Jumat, 11 Agustus 2017

Antara Kolonialisme dan Perang Saudara

Oleh: Husnul Aqib
Tidak ada yang lebih tragis dalam sejarah modernisme saat ini selain perang saudara yang terjadi di negara-negara Timur Tengah. Bahkan kolonialisme pun masih memiliki sisi yang lebih manusiawi dan beradab.
Tentu kolonialisme tetap merupakan gambaran yang keji – dan hal tersebut bisa kita baca dalam teks-teks sejarah atau, secara lebih sentimental, melalui sastra – namun ia tetap memiliki sisi baik dan janji-janji yang terbukti benar, seperti lahirnya kecakapan dan tehnik baru, pengenalan sistem, nilai dan kebudayaan baru, pembangunan infrasturktur, pengenalan spirit zaman baru seperti modernism, atau intinya persebaran peradaban.
Setidaknya itulah yang dituliskan Pramoedya Ananta Toer dalam pembukaan teatralogi pulau Buru, “Bumi Manusia”. Pram menggambarkan dengan lihai peran kolonialisme bagi munculnya teknologi-teknologi modern semisal kereta api, percetakan, dan photografi, atau pun remah-remah konsep modernisme yang baru muncul di Hindia Belanda saat itu dalam istilah “modernisme” itu sendiri.
Pada sejarah kolonialisme yang lebih awal kita bisa melihat persebaran dan asimilasi peradaban berlangsung antara peradaban penakluk dan peradaban yang ditaklukkan. Misalnya, ketika dunia Arab menginfasi daerah-daerah di Barat, mereka mengasimilasi ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Bahkan aksi kolonialisme tidak selalu berarti penghancuran atau pun penjajahan. Max Dimont dalam “The Idestructable Jew” menyebutkan bahwa penaklukan dunia Arab tersebut justru mengakhiri pemindahan agama kaum Yahudi ke Kristen secara paksa yang telah dimulai oleh Raja Recard pada abad keenam. Di bawah kekuasaan kaum muslim selama 500 tahun setelah itu, muncul spanyol untuk tiga agama dan “satu tempat tidur”. Kaum Muslim, Yahudi, dan Kristen secara bersama-sama menyertai suatu peradaban yang cemerlang.
Orang-orang Mongolia yang terkenal barbar dalam setiap invasi mereka, seperti kerusakan hebat yang mereka lakukan di Persia, tapi di Cina mereka justru mempelajari berbagai hal terkait peradaban.
Bahkan, di bawah kolonialisme yang menjajah dan merampas, kita masih memiliki kesempatan untuk membanggakan sesuatu atau merengkuh suatu nilai. Misalnya perang dan kematian. Dalam perang kolonialisme, terdapat musuh sungguhan yang dilawan sehingga perang tidak pernah anonim. Dan, akibat perang seperti kematian bukanlah pertumpahan darah yang sia-sia. Dalam kolonialisme, kematian bisa dibanggakan. Kematian menjadi peristiwa heroik, pristiwa yang penuh makna, kematian yang punya tujuan, yakni memperjuangkan hak dasar setiap manusia untuk meraih kemerdekaan. Kematian punya kehormatan dengan istilah yang terkenal, martir atau syuhada. Kematian mengajarkan bahwa kehidupan dan hembusan napas itu penuh arti.
Tapi, apa yang tersisa dari perang saudara?
Tak ada yang tersisa dari perang saudara selain kehancuran total. Kematian hanya mewujud sebagai bangkai, yang mengakumulasi keperihan dan kesedihan. Kematian yang sia-sia, karena tak ada yang dipertaruhkan selain tirani waktu sekarang dan keangkuhan. Inilah perang yang paling aneh, karena tidak ada musuh sungguhan yang dilawan, selain antar saudara yang berperang.
Puing-puing reruntuhan gedung sama sekali tidak melahirkan sejarah, selain simbol keangkuhan orang-orang dungu yang berperang untuk kalah. Tak ada kemenangan yang layak diklaim sebanyak apa pun lawan yang dibunuh, sebab tak ada musuh kecuali saudara. Karena itu, tak ada juga wilayah yang berhasil direbut atau dibebaskan sebab perang berkecamuk di atas tanah air sendiri.   
Tapi adakah perang yang bukan perang saudara? Seperti pertanyaan Victor Hugo dalam Les Misérables La guerre civile? Qu’est-ce à dire? Est-ce qu’il y a une guerre étrangère?” “Is there any foreign war? Is not every war between men, war between brothers?”.
Dan, adakah perang saudara yang sepenuhnya inters-state war? Bahkan perang saudara yang berlangsung dalam sejarah Spanyol maupun Prancis tidak sepenuhnya melibatkan hanya inter-state combatant. Perang saudara pada akhirnya memiliki dimensi internasional yang luas. Bahkan, perang saudara berubah menjadi undangan pesta perang antara kekuatan-kekuatan luar yang memperebutkan sumber daya dan mengamankan kepentingan.

Karena itu dapatlah dimengerti ketika Voltaire menyebut “All European Wars are civil war”. Semua perang di Eropa adalah perang saudara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar