Oleh: Husnul Aqib
Tidak
ada yang lebih tragis dalam sejarah modernisme saat ini selain perang saudara
yang terjadi di negara-negara Timur Tengah. Bahkan kolonialisme pun masih
memiliki sisi yang lebih manusiawi dan beradab.
Tentu
kolonialisme tetap merupakan gambaran yang keji – dan hal tersebut bisa kita
baca dalam teks-teks sejarah atau, secara lebih sentimental, melalui sastra –
namun ia tetap memiliki sisi baik dan janji-janji yang terbukti benar, seperti
lahirnya kecakapan dan tehnik baru, pengenalan sistem, nilai dan kebudayaan
baru, pembangunan infrasturktur, pengenalan spirit zaman baru seperti
modernism, atau intinya persebaran peradaban.
Setidaknya
itulah yang dituliskan Pramoedya Ananta Toer dalam pembukaan teatralogi pulau
Buru, “Bumi Manusia”. Pram menggambarkan dengan lihai peran kolonialisme bagi
munculnya teknologi-teknologi modern semisal kereta api, percetakan, dan
photografi, atau pun remah-remah konsep modernisme yang baru muncul di Hindia
Belanda saat itu dalam istilah “modernisme” itu sendiri.
Pada
sejarah kolonialisme yang lebih awal kita bisa melihat persebaran dan asimilasi
peradaban berlangsung antara peradaban penakluk dan peradaban yang ditaklukkan.
Misalnya, ketika dunia Arab menginfasi daerah-daerah di Barat, mereka
mengasimilasi ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Bahkan aksi kolonialisme
tidak selalu berarti penghancuran atau pun penjajahan. Max Dimont dalam “The Idestructable Jew” menyebutkan bahwa
penaklukan dunia Arab tersebut justru mengakhiri pemindahan agama kaum Yahudi
ke Kristen secara paksa yang telah dimulai oleh Raja Recard pada abad keenam.
Di bawah kekuasaan kaum muslim selama 500 tahun setelah itu, muncul spanyol
untuk tiga agama dan “satu tempat tidur”. Kaum Muslim, Yahudi, dan Kristen
secara bersama-sama menyertai suatu peradaban yang cemerlang.
Orang-orang
Mongolia yang terkenal barbar dalam setiap invasi mereka, seperti kerusakan
hebat yang mereka lakukan di Persia, tapi di Cina mereka justru mempelajari berbagai
hal terkait peradaban.
Bahkan,
di bawah kolonialisme yang menjajah dan merampas, kita masih memiliki
kesempatan untuk membanggakan sesuatu atau merengkuh suatu nilai. Misalnya
perang dan kematian. Dalam perang kolonialisme, terdapat musuh sungguhan yang
dilawan sehingga perang tidak pernah anonim. Dan, akibat perang seperti
kematian bukanlah pertumpahan darah yang sia-sia. Dalam kolonialisme, kematian
bisa dibanggakan. Kematian menjadi peristiwa heroik, pristiwa yang penuh makna,
kematian yang punya tujuan, yakni memperjuangkan hak dasar setiap manusia untuk
meraih kemerdekaan. Kematian punya kehormatan dengan istilah yang terkenal, martir
atau syuhada. Kematian mengajarkan bahwa kehidupan dan hembusan napas itu penuh
arti.
Tapi,
apa yang tersisa dari perang saudara?
Tak
ada yang tersisa dari perang saudara selain kehancuran total. Kematian hanya
mewujud sebagai bangkai, yang mengakumulasi keperihan dan kesedihan. Kematian
yang sia-sia, karena tak ada yang dipertaruhkan selain tirani waktu sekarang
dan keangkuhan. Inilah perang yang paling aneh, karena tidak ada musuh
sungguhan yang dilawan, selain antar saudara yang berperang.
Puing-puing
reruntuhan gedung sama sekali tidak melahirkan sejarah, selain simbol
keangkuhan orang-orang dungu yang berperang untuk kalah. Tak ada kemenangan
yang layak diklaim sebanyak apa pun lawan yang dibunuh, sebab tak ada musuh
kecuali saudara. Karena itu, tak ada juga wilayah yang berhasil direbut atau
dibebaskan sebab perang berkecamuk di atas tanah air sendiri.
Tapi
adakah perang yang bukan perang saudara? Seperti pertanyaan Victor Hugo dalam Les Misérables “La
guerre civile? Qu’est-ce à dire? Est-ce qu’il y a une
guerre étrangère?” “Is there any foreign war? Is not every war between men, war
between brothers?”.
Dan,
adakah perang saudara yang sepenuhnya inters-state
war? Bahkan perang saudara yang berlangsung dalam sejarah Spanyol maupun
Prancis tidak sepenuhnya melibatkan hanya inter-state
combatant. Perang saudara pada akhirnya memiliki dimensi internasional yang
luas. Bahkan, perang saudara berubah menjadi undangan pesta perang antara
kekuatan-kekuatan luar yang memperebutkan sumber daya dan mengamankan
kepentingan.
Karena
itu dapatlah dimengerti ketika Voltaire menyebut “All European Wars are civil
war”. Semua perang di Eropa adalah perang saudara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar