Saya ingin memulai tulisan
ini dengan sentimentil dan polemis.
Dalam banyak perjumpaan saya
dengan semeton-semeton Sasak, saya seringkali dibuat gusar dengan
perbincangan yang dipenuhi dengan narasi keagungan asal-usul, pencarian
silsilah kebangsawanan yang dirujuk pada kerajaan atau tokoh-tokoh tertentu
yang keberadaannya begitu samar dalam ruang sejarah – ada yang mengaku sebagai
datu, raja terakhir, atau keturunan tokoh-tokoh yang terkadang secara historis
sangat problematis. Menurut saya, hal semacam ini adalah
kecenderungan-kecenderungan orang-orang yang gagal “move-on”. Oleh karena itu,
saya berharap tidak terlalu sering terlibat dalam perbincangan-perbincangan
seperti itu.
Yang lebih baik, meski hal
ini juga tidak kalah problematis, terutama jika ditilik melalui
kacamata-kacamata teoritis, yakni ambisi apokalipsitik. Yang saya maksud dengan
ambisi apokalipstik adalah kecenderungan pembukaan lembaran-lembaran berdebu
dari primordialitas dalam tatanan sosial yang sangat komplek ini untuk
menemukan “tonggak” bagi peradaban. Ambisi itulah yang diupayakan dalam Jurnal
Merang Sasak ini, setidaknya untuk terbitan pertama ini, yang tergambar dari
tema besarnya dan rumusan pemimpin redaksinya, Daud Gerung. Ambisi dan
spiritnya untuk menemukan sebuah ‘tonggak’ bagi peradaban masyarakat Sasak, dan
kemudian dengan sangat ambisius mengupayakannya sebagai ‘tonggak’ untuk entitas
yang lebih besar, Nusantara, adalah formula yang menarik, baik sebagai inovasi
intelektual dan terutama pada konsep-konsepnya yang problematik.
Saya sangat antusias ketika pertama
kali mendengar bahwa kita akan memiliki sebuah ‘tonggak’ pegangan yang bisa
mengokohkan langkah-langkah kita dalam menjejaki kekalutan-kekalutan waktu.
Tapi tidak berselang lama, saya mulai bersedih karena tonggak itu seperti janji
tentang masa lalu, kehadiran yang tidak hadir akibat kelembaman sejarah; ia
bukan kehadiran yang belum pasti hadir dari fantasi masa depan, yang
materialitasnya kita harapkan.
Kategori-kategorinya dipenuhi
dengan aura masa lalu, konsep-konsep yang telah mencapai kepenuhan seperti
kepenuhan masa lalu. Kita diperkenalkan dengan subjek yang utuh, jati diri,
identitas yang akan bisa ditemukan, dan telos sejarah yang menuntun pada tujuan
kita padanya, serta dalam prosesnya kita membutuhkan para penjaga, para
pengemban, dan para pencipta, atau para pencari Nilai yang menjadi jalan yang
harus dijejaki, yang akan menstabilkan persatuan dan gerak kita.
Nilai itu luhur, dimensi yang
menjadi pesonanya. Namun keluhurannya yang sangat luhur itu seringkali membuat
ambisi ini rabun membaca ‘kenyataan’. Seolah-seolah kita tengah berada pada
tatanan sosial yang terpecah-pecah dan mengandaikan sebuah fondasi dari
elemen-elemen metafisis masa lalu sebagai perekat dan pemersatu, suatu kondisi
akhir yang dibutuhkan bagi oposisi dan perlawanan, atau seolah-olah kita masih
punya kategori-kategori yang sama untuk menyebut realitas dengan masa-masa di
mana ‘tonggak’ sangat diperlukan. Ambisi apokalipstik itu terlalu lama menengok
ke belakang, dan mengabaikan kompleksitas dunia yang kita jejali.
Seperti ada ketakutan pada
ketakpastian masa kini dan masa depan – sulit sekali kita mendengarkan ‘masa
depan’ sebagai salah satu sumber nilai, barangkali karena ketidakpastiannya,
dan bukankah hal itu membuatnya rancu menjadi sumber? – atau ketakmampuan
manusia yang sedang hidup ini untuk menjangkau realitas sehingga begitu ragu
untuk menemukan nilai-nilai dari realitas yang kita hidupi, dan karenanya
merasa butuh untuk menemukan sebuah rujukan ideal, yang digali dari timbunan
masa lalu, dengan kerumitan-kerumitannya, dan dibawa pada konteks yang sedang
kita tinggali.
Saya mengerti sepenuhnya
kegelisahan yang kita alami bersama, kegelisahan tentang kesemrawutan tatanan
sosial kita, tentang keburukan ‘nasib’ masyarakat kita yang tergambar pada
fakta-fakta buruk seperti kemiskinan, keterbelakangan, kenestapaan, tentang
kemandekan-kemandekan, tentang ketidakpastian rujukan-rujukan, tentang
ketidakhadiran di panggung-panggung besar, hingga tentang moralitas yang
tergerus. Tapi, saya tidak yakin bahwa solusinya adalah sebuah ‘tonggak’ yang
kemudian disebut suprastruktur ideologi. Saya juga mengerti bahwa, kaum
subaltern – jika kita ingin membaca keberadaan kita sebagai kaum subaltern –
butuh untuk berbicara dan bersuara sehingga eksistensinya berarti, tapi jangan
sampai juga suara kita terdengar menggelikan.
Di samping itu, kita perlu
menyadari sisi lain dari tonggak itu, seperti bagian kasar dari sebuah sponge
yang halus – yang untuk sementara, saya melihat justru bagian kasar itulah yang
mendominasi – yakni sisi berbahaya dari kepolosan ambisinya, yakni Merang;
ambisi tentang soliditas, solidaritas, sebuah gerak perjuangan, dan
kolektivitas yang intim.
Sisi berbahaya yang
seharusnya tidak boleh luput itu adalah kecenderungan sikap reduksionistik,
yang menampilkan masyarakat sebagai sebuah totalitas, dengan identitas
monolitis dan homogen. Sikap reduksionistik itu juga cenderung mengidentifikasi
identitas secara paranoid. Inilah bentuk pengidentifikasian ‘para budak’ dengan
‘perasaan dendam’, yakni kecenderungan orang lemah untuk menciptakan
penderitaannya penuh makna dengan menyalahkan orang lain dan menciptakan
“khayalan balas dendam” (imaginary revenge). Saya tidak mengharapkan apa
pun dari merang sasak jika moralitasnya adalah moralitas budak itu,
dengan tindakan-tindakannya yang reaksioner.
Ideologi itu juga problematik
dalam kebimbangannya menemukan tujuan atau cita-cita strategis yang memang
tidak lagi mudah ditentukan dan rancu dalam menentukan oposisinya, selain
dengan cara mentotalisasi realitas (masyarakat Sasak) sebagai kategori yang
utuh, definitif, dan tunggal, dan karenanya menyimpan potensi yang berbahya,
yakni karakter totaliter, terutama pada kenyataan dan perbedaan.
Karena itu, kita butuh membaca
ulang untuk mengafirmasinya, – sesuatu yang tidak mudah – dengan pertama-tama
menyadari bahwa kita tidak bisa mentotalisasi kenyataan, bahkan kita tidak lagi
punya kategori-kategori baku untuk menyebut sesuatu dan ini berarti kita tak
punya lagi unsur-unsur untuk membangun tonggak. Membuang karakter
fondasionalistik dari terminologi primordial tersebut sangat penting sebagai
langkah membuang unsur-unsur yang membahayakan, atau langkah menciptakan
keterbukaan. Di samping itu, daripada membuatnya sebagai kategori totalistik,
untuk mengafirmasinya yang kita perlukan menempatkannya sebagai kategori
strategis, sebagai sebentuk ‘esensialisme strategis’, sebagai politik
artikulasi, rumusan imanen bagi gerak perjuangan, dan dengan demikian gerak
perjuangan terus-menerus berlangsung tanpa pendasaran total dan
kategori-kategori baku. Bahkan, gerak dan tindakan-tindakan itu dapat
terus-menerus berlangsung tanpa menunggu ‘manusia agung’, ‘para pengemban’,
‘para penjaga’ atau apa pun namanya.
Itulah ‘tugas’ saya dalam
tulisan ini; memproblematisir kategori-kategori. Ambisi merang sasak ini
sangat besar, spiritnya sangat luhur, dan karena itu semua unsur-unsur yang
membentuknya harus ‘dipermasalahkan’; dia tidak boleh diberikan kesempatan yang
terlalu cepat untuk berlenggak-lenggok di depan tatapan kita, lenggak-lenggok
yang bisa jadi menghalangi kita melihat realitas, melihat problem-problem yang
mengkonstitusinya; dan inilah cara saya harus menanggapinya.
Pembacaan saya adalah
cultural studies. Diskursus kebudayaan ini menurut saya memberikan kita
‘retina’ yang baru untuk melihat perkembangan konsep-konsep, bongkar-pasang
kategori-kategori, dan karenanya mengomfirmasikan kelabilan kosakata-kosakata
yang kita pakai dalam mengidentifikasi diri, identitas diri, maupun identitas
sosial. Dus, kesadaran ini juga memberi kesadaran baru dalam proses refleksi.
Problem Merang Sasak
Merang Sasak; konsep ini mengesankan
pemikiran yang optimistik, usaha yang luhur untuk mengungkap signifikansi
primordialitas, penemuan pada yang asli di tengah-tengah elemen-elem ‘asing’
yang mengkontaminasi layaknya virus AIDS yang menggerogoti tubuh, perjuangan
kebudayaan yang beralas pada sejarah lokal di tengah sikap totaliter
negara-bangsa dan globalitas dunia, obsesi untuk menemukan ‘penerang’ di tengah
kekaburan-kekaburan jalan sejarah, tonggak bagi teguhnya peradaban lokal dan
kemudian Nusantara.
Kita patut mengafirmasi
obsesi, ambisi, dan optimismenya, karena tidak mudah lagi menemukan
ekspresi-ekspresi semacam itu mengingat tatanan dunia yang mulai sangat
kompleks dan rumit, serta diskursus ilmu pengetahuan yang terus bergeser. Kita
patut mengacungkan jempol atas keberaniannya merumuskan konsep yang
memformulasi heterogenitas tatanan, dan dibakukan dalam terminologi yang
membangkitkan perasaan yang meluap-luap. Meskipun, segala ekspresinya yang
meluap-luap itu terdengar seperti kesembronoan anak-anak muda yang tengah di
mabuk asmara.
Seperti saya ungkapkan
sebelumnya, disebabkan keluhurannya, Merang Sasak lupa memperhatikan
problematika terminologis, epistemologis, dan situasional perkembangan dunia.
Barangkali disebabkan oleh rasa getir dan kedongkolan terhadap realitas
masyarakat, Merang Sasak seringkali mengulang konsep “jati diri”,
identitas kita, hingga nilai-nilai yang dapat dijadikan tonggak peradaban.
Optimisme ini didasarkan pada asumsi bahwa ada jati diri masyarakat Sasak yang
telah hilang dan karena itu harus ditemukan, direvitalisasi, dan diberikan
signifikansi baru bagi masa depan kehidupan yang lebih baik, atau ada
identifikasi tunggal di antara kita yang bisa merepresentasikan keseluruhan
kita, serta ada nilai-nilai luhur dan universal (obsesi untuk menjadi tonggak
Nusantara) yang dimiliki masyarakat Sasak.
Gagasan tentang “jati diri”
memang terdengar agung. Konsep tersebut menggambarkan individu yang telah
menemukan arti menjadi manusia, inti batin yang tak terkontaminasi, diri yang
terpusat, tunggal, memiliki kemampuan nalar, dan tindakan sebagai wujud
kesadaran murni. Tapi, secara teoritis, gagasan tersebut adalah terminologi
yang absurd, ambigu, dan tak jelas apa maksudnya. Begitu juga dengan “identitas
kita”. Konsep itu membayangkan bahwa penandaan selalu beroperasi sederhana,
antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Bahwa ada identitas
masyarakat Sasak yang bisa ditunjuk secara jelas dan homogen dalam
representasinya. Sementara dalam obsesinya sebagai ‘tonggak’, Merang Sasak, pertama-tama
mengabaikan materialitas sejarah, bahwa lahan sebagai tempat tonggak itu
berdiri tidak lagi sama. Di sisi lain, permanensi sebuah tonggak cenderung
membawa pada pembakuan hal-hal yang sebenarnya cair, tidak perlu dipatok, dan
mereduksi kompleksitas-kompleksitas menjadi homogen.
Jati Diri Atau Subjek Yang
Terpecah?
Gagasan tentang ‘jati diri’,
‘diri yang utuh’, atau ‘jiwa yang tak terkontaminasi’, manusia yang telah
menemukan arti kemanusiaannya masih sering kita temukan dalam konsep-konsep
para pencari kesejatian, para spiritualis, atau para mistikus, yang memiliki
keyakinan bahwa melalui laku-laku tertentu dapat menemukan maqom manusia
yang manunggal. Tentu, kita tak bisa menegasikan kepercayaan seperti itu,
karena terkait sekali dengan pengalaman personal dan kejiwaan seseorang. Dan,
pada titik itulah terdapat keunikan dan sekaligus persoalannya. Pengalaman itu
unik karena didasarkan pada pengalaman persoanal yang partikular, sebagai hasil
dari aktivitas-aktivitas spiritual, laku-laku mistis dan kontemplatif, serta
penyucian diri; namun sebagai kategori sosiologis, kita tidak bisa
mengidentifikasi masyarakat, sebuah entitas besar dan heterogen berdasarkan
pengalaman-pengalaman partikular dan personal. Saya tidak ingin sembrono
mengatakan bahwa ‘kesejatian diri’ mustahil direngkuh dalam diskursus para
spiritualis dan mistikus, tapi bukankah terlalu beresiko jika kategori itu juga
digunakan untuk menunjuk individu-individu dan masyarakat, karena kita akan
cenderung mengabaikan faktisitas sejarah yang centang-perenang, kompleks, dan
rumit, yang melingkupi sebagian besar individu-individu dalam masyarakat.
Tanpa mengabaikan kehebatan
dan keagungan para spiritualis dan mistikus, saya lebih bisa menerima bahwa
sejarah manusia merupakan sejarah kejatuhan dan kontaminasi. Kita bisa membawa
kisah Adam dan Hawa, sang Bapak dan Ibu manusia dalam hal ini. Ketika Adam dan
Hawa dijatuhkan dari surga, akibat terkontaminasi oleh rayuan Iblis yang
cerdik, situs kejatuhan mereka adalah dunia yang centang-perenang, yang penuh
tragedi, bukan lagi tempat yang kudus, aman, dan nyaman di surga. Kejatuhan
Adam dan Hawa merupakan awal tragedi kemanusiaan, karena kejatuhan mereka
adalah kejatuhan tanpa kebangkitan kembali, sebuah keterjebakan yang tak punya
jalan untuk kembali.
Kejatuhan Adam dan Hawa
adalah takdir kejatuhan grade manusia. Ketika mereka terjatuh ke
dalam dunia (tatanan simbolik), kejatuhan mereka adalah gambaran diri yang
terkontaminasi, yang profan, yang kehilangan ‘jati diri’ atau diri yang penuh
karena mereka mulai dibatasi oleh hukum-hukum dunia. Tak memungkinkan lagi bagi
Adam dan Hawa untuk memperlakukan diri sebagai penghuni surga. Surga hanyalah
nostalgia terhadap kehadiran masa lalu, yang kehadirannya selalu dihasrati,
walaupun mustahil terwujud kembali.
Dalam metafora yang lain,
sejak masuk ke dalam tatanan simbolik, manusia ibarat kupu-kupu yang telah
bermetamorfosis dan keluar dari kepompongnya. Di luar kepompong perlindungan
adalah dunia kedatangan tanpa jalan untuk kembali, karena kupu-kupu tak mungkin
lagi merengkuh kenyamanan dan keamanan dalam rumah kepompong untuk menyusun
kembali sayap-sayapnya yang telah terkoyak oleh hempasan angin, benda-benda,
dan para pemangsa. Menghasrati kepompong perlindungan tidak lebih adalah
nostalgia pada yang tak mungkin.
Ibarat kupu-kupu di luar
kepompong perlindungan, manusia di dalam tatanan simbolik adalah subjek-subjek
yang sudah selalu terkontaminasi, sudah selalu terpecah antara diri dan yang
lain. Tatanan simbolik adalah ‘panggung kekejaman’ tempat segala upaya individu
untuk menstabilkan identitasnya keseluruhan atau kesatuannya, sekuat apa pun
ikhtiar itu, akan selalu ditumbangkan karena dunia sosial atau tatanan simbolik
itu, tempat individu harus menemukan identitasnya diciptakan oleh yang lain,
dan selalu menghilangkan kontrol individu. Terdapat kontradiksi yang tak
terselesaikan pada yang simbolik. Individu hanya bisa menjadi indefenden,
membangun diri ke dalam yang simbolik, tetapi yang simbolik selalu melewati
kontrol dan tidak pernah memberikan pada individu subjektivitas yang stabil
tanpa sebuah jurang pemisah antara identitas dan diri individu.
Tatanan simbolik adalah
tatanan yang menginterplasi subjek, hasrat mereka adalah hasrat yang menuntut
subjek untuk menghasrati sesuatu. Hal ini karena interplasi selalu terjadi
melalui mediasi yang lain, entah itu negara, pendidikan, orang tua, guru, agama,
atau moral yang telah diinternalisasikan pada subjek. Dengan kata lain,
terdapat suatu eksternalitas yang eksis indefenden dari individu yang
melaluinya individu tersebut dikonstitusikan.
Dengan demikian, di dalam
tatanan simbolik, di bawah keharibaan interplasi, akan selalu terwujud ‘subjek
yang pecah’ akibat jejak-jejak interplasi yang lain, yang telah terukir atau
tengah berlangsung dalam diri individu. Dalam analogi yang lain, kita tak
ubahnya hommelette atau sebutir telur pecah yang tidak lagi menemukan
bentuknya yang pasti. Bagaimana mungkin kita mengklaim keutuhan atau
kesejatian, jika ‘diri’ kita terangkai dari berbagai kepingan
pengalaman-pengalaman yang tercerai-berai; terbentuk dari fragmen-fragmen waktu
yang tak pernah berkumpul dalam satu entitas kehadiran. Kita tak bisa menemukan
titik identifikasi diri yang utuh dan stabil, atau watak permanen subjektivitas,
selain keutuhan yang lahir akibat represi tatanan simbolik.
Persoalan identifikasi diri
kita terus-menerus semakin rumit. Penyebabnya tentu saja tatanan simbolik dunia
yang melingkupi kita semakin kompleks. Jika sebelumnya, hanya ‘hukum bapak
tradisional’ yang berperan dominan dalam mengkonstitusi dan merawat
subjektivitas kita, dalam situasi dunia kita hari ini, bukan hanya ‘hukum bapak
tradisional’, tetapi terlalu banyak elemen yang mengambil andil dalam membentuk
jaringan-jaringan tubuh, pola kesadaran, bahkan bayangan kita. Elemen-elemen
itu berserak di mana-mana dan datang dari mana-mana, kehadirannya tidak bisa
diprediksi dan strateginya tidak bisa ditentukan seperti memperkirakan
kedatangan musuh dengan strategi serangannya dalam peperangan kombatan, karena
kehadiran elemen-elemen itu bertubi-tubi tanpa ada waktu jeda, menyusup
dibelakang penglihatan kita, dan karenanya kita tak bisa mengidentifikasi
‘musuh’ secara pasti. Inilah peperangan total tanpa perlawanan berarti,
sebaliknya kita menginternalisasi kekuataannya yang massif, efektif, dan lebih
eksploitatif dibandingkan praktik-praktik serupa sebelumnya.
Bukankah tubuh kita adalah
objek yang paling rentan bagi situs operasi kekuasaan? Terlalu banyak jaringan
kuasa yang berhasrat memberikan citra tentang tubuh dan menjadi rujukan
orang-orang untuk membentuk dan merawat tubuhnya, memposisikan subjek tertentu
pada langgam wacana tertentu tentang tubuh, menjadikan manusia sebagai subjek
sekaligus objek, membentuk kesadaran individu-individu di bawah vektor-vektor
perbedaan yang sangat beragam dan mikroskopik, yang melaluinya kita sebagai
subjek terbentuk, dan cara kita sebagai subjek mengidentifikasi diri. Dalam
keharibaan kekuasaan yang terus-menerus, beroperasi melalui strategi-strategi
disipliner yang kompleks, yang masuk dalam serat-serat kapiler tubuh, yang
mengkonstitusi dan menggenerasi “tubuh-tubuh yang patuh” sehingga bisa
ditundukkan, dipakai, ditingkatkan, direproduksi, dan dieksploitasi terdengar
menggelikan mengklaim ‘mitos agung tentang batin’. Terutama ketika prosesnya
berlangsung secara total, karena kekuasaan datang dari mana-mana melalui
teknologi-teknologi disipliner yang muncul di berbagai wilayah melalui kuasa
disiplin sekolah, universitas, organisasi massa, lembaga moral dan politik,
rumah sakit, rumah sakit jiwa, penjara, dan berbagai diskursus yang menciptakan
subjektivitas dengan cara membuat individu tampak, kita perlu membuat klaim
tentang batin terdengar lebih spesifik, jika mungkin, dalam diskursus dimana
tatapan kekuasaan tidak signifikan – namun kita harus menyadari bahwa
upaya-upaya semacam itu semakin sukar karena teknologi kekuasaan terlalu banyak
dan berdampak total.
Bisakah kita mengklaim
kesejatian, jika, sebagai contoh, iklan dalam strategi kapitalistis setiap saat
mengkolonisasi tubuh kita melalui citra tentang warna kulit yang terbaik untuk
disebut tampan dan cantik, tentang bentuk tubuh yang tepat dan terbaik entah
untuk alasan kesehatan, atau bentuk-bentuk tubuh yang sesuai bagi citra zaman,
dan melalui citra-citra itu kita mulai mengidentifikasi tubuh kita; dan
strategi itu tentu saja tidak hanya berlangsung dalam periklanan, tapi juga
video, film, hingga film-film ‘biru’, dan ilmu kesehatan juga mengambil
dominasi yang baik bersama-sama dengan iklan dalam jaringan yang cukup
sederhana; dan bagaimana iklan juga melemparkan setiap saat ke depan tatapan
kita tentang pola fashion yang paling ‘masuk akal’ entah untuk alasan
kecantikan, life style, hingga citra religiusitas dalam masyarakat
konsumen; dan sedihnya, strategi operasi kekuasaan semakin mudah, karena tidak
hanya didominasi oleh media televisi – gambar-gambar visual yang bergentayangan
di kepala kita, tanpa kita bisa memferivikasinya karena bukan kenyataan yang
terpenting melainkan hanya simulasi atau gambaran-gambaran visual itu sendiri
–, namun yang lebih mengkhawatirkan adalah terkait perkembangan kontemporer
dunia internet. Bagaimana kita bisa mengklaim ‘kesucian’ jika ‘terkontaminasi’
terus-menerus, melalui alat-alat elektronik super canggih yang memberi kabar
terus-menerus, yang mengajak berbincang, dan meceritakan ‘dongeng’ bukan untuk
pengantar tidur tapi ‘dongeng’ tentang bagaimana kita seharusnya, yang
mengkolonisasi ruang-ruang yang kita miliki?
Yang lebih menyedihkan, operasinya
bahkan semakin massif, karena pada kenyataannya, data-data pribadi kita dengan
sangat mudah direnggut tanpa kita sadari melalui yang dimasukkan dalam
account-account media sosial yang kita gunakan di internet, alat-alat
elektronik yang kita gunakan, dan menjadi data-data statistik – yang membuat
tubuh kita menjadi sangat transfaran, dan karena itu menjadi situs yang mudah
bagi praktik kolonisasi komoditas-komoditas konsumsi, dan melaluinya berbagai teknologi-teknologi
kapitalistik menancapkan kekuasaannya di tubuh kita.
Oleh karena itu, daripada
mengklaim kesejatian diri yang tak terkontaminasi, saya lebih percaya diri
untuk mengatakan bahwa diri dan tubuh individu adalah entitas yang sangat
rapuh. Kerapuhannya tentu saja disebabkan mula-mula oleh ketidakmungkinan
individu melampaui tatanan simbolik, serta akibat gempuran kuasa yang
menyebabkan subjektivitas individu tidak pernah otonom dan hadir sebagaimana
adanya. Menganggap subjektivitas individu tidak pasti dan dibatasi, terkonstruk
dalam jalinan strategi kompleks kekuasaan memberikan perspektif yang baik untuk
menyadari bahwa kita tidak bisa menemukan bentuk subjektivitas yang lengkap,
utuh, dan permanen, dan dengan demikian kita dituntut untuk menyadari bahwa
tidak ada totalitas karena individu adalah prododuk dari rangkaian berbagai
kepingan wacana yang menyusun fragmentasi subjektivitas individu.
Anggapan tersebut tidak berarti
menghilangkan keunikan individu; meskipun kita tunduk pada “cap sejarah”, bentuk
khas yang kita miliki, tatanan khas dari berbagai unsur wacana, bersifat unik
bagi masing-masing individu, sebab kita memiliki pola hubungan dan akses
sumber-sumber yang unik. Bukankah tidak ada bentuk yang sama dari struktur wacana
dunia sosial yang mempengaruhi subjektivitas individu? Oleh karena itu,
ketidakpastian diri tidak membuat tindakan inovatif menjadi bermasalah sebab ia
dapat dipahami sebagai hasil praktis dari kombinasi unik struktur, wacana
sosial, dan tatanan psikis. Inovasi dan perubahan mungkin dilakukan karena kita
merupakan individu antarwacana yang khas dan bersifat kontradiktoris.
Menyadari bahwa kita sudah
terjangkiti kontaminasi yang inharen dalam eksistensi kita sebagai manusia
dalam tatanan simbolik dunia adalah lebih baik, setidaknya memberikan dua
keuntungan secara personal, yakni ibarat sebuah virus dalam tubuh, kita
menyadari bahwa memang kita sudah terkontaminasi oleh virus dan hal ini baik,
karena kita bisa mawas diri, menyusun cara-cara untuk menghadapi atau
menanggapi virus itu, meskipun bisa jadi cara-cara kita menghadapi dan
menanggapinya tidak akan berarti signifikan, dan inilah keuntungan kedua itu;
kita bisa menerima kenyataan secara lebih gembira.
Identitas Yang Stabil atau
Senantiasa Bergeser?
Kalau yang dimaksud ‘jati
diri’ sebagai sebagai identifikasi diri individu dalam tatanan sosial, sehingga
dalam akumulasinya sebuah masyarakat memiliki inti atau esensi yang menjadi
identifikasi ‘jati diri’, maka ide tersebut lupa mengingat bahwa dunia sosial
tidak bisa dipahami sebagai suatu totalitas. Totalitas adalah kesembronoan yang
mengabaikan heterogenitas elemen-elemen diskursif yang mengartikulasi tatanan
sosial atau masyarakat. Misalnya, tidak
sulit untuk melihat bahwa karena antara wacana-wacana identitas yang
berbeda-beda (etnisitas, kelas sosial, gender, umur, dll) tidak terdapat
hubungan yang otomatis atau niscaya, maka para perempuan Sasak belum tentu
berbagi identitas dan identifikasi yang sama, begitu juga halnya dengan
laki-laki Sasak.
Kita memang tak bisa
mengabaikan bahwa kita mempunyai seperangkat sumber-sumber simbolis yang sama –
sejarah, leluhur, kesamaan pengalaman pada titik tertentu, dan simbol-simbol
kebudayaan – tetapi kita juga tak bisa mengabaikan bahwa identitas juga ditata
menurut kaidah perbedaan. Identitas tidak bisa dilihat sebagai gambaran dari
keadaan yang tetap dan alamiah, melainkan sebagai proses menjadi. Dengan
demikian, kita tak bisa mengklaim ada esensi yang musti ditemukan, karena
identitas diciptakan dalam vektor-vektor persamaan dan perbedaan. Dan titik
perbedaan yang menjadi dasar pembentukan identitas berjumlah banyak dan terus
bertambah, di antaranya; identifikasi kelas, gender, seksualitas, umur, pilihan
dan ideologi politik, moralitas, agama, serta heterogenitas situs-situs
intraksi yang dijejali. Masing-masing dari posisi diskursif tersebut pun tidak
stabil.
Oleh karena itu, seseorang
tidak hanya terdiri dari satu, tetapi beberapa identitas yang bahkan bisa saja
bertentangan, menyeret ke berbagai arah,
sehingga proses identifikasi kita bergeser-geser. Kalau pun ada perasaan
keutuhan, hal ini hanya karena kita menyusun kisah penenang atau “narasi diri”
tentang diri kita.
Dengan kata lain, identitas
bersifat labil, dan tak bisa dikurung dalam sebuah ‘kesejatian’. Identitas tidak punya sumber orisinalitas
tunggal, melainkan merupakan hasil hubungan antarunsur. Identitas utuh dan
tunggal itu tidak ada karena identitas sudah selalu terkontaminasi, dan semua
identitas mengandung jejak dari berbagai sumber. Kalaupun ada sebuah citra
‘keutuhan’, citra itu dibutuhkan dari kebutuhan kita pada sebuah penunjukan,
atau citra yang lahir dari praktik diskursif, konotasi-konotasi hegemonis yang
menstabilkan untuk sementara suatu formasi tertentu.
Setiap satuan penandaan
(misalnya sebagai laki-laki atau perempuan Sasak) selalu mengisyaratkan
permainan bipolar di antara berbagai hal yang sebetulnya terlalu ambivalen dan
terlalu kompleks untuk disederhanakan ke dalam satu bentuk penandaan. Identitas
tidak selalu hadir dalam watak tunggal yang koheren, tapi malah lebih sering
menampakkan watak paradoksal. Mereduksi identitas ke dalam sumber-sumber
simbolik penandaan tunggal, berarti mengabaikan pergeseran identitas dalam
penciptaan kemungkinan-kemungkinan baru.
Di sisi lain, mengklaim
secara essensial mengabaikan pengaruh struktur besar dalam sejarah yang turut
merefresentasikan identitas kultural sebuah komunitas atau etnisitas, seperti
refresentasi kolonial atau/dengan refresentasi antropologis, atau bagaimana
negara membentuk refresentasi tertentu sesuai dengan keinginan dan bayangan
status quo. Dalam konteks kita, masyarakat Sasak, tidak bisa juga diabaikan
terkait identitas yang dibentuk sebagai citra turistik. Saya tidak ingin
membahas panjang lebar mengenai bagaimana identitas lokalitas dikonstruk oleh
struktur besar, berbagai refrensi yang telah ditulis oleh para akademisi dan
para peneliti bertebaran sangat banyak. Secara generatif, apa yang bisa kita
lihat adalah bagaimana identitas tidak bisa dilihat dalam terminologi
esensialis dengan bentuk-bentuk yang permanen, baku, dan universal.
Jika secara konseptual, kita
kesulitan untuk menentukan identifikasi baku dan tunggal, perkembangan dunia
kontemporer secara praktis sangat menyulitkan setiap usaha-usaha untuk
menstabilkan narasi-narasi baku terkait klaim identitas dalam terminologi primordialitas.
Saat ini kita berada pada situasi yang sangat rumit, kompleks, dan sangat sukar
menentukan sebuah patokan utama untuk menunjukkan karakter-karakter khusus.
Proliverasi dan diversifikasi situs intraksi sosial yang dimungkinkan oleh
perkembangan-perkembangan teknologi menyulitkan kita mengidentifikasi
subjektivitas tertentu dengan identitas baku. Sebagai contoh, dibandingkan
dengan manusia abad ke-19, manusia hari ini memiliki jangkauan relasi, ruang,
dan tempat yang lebih luas untuk berintraksi. Perkembangan-perkembangan ini
memungkinkan orang yang sama dapat berpindah dari posisi subjek yang satu ke
yang lain seturut situasi.
Barangkali tidak berlebihan
untuk mengatakan bahwa kosmopolitanisme mulai menjadi bentuk kehidupan
sehari-hari kita, dalam arti meski nilai-nilai dan makna-makna yang terikat
oleh tempat masih penting, semakin lama kita semakin terlempar ke dalam
jaringan-jaringan yang menjangkau jauh melampaui lokasi-lokasi fisik kita.
Pola-pola pergerakan dan perpindahan populasi yang terbentuk pada era
kolonialisme dan kelanjutannya, bersama dengan percepatan globalisasi yang
lebih kontemporer (terutama dalam hal komunikasi elektronik), telah
meningkatkan juktaposisi, perjumpaan, dan percampuran budaya.
Kenyataan itu mendorong kita
untuk merefleksikan kebudayaan tidak selalu sebagai “keseluruhan cara hidup”,
dan karenanya dituntut untuk menempatkan ulang pemahaman budaya dengan lebih
menekankan metafora perjalanan daripada metafora tempat, route daripada root.
Metafora perjalanan dapat membantu kita memikirkan identitas dalam
pengertian ketidakmenentuan, ketidakpastian, dan pengertian identitas yang
bergerak, ketimbang kemutlakan-kemutlakan.
Di sisi lain, budaya yang
dipahami dalam metafora tempat memang semakin sukar ketika konteks dan situs
intraksi orang-orang semakin luas dengan hadirnya dunia maya, ruang yang tak
bisa diukur dengan ukuran-ukuran fisik-matematis. Di samping itu, karakteristik
dunia baru ini adalah lebih mendatangi daripada dikunjungi, karena seseorang
bisa saja berada di dunia itu tanpa bergerak dari tempatnya
Itulah tatanan simbolis dunia
yang semakin rumit dan berdampak besar pada pandangan kita, dan konsep-konsep
subjektivitas dan identitas kita. Pertanyaan-pertanyaan retoris tentang
subjektivitas dan identitas kita tidak akan pernah berhenti seturut elemen-elemen
yang mengontaminasi dan menyusunnya datang dari mana-mana. Bagaimana kita bisa
mengklaim kesejatian atau keaslian subjektivitas dan identitas jika hal-hal
yang membentuk kesadaran mendatangi bahkan tanpa kita sadari, terutama melalui
teknologi komunikasi-informasi, kabar-kabar dari layar televisi, status-status
‘teman-teman’ di account media sosial, surat-surat tanpa pengantar, dan situs-situs
intraksi yang tersebar di mana-mana, menginterplasi kita dengan sangat aktif,
efektif, massif, dan eksploitatif; atau jika cara kita mengidentifikasi diri
mulai sangat ditentukan oleh komoditas apa yang kita konsumsi – karena apa yang
dikonsumsi (dalam masyarakat konsumen) bukan objek tertentu dengan kuganaan dan
keperluannya, tetapi sebagai komoditas identifikasi; kita mengkonsumsi untuk
lebih berbeda, dan melalui perbedaan itu kita memiliki status sosial dan makna
sosial. Inilah kenikmatan konsumsi; konsumsi dibeli sebagai gaya ekspresi dan
tanda, prestise, kemewahan, kekuasaan, dan lain sebagainya. Komoditas konsumsi menjadi
sistem yang menjamin regulasi tanda dan integrasi kelompok (identitas), karena
mengkomunikasi komoditas juga berarti mengkomunikasikan banyak, termasuk dari
kelompok mana kita dan berbeda dengan yang lain.
Sangat banyak memang yang
mengontaminasi dan mengkonstitusi kedirian kita, tapi menurut saya, kita tak
perlu terlalu meratapinya. Hal itu berguna memberikan kepercayaan diri untuk
menyadari bahwa diri kita bukan subjek dengan identitas komplit, tetapi subjek
sebagai proses yang terus-menerus atau dengan kata lain, kita tak bisa mengklaim
bahwa diri kita merupakan sebuah pulau, karena kita eksis dalam jaringan relasi
yang kini makin kompleks dan bergerak ketimbang sebelumnya.
Dalam konteks yang lebih
luas, kenyataan itu membuka katup mata kita bahwa masyarakat bukan fenomena
monolitis, bahkan pada konteks tertentu sangat terfragmentasi. Menganggap
masyarakat sebagai kategori totalitas adalah kesembronoan yang mengabaikan
irregularitas elemen-elemen, dan proses sejarah yang terjadi di tengah
masyarakat.
Oleh karena itu, daripada
berpikir tentang identitas sebagai kategori subjektivitas yang utuh, saya lebih
memilih untuk melihatnya sebagai snapshot dari makna yang membuka, atau
merupakan pemosisian strategis yang memungkinkan makna tercipta. Identitas selalu
terus-menerus dalam perumusan. Pengalam saya, misalnya, sebagai seorang
“Sasak”, “muslim”, “laki-laki” selalu terbuka untuk terus-menerus dikaji.
Identitas tidak punya koordinat yang tetap dan satu, karena itu ia senantiasa
bergeser dan bertransformasi sesuai dengan perbedaan dan pergeseran
sosio-kultural yang menjejali kita. Identitas adalah sebuah “teks” yang menunda
akhirnya. Kita harus terus-menerus menulisnya agar tetap ingat bahwa identitas
bukan entitas netral, melainkan dibentuk dalam vektor-vekto perbedaan yang
implisit dalam gerak sejarah. Dengan kata lain, ia tidak bisa dipatok secara
utuh ke dalam satu konsep tunggal dan baku, melainkan terus-menerus dimaknai,
ditafsirkan, dan direkayasa.
Dalam hal ini saya sangat
menyukai analogi ‘kain penutup ketelanjangan diri’ dari James Baldwin. Dia
mengatakan, identitas dapat diibaratkan kain yang menutup ketelanjangan diri.
Paling baik bila kain yang dikenakan itu longgar sedikit seperti jubah di
padang pasir yang masih bisa menyebabkan ketelanjangan itu dirasakan, dan
kadang-kadang dapat ditilik. Dapat dilihat bahwa kain tersebut pada dasarnya
tidak pernah komplit, sama seperti halnya kita memandang suatu identitas yang
tak akan pernah tahu kelengkapannya seperti apa.
Dalam konteks yang lebih luas,
saya lebih menyukai subjek dalam analogi para pelancong dibandingkan para
peziarah. Kedua analogi ini memang menggambarkan perjalanan, tapi jika peziarah
mengandaikan kepastian tujuan, maka para pelancong membuka diri pada
ketidakpastian-ketidakpastian; jika para peziarah sudah mengidentifikasi
pristiwa-pristiwa yang akan ditemuinya, para pelancong membiarkan
pristiwa-pristiwa yang tak menentu mendatanginya.
Masihkah Kita Berada Pada
Zaman Tonggak?
Saya sangat tidak yakin
mengenai kemungkinan kita untuk menyusun atau kembali ke ‘zaman tonggak’,
sejarah sebagai keutuhan yang lurus, linier, dan teleologis. Kita perlu
menyadari tentang citraan gamblang terhadap fragmentasi dunia kita; sekarang
kita hidup pada zaman objek yang parsial, seperti cermin yang dihancurkan
secara berlebihan, dan berkeping-keping. Pada dunia yang terfragmentasi
mustahil menggeneralisasi narasi bersar tentang kenyataan atau
menanggulanginya. Kita tak bisa lagi mengungkit masa lalu selain sebagai
nostalgia yang retak, yang dibayang-bayangi oleh kebimbangan-kebimbangan, serta
di samping itu, tak ada totalitas final yang menanti kita pada kencan masa
depan.
Perkembangan-perubahan dunia
ini perlu dikhawatirkan oleh orang-orang yang merasa penting bahwa setiap nilai
progresif harus mengacu pada standar-standar legitimasi yang absolut.
Saya tidak begitu mengerti
terkait motif yang membuat kita merasa penting menemukan sebuah pendasaran,
entah pendasaran mental, sosial, politik, atau kebudayaan, yang barangkali bisa
kita sebut dalam istilah, yang menurut saya rancu, suprastruktu ideologi, ketika
apa yang kita sebut sebagai ‘Realitas’ tidak bisa lagi dirujuk dengan pasti,
misalnya tentang konsep ruang-waktu dalam apa yang disebut Paul Virilio dengan
ruang-dromospherik atau ruang-kecepatan – Virilio memperkenalkan konsep yang
menarik tentang dromology yang berkaitan dengan pentingnya kecepatan
yang menentukan. Virilio tertarik dengan hancurnya batas-batas yang disebabkan
oleh perubahan teknologi yang kelewat batas dalam bentuk transfortasi,
komunikasi, telekomunikasi, komputerisasi, dan seterusnya. Bentuk awal
perubahan ini menyebabkan perubahan atas susunan spasial, terutama hancurnya
batas-batas fisik-spasial. Akibatnya, distingsi di sana dan di sini tidak
lagi berarti apa-apa. Kecepatan, menurut Virilio, tidak hanya menyulitkan
distingsi spasial, namun akibatnya kita tidak bisa membedakan ruang dari waktu.
Pembuluh sinar katoda – entah yang kita jumpai di televisi atau komputer –
menyebabkan dimensi spasial tidak dapat dipisahkan dari kecepatan transmisi. Di
samping tereliminasinya ruang, dalam kecepatan – terutama kecepatan komunikasi ilmu
pengetahuan dan informasi – menciptakaan dunia citraan dan penampakan yang
membingungkan. Kita lantas tidak mampu mengatakan dimana kita, jam berapa, atau
apa yang harus kita lakukan. Virilio menggambarkan ini dengan krisis
konseptualisasi dan representasi akibat rusaknya penilaian-penilaian yang
nyata, hilangnya rujukan-rujukan yang nyata, dan disintegrasi berbagai
standard.
Dalam ruang-dromospherik,
kita telah bergerak dari dunia citraan yang harmonis ke dunia di mana
citraan-citraan sangat tidak harmonis. Meskipun kita sanggup merasakan banyak
hal, tapi akibat citraannya yang berlalu begitu cepat, dia tidak banyak
meninggalkan bahan-bahan yang berarti bagi aktivitas refleksif kita.
Kabar ruang-drmospherik yang
disampaikan Virilio seharusnya mengkhawatirkan, jika kita tetap terobsesi pada
sebuah tonggak. Karena kita seperti hendak membangun sebuah fondasi di atas
landskap yang bergerak tunggang-langgang dalam kecepatan, yang membuatnya luput
dari segala upaya penangkapan kita.
Salah satu tokoh yang berbincang
dalam aras yang mengabarkan krisis konseptualisasi dan representasi adalah Jean
Baudrillard. Baudrillard menggambarkan situasi yang melingkupi dunia kita
sekarang ini dengan “zaman simulasi”, zaman di mana dialektika antara tanda dan
realitas terkoyak, yang tersisa adalah tanda atau simulasi, yang ada hanyalah
“permainan penanda-penanda... dimana kode tidak lagi merujuk kembali pada
“realitas” yang subjektif atau objektif, tetapi pada logika itu sendiri.”
Kolonisasi simulasi yang
tersebar luas, terutama melalui perkembangan media informasi dan komunikasi,
merupakan alasan umum bagi pengikisan perbedaan antara yang nyata dengan yang
imajiner, yang benar dan yang palsu.
Yang benar dan yang nyata mati, lenyap dalam longsoran simulasi. Bagi
Baudrillard, zaman ini ditandai oleh arus simulasi dan citra yang menakjubkan
yang menyapu tuntas, sebuah hiperealitas di mana kita dijejali dengan citra dan
informasi. Awalan hiper dalam hiperealitas menandakan arti “lebih dari
nyata”. Yang nyata diciptakan berdasarkan sebuah model yang tidak berasal dari
kenyataan yang terberi, tetapi direproduksi secara artifisial sebagai sesuatu
yang nyata, kenyataan disentuhkan kembali dengan dirinya dalam keserupaan yang
sarat halusinasi. Untuk menggambarkan simulasi ini, Baudrillard memperkenalkan
konsep implosi. Dalam tulisan Baudrillard, implosi atau ledakan ke dalam adalah
istilah yang menggambarkan keruntuhan batas antara dunia nyata dan simulasi.
Contohnya, antara media dengan dunia sosial, sehingga “TV itulah dunia”. TV menyimulasi
situasi-situasi kehidupan nyata, bukan hanya untuk merepresentasikan dunia,
tapi lebih untuk menjalankan dunianya sendiri. Penampilan ulang pristiwa
“kehidupan nyata” dalam berita membuat kabur batas antara “yang nyata” dengan
simulasi, antara hiburan dengan pristiwa terkini.
Akibat kematian dialektika
dan yang nyata, mustahil memimpikan harapan-harapan humanistik yang besar.
Misalnya, Baudrillard berseberangan dengan Marxian, dalam zaman yang
dikolonisasi oleh kode dan tanda, uang dan buruh mengambang sebagai tanda
ketimbang menjadi realitas yang material.
Oleh karena itu, kapitalisme modern bagi Baudrillard lebih merupakan
“rumah bordil kapital yang digeneralisasikan, rumah bordil bukan untuk
pelacuran tetapi untuk substitusi dan komunikasi; buruh tidak lagi sebuah
kekuasaan tetapi sama sekali sebuah tanda di antara sekian banyak tanda. Buruh
tidak lagi reproduktif, tapi hanya reproduksi (tanda dan kode).” Akibatnya,
buruh dan pabrik lenyap karena mereka ada di mana-mana. Bagi Baudrillard, konsumen
dapat dipandang sebagai buruh-buruh dan oleh sebab itu, shopping mall bisa
dipahami sebagai pabrik-pabrik (tanda dan kode). Apa yang tersisa, buruh tidak
bisa lagi dipahami sebagai kekuatan revolusioner.
Dalam situasi zaman seperti
itu, mustahil mengklaim sebuah narasi agung tentang ‘tonggak’. Ketika
dialektika dan yang nyata tercerai-berai di bawah hempasan simulasi, dunia
bergerak dalam sirkuit yang terputus-putus tanpa rujukan atau lingkaran. Dalam
keadaan semacam itu, kita seperti membangun tonggak dari tiang-tiang yang
ringkih, bahkan medan tempat tiang itu dipancangkan pun lunak dan tak bisa
menampung benda padat.
Dalam konteks kebudayaan,
kita tak bisa terlalu yakin bahwa aktivitas-aktivitas kebudayaan sebagai
ekspresi kebudayaan yang agung, karena simulasi bahkan ada di mana-mana,
aktivitas-aktivitas kebudayaan hanyalah rupa dari proses simulasi. Misalnya,
bisakah kita yakin bahwa Desa Sade di Lombok itu bisa disebut sebagai praktik
Kebudayaan atau hanya simulasi kebudayaan? Betul bahwa, rumah-rumah mereka
menjaga arsitektur bangunan rumah orang dulu, merajut benang, kain,
mempraktikkan praktik-praktik kebudayaan tradisional, dan lain-lain, tapi apa
yang ada saat ini barangkali hanya simulai dari apa yang telah dilakukan oleh
orang-orang dulu pada waktu dulu? Atau parade dan festival kebudayaan yang
dicerabut dari akar sosialnya demi tujuan promosi pariwisata? Sebagai kepulauan
dan pemerintahan yang mengklaim diri sebagai situs kesenangan pariwisata,
kebudayaan sangat rentan direproduksi sebagai efek simulasi.
Menyadari Sisi Berbahaya
Konsentrasi berlebihan Merang
Sasak pada nostalgia akan masa lalu dan keinginan untuk mengontrol masa
depan, mengaburkan perhatiannya pada sejarah faktis kita yang centang-perenang.
Merang Sasak terobsesi pada sejarah sebagai gerak pengulangan, bahwa ada
plot yang pasti, dan setiap individu dari masyarakat Sasak harus bergerak maju
sesuai dengan idealisasi plot yang direncanakan. Sejarahnya adalah gerak
kompromisasi perbedaan-perbedaan ke dalam satu sistem integral yang dapat
mewadahi segala-galanya. Merang Sasak lantas membayangkan dirinya sebagai
sistem yang secara metavisis dapat menopang segala anasir yang berbeda dan
membuatnya menjadi satu.
Di situlah ‘sisi berbahaya’
yang harus disadari dalam Merang Sasak. Ia menciptakan kategori-kategori
atas partikularitas, mencari kesatuan-kesatuan makna dari berbagai hal yang
plural, dan melakukan penunggalan atas kemajemukan. Segala hal yang berbeda
dari kategorinya direduksi dan dicari titik kesamaannya sehingga bisa dihasilkan
metonimi yang baku. Dengan melakukan ini, Merang Sasak sebagai sistem
metafisis atau disebut sebagai suprastruktur ideologi berpotensi
mereduksi yang lain dalam ekonomi kesamaan (economy of the same) dan
menyeragamkan perbedaan, dalam satu sitem homogen.
Keyakinannya adalah hasrat
kuasa, yakni keinginan untuk menguasai kenyataan yang centang-perenang dengan
mereduksi kompleksitas agar mudah digerakkan. Proses reduksi terhadap kenyataan
ini dilakukan dengan mengabstraksikan berbagai hal yang sengkarut dan lepas
dari kesadaran, lalu mengurungnya menjadi satu dalam sebuah kategori dan
konsep, yakni merang itu sendiri. Sebagai konsep tentang struktur, ia
ingin menjaring segala persoalan ke dalam satu rumusan tunggal.
Jelaslah, masyarakat tidak
bisa dilihat sebagai kategori esensial. Asumsi bahwa masyarakat memiliki
karakteristik esensial walaupun sepertinya asumsi-asumsi semacam itu berangkat
dari keinginan etis, namun ia juga bisa memiliki konsekuensi politik yang
besar, yang menguntungkan suatu kelompok dan merugikan yang lain, atau
menjerumuskan sebuah komunitas dalam ketertutupan. Misalkan ide bahwa ada
identitas metafisis yang musti ditemukan atau diwujudkan sebagaimana tergambar
dalam pernyataan ‘semua orang bisa menjadi Lombok, tapi tidak semua orang bisa
menjadi Sasak’ menimbulkan suatu pemahaman bahwa ada identitas yang bersifat
ekslusif yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang tertentu. Atau dalam gagasan
bahwa kebudayaan mesti dijaga dan diselamatkan menimbulkan suatu pemahaman
bahwa ada beberapa individu dan kelompok (seperti dalam istilah Merang Sasak,
langlang) seharusnya mendapatkan otoritas dan legitimasi sebagai para
pengemban dan para penjaga, hirarki yang terbuka lantas diciptakan. Masalah
ini, tentu saja, beberapa individu atau kelompok tertentu menggunakan posisi
kekuasaan dan otoritas posisi itu digunakan tidak saja untuk mengontrol
praktik-praktik, tapi juga berpotensi menjadi teror bagi praktik-praktik yang
tidak perlu dikontrol.
Sebuah Panggung Terbuka
Memang, ada rasa khwatir,
perasaan murung, dan suara rintih. Bagaimana tidak, kita seperti terjebak dalam
ambiguitas yang kronis; di satu sisi pergeseran-pergeseran ilmu pengetahuan dan
perkembangan dunia membuat segala patokan yang kita buat menjadi ringkih,
sementara di sisi yang lain, gerak materialitas perkembangan-perkembangan
tidaklah sama, ada yang bergerak dalam ritme yang cepat, dan ingin mempengaruhi
ritme-ritme yang masih lamban. Kita perlu merespon kecepatan dan kelambanan,
tapi segala respon yang kita berikan terdengar menggelikan. Berusaha mengerem
atau menghadang ketidakpastian ritme sejarah yang tak bisa lagi dipatok secara
linier seperti upaya yang dipastikan gagal, atau agaknya cukup hanya untuk
memberikan ketenangan, sebuah obat bagi kegelisahan-kegelisahan kita. Tapi
masalahnya, kita sudah terlanjur mengetahui bahwa obat itu sama sekali tak
ampuh.
Situasi dunia kita sudah
sangat cair dengan perjumpaan-perjumpaan yang tidak bisa dipastikan,
kepingan-kepingan kehidupan yang berlalu dengan cepat dan terfragmentaris.
Dalam konteks primordial, masihkan kita bisa bicara dalam kosa kota yang sama
seperti yang dulu, atau kah kita perlu cara lain untuk mengeluarkannya dari ujung
lidah?
Saya percaya bahwa kita masih
punya kesempatan untuk berbicara tentang primordilaitas, karena kita tak bisa
melupakan bahwa ada arena, medan antagonistik yang melembam dalam kompleksitas
dunia sosial. Melupakan keberadaan arena sama artinya dengan ketidakadilan
karena melupakan atau mengabaikan bahwa ada materialitas riil yang nyata
terjadi; bahwa ada masyarakat yang kurang beruntung, ada gerak sejarah yang
lebih lambat di belahan bumi yang lain, ada ‘asal-usul’ primordial tempat kita
berasal serta membentuk sebagian kesadaran personal dan karena itu menimbulkan
rasa lebih tanggungjawab, ada ‘wajah leluhur’, ada belahan geografis yang
mengikat perhatian lebih dibanding yang lain. Itulah Pulau Lombok.
Pulau Lombok adalah materialitas
riil yang kehadirannya adalah kedatangan dari sejarah panjang yang memadat dan
mendahului manusia-manusia yang beranak-pinak hari ini. Dialah panggilan bagi gerak perjuangan yang
terus-menerus. Tapi apa yang diandaikan, tentu saja bukan totalitas, melainkan
sebuah tindakan politik yang mungkin dilakukan hari ini dan di masa depan,
membuka segala kemungkinan bagi keterlibatan aktor-aktor, mungkin berlangsung
tanpa mengandaikan fondasi-fondasi transenden-metafisis, melainkan hanya
strategi politik, sebuah tindakan bertujuan fragmatis. Yang diandaikan adalah
gerak perjuangan yang mengafirmasi segala pebedaan dan keragaman agen-agen yang
mengisinya namun juga dapat berlangsung sebagai gerak kolektif.
Pada aras seperti itulah saya
ingin mengafirmasi Merang Sasak, walaupun sebenarnya cukup sukar kecuali
meletakkannya sekedar sebagai kategori strategis. Bahkan, dalam bentuk
seperti itu pun, kita tetap perlu menyadari bahwa ia tetap problematik.
Maksudnya, karena ia, misalnya tetap mengandaikan sebentuk esensialisme
primordial ‘merang sasak’, ia terbuka bagi ketertutupan.
Namun demikian, setidaknya
sebagai kategori strategis, kita mendapatkan tiga keuntungan sekaligus.
Pertama, kita bisa bicara tentang perjuangan politis yang bersumber dari
‘asal-usul’ spesifik. Kita bisa mengatakan bahwa ‘saya adalah orang Lombok,
Suku Sasak, saya punya unsur-unsur historis spesifik, punya tatanan sosial
spesifik yang turut membentuk bahkan sebagian besar kesadaran dan identitas
saya, saya adalah individu yang tinggal di belahan geografis-administratif
spesifik, dan karena itu, saya punya titik rujukan yang dapat dipastikan
disebabkan saya tidak bisa begitu saja mengabaikan bahwa saya bukan hadir di
kehampaan’ dan perujukan seterusnya. Asumsinya, tidak ada diferensialitas
absolut atau dengan kata lain bahwa sudah ada fakta historis yang mendahului
kita, dan berpengaruh dalam kedirian kita.
Keuntungan kedua adalah
karena keuntungan pertama dapat kita peroleh dari titik identifikasi sederhana
dan funsgional-fragmatik, maka kita tak ‘direpotkan’ untuk membentuk sebuah
pendasaran metafisis apa pun. Kita tak perlu repot-repot menyusun sebuah
identitas totalistik bagi kemungkina sebuah soliditas dan solidaritas sosial.
Dengan kata lain, kita tak membutuhkan sebuah ‘tonggak’ bagi tegaknya tatanan
sosial kita. Yang penting untuk diperhatikan bahwa ketidakbutuhan pada
‘tonggak’ bukan semata-mata karena persoalan pragmatis atau relevansinya, tapi
karena kita mengetahui bahwa tak ada kemungkinan bagi ‘tonggak’ dan tak ada
yang perlu mendapat klaim untuk menyusun ‘tonggak’. Keuntungan yang ketiga,
kita terbebas dari pengandaian bahwa harus ada agen-agen khusus atau semacam
keotoritasan yang secara praktis dan konseptual sangat problematik.
Karena itu, apa yang saya
bayangkan adalah bukan tentang asal-usul darah (keturunan, kebangsawanan, warna
darah), bukan sebuah identitas arkais (seperti dalam ungkapan “semua orang bisa
menjadi Lombok, tapi tidak semua orang bisa menjadi Sasak”; bahwa seolah ada
identitas potensial yang tidak ditentukan oleh ketentuan sejarah, tapi oleh
keistimewaan-keistimewaan metafisis tertentu), bukan tentang keberulangan
sejarah, bukan sebuah tonggak, tapi sekedar sebuah panggung atau sebuah arena.
Pulau Lombok adalah panggung
itu. Tapi sekali lagi, ia adalah panggung terbuka. Ia adalah situs yang
mempertemukan atau mengartikulasi berbagai posisi agen yang berbeda-beda. Di
atasnya, para agamawan dapat menyampaikan khutbah mereka, para budayawan
‘merawat’ budaya, para seniman mempertunjukkan karya-karya mereka, para
pendidik merawat akal-budi, pemerintah dan para politisi menyusun kebajikan-kebijakan
publik, hingga tempat anak-anak bermain dengan gembira.
Setiap aktor dapat memilih
caranya sendiri dalam memaknai panggung. Entah sebagai panggung keseriusan atau
arena ‘permainan’. Panggung itu adalah situs antagonisme yang plural, yang
kebermaknaannya ditentukan oleh jejak-jejak dari para aktor-aktor yang berbeda.
Panggung semacam itu mungkin
dengan melepaskan diri dari bayangan para pengarang, sutradara, atau otoritas
tunggal. Panggung dibiarkan bebas dari segala keotoritasan yang mengklaim
kontrol atas lakon, aktor, dan setiap gerak. Karena itu yang diandaikan adalah
panggung tanpa sabda otoritas tunggal, karena gerak yang lahir dari sabdanya
adalah gerak kelembaman, karena sabdanya adalah kabar finalitas dan kematian.
Di atas panggung itu, tempat pemujaan dilempar ke belakang panggung.
Yang perlu diperhatikan, karena
tidak ada yang berhak mengklaim keistimewaan di atas panggung itu, begitu pula,
panggung itu tidak diperbudak oleh siapa pun, para aktor dibiarkan bebas
memainkan lakon-lakon mereka, dan setiap aktor menghormati perbedaan-perbedaan
gerakan yang lain. Apa yang justru diharapkan dari panggung itu adalah lahirnya
gerakan-gerakan yang hidup, yang lahir dari kreativitas setiap aktor.
Meski demikian, kebebasan di
atas panggung itu tidak lantas membuatnya menjadi panggung kekacauan, karena
panggung itu harus terus dijaga dan dirawat, yang memungkinkan sebanyak mungkin
‘adegan’ dimainkan. Sebuah panggung terbuka yang harus diperjuangkan keberadaannya
karena tanpa eksistensinya, segala adegan menjadi mustahil.
Apa yang dirayakan di atas
panggung itu adalah keragaman. Dan apa yang mempersatukan keragaman itu tidak
lain panggung itu sendiri. Panggung itu adalah artikulasi dari segala diskursus
yang berlainan. Logika yang menjadi sistem aturan panggung itu adalah logika
differensialitas dan ekuivalensi. Logika differensialitas menyadari bahwa
kenyataan sosial tidaklah homogen atau dapat dikrangkeng dalam totalitas.
Namun, perbedaan antarperbagai aktor (kelompok agamawan, budayawan, seniman,
politisi, dan lain-lain) yang distruktur oleh perbedaan masing-masing, dapat
merumuskan tujuan bersama yang diformulasi di atas panggung itu, demi
keberadaan panggung itu sendiri. Bahwa panggung yang juga menentukan eksistensi
mereka perlu dirawat, dijaga, diperbaiki, dibuat nyaman bagi semua, diciptakan
menjadi panggung yang beradab. Panggung itu sebagai titik pertemuan yang
membentuk persatuan di antara para aktor, tanpa melepaskan keragaman identitas
dan identifikasi mereka, atau mengabaikan heterogenitas situs-situs antagonisme
dalam masyarakat. Dengan kata lain, meski totalitas tidaklah mungkin, bukan
berarti kita kehilangan tujuan-tujuan pragmatik kita.
Di atas panggung itu tak ada
tanggungjawab bagi finalitas yang harus diwujudkan. Tak ada virtualitas yang
harus diaktualisasikan. Para aktor mengakui falibilitas mereka, dan karenanya legowo
mengetahui bahwa mereka tak punya ukuran-ukuran untuk menentukan hal-hal
semacam itu. Meski demikian, kita tak perlu gundah, karena ketiadaan finalitas bukan
berarti gerak para aktor di atas panggung mengambang tanpa arti, sebaliknya
justru membuka kemungkinan bagi perubahan dan perbaikan terus menerus.
Penutup
Merang Sasak, sebuah langgam kejantanan
tiba-tiba datang di tengah-tengah kita. Kehadirannya memperdengarkan kembali
kepolosan-kepolosan dengan semangat yang meluap-luap. Ia memperkenalkan kita
sebuah ‘struktur ideologis’ yang menarik. Karena itu, kehadirannya seperti kepercayaan
diri menantang ‘struktur besar’ yang mentotalisai dan menghomogenisasi.
Namun, kepercayaan dirinya
membuat dia mengabaikan pergeseran-pergeseran ilmu pengetahuan, perubahan
situasi dunia, perkembangan teknologi, dan kekuatan-kekuatan berbagai ‘struktur
besar’.
Meski demikian, suaranya
mengharukan karena ia mengingatkan kembali pada kesetiaan, yakni kesetiaan
terhadap ‘diri kita’, masyarakat kita, primordialitas kita, lokus dan sejarah
spesifik yang tidak bisa begitu saja diabaikan. Ia mengingatkan kembali pada
‘titik poin’ di tengah citra-citra yang menghablur dan mengaburkan pandangan
kita.
Oleh karena itu, saya tidak
ragu untuk mengatakan, “MERANG SASAK!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar