Senin, 07 Agustus 2017

Surga

Kira-kira, punyakah saya tempat di surga? Jangan-jangan populasi di surga sudah atau akan penuh. Pasalnya, hari-hari ini banyak orang sudah mengkapling-kapling tempat tinggal di sana. Ibarat orang yang takut kehilangan bagian petak rumah di sana.
Orang-orang ini pun mengklaim dengan cara kasar, seolah mereka lah yang paling berhak, sementara orang lain tak pantas. Pertanyaan saya, mungkinkah kita membutuhkan sertifikat untuk membangun rumah dan pekarangan di surga? Jika demikian, saya justru takut masuk ke dalamnya.
Sudah cukup yang saya dibuat takut di bumi ini. Di sini, manusia berjubel dengan sesamanya, binatang, pepohonan, barang-barangnya, kendaraannya, teknologinya, polusinya, dan gedung-gedung. Diperkirakan, di akhir abad ini jumlah populasi manusia saja akan mencapai sekitar 9 milyar jiwa. Sementara, ada yang menyebut kemampuan bumi untuk menampung “populasi penduduk” dengan standar Eropa tak lebih dari 2 milyar. Lantas, bagaimana standar hidup yang sisasnya? Bayangkan sendiri, ibarat sebuah rumah yang tadinya hanya mampu menampung 4 orang, pada waktu belakangan harus menampung 20 orang. Karena itu saya khawatir kita akan berakhir pada kanibalisme dalam arti simbolik dan literal.
Dulu, untuk mencapai populasi dunia 1 milyar jiwa, butuh hingga hampir 2 abad, sekarang hanya dalam hitungan 50 tahun. Robert Malthus sudah sejak tahun 1798 memperingatkan dalam “Essay on Population, bahwa hubungan antara pertumbuhan populasi dan kebutuhan riil tidak akan berjalan seimbang. Malthus menyebutkan teorinya bahwa jumlah penduduk cenderung meningkat secara geometris/deret ukur, sementara kebutuhan riil meningkat secara aritmatik/deret hitung.
Sebab itu, jika di surga saya harus berdesak-desakan, buat apa saya harus mengejarnya. Apalagi harus bersamaan dengan orang-orang yang pelitnya tidak ketulungan, sebab surga pun hendak mereka monopoli. Lagi pula, mereka ini juga suka pamrih, suka meneriaki Tuhan pemilik surge supaya hanya mereka yang didengar. Lantas, jika saya hendak mengadu di sorga, mungkinka saya didengarkan?

Namun, kalau saya mengingat kisah, berita, dan gambaran tentang neraka, saya pun takut dan ngeri. Jangankan melihat orang disiksa begitu rupa dengan kepedihan tiada akhir, melihat darah pun saya tak cukup berani. Lantas, adakah tempat buat saya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar