Sabtu, 19 Agustus 2017

Albert Camus

Para sastrawan memang punya gaya sendiri, begitu pula Albert Camus. Karya-karya kamus menarik, menurut saya, karena ‘kesederhanaan’ dalam aspek-aspek sentimentalitasnya. Camus tidak terobsesi untuk membubuhkan didaktisme dalam karya-karyanya, tokoh-tokohnya ditampilkan sebagai manusia sehari-hari, tak ada heroism, muatan-muatan ideologi, nilai-nilai agung, atau pun prinsip-prinsip luhur yang dibebankan dalam karya-karyanya.
Camus memang sengaja menghilangkan tendensi untuk menghadirkan manusia (narasi) besar. Mersault dalam L’Etranger (Orang Asing) atau dr. Rieux dalam Le Peste (Sampar) misalnya, adalah tokoh anti-hero. Mersault diletakkan dalam peran yang sederhana sebagai protagonis, yakni menghadiri pemakaman ibunya, membunuh secara seorang Arab, dan menjalankan hukuman mati. Begitu pula dengan karakter dr. Rieux yang bekerja untuk para penderita sampar.
Manusia Camus yang tergambar dalam karakter tokoh-tokohnya adalah tema atau suara-suara kecil yang menghancur-leburkan tendensi untuk menemukan totalitas, tatanan besar, moralisme berpretensi, dan segala pemikiran bersistem. Camus tidak mengajari atau memperdengarkan ide-ide, tapi kita melihatnya. Misalnya, dr. Rieux tidak menghutbahkan ide-ide dalam mengorbankan dirinya membantu para penderita sampar yang sangat mungkin membunuh sang dokter.
Tokoh-tokoh dalam karya-karya Camus ditampilkan begitu saja dan mereka tidak juga dibebankan embel-embel yang memberatkan. Camus menampilkan tokohnya sebagai ‘manusia’ belaka. Mersault dan dr. Rieux digambarkan sebagai sosok yang tak beragama atau pun tak bertuhan, tapi mereka juga tak berpretensi untuk membela diri.
Justru karya-karya Camus menarik dengan cara demikian. Menempatkan manusia sebagai ‘manusia’ belaka tidak pernah mudah, bahkan barangkali yang tersulit dari yang bisa dilakukan. Kita terbiasa membubuhi ‘manusia’ dengan imbuhan-imbuhan yang begitu banyak dan seringkali memberatkan. Kita tidak bisa melihat ‘manusia’ belaka, tanpa ditambah-tambahkan dengan ras, ideologi, agama, keyakinan, kebangsaan, dan seterusnya. 
Masalahnya apa yang kita bubuhkan pada kata ‘manusia’ tidak sebatas imbuhan-imbuhan pengenal, namun sebagai ciri atau karakter yang pasti nan baku. Imbuhan-imbuhan itu pada akhirnya seringkali sangat merepotkan karena ia menjadi asal-muasal pengistimewaan, penyingkiran, fragmentasi, dan bahkan pernah sangat merusak dan kejam. Hitler membinasakan jutaan orang Yahudi karena keyahudiannya. Orang Negro diperbudak karena warna kulitnya. Dan kita masih dapat membuat daftar panjang tentang pembinasaan karena kategori-kategori tambahan pada kata ‘manusia’.
Kita memang selalu terobsesi pada imbuhan-imbuhan dalam kata ‘manusia’ itu. Akhirnya, kita tidak bisa tidak berpretensi untuk memanggil “orang itu Islam, Kristen, Hindu, Budha, Sunni, Syi’ah, lesbian, hetero, homo, dan seterusnya.” Persoalannya panggilan ini seringkali berarti kategori pembagian, pengecualian, penyingkiran, dan pembedaan.

Sebab itu, barangkali kita perlu belajar pada manusia-manusia Camus. Mereka bukan manusia luar biasa ala Charles Baudelaire, penyair Prancis, yang dalam mon Coeur mis a nu berkata; “Di antara manusia hanya penyair, pendeta, dan prajuritlah yang agung…. Lainnya hanya bagus buat dicambuk.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar