Oleh: Husnul Aqib
Perempuan seringkali
absen, bahkan dalam cerita yang hendak menampilkannya, atau dalam suara yang
hendak berbicara tentangnya.
Di Lombok, ada sebuah epos
lokal yang terkenal dan diperingati setiap musim hujan, tepatnya pada musim bau
nyale. Dia lah legenda Putri Mandalika. Konon, Putri Mandalika berbesar hati
berkorban demi banyak orang ketika membuang diri ke laut. Saat itu, dia
merupakan putri sebuah kerajaan lokal yang kecantikannya bersinar ke berbagai
penjuru. Inilah yang mengundang para pangeran dari berbagai kerajaan untuk
mempersuntingnya. Menjadi objek rebutan membuat Mandalika risau dan bingung,
sebab situasi tersebut dapat berujung peperangan berdarah-darah. Memilih satu
pangeran hanya akan mengundang serangan pangeran lain.
Mandalika hanya
menemukan jalan keluar pada dirinya seorang. Akhirnya, suatu hari ia
mengumpulkan orang tuanya, para pangeran, dan rakyatnya di sebuah bukit yang
tebingnya berbatasan langsung dengan laut. Singkat cerita, setelah berpamitan
kepada para hadirin, Mandalika melemparkan diri ke laut, sebuah keputusan
mengorbankan diri demi kedamaian dan ketentraman bersama. Konon, karena
pengorbanannya Mandalika tidak mati binasa, tapi berubah menjadi cacing laut,
yang pada saat-saat tertentu di musim hujan dapat ditangkap di tepi pantai.
Cacing ini biasanya diolah menjadi pepes atau masakan lainnya dan dipercaya
memiliki segudang khasiat.
Banyak yang menilai
bahwa Putri Mandalika adalah simbol kebesaran perempuan Sasak yang berani
berkorban di satu tujuan yang lebih besar dan mulia. Tapi saya bersikeras bahwa
legenda itu cerita tentang kematian perempuan baik dalam arti literal maupun
dalam makna simbolik. Dalam cerita itu, Mandalika, sebagai representasi perempuan,
ditempatkan sebagai “piala rebutan”. Ia juga tidak membuang dirinya ke laut
sebagai simbol kebebasan, tapi penyerahan diri. Itulah kenapa Mandalika tidak
binasa sepenuhnya dalam keputusan altruisnya membuang diri ke laut. Ia berubah
wujud dalam bentuk cacing, supaya ia dapat memenuhi hasrat semua orang pada
tubuhnya.
Legenda-legenda serupa
– Nyi Roro Kidul misalnya di Jawa – memang menghadirkan sosok perempuan namun
sekaligus untuk membatasi, mengurung, atau menyingkirkannya. Sosok perempuan
memang menjadi tokoh utama, tapi keberadaan mereka selalu dalam situasi yang
tak tersentuh.
Cerita semacam ini juga
terjadi dalam legenda yang lain. Siapa yang tidak mengetahui legenda dari
Yunani tentang mahluk dunia bawah tanah yang berbadan dan berambut ular, tapi
berwajah perempuan. Medusa. Mahluk yang dalam Inferno, novel Dan Brown, disebut
sebagai monster chthonic ini memiliki
kekuatan pada tatapannya, namun karena itu ia juga tidak bisa disentuh. Setiap
yang melihat tatapannya akan berubah menjadi batu.
Citra tak tersentuh itu
tidak hanya terekam pada legenda-legenda, namun juga muncul dalam
instrument-instrumen terkini. Film Wonder Woman misalnya. Walaupun film ini
digarap untuk menghadirkan sosok pahlawan baru, yang tidak selalu laki-laki,
bukan berarti Wonder Woman berhasil menghadirkan perempuan. Seperti legenda
yang lain, dalam Wonder Woman, perempuan hadir untuk sekaligus dinihilkan.
Diana Prince sebagai Wonder Woman merupakan anak
perempuan Zaus. Diana dibesarkan disebuah pulau paradise ciptaan Zaus,
Themyscira di pedalaman hutan Amazon. Uniknya, selain tersembunyi dari dunia
luar, pulau tersebut hanya ditinggali perempuan. Di tempat inilah Zues
menitipkan Diana pada ratu pulau tersebut, Queen Hippolyta. Tempat ini baru
tersingkap secara tidak sengaja karena kecelakaan pesawat yang dialami Steve
Trevor.
Secara sederhana, film
ini juga menempatkan perempuan sebagai yang tak tersentuh. Kesan ini terwakili
mula-mula pada ketersembunyian pulau Themyscira dan kesendirian penghuninya.
Namun bukan hanya itu, Diana Prince juga memang pahlawan, namun dalam citra
kepahlawanan khas laki-laki, yakni dengan kekuatan, maskulinitas, dan kehebatannya
sendiri. Dan, dalam akhir film, Wonder Woman akhirnya sendirian seorang diri.
Legenda, epos, atau
film tersebut memang cerita tentang perempuan, namun cerita oleh dan untuk
laki-laki. Le parle femme atau suara
perempuan, dalam istilah Luce Irigaray, karena itu tak pernah hadir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar