Para sastrawan memang
punya gaya sendiri, begitu pula Albert Camus. Karya-karya kamus menarik,
menurut saya, karena ‘kesederhanaan’ dalam aspek-aspek sentimentalitasnya.
Camus tidak terobsesi untuk membubuhkan didaktisme dalam karya-karyanya,
tokoh-tokohnya ditampilkan sebagai manusia sehari-hari, tak ada heroism,
muatan-muatan ideologi, nilai-nilai agung, atau pun prinsip-prinsip luhur yang
dibebankan dalam karya-karyanya.
Camus memang sengaja
menghilangkan tendensi untuk menghadirkan manusia (narasi) besar. Mersault
dalam L’Etranger (Orang Asing) atau
dr. Rieux dalam Le Peste (Sampar)
misalnya, adalah tokoh anti-hero. Mersault diletakkan dalam peran yang
sederhana sebagai protagonis, yakni menghadiri pemakaman ibunya, membunuh
secara seorang Arab, dan menjalankan hukuman mati. Begitu pula dengan karakter
dr. Rieux yang bekerja untuk para penderita sampar.
Manusia Camus yang
tergambar dalam karakter tokoh-tokohnya adalah tema atau suara-suara kecil yang
menghancur-leburkan tendensi untuk menemukan totalitas, tatanan besar, moralisme
berpretensi, dan segala pemikiran bersistem. Camus tidak mengajari atau
memperdengarkan ide-ide, tapi kita melihatnya. Misalnya, dr. Rieux tidak
menghutbahkan ide-ide dalam mengorbankan dirinya membantu para penderita sampar
yang sangat mungkin membunuh sang dokter.
Tokoh-tokoh dalam
karya-karya Camus ditampilkan begitu saja dan mereka tidak juga dibebankan
embel-embel yang memberatkan. Camus menampilkan tokohnya sebagai ‘manusia’
belaka. Mersault dan dr. Rieux digambarkan sebagai sosok yang tak beragama atau
pun tak bertuhan, tapi mereka juga tak berpretensi untuk membela diri.
Justru karya-karya
Camus menarik dengan cara demikian. Menempatkan manusia sebagai ‘manusia’
belaka tidak pernah mudah, bahkan barangkali yang tersulit dari yang bisa
dilakukan. Kita terbiasa membubuhi ‘manusia’ dengan imbuhan-imbuhan yang begitu
banyak dan seringkali memberatkan. Kita tidak bisa melihat ‘manusia’ belaka,
tanpa ditambah-tambahkan dengan ras, ideologi, agama, keyakinan, kebangsaan,
dan seterusnya.
Masalahnya apa yang
kita bubuhkan pada kata ‘manusia’ tidak sebatas imbuhan-imbuhan pengenal, namun
sebagai ciri atau karakter yang pasti nan baku. Imbuhan-imbuhan itu pada
akhirnya seringkali sangat merepotkan karena ia menjadi asal-muasal
pengistimewaan, penyingkiran, fragmentasi, dan bahkan pernah sangat merusak dan
kejam. Hitler membinasakan jutaan orang Yahudi karena keyahudiannya. Orang
Negro diperbudak karena warna kulitnya. Dan kita masih dapat membuat daftar
panjang tentang pembinasaan karena kategori-kategori tambahan pada kata
‘manusia’.
Kita memang selalu
terobsesi pada imbuhan-imbuhan dalam kata ‘manusia’ itu. Akhirnya, kita tidak
bisa tidak berpretensi untuk memanggil “orang itu Islam, Kristen, Hindu, Budha,
Sunni, Syi’ah, lesbian, hetero, homo, dan seterusnya.” Persoalannya panggilan
ini seringkali berarti kategori pembagian, pengecualian, penyingkiran, dan
pembedaan.
Sebab itu, barangkali
kita perlu belajar pada manusia-manusia Camus. Mereka bukan manusia luar biasa
ala Charles Baudelaire, penyair Prancis, yang dalam mon Coeur mis a nu berkata; “Di antara manusia hanya penyair,
pendeta, dan prajuritlah yang agung…. Lainnya hanya bagus buat dicambuk.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar