai titik pertemuan antara feminism dan ekologi, yang ingin merespon diskursus pembangunan yang dianggap membawa krisis multidimensional tidak hanya pada lingkungan tetapi juga pada perempuan. Jadi, ekofeminisme sebagai dialektika teoritis dan gerakan praksis hadir untuk mengkritisi gagasan pembangunanisme dan mendorong pembacaan ulang atas wacana politik, ekologis, ekonomi, dan sprititualitas serta sekaligus menjawab persoalan-persoalan krisis relasi antara sesama manusia dan dengan alam.
Dalam habitat feminisme, berbagai aliran berkembang dan tidak jarang, baik dalam teori maupun gerakan, berbagai aliran saling menentang walaupun masing-masing berangkat dari persoalan dasar yang sama, yakni persoalan kesetaraan dan diskriminasi. Bahkan, dalam ekofeminsme sendiri, beberapa aliran muncul untuk merespon dan mengkritisi situasi spesifik tertentu, seperti ekofeminisme kultural spiritual, konstruksi sosial, ekofeminisme model vegan-vegetarian, dan yang terbaru ekofeminisme global.
Dalam penelitiannya, Dian menggunakan ekofeminisme global sebagai titik pijakan. Menurut Dian, aliran ekofeminisme ini merupakan titik pertemuan sekaligus kritik terhadap gerakan-gerakan feminisme sebelumnya, yang menurut ekofeminisme, dalam perjuangan mereka mengahiri dominasi atas perempuan justru menggunakan ideologi, epistemologi, dan teori yang bersandar pada prinsip maskulinitas. Sementara itu, ekofeminisme secara holistik melihat bahwa hegemoni dan penindasan tidak hanya berlangsung dari laki-laki pada perempuan, namun juga antar manusia dan alam.
Oleh sebab itu, dalam penjelasan Dian, dualisme biner antara feminitas dan maskulinitas dalam diskursus ekofeminisme digantikan dengan pemahaman ontologis bahwa manusia, apa pun jenis kelaminnya, adalah setara dan tidak ada pemisahan dalam relasi baik sebagai sesama manusia dan dengan alam, sehingga ekofeminisme mengandaikan relasi ekuilibrium antara pria-perempuan dan alam.
Cara pandang yang holistik, pluralistik, dan inkusif ini, menurut Dian, menjadi asalan mengapa ekofeminsime global bisa akomodatif dan bertemu dengan semua pengalaman personal spesifik individu maupun dengan aliran dan gerakan dalam feminism. Sebagai contoh, para atheis bisa bertemu dengan agamawan, atau antara feminisme sosialis dan ekofeminisme natural sebab mereka bertemu pada satu pandangan dasar tentang relasi ekuilibrium antara sesama manusia dan alam.
Konteks Pesantren Ath-Thaariq
Pesantren Ath-Thaariq yang menjadi subjek penelitian Dian lahir dari permasalahan sosio-ekologis dan pembangunan di Garut. Pesantren ini didirikan oleh para aktivis tahun 2009 yang melakukan advokasi atas masalah-masalah agraria, demokrasi, dan kemanusiaan. Namun, latar belakang historis pendirian pesantren ini berasal dari masa-masa sebelum reformasi. Nissa Wargadipura dan Ibang Lukmanurdin yang merupakan inisiator dan pemimpin pesantren terlibat dalam aktivis Forum Pelajar, Pemuda, dan Mahasiswa Garut (FPPMG) sejak tahun 1994. Mereka melakukan advokasi petani di Desa Segara yang terkait dengan konflik agrarian berhadapan dengan Perhutani. Pada 1997 konflik ini berakhir dengan kemenangan petani sebab lahan yang mereka garap dipastikan menjadi milik negara dank arena itu mereka berhak menggarap, dan bukan milik Perhutani.
Pada 1998 setelah kejatuhan Soeharto dan situasi tidak kondusif di Jakarta, banyak masyarakat yang kembali ke kampung. Hal ini juga terjadi di Desa Segara. Masyarakat yang kembali dari perantauan mencoba mengolah lahan yang ternyata sudah terlebih dahulu dikelola oleh Perhutani. Konflik agrarian kembali pecah dan memaksa Ibang dan Nissa mendirikan Serikat Petani Pasundan (SPP) pada 1998. Namun demikian, persoalan yang dialami oleh masyarakat petani di Desa Segara jauh lebih konfleks dari sekedar perebutan lahan.
Mereka yang baru pulang dari perantauan sudah lupa dengan sistem pertanian yang berkelanjutan. Karena itu, pasca konflik, masyarakat mulai terjerat hutang untuk membeli kebutuhan pangan serta untuk kebutuhan modal dan produksi pertanian. Mereka terpaksa dan kemudian terbiasa berhutang untuk membeli benih, pupuk, pestisida, dan lain sebagainya. Dan hutang ini akan dibayar setelah panen. Jika hasil panen menguntungkan, maka keuntungan akan dibelanjakan untuk barang-barang konsumtif dan bergengsi, namun ketika panen gagal maka hutang yang menumpuk menjadi kepastian.
Fenomena petani yang terlilit hutang semakin lumrah di kampung. Dampaknya kemudian memiliki efek beruntun. Banyak petani yang kemudian kehilangan lahan untuk membayar hutang. Dan pada akhirnya, menikahkan anak di usia dini menjadi lumrah karena dianggap dapat mengurangi beban hidup keluarga. Inilah yang Dian sebut sebagai pembangunan patriarkis yang pada akhirnya menempatkan perempuan sebagia korban pertama dan terakhir.
Indikator persoalan pertanian dan kelaziman berhutang ini terlihat pada ketergantungan petani dalam memenuhi kehidupan pangan mereka dari warung, bukan dari hasil pertanian mereka. Ini disebabkan karena petani melupakan sistem heterokultur dalam tradisi mereka dan bertani monokultur yang berimbas pada hilangnya sumber keragaman pangan.
Inilah konteks awal kelahiran pesantren Ath-Thaariq yang mengkombinasikan antara tradisi pesantren dan agroekologi.
Ekofeminisme Pesantren dan Kultur Patriarki Pesantren
Penelitian Dian tentang ekofeminisme pesantren pada pesantren Ath-Thaariq menegaskan bahwa nilai-nilai ekofeminisme dapat bertemu dan akomodatif dengan nilai-nilai agama, dan dalam konteks penelitian Dian, ekofeminisme dapat berwajah pesantren. Dan pesantren juga dapat memiliki karakter baru, yakni terbebas dari kultur patriarki sekaligus berperan merawat alam.
Hal ini setidaknya memberikan dua keuntungan. Pertama, dalam diskursus feminism dan ekologi, agama, dalam hal ini diwakili oleh pondok pesantren, merubah pandangan minor bahwa agama cenderung mendorong pada baik diskriminasi gender maupun kerusakan lingkungan.
Sebagaimana diceritakan Dian mengenai pembagian peran dalam pondok pesantren Ath-Thaariq bahwa tidak ada kepemimpinan tunggal pada sosok kyai dalam pengelolaannya sebagaimana umum dijumpai dalam pondok pesantren yang lain. Di pesantren Ath-Thaariq, peran Nissa Wargadipura (sebagai ummi atau nyai pesantren) dan suaminya Ibang Lukmanurdin (sebagai abi atau kyai) berjalan seimbang dan setara. Misalnya terkait materi pembelajaran, keduanya memiliki peran masing-masing, Ibang bertanggungjawab untuk wilayah ekoteologis, sementara Nissa pada wilayah agroekologis. Sementera dalam hal penguatan jaringan pesantren, Nissa mengurus jaringan internal pesantren, dan Ibang untuk jaringan eksternal. Pola-pola hubungan semacam ini juga berlaku terhadap santri dan sesama santri. Mereka mengibaratkan diri sebagai satu keluarga agraria, keluarga besar yang menerima semua pengalaman manusia. Yang terakhir ini menarik disimak dari apa yang disampaikan Dian, bahwa selama menjadi santri, ia pernah bertemu dengan “santri atheis” yang datang dari Amerika Serikat untuk belajar tentang bagaimana pengelolaan pertanian.
Keuntungan kedua, dalam diskursus pendidikan Islam, apa yang direpresntasikan oleh pesanten Ath-Thaariq menjawab keraguan banyak peneliti tentang peran yang mungkin dimainkan oleh pondok pesantren dalam mengentaskan persoalan-persoalan sosial. Clifford Geertz misalnya dalam The Javanese Kiyai; The Changing Role of A Culture Broker, menyindir pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang orientasinya hanya “kuburan dan ganjaran.” Ini juga sekaligus memberi wawasan pada dunia pesantren mengenai kemungkinan memperluas target pembelajaran dan kepedulian sosialnya. Dalam pesantren Ath-Thaariq misalnya, mereka berangkat dari persoalan-persoalan spesifik yang dialami masyarakat sekitar, seperti krisis lingkungan, persoalan pertanian, ketahanan pangan keluarga, dan pendidikan. Persoalan-persoalan ini kemudian coba ditemukan jalan keluarnya dengan mengkombinasikan antara tradisi-tradisi lokal atau luhur dalam bertani dan tradisi agama.    
Penelitian Dian mengenai ekofeminisme Ath-Thaariq ini diukur dengan enam prinsip universal ekofeminisme. Keenam prinsip tersebut adalah (1) kesadaran bahwa tidak ada sistem kekerasan/operasi yang berdiri sendiri, semua saling terkait; (2) kesadaran dalam merawat keberagaman pengalaman  perempuan; (3) kesadaran untuk terus merawat keadilan dan kesetaraan; (4) kesadaran untuk tetap terjaga bahwa manusia adalah mahluk yang tidak final dan karenanya tetap berwelas asih dan bersahaja terhadap sesame manusia dan non-manusia; (5) kesadaran untuk merawat nilai-nilai feminin tradisional yang bersifat menjalin, menghubungkan, dan menyatukan manusia; (6) kesadaran bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi hanya dipergunakan untuk menjaga kelangsungan bumi.
Keenam prinsip ini merupkan indikator yang Dian pergunakan untuk mengkategorisasi pesantren Ath-Thaariq sebagai ekofeminis. Hal ini punya kelebihan dan kekurangannya tersendiri. Kelebihannya adalah Dian memberikan satu role model konkret yang bisa dirujuk sebagai representasi ekofeminisme pesantren. Ini bermanfaat dan praksis sehingga nilai-nilai ekofeminisme dapat ditransmisikan, tidak hanya sebagai sebuah nilai tapi juga gerakan. Kekurangannya adalah Dian – sebagai peneliti – “memaksakan” diskursus yang dipahaminya dan menjadi landasan penelitiannya untuk mengkategorikan pesantren Ath-Thaariq, yang diakui oleh Dian tidak pernah mengkategorikan diri dan lembaga mereka sebagai ekofeminis. Sebab itu, dalam makalah yang Dian saringkan dari tesisnya, tidak memuat satu pernyataan atau pemahaman tentang ekofeminisme global oleh pengurus pesantren. Karena itu, ketika menyebut pesantren Ath-Thaariq sebagai ekofeminisme pesantren, kategori ini berangkat dari preposisi teoritis peneliti sendiri, bukan  secara langsung ditegaskan oleh pengurus pesantren.  
Kesimpulan
Apa yang diterapkan dalam pesantren Ath-Thaariq, menurut Dian, merepresentasikan nilai-nilai ekofeminisme global yang tidak hanya menawarkan perspektif baru mengenai bukan hanya kesetaraan laki-laki dan perempuan, perjuangan hak-hak kedua jenis sex tersebut, tetapi juga hubungan setara dengan alam. Perspektif ini melampaui batasan laki-laki dan perempuan dalam perjuangan merebut hak hidup layak, sebab itu feminism tidak lagi dimaknai sebagai woman-oriented perspective, namun lebih luas menjadi holistic/equilibrium-relation perspective.
Diskusi ini menawarkan beberapa rekomendasi bagi semua, yakni;
1). Pesantren Ath-Thaariq dapat menjadi role model dalam arti luas sebab pesantren-pesantren dapat memiliki situasi spesifik yang berbeda dengan yang dihadapi Ath-Thaariq. Artinya, pesantren-pesantren di Lombok misalnya, dapat meneladani misalnya pada pola pengelolaan pesantren yang mengikis kultur-kultur patriarkisnya, keterbukaan, penghargaan pada nilai-nilai manusia, tapi tetap memiliki ranah kepedulian sosial yang berbeda.
2) Para pemuda perantauan seperti kami harus – setidaknya mulai berpikir – untuk pulang setelah menyelesaikan pendidikan dan membangun desa dengan segala kompleksitas masing-masing.
3) Menjaga dan merawat keragaman pangan lokal yang dapat menjaga kedaulatan pangan masyarakat.

4) Jika memungkinkan membuat modul atau kurrikulum bagi pondok pesantren-pondok pesantren yang diuraikan dari enam prinsip universal ekofeminisme sehingga dapat diukur dan dapat diterapkan secara praksis.  

Rabu, 02 Agustus 2017

Tuang Guru Bajang Zainul Majdi

Kira-kira sampai kapan Tuan Guru Zainul Majdi akan terus Bajang (muda)? Adakah batas usia ketika ia tidak lagi bisa tetap bajang?
Julukan itu khas untuknya, sehingga istilah itu tidak dibatasi oleh usia walaupun akan terdengar aneh di usia 60 tahun apalagi lebih dia masih disebut Tuan Guru Bajang. Barangkali hanya dia sendiri yang bisa melepaskan julukan itu, untuk diwariskan atau ditinggalkan begitu saja sehingga sewaktu-waktu ada yang datang mengklaimnya kembali. Mungkin belum terpikir olehnya saat ini sebab ia masih membutuhkannya.
Julukan itu memang bermakna pejorative untuknya. Yang pasti, julukan itu simbol kemasyhuran. Kemasyhurannya memang lahir dari kemudaannya yang berisi dan inilah alasan julukan tersebut tersematkan padanya. Karena itu, julukan itu berat seperti kemasyhuran.
Jerry Rubin, seorang tokoh pemuda gerakan anti-perang Vietnam tahun 1960-an pernah merasakn betapa beratnya kemasyhuran itu. Rubin pernah menulis “masalah yang timbul dengan kemasyhuran adalah kita jadi beku dalam satu kerangka. Seorang yang termasyhur harus mau menukar hidupnya dengan terpeliharanya gambaran dirinya menurut publik. Ia menghabiskan waktunya berjam-jam mencemaskan image dirinya.”
Salah satu kalimat lain Rubin yang terkenal, “Aku merasa mati di umur tiga puluh empat.” Kalimat ini mewakili satu perasaan resah Rubin bahwa ia tidak lagi muda. Imagenya sebagainya pahlawan, pemberontak, dan radikal mulai menyusut seiring usianya. Ketika menulis kalimat tersebut, ia sudah kehilangan spontanitasnya, kemurniannya, dan pemberontakannya, yang terlihat secara sepintas bahwa ia tidak lagi suka gondrong, rambutnya klimis, serta kumis dan cambangnya bersih.  
Di tahun 1972 Rubin hadir di Miami dalam Konvensi Partai Demokrat. Di sana ia berusaha menggertak dan mencuri perhatian seperti yang berhasil dilakukannya pada acara yang sama tahun 1968 di Chicago. Kali ini, Rubin sepertinya gagal mengulangi keberhasilannya. Waktu itu bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-34. Saat itu ia tinggal di hotel, bukan lagi di jalan-jalan atau taman kota bersama para pejuang dan kelompok radikal.
Anak-anak muda yang lebih radikal datang ke kamar hotelnya dengan membawa kue, bukan untuk memberinya selamat atau untuk mengajaknya bergabung kembali, tetapi untuk dilemparkan kemukanya. Di usia 34 tahun, Rubin sudah dianggap pesniun dari pergerakan, bukan semata-mata karena usia walaupun ia sendiri mengakui bahwa ini merubahnya menjadi tidak lagi muda. Ia kini menikmati menjadi orang yang tidak muda lagi dengan hadian kemapanan.
Namun Rubin sendiri fair. Dia sendiri yang mengajarkan “Jangan percaya kepada siapa pun yang berumur di atas 30!”. Ia juga sepertinya sudah meramalkan dirinya ketika menyebut ia merasa mati di usia 34. Sebab, inilah batas ia tidak lagi muda sepenuhnya.

Mungkinkah TGB Zainul Majdi akan menyebut usia ketika ia tidak lagi muda, seperti Jerry Rubin? Mungkin anak-anak muda NW yang akan menjawab, “TGB bukanlah Jerry Rubin”. Lagi pula, anak-anak muda-muda ini bukan mereka yang membawakan kue untuk dilemparkan ke muka Rubin.