(Diskusi
Bersama: Muhammad Hizbullah)
Oleh:
Husnul Aqib
Diskusi rutin kami pada
hari Minggu kemarin membahas tema yang menarik dan ‘panas’ mengenai berbagai
persoalan yang tumbuh dan merayap dalam tubuh Nahdlatul Wathan (NW). Dalam
diskusi kali ini, kami mendapatkan kesempatan untuk mengulas hasil penelitian tesis
Muhammad Hizbullah yang berjudul “Relasi Kuasa Zaiunl Majdi Dengan Perkembangan
dan Upaya Kesatuan Nahdlatul Wathan Di Pulau Lombok (2008-2015).
Seperti biasa, durasi
perbincangan kami cukup panjang, dengan beban teoritis yang berat serta
lika-liku persoalan NW yang para peserta diskusi sampaikan sehingga beberapa
kali saya harus menuntut kejelasan-kejelasan pernyataan untuk mendapat
kepastian dari mereka. Di sini, saya hendak mempermaklumkan diri bahwa dengan
alasan-alasan tersebut, ditambah kelemahan daya tangkap, serta beberapa
pernyataan perlu hanya menjadi pengetahuan di antara peserta diskusi, maka hasil
ulasan ini tidak sepenuhnya memuat dinamika perbincangan dan perdebatan yang
terjadi.
Saya sebenarnya cukup
kesulitan membuat ulasan ini, bahkan untuk menentukan judul yang tepat, sebab
ketika berbicara mengenai NW sangat banyak aspek dan persoalan yang tidak
mungkin tertinggal. Bahkan, dalam diskusi ini kami seringkali menyerempet ke
persoalan-persoalan yang cukup “sensitive” dan tak mungkin diurai secara
gamblang dalam ulasan ini sebab membutuhkan konfirmasi data yang lebih valid.
Semangat untuk
menempatkan NW sebagai lokus perbincangan dan kritik pada dasarnya mudah
dipahami. Bagi kami yang ada di Jakarta misalnya, NW merupakan bagian dari diri
kami, atau sebaliknya kami merupakan bagian dari NW. Perasaan ini muncul dari
proses panjang menjadi orang NTB, khusunya orang Lombok. Sebagian besar dari
kami menempuh pendidikan di lembaga pendidikan NW, belajar tentang agama dan
bermasyarakat dari NW, atau setidaknya kami merasa NW merupakan elemen yang
tidak mungkin dipinggrikan dari asal-usul primordialitas. Artinya, ketika
berbicara tentang Lombok misalnya, hampir tidak mungkin meletakkan NW pada
pojok perbincangan.
NW dengan segala
signifikansi sekaligus persoalannya memang selalu menarik untuk diulas,
dikupas, bahkan untuk “dipergunjingkan”. NW tidak pernah kering dari perhatian,
terlebih dengan sosok Tuan Guru Bajang Zainul Majdi yang padanya melekat
berbagai status dan citra. Beliau memanggul berbagai jabatan – sebagai gubernur
NTB dan ketua pengurus besar NW Pancor – dan menanggung tugas kultural sebagai
tuan guru, pendidik, pendakwah, dan suri tauladan secara umum.
Dengan berbagai posisi
dan tanggungjawab tersebut, TGB Zainul Majdi akhirnya “berhutang” banyak
ekspektasi yakni dalam pemerintahan, dalam organisasi NW, dan sebagai tokoh
agama atau tokoh masyarakat. Masalahnya kemudian, TGB menemui banyak kendala
untuk memenuhi hutang-hutang ekspektasi tersebut, terutama karena konflik dan
perpecahan yang tak kunjung menemukan jalan keluarnya dalam tubuh NW.
Pada konteks inilah
penelitian Hizbullah menarik dan penting, serta layak diperhatikan para
pemimpin, kader, dan abituren NW. Hizbullah tidak hanya mengulas konflik dan
perpecahan NW menjadi NW Pancor dan Anjani, namun juga berhasil menjelaskan
karakter konflik tersebut, sekaligus mengidentifikasi bagaimana posisi TGB
Zainul Majdi dalam upaya islah. Ini penting sebab selain dapat memberikan insight dan pelajaran bagi para kader
NW, penelitian Hizbullah juga dapat memperjelas kendala yang membuat persatuan
atau islah selalu menemukan jalan buntu dan karena itu juga berguna untuk
mengupayakan niat, upaya, dan cara-cara baru, serta memperhatikan persoalan
tersebut secara lebih menyeluruh.
Titik
Keberangkatan Teoritis
Penelitian Hizbullah
mencoba mengulas konflik NW dari sudut pandang teori-teori budaya dan
komunikasi. Grand theory yang coba ia
gunakan adalah teori relasi kuasa Paul-Michel Foucault. Pendekatan ini
sebenarnya cukup baru dalam beberapa penelitian mengenai NW yang pernah kami
diskusikan di lingkaran anak-anak Lombok di Jakarta. Sayangnya, Hizbullah cukup
kedodoran memahami dan mengaplikasikan teori kuasa Foucault yang memang
terkenal sangat rumit untuk dibaca dan diserap, apalagi untuk digunakan sebagai
cara baca mengenai persoalan-persoalan lokal, seperti konflik NW.
Oleh sebab itu, sering
sekali dalam uraian maupun penelitiannya, Hizbullah kesusahan membedakan kuasa
sebagai strategi budaya dalam terminology Foucault dengan kuasa sebagai
strategi politik-administratif sebagaimana secara lumrah dipahami. Hal ini
misalnya terlihat ketika Hizbullah mensandingkan teori kuasa Foucault dengan
teori kuasa al-Mawardi dan beberapa pemikir lainnya.
Dalam beberapa bagian,
Hizbullah memang menunjukkan beberapa perebutan kuasa di antara dua pengurus NW
yang masing-masing mengklaim satu wacana yang dianggap benar. Misalnya,
mengenai perebutan makna tafsir AD-ART mengenai landasan fiqih NW yang mengacu
pada mazhab Imam Syafi’i atau perebutan gelar Tuan Guru Bajang (TGB) yang
masing-masing dari pengurus NW Pancor dan Anjani menganggap tokoh mereka yang
paling layak, atau perebutan legitimasi sebagai pengurus yang NW yang sah
dengan menawarkan berbagai narasi yang diambil dari berbagai sumber di masa
lalu, misalnya wasi’at renungan massa, pesan-pesan Maulana Syeikh Tuang Guru
Kyai Haji Zainuddin Abdul Majid, dan intensitas kehadiran dalam berbagai moment
pengajian Maulana Syeikh.
Terlepas dari problem
teoritis yang ada, penelitian Hizbullah berhasil memberikan insight yang cukup berarti mengenai
konflik NW.
Konflik
NW; Dari Perebutan Kepemimpinan, Aset, hingga Gelar
Pembicaraan tentang
konflik NW bisa jadi hanya mengulang-ulang masalah yang sama, namun persoalan
itu lah yang membuat setiap perbincangannya selalu menemukan signifikansi.
Konflik itu adalah tantangan NW, dan ketika ia masih dibicarakan maka itu
menjadi pertanda bahwa NW belum melewati tantangannya. Artinya, masih butuh
waktu panjang bagi kita untuk memperbincangkannya. Terlebih, beberapa peserta
menyebut bahwa masih sangat jauh waktu yang dibutuhkan untuk NW mampu
menyelesaikan masalah tersebut – tentu dengan mengidentifikasi beberapa alasan
yang akan diuraikan selanjutnya.
Di samping itu,
perpecahan NW menjadi NW Pancor dan Anjani, bukan bifurkasi sederhana. NW tidak
membelah diri menjadi dua cabang – yang karena itu bisa disyukuri dan dirayakan
– tapi sejenis chaos. Kita tidak
mungkin melupakan bagaimana konflik itu pernah berujung pada konflik kekerasan,
fragmentasi sosial, bahkan mendorong lahirnya organisasi-organisasi vigilantis
seperti Satgas, Hizbullah, dan lain-lain yang sempat membuat kusut
ikatan-ikatan keluarga dan sosial di tengah-tengah masyarakat Lombok, bahkan
seringkali bergesekan dengan persoalan hukum.
Situasi tersebut hari
ini barangkali tidak segawat di awal-awal konflik, namun bukan berarti dampak chaos tersebut menghilang, bahkan
seringkali meruncing pada moment-moment tertentu. Berulangkali kita, para kader
NW dan orang Lombok, menyaksikan konflik itu dirayakan dipanggung-panggung
dakwah oleh elit-elitnya.
Situasi ini sebenarnya
paradoks mengingat landasan utama perjuangan NW berpusat pada tiga lokus, yakni
pendidikan, dakwah, dan sosial. Ketiga aras perjuangan ini memuat nilai-nilai
yang menuntut dan menuntun pada persaudaraan, persatuan, pembangunan sosial,
pendidikan masyarakat, dan lain sebagainya. Ketika nilai-nilai tersebut
diperjuangkan oleh organisasi yang terpecah, maka di saat itu lah perpecahan di
tubuh NW melahirkan paradoks pada dirinya sendiri.
Konflik NW yang
berujung pada perpecahan bermula setelah sepeninggalan al-magfurullah TGKH
Zainuddin Abdul Majid – pendiri NW – pada 21 Oktober 1997. Kedua putri beliau,
Siti Rauhun dan Siti Raihanun masing-masing mengklaim sebagai penerus
kepemimpinan ayah mereka. Konflik ini kemudian berkembang pada perebutan
kekuasaan sebagai Pengurus Besar NW, yang pada Muktamar X tanggal 24-26 Juli
1998 di Praya Lombok Tengah menghasilkan keputusan Raihanun sebagai ketua umum
PBNW. Namun, keputusan tersebut menurut kubu Pancor cacat hukum, tidak sah, dan
penuh kecurangan.
Hal tersebut
menimbulkan polemik berkepanjangan. Menurut Hizbullah, kedua kubu merasa
memiliki landasan pembenaran. Ketika Hizbullah mewawancarai Tuan Guru Anas Asri
dari kubu Anjani dan Tuan Guru Yusuf Ma’mun dari Pancor, kedua tuan guru sepuh
tersebut masing-masing mengklaim memiliki data yang valid mengenai proses
jalannya muktamar X yang menjadi asal-mula konflik. Bahkan, TGB Zainul Majdi pun,
menurut Hizbullah mengklaim memiliki data dan informasi yang benar.
Kubu Pancor akhirnya
memilih TGB Zainul Majdi, putra Siti Rauhun, sebagai ketua Pengurus Besar NW.
TGB Zainul Majdi sendiri terpilih sebagai ketua Pengurus Besar NW pada muktamar
tandingan yang kemudian disebut sebagai muktamar reformasi yang diadakan pada
tanggap 11-12 September 1999 di Pancor Lombok Timur.
Ada yang menarik dari
polemik seputar hasil muktamar yang diadakan di Praya. Hizbullah berhasil
menceritakan secara detail dalam tesisnya mengenai proses dan liku-liku
muktamar tersebut, namun satu aspek yang cukup menarik adalah mengenai proses
perebutan tafsir Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) organisasi.
Dalam AD-ART menyebutkan mengenai mazhab fiqih yang dianut adalah mazhab imam
Syafi’I, dan perebutan tafsir AD-ART yang dimaksud adalah apakah maksud AD-ART
tersebut berarti menganut semua produk hukum mazhab imam Syafi’i atau hanya
sebagian. Jika maksudnya adalah semua produk hukum mazhab imam Syafi’i, maka
termasuk di dalamnya adalah ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin, dan karena
itu, Siti Raihanun tidak sah menjadi ketua PB NW.
NW Pancor ingin
memperjelas maksud AD-ART tersebut dalam sebuah muktamar atau dialog, namun NW
Anjani mengatakan bahwa sudah jelas yang dimaksudkan dalam AD-ART tersebut
adalah sebagian dari mazhab Imam Syafi’i. Alasan kubu Anjani adalah Maulana
Syeikh sendiri semasa hidup pernah merestui kepemimpinan seorang perempuan
menjadi kepala desa di Tratak Lombok Timur.
Menurut Hizbullah dan
beberapa peserta diskusi menyebutkan ada banyak penjelasan mengenai mengapa NW
pecah pada Muktamar X di Praya. Namun yang paling utama adalah ketiadaan sosok
yang tepat menggantikan Maulana Syeikh dari kedua putrinya. Siti Rauhun dan
Siti Raihanun dianggap tidak mampu mengimbangi figure Maulana Syeikh baik
secara intelektual, ketokohan, pemahaman agama, dan pergerekan. Menurut
Hizbullah, Siti Rauhun menyadari persoalan ini dan karena itu tidak berniat
menjadi pemimpin NW, selain disebabkan oleh penghormatannya terhadap
tradisi-tradisi Maulana Syeikh yang berpaham ahlussunnah wal jamaah serta masih ada tokoh lain dari kalangan
keluarga yang lebih mampu, misalnya H. Ma’sum Ahmad Abdul Madjid.
Upaya untuk islah
beberapa kali dilakukan. Pada tahun 2010 upaya ini sempat berhasil dengan
kerjasama kedua pengurus NW Pancor dan Anjani untuk mengusung calon yang sama
pada pemilihan Bupati/wakil Bupati Lombok Tengah. Waktu itu, pihak NW
mencalonkan Lalu Gede M. Ali Wirasakti Amir Murni (Gede Sakti). Namun, seiring
kekalahan calon mereka, konflik kembali berlanjut seperti semula.
Situasi kembali memanas
setelah pada tahun 2014 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham)
mengeluarkan SK mengenai legalitas organisasi yang memenangkan NW versi Pancor
berdasarkan akta pendirian No. 117 di hadapan notaris Hamzan Wahyudi di
Mataram.
SK Kemenkumham tersebut
kemudian digugat oleh kubu Anjani ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Mereka melandaskan gugatan mereka pada hasil muktamar X dan menurut mereka NW
sudah memiliki badan hukum sejak tahun
1960 yang diumumkan diberita negara RI pada tanggal 8 November 1960. Kubu
Anjani mengklaim berdasarkan hal itu, Kemenkumham mencabut SK penetapan kubu
Pancor dan Mahkamah Agung telah mengeluarkan surat nomor 37/K/T/UN/2016 tanggal
17 April 2016 yang menegaskan bahwa NW kubu Anjani lah pengurus sah NW. Pikah
NW Pancor kemudian membantah klaim tersebut dan menggap kasusnya masih berjalan
di MA.
Konflik ini meluas
tidak hanya pada persoalan siapa yang layak meneruskan perjuangan Maulana
Syeikh, tetapi pada siapa yang paling berhak mengurus NW. Karena itu, konflik
pun berujung pada perebutan asset organisasi, yang sayangnya seringkali kita
saksikan di panggung-panggung dakwah. Beberapa video mengenai hal ini dapat dicari
di youtube.
Salah satu kesimpulan
yang muncul dalam diskusi mengenai konflik tersebut adalah tidak ada pemisahan
yang jelas antara aset organisasi dan aset keluarga. Misalnya, dalam beberapa
kesempatan Zainuddin Tsani, putra Raihanun, mengklaim beberapa bangunan di
Pancor adalah kepunyaannya.
Perpecahan di tubuh NW
tidak hanya berlangsung pada perebutan kepengurusan dan aset, tapi menjalar ke
persoalan gelar. Tuang Guru Bajang atau TGB yang tersemat pada nama Zainul
Majdi digugat oleh pihak Anjani karena dianggap yang layak untuk menggunakan gelar
tersebut adalah Zainuddin Tsani. Karena itu Zainuddin Tsani juga menggunakan
gelar tersebut dengan menambahkan huruf R menjadi RTGB (Raden Tuan Guru
Bajang). Pihak Anjani mengklaim bahwa gelar tersebut diberikan langsung oleh
Maulana Syeikh. Klaim ini disampaikan dalam konfrensi pers yang digelar di
Restoran Pulau Dua Senayan Jakarta pada tanggal 3 Oktober 2016. Bahkan Lalu Gede
M. Ali Wirasakti, Roi’s Am Dewan Mustasyar PB NW Anjani, dalam sebuah
kesempatan mengatakan Zainul Majdi telah mengkapitalisasi gelar TGB demi
kepentingan-kepentingan politik.
Namun, pihak NW Pancor
membantah klaim dan tuduhan pihak Anjani. Menurut Tuan Guru Yusuf Ma’mun, gelar
TGB murni panggilan yang diberikan oleh masyarakat, bukan karena faktor
keturunan atau pemeberian keluarga. Zainul Majdi sendiri sebagai pengguna gelar
tersebut menyebutkan bahwa TGB adalah panggilan masyarakat yang ia peroleh dari
aktivitas dakwahnya.
Upaya
Islah Yang Selalu Gagal
Persatuan atau islah
konon diharapkan oleh kedua pihak dari elit-elit NW Pancor dan NW Anjani.
Berbagai cara telah mereka lakukan, tapi jalan ke arah sana tidak kunjung
mulus. Hal ini diakui oleh TGB Zainul Majdi dan pengurus-pengurus NW Pancor
yang lain. Begitu pula dengan pihak NW Anjani. Mereka menyatakan sangat
mendukung upaya islah, namun mereka menganggap pihak NW Pancor tidak serius
mengupayakannya. Apa yang mereka anggap sebagai keseriusan NW Pancor
mengupayakan islah adalah dengan mengakui kepengurusan NW Anjani yang syah, dan
dengan demikian, NW Pancor harus melepaskan jabatan yang mereka klaim.
Menurut pendapat para
pemateri dan peserta diskusi ada beberapa kendala kenapa upaya persatuan atau
islah selalu gagal. Pertama, dapat
disebutkan bahwa faktor yang mula-mula menjadi kendala upaya islah adalah
keegoisan kedua pengurus. Hal ini tercermin dari berbagai pernyataan yang
saling menegasikan di berbagai kesempatan dan pada klaim masing-masing sebagai
pengurus yang paling sah.
Kedua, persaingan
politik. Perpecahan antara kedua NW semakin menemukan bahan bakarnya pada
setiap moment politik. Kedua NW selalu bersaing dan pada juntrungannya
memperbesar konflik dan perpecahan di antara mereka sebab dalam setiap
kontestasi mengandaikan negasi satu dengan yang lain. Terlebih dalam perebutan
kekuasaan yang menentukan seperti perebutan kursi gubernur/wakil guberunur,
bupati/wakil bupati, dan jabatan legislatif. Kendala kedua ini diafirmasi oleh
hasil penelitian tesis Hizbullah yang menyebutkan bahwa konflik seringkai
meruncing di moment-moment hajatan politik. Beberapa peserta diskusi, salah
satunya Ihsan Hamid juga menyetujui pandangan ini. Ia melacak faktor sulit
terwujudnya islah dan persatuan karena karakter NW sebagai organisasi dakwah,
sosial, dan pendidikan telah bergeser ke persoalan perebutan kekuasaan,
terutama setelah Pilkada langsung. Sebagai contoh, untuk hajatan Pilkada 2018,
kedua NW Anjani dan Pancor telah mendeklarasikan calon mereka masing-masing. NW
Anjani mengusung Lalu Gede M. Ali Wirasakti Amir Murni, sementara NW Pancor
mengusung Siti Rohmi Jalilah.
Ketiga,
karakter NW yang berbentuk organisasi yayasan. Persoalan konflik NW berakar
dari problem kepengurusan yang seringkali muncul dalam organisasi yayasan
setelah pendiri pertama mangkat. Pasalnya, organisasi merupakan sumber ekonomi
dan kekuasaan, sehingga ia perlu diperebutkan. Ketika sumber ini tidak bisa
dikuasai oleh satu tangan, maka sumber tersebut akan menjadi rebutan. Dalam
konteks NW, setelah Maulana Syeikh mangkat, tidak ada keturunannya yang dapat
secara penuh meneruskan organisasi, terutama karena ketiadaan penerusnya yang
putra. Barangkali faktor ini dapat menjelaskan “ramalan” Maulana Syeikh yang
termuat di Wasiat Renungan Masa mengenai perpecahan yang akan terjadi di antara
kedua putrinya setelah beliau mangkat.
Keempat, faktor
internal keluarga. Rauhun dan Raihanun adalah dua bersaudara beda ibu. Meski
membutuhkan beberapa penelitian lebih lanjut ataun konfirmasi dari berbagai
sumberu, namun asumsi ini perlu mendapat perhatian. Sebab, bisa jadi asal-mula
konflik berakar jauh pada persoalan keluarga dan berlanjut pada organisasi yang
dikelola sebagai yayasan keluarga.
Kelima, Ada
orang-orang yang tidak menginginkan NW bersatu. Kesimpulan dari faktor ini
tidak untuk melahirkan prasangka di antara para pengurus NW, tapi
kemungkinannya perlu ditelisik. Sebab, NW memang sumber kekuasaan dan ekonomi,
dan ketika sumber ini tidak terfokus dan terpusat pada satu organisasi yang
padu, maka sumber-sumber tersebut juga membuka kesempatan yang lebih besar bagi
pihak-pihak lain untuk turut menikmatinya.
Posisi
TGB Zainul Majdi
Bagian ini sebenarnya,
pada satu bagian, dapat dianggap sebagai faktor keenam kendala islah di tubuh
NW. TGB Zainul Majdi secara umum memang merupakan sosok yang paling lengkap
dari semua keturunan Maulana Syeikh. Beliau cerdas dan memiliki karisma seorang
tokoh, dan karena itu ia tidak hanya popular di masyarakat, tapi juga menjabat berbagai
posisi penting di NTB, yakni sebagai gubernur, ketua PB NW Pancor, dan
sebelumnya menjadi Ketua Partai Demokrat di NTB.
TGB Zainul Majdi
memiliki kemasyhuran, kebesaran, dan kekuatan politk namun bukan berarti ia
sepenuhnya berhasil dengan kelebihan tersebut. Dalam beberapa aspek, berbagai
beban struktural yang dipanggulnya, membuat aspek kultural yang juga diembannya
justru gagal. Sebagai ketua PBNW Pancor, TGB Zainul Majdi berada di pusat
konflik dan dianggap tidak sah oleh kubu Anjani.
Demikian pula dalam
jabatannya sebagai gubernur. Menurut hasil wawancara Hizbullah, TGB Zainul
Majdi oleh pihak Anjani dianggap tidak adil dalam mendistribusikan bantuan bagi
madrasah-madrasah/lembaga pendidikan NW. Pihak NW Anjani menyebut bahwa sepeser
pun mereka tidak pernah mendapatkan bantuan selama TGB Zainul Majdi menjadi
gubernur. Namun anehnya, pihak Pancor pun menyatakan hal yang sama, sebagaimana
ditegaskan Siti Rahmi Djamilah, saudari TGB Zainul Majdi.
Memang, sejak TGB
Zainul Majdi menjabat sebagai gubernur, pembangunan di NW Pancor berjalan pesat
dan signifikan, serta jauh melangkahi pembangunan di Anjani. Di Pancor,
lingkaran akademisnya juga lebih hidup dibandingkan di Pancor. Penyebabnya
barangkali karena kekuasaan TGB mempengaruhi berkumpulnya para akademisi dan
sarjana di Pancor. Hal ini menimbulkan perasaan iri pada pengurus NW Anjani
yang tergambar dari pidato elit-elit mereka yang mengkritik kepemimpinan TGB
Zainul Majdi sebagai gubernur dan ketua PBNW Pancor.
Di samping itu,
walaupun TGB Zainul Majdi berhasil menjabat sebagai gubernur NTB selama dua
priode, hal tersebut bukan berarti NW berhasil memenangkan politik daerah. Konflik yang tak kunjung berakhir menyebabkan
NW mengalami kekalahan dalam beberapa pertarungan politik di daerah. Di Lombok
Timur, pusat NW Pancor dan Anjani, pemimpin pemerintahan dikuasai oleh Ali Bin
Dahlan, yang dalam Pilkada sebelumnya berhasil menggeser calon dari NW Sukiman
dan Lutfi (Saudara TGB Zainul Majdi). Begitu juga dengan apa yang terjadi di
Lombok Tengah. Satu-satunya kabupaten yang dimenangkan oleh NW adalah di kabupaten
Lombok Utara dengan bupatinya Najmul Ahyar.
Kesimpulan
dan Rekomendasi
Konflik di tubuh NW
telah berlangsung hampir dua dekade. Jalan ke arah persatuan atau islah
nampaknya masih jauh. Namun, jika pesatuan atau islah yang dimaksud adalah
menggabungkan kembali dua kubu NW yang masing-masing telah memiliki tempatnya
sendiri, maka hal tersebut tidak perlu dilakukan.
Artinya, pengandaian
bahwa persatuan berarti meleburkan kedua kepengurusan NW Pancor dan Anjani
bukanlah jalan keluar dan hampir mustahil. Yang diperlukan adalah memperbaiki
ikatan-ikatan yang sempat kusut, menurunkan ego, dan membiarkan kedua pengurus
NW berjalan masing-masing. Tidak perlu lagi ada negasi mengenai kepengurusan
yang sah di antara kedua pengurus karena NW memang lahir bukan semata-mata
administrasi. Terlebih, kedua NW tersebut pada dasarnya tidak memiliki kendala
sejarah yang terlalu dalam untuk mengupayakan rekonsiliasi. Dengan demikian, masyarakat
NW dapat melihat konflik dan perpecahan tersebut berujung menjadi positif dan
perjuangan al-Magfurlah Maulana Syeikh dapat berlanjut dengan berbagai tantangan
baru.
Di samping itu, kedua
pengurus perlu mempertimbangkan ulang mengenai kesempatan-kesempatan politik
yang ada. Sebab, kontestasi kekuasaan di tingkat elit NW pada akhirnya mempengaruhi
psikologi masyarakat yang dicerca oleh berbagai kampanye yang tidak jarang
berlangsung di panggung-panggung dakwah.
Yang tidak kalah
penting untuk dipertimbangkan adalah kemungkinan NW menjadi yayasan yang
sepenuhnya terbuka. Artinya, kepengurusan NW tidak lagi berdasarkan pada trah
atau keturunan sehingga dia tidak berpusat pada satu tokoh. NW Pancor
sebenarnya yang paling dekat ke arah ini walaupun jalannya masih cukup panjang.