Sabtu, 05 Agustus 2017

Perempuan

Oleh: Husnul Aqib
Perempuan seringkali absen, bahkan dalam cerita yang hendak menampilkannya, atau dalam suara yang hendak berbicara tentangnya.
Di Lombok, ada sebuah epos lokal yang terkenal dan diperingati setiap musim hujan, tepatnya pada musim bau nyale. Dia lah legenda Putri Mandalika. Konon, Putri Mandalika berbesar hati berkorban demi banyak orang ketika membuang diri ke laut. Saat itu, dia merupakan putri sebuah kerajaan lokal yang kecantikannya bersinar ke berbagai penjuru. Inilah yang mengundang para pangeran dari berbagai kerajaan untuk mempersuntingnya. Menjadi objek rebutan membuat Mandalika risau dan bingung, sebab situasi tersebut dapat berujung peperangan berdarah-darah. Memilih satu pangeran hanya akan mengundang serangan pangeran lain.
Mandalika hanya menemukan jalan keluar pada dirinya seorang. Akhirnya, suatu hari ia mengumpulkan orang tuanya, para pangeran, dan rakyatnya di sebuah bukit yang tebingnya berbatasan langsung dengan laut. Singkat cerita, setelah berpamitan kepada para hadirin, Mandalika melemparkan diri ke laut, sebuah keputusan mengorbankan diri demi kedamaian dan ketentraman bersama. Konon, karena pengorbanannya Mandalika tidak mati binasa, tapi berubah menjadi cacing laut, yang pada saat-saat tertentu di musim hujan dapat ditangkap di tepi pantai. Cacing ini biasanya diolah menjadi pepes atau masakan lainnya dan dipercaya memiliki segudang khasiat.
Banyak yang menilai bahwa Putri Mandalika adalah simbol kebesaran perempuan Sasak yang berani berkorban di satu tujuan yang lebih besar dan mulia. Tapi saya bersikeras bahwa legenda itu cerita tentang kematian perempuan baik dalam arti literal maupun dalam makna simbolik. Dalam cerita itu, Mandalika, sebagai representasi perempuan, ditempatkan sebagai “piala rebutan”. Ia juga tidak membuang dirinya ke laut sebagai simbol kebebasan, tapi penyerahan diri. Itulah kenapa Mandalika tidak binasa sepenuhnya dalam keputusan altruisnya membuang diri ke laut. Ia berubah wujud dalam bentuk cacing, supaya ia dapat memenuhi hasrat semua orang pada tubuhnya.
Legenda-legenda serupa – Nyi Roro Kidul misalnya di Jawa – memang menghadirkan sosok perempuan namun sekaligus untuk membatasi, mengurung, atau menyingkirkannya. Sosok perempuan memang menjadi tokoh utama, tapi keberadaan mereka selalu dalam situasi yang tak tersentuh.
Cerita semacam ini juga terjadi dalam legenda yang lain. Siapa yang tidak mengetahui legenda dari Yunani tentang mahluk dunia bawah tanah yang berbadan dan berambut ular, tapi berwajah perempuan. Medusa. Mahluk yang dalam Inferno, novel Dan Brown, disebut sebagai monster chthonic ini memiliki kekuatan pada tatapannya, namun karena itu ia juga tidak bisa disentuh. Setiap yang melihat tatapannya akan berubah menjadi batu.
Citra tak tersentuh itu tidak hanya terekam pada legenda-legenda, namun juga muncul dalam instrument-instrumen terkini. Film Wonder Woman misalnya. Walaupun film ini digarap untuk menghadirkan sosok pahlawan baru, yang tidak selalu laki-laki, bukan berarti Wonder Woman berhasil menghadirkan perempuan. Seperti legenda yang lain, dalam Wonder Woman, perempuan hadir untuk sekaligus dinihilkan.
Diana Prince sebagai Wonder Woman merupakan anak perempuan Zaus. Diana dibesarkan disebuah pulau paradise ciptaan Zaus, Themyscira di pedalaman hutan Amazon. Uniknya, selain tersembunyi dari dunia luar, pulau tersebut hanya ditinggali perempuan. Di tempat inilah Zues menitipkan Diana pada ratu pulau tersebut, Queen Hippolyta. Tempat ini baru tersingkap secara tidak sengaja karena kecelakaan pesawat yang dialami Steve Trevor.
Secara sederhana, film ini juga menempatkan perempuan sebagai yang tak tersentuh. Kesan ini terwakili mula-mula pada ketersembunyian pulau Themyscira dan kesendirian penghuninya. Namun bukan hanya itu, Diana Prince juga memang pahlawan, namun dalam citra kepahlawanan khas laki-laki, yakni dengan kekuatan, maskulinitas, dan kehebatannya sendiri. Dan, dalam akhir film, Wonder Woman akhirnya sendirian seorang diri.

Legenda, epos, atau film tersebut memang cerita tentang perempuan, namun cerita oleh dan untuk laki-laki. Le parle femme atau suara perempuan, dalam istilah Luce Irigaray, karena itu tak pernah hadir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar