Keputusan Mahkamah Konstitusi
sudah final dan mengikat. Semua gugatan kubu Prabowo-Hatta dimentahkan, dan
dengan begitu Jokowidodo-Jusuf Kalla melenggang mulus menjadi presiden dan
wakil presiden terpilih untuk priode berikutnya.
Menjelang hari pelantikan,
perhatian rakyat kembali dikuras dengan perbincangan para pengamat di berbagai
media massa tentang fostur kementerian dan figur menteri yang tepat dan layak
sebagai pembantu presiden mendatang. Sebuah langkah politik yang lebih terbuka
coba dibangun dengan membentuk ‘rumah transisi’ sebagai tempat fostur
kementerian itu dirumuskan dan nama-nama calon menteri dipertimbangkan.
Jokowidodo dan Jusuf Kalla mengajak kita untuk percaya bahwa mereka akan
melakukan perubahan-perubahan yang menggebrak.
Kemenangangan pasangan
Jokowidodo-Jusuf Kalla pada pemilu 9 juli yang lalu meninggalkan kesan yang
menarik dalam kancah politik nasional. Terutama pada sosok Jokowi yang berhasil
memikat seluruh negeri. ‘Blusukan’ adalah bahasa politik yang digandrungi
bersama kehadirannya. Selain kata ‘blusukan’, kata ‘relawan’ juga hadir secara
lebih nyata, sebuah kata yang sebelumnya terdengar klise dalam politik yang
dinilai sebagai aktivitas perebutan kekuasaan, transaksi atau bagi-bagi
kekuasaan di kelompok elit politik. Para relawan datang bersijingkat berkerumun
di sisinya, berjuang demi sosok yang dipercaya ‘mewakili rakyat’.
Melalui strategi blusukan,
Jokowi berhasil membangun citra representasi yang utuh dari rakyat, sebagai sosok
yang datang dari rakyat, merakyat, dan lekat dengan rakyat. Kehadirannya
seakan-akan mewakili antusiasme dan optimisme politik baru bahwa keberadaan
pemimimpin sejatinya adalah kehadiran secara ‘nyata’ dalam kesehariaan rakyat.
Ia kemudian dilihat sebagai antitesa kekuasaan yang feodalistik, yang cenderung
berjarak dan menjauh dari rakyat.
Jokowi datang dan langsung
memikat simpati dengan begitu cepat. Ia menggeser ketenaran semua politisi yang
berkiprah jauh sebelum dirinya. Strategi blusukan menjadi rule model
dalam pendekatan politik dari semua politisi yang berharap mendulang simpati
rakyat, tapi tak ada yang seberhasil dirinya. Akhirnya, dari seorang Wali Kota
Solo, ia berhasil merebut posisi orang nomor satu di DKI Jakarta, dan kini
terpilih menjadi presiden sebuah negara besar bernama Indonesia.
Kehadirannya memang membangun
harapan besar. Sosoknya yang bangkit dari ‘rakyat biasa’ melahirkan harapan di
benak rakyat bahwa siapa pun dapat dan mungkin menjadi pemimpin tanpa latar
belakang keagungan dalam sejarah hidupnya. Sebagai pemimpin dari ‘rakyat biasa’
dia juga melahirkan harapan bahwa kebijakan-kebijakannya akan mewakili asal
dirinya, yakni kepentingan-kepentingan rakyat.
Namun demikian, di tengah
optimisme itu, pertanyaan-pertanyaan retoris tetap relevan disuarakan; bisakah
kita menitipkan harapan dan cita-cita besar padanya, dan secara polos meyakini
harapan dan cita-cita itu akan aman, atau ia tak akan mengecewakan? Mungkinkah
dari tangannya akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang menggebrak dan
perubahan-perubahan besar?
Ketidakcukupan Demokrasi
Jokowi memang fenomenal. Dia
tak perlu jenjang panjang dan rute yang berliku-liku untuk mendulang simpati.
Ia tak perlu berjanji terlalu banyak untuk membangkitkan optimisme dan antusias
masyarakat terhadap dirinya. Namun demikian, penting untuk sejak awal disadari
bahwa harapan-harapan kita mungkin sekali retak padanya.
Jokowi berdiri pada hirarki
kepemimpinan nasional sebagai hasil dari demokrasi yang sudah “ternamai” dalam
format pemilihan umum. Sebagai sebuah format, demokrasi dibangun menjadi sistem
dan prosudur yang harus praktis dan terkelola. Oleh sebab itu, demokrasi lebih
sering berhenti pada pelembagaan formal ketimbang mensponsori revolusi. Ia
punya kecenderungan untuk menjaga dirinya dari chaos, sehingga semua
anasir perubahan yang mengguncang
tatanan sosial-politik pun pada akhirnya dilunakkan.
Pada praktiknya, demokrasi
seringkali menghentikan proses politik dengan menyandarkan diri pada suara
terbanyak atau sebuah konsensus. Dan konsensus tidak mudah menjadi wadah yang
berani. Dalam pemilihan umum, mekanismenya yang utama adalah sistem yang
mengikuti statistik. Tiap pemungutan suara terkurung dalam “kurva lonceng”,
mayoritas pemilih tak menghendaki anasir perubahan yang radikal. Ada semacam
tendensi bersama untuk tak memilih hal yang menguncang. Dengan kata lain,
demokrasi selalu tak mencukupi untuk sebuah perbaikan, untuk sebuah cita-cita
yang melampaui politik sehari-hari.
Terlebih, dalam demokrasi
seorang pemimpin lahir dari ritus politik, bukan l’événement atau
‘kejadian’ mengikuti Alain Badiou – seorang filsuf politik kontemporer. Sang
pemimpin hadir bukan dari suatu yang mengguncang dan menerobos situasi yang
ada, yang dilakukan dan dihayati para pelakunya sebagai sesuatu yang baru dan
berarti – sesuatu yang membangkitkan subyektivitas dan militansi. Serta
sekaligus mengungkapkan nilai yang dapat diterima secara universal.
Ketika pemimpin tidak hadir
dari l’événement atau ‘kejadian’ melainkan dari ritus politik yang
terkurung dalam prosudur teknis elektoral, pada saat itu politik sebagai “Yang
Politis (The Political) – sekali lagi menyitir Badiou – yakni politik
yang dimaknai sebagai politik perjuangan yang lahir dari kulminasi gerak,
keberanian, subjektivitas bersama-sama dengan kolektivitas dan universalitas
yang mengarah pada kebaruan menjadi sulit bahkan mustahil terwujud.
Dalam situasi absennya “yang
politis”, harapan akan yang luar biasa atau perubahan radikal merupakan
kepolosan yang konyol. Pada konteks itu, optimisme dan antusiasme pada sosok
Jokowi mungkin – sama sekali – tak aman. Alih-alih mengharapkan yang luar
biasa, dalam keharibaan kurva lonceng demokrasi dan ritus politik sehari-hari,
Jokowi tak akan bersedia mengubah politik Indonesia yang baru dan menggebrak
meski suara perubahan yang dibawakannya terdengar nyaring.
Memelihara Gerak Perjuangan
Dalam keharibaan “kurva
lonceng” demokrasi, sesuatu yang mengguncang, yang luar biasa hampir mustahil.
Ketika pemilu demokratis berlangsung, saat itu pula politik sebagai gerak
keberanian mewujudkan kebaruan menemukan hukum kelapukan. Politik hanya
berkutat pada ritme yang monoton, keberanian untuk melampaui politik
sehari-hari di simpan dalam peti.
Menyadari bahwa demokrasi
tidak pernah cukup untuk melahirkan perubahan radikal dan harapan-harapan kita
mungkin sekali dikecewakan sangatlah penting. Bukan untuk mendelegetimasi
jalannya sejarah rezim pemerintahan berikutnya melainkan untuk mengingatkan
kita bersama bahwa perjuangan akan perbaikan dan keadilan adalah panggilan yang
tak pernah diam, siapa pun pemimpin negara ini.
Saat demokratik sejati memang
jarang sekali terjadi. Namun, bukan berarti kita bisa menjadikannya alasan
untuk menghancurkan demokrasi. Satu-satunya jalan adalah menjaga kesetiaan dan
kerinduan pada ‘Politik’ sebagai gerak perjuangan. Jalan yang ditempuh tak bisa
ditentukan sebelumnya, dibutuhkan keluesan-keluesan dalam setiap langkah yang
hendak ditempuh.
Pada titik itu, signifikansi
para relawan yang berjuangan mendukung pasangan capres masing-masing terus
menemukan momentumnya meski pemilu telah usai. Setelah keputusan MK final dan
mengikat, saat itu pula tak ada lagi relawan untuk Jokowi-JK atau pun
Prabowo-Hatta, yang tersisa adalah relawan untuk rakyat Indonesia. Perjuangan
harus dikembalikan pada tuntutan perwujudan kepentingan rakyat.
Fairway casino no deposit bonus - xn--o80b910a26eepc81il5g.online
BalasHapusFairway casino no deposit bonus worrione 【2021】- Fairway casino no deposit bonus free spins no deposit required, 【2021】- Fairway casino หาเงินออนไลน์ no 메리트 카지노 쿠폰 deposit bonus