Sabtu, 04 Juli 2015

Sebuah Kapal

Dua pasang peri kecil mengarungi lautan lepas dengan kapal mungil mereka. Mula-mula mereka begitu percaya bahwa lautan dengan segala rupa kegelapannya bukanlah apa-apa. Tak mungkin, mereka percaya tak mungkin kapalnya menyerah pada lautan. Kedua peri kecil itu percaya kapal mereka tak akan karam sebelum perjalanan usai. 
Begitulah dua peri tak berpengalaman itu mengarungi lautan. Mereka terpukau akan keindahan laut yang misterius. Mereka lupa menyadari bahwa selain keindahaan, lautan juga dipenuhi godaan, ilusi, fatamorgana, dan tentunya marabahaya yang muncul dari kombinasi sinar matahari dan kegelapan dasar laut.
Hasrat mereka sudah bulat. Kedua peri itu percaya laut adalah lautan misteri. Hanya dengan mengarunginya mereka percaya dapat sedikit mencecap ke dalam misteri itu. Mereka dua pasang peri yang sedang mabuk. Mereka terlalu mabuk sehingga lupa mengingat bahwa medan pelayaran mereka adalah misteri. Apa yang akan terjadi selama pelayaran juga misteri. Apa pun bisa terjadi, siapa pun bisa berubah, keyakinan dapat terhempas, keberanian terkikis, dan cinta-kasih menjadi asin.
Beberapa waktu pelayaran, kapal mereka mulai terguncang. Padahal pelayaran mereka belum beranjak terlalu jauh. Ombak yang belum menggulung-gulung sedikit demi sedikit dan semakin jelas mengikis lambung kapal. Badai yang tak seberapa merobek layar kapal. Pengarungan semakin berat, dan benar laut adalah misteri. Apa pun bisa terjadi dan siapa pun bisa berubah. Laut tak pernah tanggung-tanggung menguji siapa pun yang berani mengarunginya.
Masing-masing dari kedua peri itu kembali mengingat-ingat. Mereka mulai mengingat-ingat daratan. Mereka mulai membongkar memori-memori yang tersimpan dalam sebuah diary dari batu kapur.
Celakanya, kedua peri mulai ragu pada keputusan-keputusan mereka. Mereka meragukan pelayaran mereka. Mereka menyesali kepercayaan diri mereka, dan menakuti keberanian mereka. Yang terburuk mereka mulai mengutuk kapal yang mereka tumpangi;
This ship is taking me far away
Far away from the memories of the people
Who care if I live or die
Kutukan, keraguan, dan penyesalan menyebabkan kapal mereka rapuh. Mereka lupa bahwa kapal itu mereka buat dari kayu yang tumbuh dari bibit yang mereka tanam. Bibit yang diterbangkan burung tak bernama dari taman eros.  
Kini kapal mereka sedikit demi sedikit mulai berlubang dan ari laut merembes. Perlayaran mereka akan semakin berat.
Semuanya tergantung. Kapal mereka bukan sekedar tumpangan, kapal itu adalah komitmen mereka. Mereka harus mulai merawat kapal mereka jika tak ingin karam di tengah lautan yang gelap-gulita.   


Rabu, 17 Juni 2015

Jalan Lain Mengafirmasi Merang Sasak



Saya ingin memulai tulisan ini dengan sentimentil dan polemis.
Dalam banyak perjumpaan saya dengan semeton-semeton Sasak, saya seringkali dibuat gusar dengan perbincangan yang dipenuhi dengan narasi keagungan asal-usul, pencarian silsilah kebangsawanan yang dirujuk pada kerajaan atau tokoh-tokoh tertentu yang keberadaannya begitu samar dalam ruang sejarah – ada yang mengaku sebagai datu, raja terakhir, atau keturunan tokoh-tokoh yang terkadang secara historis sangat problematis. Menurut saya, hal semacam ini adalah kecenderungan-kecenderungan orang-orang yang gagal “move-on”. Oleh karena itu, saya berharap tidak terlalu sering terlibat dalam perbincangan-perbincangan seperti itu.
Yang lebih baik, meski hal ini juga tidak kalah problematis, terutama jika ditilik melalui kacamata-kacamata teoritis, yakni ambisi apokalipsitik. Yang saya maksud dengan ambisi apokalipstik adalah kecenderungan pembukaan lembaran-lembaran berdebu dari primordialitas dalam tatanan sosial yang sangat komplek ini untuk menemukan “tonggak” bagi peradaban. Ambisi itulah yang diupayakan dalam Jurnal Merang Sasak ini, setidaknya untuk terbitan pertama ini, yang tergambar dari tema besarnya dan rumusan pemimpin redaksinya, Daud Gerung. Ambisi dan spiritnya untuk menemukan sebuah ‘tonggak’ bagi peradaban masyarakat Sasak, dan kemudian dengan sangat ambisius mengupayakannya sebagai ‘tonggak’ untuk entitas yang lebih besar, Nusantara, adalah formula yang menarik, baik sebagai inovasi intelektual dan terutama pada konsep-konsepnya yang problematik.
Saya sangat antusias ketika pertama kali mendengar bahwa kita akan memiliki sebuah ‘tonggak’ pegangan yang bisa mengokohkan langkah-langkah kita dalam menjejaki kekalutan-kekalutan waktu. Tapi tidak berselang lama, saya mulai bersedih karena tonggak itu seperti janji tentang masa lalu, kehadiran yang tidak hadir akibat kelembaman sejarah; ia bukan kehadiran yang belum pasti hadir dari fantasi masa depan, yang materialitasnya kita harapkan.
Kategori-kategorinya dipenuhi dengan aura masa lalu, konsep-konsep yang telah mencapai kepenuhan seperti kepenuhan masa lalu. Kita diperkenalkan dengan subjek yang utuh, jati diri, identitas yang akan bisa ditemukan, dan telos sejarah yang menuntun pada tujuan kita padanya, serta dalam prosesnya kita membutuhkan para penjaga, para pengemban, dan para pencipta, atau para pencari Nilai yang menjadi jalan yang harus dijejaki, yang akan menstabilkan persatuan dan gerak kita.  
Nilai itu luhur, dimensi yang menjadi pesonanya. Namun keluhurannya yang sangat luhur itu seringkali membuat ambisi ini rabun membaca ‘kenyataan’. Seolah-seolah kita tengah berada pada tatanan sosial yang terpecah-pecah dan mengandaikan sebuah fondasi dari elemen-elemen metafisis masa lalu sebagai perekat dan pemersatu, suatu kondisi akhir yang dibutuhkan bagi oposisi dan perlawanan, atau seolah-olah kita masih punya kategori-kategori yang sama untuk menyebut realitas dengan masa-masa di mana ‘tonggak’ sangat diperlukan. Ambisi apokalipstik itu terlalu lama menengok ke belakang, dan mengabaikan kompleksitas dunia yang kita jejali.
Seperti ada ketakutan pada ketakpastian masa kini dan masa depan – sulit sekali kita mendengarkan ‘masa depan’ sebagai salah satu sumber nilai, barangkali karena ketidakpastiannya, dan bukankah hal itu membuatnya rancu menjadi sumber? – atau ketakmampuan manusia yang sedang hidup ini untuk menjangkau realitas sehingga begitu ragu untuk menemukan nilai-nilai dari realitas yang kita hidupi, dan karenanya merasa butuh untuk menemukan sebuah rujukan ideal, yang digali dari timbunan masa lalu, dengan kerumitan-kerumitannya, dan dibawa pada konteks yang sedang kita tinggali.
Saya mengerti sepenuhnya kegelisahan yang kita alami bersama, kegelisahan tentang kesemrawutan tatanan sosial kita, tentang keburukan ‘nasib’ masyarakat kita yang tergambar pada fakta-fakta buruk seperti kemiskinan, keterbelakangan, kenestapaan, tentang kemandekan-kemandekan, tentang ketidakpastian rujukan-rujukan, tentang ketidakhadiran di panggung-panggung besar, hingga tentang moralitas yang tergerus. Tapi, saya tidak yakin bahwa solusinya adalah sebuah ‘tonggak’ yang kemudian disebut suprastruktur ideologi. Saya juga mengerti bahwa, kaum subaltern – jika kita ingin membaca keberadaan kita sebagai kaum subaltern – butuh untuk berbicara dan bersuara sehingga eksistensinya berarti, tapi jangan sampai juga suara kita terdengar menggelikan.
Di samping itu, kita perlu menyadari sisi lain dari tonggak itu, seperti bagian kasar dari sebuah sponge yang halus – yang untuk sementara, saya melihat justru bagian kasar itulah yang mendominasi – yakni sisi berbahaya dari kepolosan ambisinya, yakni Merang; ambisi tentang soliditas, solidaritas, sebuah gerak perjuangan, dan kolektivitas yang intim.
Sisi berbahaya yang seharusnya tidak boleh luput itu adalah kecenderungan sikap reduksionistik, yang menampilkan masyarakat sebagai sebuah totalitas, dengan identitas monolitis dan homogen. Sikap reduksionistik itu juga cenderung mengidentifikasi identitas secara paranoid. Inilah bentuk pengidentifikasian ‘para budak’ dengan ‘perasaan dendam’, yakni kecenderungan orang lemah untuk menciptakan penderitaannya penuh makna dengan menyalahkan orang lain dan menciptakan “khayalan balas dendam” (imaginary revenge). Saya tidak mengharapkan apa pun dari merang sasak jika moralitasnya adalah moralitas budak itu, dengan tindakan-tindakannya yang reaksioner.
Ideologi itu juga problematik dalam kebimbangannya menemukan tujuan atau cita-cita strategis yang memang tidak lagi mudah ditentukan dan rancu dalam menentukan oposisinya, selain dengan cara mentotalisasi realitas (masyarakat Sasak) sebagai kategori yang utuh, definitif, dan tunggal, dan karenanya menyimpan potensi yang berbahya, yakni karakter totaliter, terutama pada kenyataan dan perbedaan.
Karena itu, kita butuh membaca ulang untuk mengafirmasinya, – sesuatu yang tidak mudah – dengan pertama-tama menyadari bahwa kita tidak bisa mentotalisasi kenyataan, bahkan kita tidak lagi punya kategori-kategori baku untuk menyebut sesuatu dan ini berarti kita tak punya lagi unsur-unsur untuk membangun tonggak. Membuang karakter fondasionalistik dari terminologi primordial tersebut sangat penting sebagai langkah membuang unsur-unsur yang membahayakan, atau langkah menciptakan keterbukaan. Di samping itu, daripada membuatnya sebagai kategori totalistik, untuk mengafirmasinya yang kita perlukan menempatkannya sebagai kategori strategis, sebagai sebentuk ‘esensialisme strategis’, sebagai politik artikulasi, rumusan imanen bagi gerak perjuangan, dan dengan demikian gerak perjuangan terus-menerus berlangsung tanpa pendasaran total dan kategori-kategori baku. Bahkan, gerak dan tindakan-tindakan itu dapat terus-menerus berlangsung tanpa menunggu ‘manusia agung’, ‘para pengemban’, ‘para penjaga’ atau apa pun namanya.
Itulah ‘tugas’ saya dalam tulisan ini; memproblematisir kategori-kategori. Ambisi merang sasak ini sangat besar, spiritnya sangat luhur, dan karena itu semua unsur-unsur yang membentuknya harus ‘dipermasalahkan’; dia tidak boleh diberikan kesempatan yang terlalu cepat untuk berlenggak-lenggok di depan tatapan kita, lenggak-lenggok yang bisa jadi menghalangi kita melihat realitas, melihat problem-problem yang mengkonstitusinya; dan inilah cara saya harus menanggapinya.
Pembacaan saya adalah cultural studies. Diskursus kebudayaan ini menurut saya memberikan kita ‘retina’ yang baru untuk melihat perkembangan konsep-konsep, bongkar-pasang kategori-kategori, dan karenanya mengomfirmasikan kelabilan kosakata-kosakata yang kita pakai dalam mengidentifikasi diri, identitas diri, maupun identitas sosial. Dus, kesadaran ini juga memberi kesadaran baru dalam proses refleksi.
 Problem Merang Sasak
Merang Sasak; konsep ini mengesankan pemikiran yang optimistik, usaha yang luhur untuk mengungkap signifikansi primordialitas, penemuan pada yang asli di tengah-tengah elemen-elem ‘asing’ yang mengkontaminasi layaknya virus AIDS yang menggerogoti tubuh, perjuangan kebudayaan yang beralas pada sejarah lokal di tengah sikap totaliter negara-bangsa dan globalitas dunia, obsesi untuk menemukan ‘penerang’ di tengah kekaburan-kekaburan jalan sejarah, tonggak bagi teguhnya peradaban lokal dan kemudian Nusantara.
Kita patut mengafirmasi obsesi, ambisi, dan optimismenya, karena tidak mudah lagi menemukan ekspresi-ekspresi semacam itu mengingat tatanan dunia yang mulai sangat kompleks dan rumit, serta diskursus ilmu pengetahuan yang terus bergeser. Kita patut mengacungkan jempol atas keberaniannya merumuskan konsep yang memformulasi heterogenitas tatanan, dan dibakukan dalam terminologi yang membangkitkan perasaan yang meluap-luap. Meskipun, segala ekspresinya yang meluap-luap itu terdengar seperti kesembronoan anak-anak muda yang tengah di mabuk asmara.
Seperti saya ungkapkan sebelumnya, disebabkan keluhurannya, Merang Sasak lupa memperhatikan problematika terminologis, epistemologis, dan situasional perkembangan dunia. Barangkali disebabkan oleh rasa getir dan kedongkolan terhadap realitas masyarakat, Merang Sasak seringkali mengulang konsep “jati diri”, identitas kita, hingga nilai-nilai yang dapat dijadikan tonggak peradaban. Optimisme ini didasarkan pada asumsi bahwa ada jati diri masyarakat Sasak yang telah hilang dan karena itu harus ditemukan, direvitalisasi, dan diberikan signifikansi baru bagi masa depan kehidupan yang lebih baik, atau ada identifikasi tunggal di antara kita yang bisa merepresentasikan keseluruhan kita, serta ada nilai-nilai luhur dan universal (obsesi untuk menjadi tonggak Nusantara) yang dimiliki masyarakat Sasak.
Gagasan tentang “jati diri” memang terdengar agung. Konsep tersebut menggambarkan individu yang telah menemukan arti menjadi manusia, inti batin yang tak terkontaminasi, diri yang terpusat, tunggal, memiliki kemampuan nalar, dan tindakan sebagai wujud kesadaran murni. Tapi, secara teoritis, gagasan tersebut adalah terminologi yang absurd, ambigu, dan tak jelas apa maksudnya. Begitu juga dengan “identitas kita”. Konsep itu membayangkan bahwa penandaan selalu beroperasi sederhana, antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Bahwa ada identitas masyarakat Sasak yang bisa ditunjuk secara jelas dan homogen dalam representasinya. Sementara dalam obsesinya sebagai ‘tonggak’, Merang Sasak, pertama-tama mengabaikan materialitas sejarah, bahwa lahan sebagai tempat tonggak itu berdiri tidak lagi sama. Di sisi lain, permanensi sebuah tonggak cenderung membawa pada pembakuan hal-hal yang sebenarnya cair, tidak perlu dipatok, dan mereduksi kompleksitas-kompleksitas menjadi homogen.
Jati Diri Atau Subjek Yang Terpecah?
Gagasan tentang ‘jati diri’, ‘diri yang utuh’, atau ‘jiwa yang tak terkontaminasi’, manusia yang telah menemukan arti kemanusiaannya masih sering kita temukan dalam konsep-konsep para pencari kesejatian, para spiritualis, atau para mistikus, yang memiliki keyakinan bahwa melalui laku-laku tertentu dapat menemukan maqom manusia yang manunggal. Tentu, kita tak bisa menegasikan kepercayaan seperti itu, karena terkait sekali dengan pengalaman personal dan kejiwaan seseorang. Dan, pada titik itulah terdapat keunikan dan sekaligus persoalannya. Pengalaman itu unik karena didasarkan pada pengalaman persoanal yang partikular, sebagai hasil dari aktivitas-aktivitas spiritual, laku-laku mistis dan kontemplatif, serta penyucian diri; namun sebagai kategori sosiologis, kita tidak bisa mengidentifikasi masyarakat, sebuah entitas besar dan heterogen berdasarkan pengalaman-pengalaman partikular dan personal. Saya tidak ingin sembrono mengatakan bahwa ‘kesejatian diri’ mustahil direngkuh dalam diskursus para spiritualis dan mistikus, tapi bukankah terlalu beresiko jika kategori itu juga digunakan untuk menunjuk individu-individu dan masyarakat, karena kita akan cenderung mengabaikan faktisitas sejarah yang centang-perenang, kompleks, dan rumit, yang melingkupi sebagian besar individu-individu dalam masyarakat.
Tanpa mengabaikan kehebatan dan keagungan para spiritualis dan mistikus, saya lebih bisa menerima bahwa sejarah manusia merupakan sejarah kejatuhan dan kontaminasi. Kita bisa membawa kisah Adam dan Hawa, sang Bapak dan Ibu manusia dalam hal ini. Ketika Adam dan Hawa dijatuhkan dari surga, akibat terkontaminasi oleh rayuan Iblis yang cerdik, situs kejatuhan mereka adalah dunia yang centang-perenang, yang penuh tragedi, bukan lagi tempat yang kudus, aman, dan nyaman di surga. Kejatuhan Adam dan Hawa merupakan awal tragedi kemanusiaan, karena kejatuhan mereka adalah kejatuhan tanpa kebangkitan kembali, sebuah keterjebakan yang tak punya jalan untuk kembali.
Kejatuhan Adam dan Hawa adalah takdir kejatuhan grade manusia. Ketika mereka terjatuh ke dalam dunia (tatanan simbolik), kejatuhan mereka adalah gambaran diri yang terkontaminasi, yang profan, yang kehilangan ‘jati diri’ atau diri yang penuh karena mereka mulai dibatasi oleh hukum-hukum dunia. Tak memungkinkan lagi bagi Adam dan Hawa untuk memperlakukan diri sebagai penghuni surga. Surga hanyalah nostalgia terhadap kehadiran masa lalu, yang kehadirannya selalu dihasrati, walaupun mustahil terwujud kembali.
Dalam metafora yang lain, sejak masuk ke dalam tatanan simbolik, manusia ibarat kupu-kupu yang telah bermetamorfosis dan keluar dari kepompongnya. Di luar kepompong perlindungan adalah dunia kedatangan tanpa jalan untuk kembali, karena kupu-kupu tak mungkin lagi merengkuh kenyamanan dan keamanan dalam rumah kepompong untuk menyusun kembali sayap-sayapnya yang telah terkoyak oleh hempasan angin, benda-benda, dan para pemangsa. Menghasrati kepompong perlindungan tidak lebih adalah nostalgia pada yang tak mungkin.
Ibarat kupu-kupu di luar kepompong perlindungan, manusia di dalam tatanan simbolik adalah subjek-subjek yang sudah selalu terkontaminasi, sudah selalu terpecah antara diri dan yang lain. Tatanan simbolik adalah ‘panggung kekejaman’ tempat segala upaya individu untuk menstabilkan identitasnya keseluruhan atau kesatuannya, sekuat apa pun ikhtiar itu, akan selalu ditumbangkan karena dunia sosial atau tatanan simbolik itu, tempat individu harus menemukan identitasnya diciptakan oleh yang lain, dan selalu menghilangkan kontrol individu. Terdapat kontradiksi yang tak terselesaikan pada yang simbolik. Individu hanya bisa menjadi indefenden, membangun diri ke dalam yang simbolik, tetapi yang simbolik selalu melewati kontrol dan tidak pernah memberikan pada individu subjektivitas yang stabil tanpa sebuah jurang pemisah antara identitas dan diri individu.
Tatanan simbolik adalah tatanan yang menginterplasi subjek, hasrat mereka adalah hasrat yang menuntut subjek untuk menghasrati sesuatu. Hal ini karena interplasi selalu terjadi melalui mediasi yang lain, entah itu negara, pendidikan, orang tua, guru, agama, atau moral yang telah diinternalisasikan pada subjek. Dengan kata lain, terdapat suatu eksternalitas yang eksis indefenden dari individu yang melaluinya individu tersebut dikonstitusikan.
Dengan demikian, di dalam tatanan simbolik, di bawah keharibaan interplasi, akan selalu terwujud ‘subjek yang pecah’ akibat jejak-jejak interplasi yang lain, yang telah terukir atau tengah berlangsung dalam diri individu. Dalam analogi yang lain, kita tak ubahnya hommelette atau sebutir telur pecah yang tidak lagi menemukan bentuknya yang pasti. Bagaimana mungkin kita mengklaim keutuhan atau kesejatian, jika ‘diri’ kita terangkai dari berbagai kepingan pengalaman-pengalaman yang tercerai-berai; terbentuk dari fragmen-fragmen waktu yang tak pernah berkumpul dalam satu entitas kehadiran. Kita tak bisa menemukan titik identifikasi diri yang utuh dan stabil, atau watak permanen subjektivitas, selain keutuhan yang lahir akibat represi tatanan simbolik.
Persoalan identifikasi diri kita terus-menerus semakin rumit. Penyebabnya tentu saja tatanan simbolik dunia yang melingkupi kita semakin kompleks. Jika sebelumnya, hanya ‘hukum bapak tradisional’ yang berperan dominan dalam mengkonstitusi dan merawat subjektivitas kita, dalam situasi dunia kita hari ini, bukan hanya ‘hukum bapak tradisional’, tetapi terlalu banyak elemen yang mengambil andil dalam membentuk jaringan-jaringan tubuh, pola kesadaran, bahkan bayangan kita. Elemen-elemen itu berserak di mana-mana dan datang dari mana-mana, kehadirannya tidak bisa diprediksi dan strateginya tidak bisa ditentukan seperti memperkirakan kedatangan musuh dengan strategi serangannya dalam peperangan kombatan, karena kehadiran elemen-elemen itu bertubi-tubi tanpa ada waktu jeda, menyusup dibelakang penglihatan kita, dan karenanya kita tak bisa mengidentifikasi ‘musuh’ secara pasti. Inilah peperangan total tanpa perlawanan berarti, sebaliknya kita menginternalisasi kekuataannya yang massif, efektif, dan lebih eksploitatif dibandingkan praktik-praktik serupa sebelumnya.      
Bukankah tubuh kita adalah objek yang paling rentan bagi situs operasi kekuasaan? Terlalu banyak jaringan kuasa yang berhasrat memberikan citra tentang tubuh dan menjadi rujukan orang-orang untuk membentuk dan merawat tubuhnya, memposisikan subjek tertentu pada langgam wacana tertentu tentang tubuh, menjadikan manusia sebagai subjek sekaligus objek, membentuk kesadaran individu-individu di bawah vektor-vektor perbedaan yang sangat beragam dan mikroskopik, yang melaluinya kita sebagai subjek terbentuk, dan cara kita sebagai subjek mengidentifikasi diri. Dalam keharibaan kekuasaan yang terus-menerus, beroperasi melalui strategi-strategi disipliner yang kompleks, yang masuk dalam serat-serat kapiler tubuh, yang mengkonstitusi dan menggenerasi “tubuh-tubuh yang patuh” sehingga bisa ditundukkan, dipakai, ditingkatkan, direproduksi, dan dieksploitasi terdengar menggelikan mengklaim ‘mitos agung tentang batin’. Terutama ketika prosesnya berlangsung secara total, karena kekuasaan datang dari mana-mana melalui teknologi-teknologi disipliner yang muncul di berbagai wilayah melalui kuasa disiplin sekolah, universitas, organisasi massa, lembaga moral dan politik, rumah sakit, rumah sakit jiwa, penjara, dan berbagai diskursus yang menciptakan subjektivitas dengan cara membuat individu tampak, kita perlu membuat klaim tentang batin terdengar lebih spesifik, jika mungkin, dalam diskursus dimana tatapan kekuasaan tidak signifikan – namun kita harus menyadari bahwa upaya-upaya semacam itu semakin sukar karena teknologi kekuasaan terlalu banyak dan berdampak total.
Bisakah kita mengklaim kesejatian, jika, sebagai contoh, iklan dalam strategi kapitalistis setiap saat mengkolonisasi tubuh kita melalui citra tentang warna kulit yang terbaik untuk disebut tampan dan cantik, tentang bentuk tubuh yang tepat dan terbaik entah untuk alasan kesehatan, atau bentuk-bentuk tubuh yang sesuai bagi citra zaman, dan melalui citra-citra itu kita mulai mengidentifikasi tubuh kita; dan strategi itu tentu saja tidak hanya berlangsung dalam periklanan, tapi juga video, film, hingga film-film ‘biru’, dan ilmu kesehatan juga mengambil dominasi yang baik bersama-sama dengan iklan dalam jaringan yang cukup sederhana; dan bagaimana iklan juga melemparkan setiap saat ke depan tatapan kita tentang pola fashion yang paling ‘masuk akal’ entah untuk alasan kecantikan, life style, hingga citra religiusitas dalam masyarakat konsumen; dan sedihnya, strategi operasi kekuasaan semakin mudah, karena tidak hanya didominasi oleh media televisi – gambar-gambar visual yang bergentayangan di kepala kita, tanpa kita bisa memferivikasinya karena bukan kenyataan yang terpenting melainkan hanya simulasi atau gambaran-gambaran visual itu sendiri –, namun yang lebih mengkhawatirkan adalah terkait perkembangan kontemporer dunia internet. Bagaimana kita bisa mengklaim ‘kesucian’ jika ‘terkontaminasi’ terus-menerus, melalui alat-alat elektronik super canggih yang memberi kabar terus-menerus, yang mengajak berbincang, dan meceritakan ‘dongeng’ bukan untuk pengantar tidur tapi ‘dongeng’ tentang bagaimana kita seharusnya, yang mengkolonisasi ruang-ruang yang kita miliki?   
Yang lebih menyedihkan, operasinya bahkan semakin massif, karena pada kenyataannya, data-data pribadi kita dengan sangat mudah direnggut tanpa kita sadari melalui yang dimasukkan dalam account-account media sosial yang kita gunakan di internet, alat-alat elektronik yang kita gunakan, dan menjadi data-data statistik – yang membuat tubuh kita menjadi sangat transfaran, dan karena itu menjadi situs yang mudah bagi praktik kolonisasi komoditas-komoditas konsumsi, dan melaluinya berbagai teknologi-teknologi kapitalistik menancapkan kekuasaannya di tubuh kita.
Oleh karena itu, daripada mengklaim kesejatian diri yang tak terkontaminasi, saya lebih percaya diri untuk mengatakan bahwa diri dan tubuh individu adalah entitas yang sangat rapuh. Kerapuhannya tentu saja disebabkan mula-mula oleh ketidakmungkinan individu melampaui tatanan simbolik, serta akibat gempuran kuasa yang menyebabkan subjektivitas individu tidak pernah otonom dan hadir sebagaimana adanya. Menganggap subjektivitas individu tidak pasti dan dibatasi, terkonstruk dalam jalinan strategi kompleks kekuasaan memberikan perspektif yang baik untuk menyadari bahwa kita tidak bisa menemukan bentuk subjektivitas yang lengkap, utuh, dan permanen, dan dengan demikian kita dituntut untuk menyadari bahwa tidak ada totalitas karena individu adalah prododuk dari rangkaian berbagai kepingan wacana yang menyusun fragmentasi subjektivitas individu.
Anggapan tersebut tidak berarti menghilangkan keunikan individu; meskipun kita tunduk pada “cap sejarah”, bentuk khas yang kita miliki, tatanan khas dari berbagai unsur wacana, bersifat unik bagi masing-masing individu, sebab kita memiliki pola hubungan dan akses sumber-sumber yang unik. Bukankah tidak ada bentuk yang sama dari struktur wacana dunia sosial yang mempengaruhi subjektivitas individu? Oleh karena itu, ketidakpastian diri tidak membuat tindakan inovatif menjadi bermasalah sebab ia dapat dipahami sebagai hasil praktis dari kombinasi unik struktur, wacana sosial, dan tatanan psikis. Inovasi dan perubahan mungkin dilakukan karena kita merupakan individu antarwacana yang khas dan bersifat kontradiktoris.
Menyadari bahwa kita sudah terjangkiti kontaminasi yang inharen dalam eksistensi kita sebagai manusia dalam tatanan simbolik dunia adalah lebih baik, setidaknya memberikan dua keuntungan secara personal, yakni ibarat sebuah virus dalam tubuh, kita menyadari bahwa memang kita sudah terkontaminasi oleh virus dan hal ini baik, karena kita bisa mawas diri, menyusun cara-cara untuk menghadapi atau menanggapi virus itu, meskipun bisa jadi cara-cara kita menghadapi dan menanggapinya tidak akan berarti signifikan, dan inilah keuntungan kedua itu; kita bisa menerima kenyataan secara lebih gembira.
Identitas Yang Stabil atau Senantiasa Bergeser?
Kalau yang dimaksud ‘jati diri’ sebagai sebagai identifikasi diri individu dalam tatanan sosial, sehingga dalam akumulasinya sebuah masyarakat memiliki inti atau esensi yang menjadi identifikasi ‘jati diri’, maka ide tersebut lupa mengingat bahwa dunia sosial tidak bisa dipahami sebagai suatu totalitas. Totalitas adalah kesembronoan yang mengabaikan heterogenitas elemen-elemen diskursif yang mengartikulasi tatanan sosial atau masyarakat.  Misalnya, tidak sulit untuk melihat bahwa karena antara wacana-wacana identitas yang berbeda-beda (etnisitas, kelas sosial, gender, umur, dll) tidak terdapat hubungan yang otomatis atau niscaya, maka para perempuan Sasak belum tentu berbagi identitas dan identifikasi yang sama, begitu juga halnya dengan laki-laki Sasak.  
Kita memang tak bisa mengabaikan bahwa kita mempunyai seperangkat sumber-sumber simbolis yang sama – sejarah, leluhur, kesamaan pengalaman pada titik tertentu, dan simbol-simbol kebudayaan – tetapi kita juga tak bisa mengabaikan bahwa identitas juga ditata menurut kaidah perbedaan. Identitas tidak bisa dilihat sebagai gambaran dari keadaan yang tetap dan alamiah, melainkan sebagai proses menjadi. Dengan demikian, kita tak bisa mengklaim ada esensi yang musti ditemukan, karena identitas diciptakan dalam vektor-vektor persamaan dan perbedaan. Dan titik perbedaan yang menjadi dasar pembentukan identitas berjumlah banyak dan terus bertambah, di antaranya; identifikasi kelas, gender, seksualitas, umur, pilihan dan ideologi politik, moralitas, agama, serta heterogenitas situs-situs intraksi yang dijejali. Masing-masing dari posisi diskursif tersebut pun tidak stabil.
Oleh karena itu, seseorang tidak hanya terdiri dari satu, tetapi beberapa identitas yang bahkan bisa saja bertentangan,  menyeret ke berbagai arah, sehingga proses identifikasi kita bergeser-geser. Kalau pun ada perasaan keutuhan, hal ini hanya karena kita menyusun kisah penenang atau “narasi diri” tentang diri kita.
Dengan kata lain, identitas bersifat labil, dan tak bisa dikurung dalam sebuah ‘kesejatian’.  Identitas tidak punya sumber orisinalitas tunggal, melainkan merupakan hasil hubungan antarunsur. Identitas utuh dan tunggal itu tidak ada karena identitas sudah selalu terkontaminasi, dan semua identitas mengandung jejak dari berbagai sumber. Kalaupun ada sebuah citra ‘keutuhan’, citra itu dibutuhkan dari kebutuhan kita pada sebuah penunjukan, atau citra yang lahir dari praktik diskursif, konotasi-konotasi hegemonis yang menstabilkan untuk sementara suatu formasi tertentu.
Setiap satuan penandaan (misalnya sebagai laki-laki atau perempuan Sasak) selalu mengisyaratkan permainan bipolar di antara berbagai hal yang sebetulnya terlalu ambivalen dan terlalu kompleks untuk disederhanakan ke dalam satu bentuk penandaan. Identitas tidak selalu hadir dalam watak tunggal yang koheren, tapi malah lebih sering menampakkan watak paradoksal. Mereduksi identitas ke dalam sumber-sumber simbolik penandaan tunggal, berarti mengabaikan pergeseran identitas dalam penciptaan kemungkinan-kemungkinan baru.
Di sisi lain, mengklaim secara essensial mengabaikan pengaruh struktur besar dalam sejarah yang turut merefresentasikan identitas kultural sebuah komunitas atau etnisitas, seperti refresentasi kolonial atau/dengan refresentasi antropologis, atau bagaimana negara membentuk refresentasi tertentu sesuai dengan keinginan dan bayangan status quo. Dalam konteks kita, masyarakat Sasak, tidak bisa juga diabaikan terkait identitas yang dibentuk sebagai citra turistik. Saya tidak ingin membahas panjang lebar mengenai bagaimana identitas lokalitas dikonstruk oleh struktur besar, berbagai refrensi yang telah ditulis oleh para akademisi dan para peneliti bertebaran sangat banyak. Secara generatif, apa yang bisa kita lihat adalah bagaimana identitas tidak bisa dilihat dalam terminologi esensialis dengan bentuk-bentuk yang permanen, baku, dan universal.  
Jika secara konseptual, kita kesulitan untuk menentukan identifikasi baku dan tunggal, perkembangan dunia kontemporer secara praktis sangat menyulitkan setiap usaha-usaha untuk menstabilkan narasi-narasi baku terkait klaim identitas dalam terminologi primordialitas. Saat ini kita berada pada situasi yang sangat rumit, kompleks, dan sangat sukar menentukan sebuah patokan utama untuk menunjukkan karakter-karakter khusus. Proliverasi dan diversifikasi situs intraksi sosial yang dimungkinkan oleh perkembangan-perkembangan teknologi menyulitkan kita mengidentifikasi subjektivitas tertentu dengan identitas baku. Sebagai contoh, dibandingkan dengan manusia abad ke-19, manusia hari ini memiliki jangkauan relasi, ruang, dan tempat yang lebih luas untuk berintraksi. Perkembangan-perkembangan ini memungkinkan orang yang sama dapat berpindah dari posisi subjek yang satu ke yang lain seturut situasi.
Barangkali tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa kosmopolitanisme mulai menjadi bentuk kehidupan sehari-hari kita, dalam arti meski nilai-nilai dan makna-makna yang terikat oleh tempat masih penting, semakin lama kita semakin terlempar ke dalam jaringan-jaringan yang menjangkau jauh melampaui lokasi-lokasi fisik kita. Pola-pola pergerakan dan perpindahan populasi yang terbentuk pada era kolonialisme dan kelanjutannya, bersama dengan percepatan globalisasi yang lebih kontemporer (terutama dalam hal komunikasi elektronik), telah meningkatkan juktaposisi, perjumpaan, dan percampuran budaya.
Kenyataan itu mendorong kita untuk merefleksikan kebudayaan tidak selalu sebagai “keseluruhan cara hidup”, dan karenanya dituntut untuk menempatkan ulang pemahaman budaya dengan lebih menekankan metafora perjalanan daripada metafora tempat, route daripada root. Metafora perjalanan dapat membantu kita memikirkan identitas dalam pengertian ketidakmenentuan, ketidakpastian, dan pengertian identitas yang bergerak, ketimbang kemutlakan-kemutlakan.
Di sisi lain, budaya yang dipahami dalam metafora tempat memang semakin sukar ketika konteks dan situs intraksi orang-orang semakin luas dengan hadirnya dunia maya, ruang yang tak bisa diukur dengan ukuran-ukuran fisik-matematis. Di samping itu, karakteristik dunia baru ini adalah lebih mendatangi daripada dikunjungi, karena seseorang bisa saja berada di dunia itu tanpa bergerak dari tempatnya
Itulah tatanan simbolis dunia yang semakin rumit dan berdampak besar pada pandangan kita, dan konsep-konsep subjektivitas dan identitas kita. Pertanyaan-pertanyaan retoris tentang subjektivitas dan identitas kita tidak akan pernah berhenti seturut elemen-elemen yang mengontaminasi dan menyusunnya datang dari mana-mana. Bagaimana kita bisa mengklaim kesejatian atau keaslian subjektivitas dan identitas jika hal-hal yang membentuk kesadaran mendatangi bahkan tanpa kita sadari, terutama melalui teknologi komunikasi-informasi, kabar-kabar dari layar televisi, status-status ‘teman-teman’ di account media sosial, surat-surat tanpa pengantar, dan situs-situs intraksi yang tersebar di mana-mana, menginterplasi kita dengan sangat aktif, efektif, massif, dan eksploitatif; atau jika cara kita mengidentifikasi diri mulai sangat ditentukan oleh komoditas apa yang kita konsumsi – karena apa yang dikonsumsi (dalam masyarakat konsumen) bukan objek tertentu dengan kuganaan dan keperluannya, tetapi sebagai komoditas identifikasi; kita mengkonsumsi untuk lebih berbeda, dan melalui perbedaan itu kita memiliki status sosial dan makna sosial. Inilah kenikmatan konsumsi; konsumsi dibeli sebagai gaya ekspresi dan tanda, prestise, kemewahan, kekuasaan, dan lain sebagainya. Komoditas konsumsi menjadi sistem yang menjamin regulasi tanda dan integrasi kelompok (identitas), karena mengkomunikasi komoditas juga berarti mengkomunikasikan banyak, termasuk dari kelompok mana kita dan berbeda dengan yang lain.
Sangat banyak memang yang mengontaminasi dan mengkonstitusi kedirian kita, tapi menurut saya, kita tak perlu terlalu meratapinya. Hal itu berguna memberikan kepercayaan diri untuk menyadari bahwa diri kita bukan subjek dengan identitas komplit, tetapi subjek sebagai proses yang terus-menerus atau dengan kata lain, kita tak bisa mengklaim bahwa diri kita merupakan sebuah pulau, karena kita eksis dalam jaringan relasi yang kini makin kompleks dan bergerak ketimbang sebelumnya.  
Dalam konteks yang lebih luas, kenyataan itu membuka katup mata kita bahwa masyarakat bukan fenomena monolitis, bahkan pada konteks tertentu sangat terfragmentasi. Menganggap masyarakat sebagai kategori totalitas adalah kesembronoan yang mengabaikan irregularitas elemen-elemen, dan proses sejarah yang terjadi di tengah masyarakat.   
Oleh karena itu, daripada berpikir tentang identitas sebagai kategori subjektivitas yang utuh, saya lebih memilih untuk melihatnya sebagai snapshot dari makna yang membuka, atau merupakan pemosisian strategis yang memungkinkan makna tercipta. Identitas selalu terus-menerus dalam perumusan. Pengalam saya, misalnya, sebagai seorang “Sasak”, “muslim”, “laki-laki” selalu terbuka untuk terus-menerus dikaji. Identitas tidak punya koordinat yang tetap dan satu, karena itu ia senantiasa bergeser dan bertransformasi sesuai dengan perbedaan dan pergeseran sosio-kultural yang menjejali kita. Identitas adalah sebuah “teks” yang menunda akhirnya. Kita harus terus-menerus menulisnya agar tetap ingat bahwa identitas bukan entitas netral, melainkan dibentuk dalam vektor-vekto perbedaan yang implisit dalam gerak sejarah. Dengan kata lain, ia tidak bisa dipatok secara utuh ke dalam satu konsep tunggal dan baku, melainkan terus-menerus dimaknai, ditafsirkan, dan direkayasa.
Dalam hal ini saya sangat menyukai analogi ‘kain penutup ketelanjangan diri’ dari James Baldwin. Dia mengatakan, identitas dapat diibaratkan kain yang menutup ketelanjangan diri. Paling baik bila kain yang dikenakan itu longgar sedikit seperti jubah di padang pasir yang masih bisa menyebabkan ketelanjangan itu dirasakan, dan kadang-kadang dapat ditilik. Dapat dilihat bahwa kain tersebut pada dasarnya tidak pernah komplit, sama seperti halnya kita memandang suatu identitas yang tak akan pernah tahu kelengkapannya seperti apa.
Dalam konteks yang lebih luas, saya lebih menyukai subjek dalam analogi para pelancong dibandingkan para peziarah. Kedua analogi ini memang menggambarkan perjalanan, tapi jika peziarah mengandaikan kepastian tujuan, maka para pelancong membuka diri pada ketidakpastian-ketidakpastian; jika para peziarah sudah mengidentifikasi pristiwa-pristiwa yang akan ditemuinya, para pelancong membiarkan pristiwa-pristiwa yang tak menentu mendatanginya.   
Masihkah Kita Berada Pada Zaman Tonggak?
Saya sangat tidak yakin mengenai kemungkinan kita untuk menyusun atau kembali ke ‘zaman tonggak’, sejarah sebagai keutuhan yang lurus, linier, dan teleologis. Kita perlu menyadari tentang citraan gamblang terhadap fragmentasi dunia kita; sekarang kita hidup pada zaman objek yang parsial, seperti cermin yang dihancurkan secara berlebihan, dan berkeping-keping. Pada dunia yang terfragmentasi mustahil menggeneralisasi narasi bersar tentang kenyataan atau menanggulanginya. Kita tak bisa lagi mengungkit masa lalu selain sebagai nostalgia yang retak, yang dibayang-bayangi oleh kebimbangan-kebimbangan, serta di samping itu, tak ada totalitas final yang menanti kita pada kencan masa depan.
Perkembangan-perubahan dunia ini perlu dikhawatirkan oleh orang-orang yang merasa penting bahwa setiap nilai progresif harus mengacu pada standar-standar legitimasi yang absolut.
Saya tidak begitu mengerti terkait motif yang membuat kita merasa penting menemukan sebuah pendasaran, entah pendasaran mental, sosial, politik, atau kebudayaan, yang barangkali bisa kita sebut dalam istilah, yang menurut saya rancu, suprastruktu ideologi, ketika apa yang kita sebut sebagai ‘Realitas’ tidak bisa lagi dirujuk dengan pasti, misalnya tentang konsep ruang-waktu dalam apa yang disebut Paul Virilio dengan ruang-dromospherik atau ruang-kecepatan – Virilio memperkenalkan konsep yang menarik tentang dromology yang berkaitan dengan pentingnya kecepatan yang menentukan. Virilio tertarik dengan hancurnya batas-batas yang disebabkan oleh perubahan teknologi yang kelewat batas dalam bentuk transfortasi, komunikasi, telekomunikasi, komputerisasi, dan seterusnya. Bentuk awal perubahan ini menyebabkan perubahan atas susunan spasial, terutama hancurnya batas-batas fisik-spasial. Akibatnya, distingsi di sana dan di sini tidak lagi berarti apa-apa. Kecepatan, menurut Virilio, tidak hanya menyulitkan distingsi spasial, namun akibatnya kita tidak bisa membedakan ruang dari waktu. Pembuluh sinar katoda – entah yang kita jumpai di televisi atau komputer – menyebabkan dimensi spasial tidak dapat dipisahkan dari kecepatan transmisi. Di samping tereliminasinya ruang, dalam kecepatan – terutama kecepatan komunikasi ilmu pengetahuan dan informasi – menciptakaan dunia citraan dan penampakan yang membingungkan. Kita lantas tidak mampu mengatakan dimana kita, jam berapa, atau apa yang harus kita lakukan. Virilio menggambarkan ini dengan krisis konseptualisasi dan representasi akibat rusaknya penilaian-penilaian yang nyata, hilangnya rujukan-rujukan yang nyata, dan disintegrasi berbagai standard.
Dalam ruang-dromospherik, kita telah bergerak dari dunia citraan yang harmonis ke dunia di mana citraan-citraan sangat tidak harmonis. Meskipun kita sanggup merasakan banyak hal, tapi akibat citraannya yang berlalu begitu cepat, dia tidak banyak meninggalkan bahan-bahan yang berarti bagi aktivitas refleksif kita.
Kabar ruang-drmospherik yang disampaikan Virilio seharusnya mengkhawatirkan, jika kita tetap terobsesi pada sebuah tonggak. Karena kita seperti hendak membangun sebuah fondasi di atas landskap yang bergerak tunggang-langgang dalam kecepatan, yang membuatnya luput dari segala upaya penangkapan kita.
Salah satu tokoh yang berbincang dalam aras yang mengabarkan krisis konseptualisasi dan representasi adalah Jean Baudrillard. Baudrillard menggambarkan situasi yang melingkupi dunia kita sekarang ini dengan “zaman simulasi”, zaman di mana dialektika antara tanda dan realitas terkoyak, yang tersisa adalah tanda atau simulasi, yang ada hanyalah “permainan penanda-penanda... dimana kode tidak lagi merujuk kembali pada “realitas” yang subjektif atau objektif, tetapi pada logika itu sendiri.”
Kolonisasi simulasi yang tersebar luas, terutama melalui perkembangan media informasi dan komunikasi, merupakan alasan umum bagi pengikisan perbedaan antara yang nyata dengan yang imajiner, yang benar dan yang palsu.  Yang benar dan yang nyata mati, lenyap dalam longsoran simulasi. Bagi Baudrillard, zaman ini ditandai oleh arus simulasi dan citra yang menakjubkan yang menyapu tuntas, sebuah hiperealitas di mana kita dijejali dengan citra dan informasi. Awalan hiper dalam hiperealitas menandakan arti “lebih dari nyata”. Yang nyata diciptakan berdasarkan sebuah model yang tidak berasal dari kenyataan yang terberi, tetapi direproduksi secara artifisial sebagai sesuatu yang nyata, kenyataan disentuhkan kembali dengan dirinya dalam keserupaan yang sarat halusinasi. Untuk menggambarkan simulasi ini, Baudrillard memperkenalkan konsep implosi. Dalam tulisan Baudrillard, implosi atau ledakan ke dalam adalah istilah yang menggambarkan keruntuhan batas antara dunia nyata dan simulasi. Contohnya, antara media dengan dunia sosial, sehingga “TV itulah dunia”. TV menyimulasi situasi-situasi kehidupan nyata, bukan hanya untuk merepresentasikan dunia, tapi lebih untuk menjalankan dunianya sendiri. Penampilan ulang pristiwa “kehidupan nyata” dalam berita membuat kabur batas antara “yang nyata” dengan simulasi, antara hiburan dengan pristiwa terkini.
Akibat kematian dialektika dan yang nyata, mustahil memimpikan harapan-harapan humanistik yang besar. Misalnya, Baudrillard berseberangan dengan Marxian, dalam zaman yang dikolonisasi oleh kode dan tanda, uang dan buruh mengambang sebagai tanda ketimbang menjadi realitas yang material.  Oleh karena itu, kapitalisme modern bagi Baudrillard lebih merupakan “rumah bordil kapital yang digeneralisasikan, rumah bordil bukan untuk pelacuran tetapi untuk substitusi dan komunikasi; buruh tidak lagi sebuah kekuasaan tetapi sama sekali sebuah tanda di antara sekian banyak tanda. Buruh tidak lagi reproduktif, tapi hanya reproduksi (tanda dan kode).” Akibatnya, buruh dan pabrik lenyap karena mereka ada di mana-mana. Bagi Baudrillard, konsumen dapat dipandang sebagai buruh-buruh dan oleh sebab itu, shopping mall bisa dipahami sebagai pabrik-pabrik (tanda dan kode). Apa yang tersisa, buruh tidak bisa lagi dipahami sebagai kekuatan revolusioner.
Dalam situasi zaman seperti itu, mustahil mengklaim sebuah narasi agung tentang ‘tonggak’. Ketika dialektika dan yang nyata tercerai-berai di bawah hempasan simulasi, dunia bergerak dalam sirkuit yang terputus-putus tanpa rujukan atau lingkaran. Dalam keadaan semacam itu, kita seperti membangun tonggak dari tiang-tiang yang ringkih, bahkan medan tempat tiang itu dipancangkan pun lunak dan tak bisa menampung benda padat.
Dalam konteks kebudayaan, kita tak bisa terlalu yakin bahwa aktivitas-aktivitas kebudayaan sebagai ekspresi kebudayaan yang agung, karena simulasi bahkan ada di mana-mana, aktivitas-aktivitas kebudayaan hanyalah rupa dari proses simulasi. Misalnya, bisakah kita yakin bahwa Desa Sade di Lombok itu bisa disebut sebagai praktik Kebudayaan atau hanya simulasi kebudayaan? Betul bahwa, rumah-rumah mereka menjaga arsitektur bangunan rumah orang dulu, merajut benang, kain, mempraktikkan praktik-praktik kebudayaan tradisional, dan lain-lain, tapi apa yang ada saat ini barangkali hanya simulai dari apa yang telah dilakukan oleh orang-orang dulu pada waktu dulu? Atau parade dan festival kebudayaan yang dicerabut dari akar sosialnya demi tujuan promosi pariwisata? Sebagai kepulauan dan pemerintahan yang mengklaim diri sebagai situs kesenangan pariwisata, kebudayaan sangat rentan direproduksi sebagai efek simulasi.
Menyadari Sisi Berbahaya
Konsentrasi berlebihan Merang Sasak pada nostalgia akan masa lalu dan keinginan untuk mengontrol masa depan, mengaburkan perhatiannya pada sejarah faktis kita yang centang-perenang. Merang Sasak terobsesi pada sejarah sebagai gerak pengulangan, bahwa ada plot yang pasti, dan setiap individu dari masyarakat Sasak harus bergerak maju sesuai dengan idealisasi plot yang direncanakan. Sejarahnya adalah gerak kompromisasi perbedaan-perbedaan ke dalam satu sistem integral yang dapat mewadahi segala-galanya. Merang Sasak lantas membayangkan dirinya sebagai sistem yang secara metavisis dapat menopang segala anasir yang berbeda dan membuatnya menjadi satu.
Di situlah ‘sisi berbahaya’ yang harus disadari dalam Merang Sasak. Ia menciptakan kategori-kategori atas partikularitas, mencari kesatuan-kesatuan makna dari berbagai hal yang plural, dan melakukan penunggalan atas kemajemukan. Segala hal yang berbeda dari kategorinya direduksi dan dicari titik kesamaannya sehingga bisa dihasilkan metonimi yang baku. Dengan melakukan ini, Merang Sasak sebagai sistem metafisis atau disebut sebagai suprastruktur ideologi berpotensi mereduksi yang lain dalam ekonomi kesamaan (economy of the same) dan menyeragamkan perbedaan, dalam satu sitem homogen.
Keyakinannya adalah hasrat kuasa, yakni keinginan untuk menguasai kenyataan yang centang-perenang dengan mereduksi kompleksitas agar mudah digerakkan. Proses reduksi terhadap kenyataan ini dilakukan dengan mengabstraksikan berbagai hal yang sengkarut dan lepas dari kesadaran, lalu mengurungnya menjadi satu dalam sebuah kategori dan konsep, yakni merang itu sendiri. Sebagai konsep tentang struktur, ia ingin menjaring segala persoalan ke dalam satu rumusan tunggal.
Jelaslah, masyarakat tidak bisa dilihat sebagai kategori esensial. Asumsi bahwa masyarakat memiliki karakteristik esensial walaupun sepertinya asumsi-asumsi semacam itu berangkat dari keinginan etis, namun ia juga bisa memiliki konsekuensi politik yang besar, yang menguntungkan suatu kelompok dan merugikan yang lain, atau menjerumuskan sebuah komunitas dalam ketertutupan. Misalkan ide bahwa ada identitas metafisis yang musti ditemukan atau diwujudkan sebagaimana tergambar dalam pernyataan ‘semua orang bisa menjadi Lombok, tapi tidak semua orang bisa menjadi Sasak’ menimbulkan suatu pemahaman bahwa ada identitas yang bersifat ekslusif yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang tertentu. Atau dalam gagasan bahwa kebudayaan mesti dijaga dan diselamatkan menimbulkan suatu pemahaman bahwa ada beberapa individu dan kelompok (seperti dalam istilah Merang Sasak, langlang) seharusnya mendapatkan otoritas dan legitimasi sebagai para pengemban dan para penjaga, hirarki yang terbuka lantas diciptakan. Masalah ini, tentu saja, beberapa individu atau kelompok tertentu menggunakan posisi kekuasaan dan otoritas posisi itu digunakan tidak saja untuk mengontrol praktik-praktik, tapi juga berpotensi menjadi teror bagi praktik-praktik yang tidak perlu dikontrol.
Sebuah Panggung Terbuka
Memang, ada rasa khwatir, perasaan murung, dan suara rintih. Bagaimana tidak, kita seperti terjebak dalam ambiguitas yang kronis; di satu sisi pergeseran-pergeseran ilmu pengetahuan dan perkembangan dunia membuat segala patokan yang kita buat menjadi ringkih, sementara di sisi yang lain, gerak materialitas perkembangan-perkembangan tidaklah sama, ada yang bergerak dalam ritme yang cepat, dan ingin mempengaruhi ritme-ritme yang masih lamban. Kita perlu merespon kecepatan dan kelambanan, tapi segala respon yang kita berikan terdengar menggelikan. Berusaha mengerem atau menghadang ketidakpastian ritme sejarah yang tak bisa lagi dipatok secara linier seperti upaya yang dipastikan gagal, atau agaknya cukup hanya untuk memberikan ketenangan, sebuah obat bagi kegelisahan-kegelisahan kita. Tapi masalahnya, kita sudah terlanjur mengetahui bahwa obat itu sama sekali tak ampuh.
Situasi dunia kita sudah sangat cair dengan perjumpaan-perjumpaan yang tidak bisa dipastikan, kepingan-kepingan kehidupan yang berlalu dengan cepat dan terfragmentaris. Dalam konteks primordial, masihkan kita bisa bicara dalam kosa kota yang sama seperti yang dulu, atau kah kita perlu cara lain untuk mengeluarkannya dari ujung lidah?
Saya percaya bahwa kita masih punya kesempatan untuk berbicara tentang primordilaitas, karena kita tak bisa melupakan bahwa ada arena, medan antagonistik yang melembam dalam kompleksitas dunia sosial. Melupakan keberadaan arena sama artinya dengan ketidakadilan karena melupakan atau mengabaikan bahwa ada materialitas riil yang nyata terjadi; bahwa ada masyarakat yang kurang beruntung, ada gerak sejarah yang lebih lambat di belahan bumi yang lain, ada ‘asal-usul’ primordial tempat kita berasal serta membentuk sebagian kesadaran personal dan karena itu menimbulkan rasa lebih tanggungjawab, ada ‘wajah leluhur’, ada belahan geografis yang mengikat perhatian lebih dibanding yang lain. Itulah Pulau Lombok.
Pulau Lombok adalah materialitas riil yang kehadirannya adalah kedatangan dari sejarah panjang yang memadat dan mendahului manusia-manusia yang beranak-pinak hari ini.  Dialah panggilan bagi gerak perjuangan yang terus-menerus. Tapi apa yang diandaikan, tentu saja bukan totalitas, melainkan sebuah tindakan politik yang mungkin dilakukan hari ini dan di masa depan, membuka segala kemungkinan bagi keterlibatan aktor-aktor, mungkin berlangsung tanpa mengandaikan fondasi-fondasi transenden-metafisis, melainkan hanya strategi politik, sebuah tindakan bertujuan fragmatis. Yang diandaikan adalah gerak perjuangan yang mengafirmasi segala pebedaan dan keragaman agen-agen yang mengisinya namun juga dapat berlangsung sebagai gerak kolektif.
Pada aras seperti itulah saya ingin mengafirmasi Merang Sasak, walaupun sebenarnya cukup sukar kecuali meletakkannya sekedar sebagai kategori strategis. Bahkan, dalam bentuk seperti itu pun, kita tetap perlu menyadari bahwa ia tetap problematik. Maksudnya, karena ia, misalnya tetap mengandaikan sebentuk esensialisme primordial ‘merang sasak’, ia terbuka bagi ketertutupan.
Namun demikian, setidaknya sebagai kategori strategis, kita mendapatkan tiga keuntungan sekaligus. Pertama, kita bisa bicara tentang perjuangan politis yang bersumber dari ‘asal-usul’ spesifik. Kita bisa mengatakan bahwa ‘saya adalah orang Lombok, Suku Sasak, saya punya unsur-unsur historis spesifik, punya tatanan sosial spesifik yang turut membentuk bahkan sebagian besar kesadaran dan identitas saya, saya adalah individu yang tinggal di belahan geografis-administratif spesifik, dan karena itu, saya punya titik rujukan yang dapat dipastikan disebabkan saya tidak bisa begitu saja mengabaikan bahwa saya bukan hadir di kehampaan’ dan perujukan seterusnya. Asumsinya, tidak ada diferensialitas absolut atau dengan kata lain bahwa sudah ada fakta historis yang mendahului kita, dan berpengaruh dalam kedirian kita.
Keuntungan kedua adalah karena keuntungan pertama dapat kita peroleh dari titik identifikasi sederhana dan funsgional-fragmatik, maka kita tak ‘direpotkan’ untuk membentuk sebuah pendasaran metafisis apa pun. Kita tak perlu repot-repot menyusun sebuah identitas totalistik bagi kemungkina sebuah soliditas dan solidaritas sosial. Dengan kata lain, kita tak membutuhkan sebuah ‘tonggak’ bagi tegaknya tatanan sosial kita. Yang penting untuk diperhatikan bahwa ketidakbutuhan pada ‘tonggak’ bukan semata-mata karena persoalan pragmatis atau relevansinya, tapi karena kita mengetahui bahwa tak ada kemungkinan bagi ‘tonggak’ dan tak ada yang perlu mendapat klaim untuk menyusun ‘tonggak’. Keuntungan yang ketiga, kita terbebas dari pengandaian bahwa harus ada agen-agen khusus atau semacam keotoritasan yang secara praktis dan konseptual sangat problematik.   
Karena itu, apa yang saya bayangkan adalah bukan tentang asal-usul darah (keturunan, kebangsawanan, warna darah), bukan sebuah identitas arkais (seperti dalam ungkapan “semua orang bisa menjadi Lombok, tapi tidak semua orang bisa menjadi Sasak”; bahwa seolah ada identitas potensial yang tidak ditentukan oleh ketentuan sejarah, tapi oleh keistimewaan-keistimewaan metafisis tertentu), bukan tentang keberulangan sejarah, bukan sebuah tonggak, tapi sekedar sebuah panggung atau sebuah arena.
Pulau Lombok adalah panggung itu. Tapi sekali lagi, ia adalah panggung terbuka. Ia adalah situs yang mempertemukan atau mengartikulasi berbagai posisi agen yang berbeda-beda. Di atasnya, para agamawan dapat menyampaikan khutbah mereka, para budayawan ‘merawat’ budaya, para seniman mempertunjukkan karya-karya mereka, para pendidik merawat akal-budi, pemerintah dan para politisi menyusun kebajikan-kebijakan publik, hingga tempat anak-anak bermain dengan gembira.
Setiap aktor dapat memilih caranya sendiri dalam memaknai panggung. Entah sebagai panggung keseriusan atau arena ‘permainan’. Panggung itu adalah situs antagonisme yang plural, yang kebermaknaannya ditentukan oleh jejak-jejak dari para aktor-aktor yang berbeda.
Panggung semacam itu mungkin dengan melepaskan diri dari bayangan para pengarang, sutradara, atau otoritas tunggal. Panggung dibiarkan bebas dari segala keotoritasan yang mengklaim kontrol atas lakon, aktor, dan setiap gerak. Karena itu yang diandaikan adalah panggung tanpa sabda otoritas tunggal, karena gerak yang lahir dari sabdanya adalah gerak kelembaman, karena sabdanya adalah kabar finalitas dan kematian. Di atas panggung itu, tempat pemujaan dilempar ke belakang panggung.
Yang perlu diperhatikan, karena tidak ada yang berhak mengklaim keistimewaan di atas panggung itu, begitu pula, panggung itu tidak diperbudak oleh siapa pun, para aktor dibiarkan bebas memainkan lakon-lakon mereka, dan setiap aktor menghormati perbedaan-perbedaan gerakan yang lain. Apa yang justru diharapkan dari panggung itu adalah lahirnya gerakan-gerakan yang hidup, yang lahir dari kreativitas setiap aktor.
Meski demikian, kebebasan di atas panggung itu tidak lantas membuatnya menjadi panggung kekacauan, karena panggung itu harus terus dijaga dan dirawat, yang memungkinkan sebanyak mungkin ‘adegan’ dimainkan. Sebuah panggung terbuka yang harus diperjuangkan keberadaannya karena tanpa eksistensinya, segala adegan menjadi mustahil. 
Apa yang dirayakan di atas panggung itu adalah keragaman. Dan apa yang mempersatukan keragaman itu tidak lain panggung itu sendiri. Panggung itu adalah artikulasi dari segala diskursus yang berlainan. Logika yang menjadi sistem aturan panggung itu adalah logika differensialitas dan ekuivalensi. Logika differensialitas menyadari bahwa kenyataan sosial tidaklah homogen atau dapat dikrangkeng dalam totalitas. Namun, perbedaan antarperbagai aktor (kelompok agamawan, budayawan, seniman, politisi, dan lain-lain) yang distruktur oleh perbedaan masing-masing, dapat merumuskan tujuan bersama yang diformulasi di atas panggung itu, demi keberadaan panggung itu sendiri. Bahwa panggung yang juga menentukan eksistensi mereka perlu dirawat, dijaga, diperbaiki, dibuat nyaman bagi semua, diciptakan menjadi panggung yang beradab. Panggung itu sebagai titik pertemuan yang membentuk persatuan di antara para aktor, tanpa melepaskan keragaman identitas dan identifikasi mereka, atau mengabaikan heterogenitas situs-situs antagonisme dalam masyarakat. Dengan kata lain, meski totalitas tidaklah mungkin, bukan berarti kita kehilangan tujuan-tujuan pragmatik kita.
Di atas panggung itu tak ada tanggungjawab bagi finalitas yang harus diwujudkan. Tak ada virtualitas yang harus diaktualisasikan. Para aktor mengakui falibilitas mereka, dan karenanya legowo mengetahui bahwa mereka tak punya ukuran-ukuran untuk menentukan hal-hal semacam itu. Meski demikian, kita tak perlu gundah, karena ketiadaan finalitas bukan berarti gerak para aktor di atas panggung mengambang tanpa arti, sebaliknya justru membuka kemungkinan bagi perubahan dan perbaikan terus menerus.



Penutup
Merang Sasak, sebuah langgam kejantanan tiba-tiba datang di tengah-tengah kita. Kehadirannya memperdengarkan kembali kepolosan-kepolosan dengan semangat yang meluap-luap. Ia memperkenalkan kita sebuah ‘struktur ideologis’ yang menarik. Karena itu, kehadirannya seperti kepercayaan diri menantang ‘struktur besar’ yang mentotalisai dan menghomogenisasi.
Namun, kepercayaan dirinya membuat dia mengabaikan pergeseran-pergeseran ilmu pengetahuan, perubahan situasi dunia, perkembangan teknologi, dan kekuatan-kekuatan berbagai ‘struktur besar’.
Meski demikian, suaranya mengharukan karena ia mengingatkan kembali pada kesetiaan, yakni kesetiaan terhadap ‘diri kita’, masyarakat kita, primordialitas kita, lokus dan sejarah spesifik yang tidak bisa begitu saja diabaikan. Ia mengingatkan kembali pada ‘titik poin’ di tengah citra-citra yang menghablur dan mengaburkan pandangan kita.
Oleh karena itu, saya tidak ragu untuk mengatakan, “MERANG SASAK!”