Rabu, 17 Juni 2015

Dalam Keharibaan Kurva Lonceng



Keputusan Mahkamah Konstitusi sudah final dan mengikat. Semua gugatan kubu Prabowo-Hatta dimentahkan, dan dengan begitu Jokowidodo-Jusuf Kalla melenggang mulus menjadi presiden dan wakil presiden terpilih untuk priode berikutnya.
Menjelang hari pelantikan, perhatian rakyat kembali dikuras dengan perbincangan para pengamat di berbagai media massa tentang fostur kementerian dan figur menteri yang tepat dan layak sebagai pembantu presiden mendatang. Sebuah langkah politik yang lebih terbuka coba dibangun dengan membentuk ‘rumah transisi’ sebagai tempat fostur kementerian itu dirumuskan dan nama-nama calon menteri dipertimbangkan. Jokowidodo dan Jusuf Kalla mengajak kita untuk percaya bahwa mereka akan melakukan perubahan-perubahan yang menggebrak.
Kemenangangan pasangan Jokowidodo-Jusuf Kalla pada pemilu 9 juli yang lalu meninggalkan kesan yang menarik dalam kancah politik nasional. Terutama pada sosok Jokowi yang berhasil memikat seluruh negeri. ‘Blusukan’ adalah bahasa politik yang digandrungi bersama kehadirannya. Selain kata ‘blusukan’, kata ‘relawan’ juga hadir secara lebih nyata, sebuah kata yang sebelumnya terdengar klise dalam politik yang dinilai sebagai aktivitas perebutan kekuasaan, transaksi atau bagi-bagi kekuasaan di kelompok elit politik. Para relawan datang bersijingkat berkerumun di sisinya, berjuang demi sosok yang dipercaya ‘mewakili rakyat’.
Melalui strategi blusukan, Jokowi berhasil membangun citra representasi yang utuh dari rakyat, sebagai sosok yang datang dari rakyat, merakyat, dan lekat dengan rakyat. Kehadirannya seakan-akan mewakili antusiasme dan optimisme politik baru bahwa keberadaan pemimimpin sejatinya adalah kehadiran secara ‘nyata’ dalam kesehariaan rakyat. Ia kemudian dilihat sebagai antitesa kekuasaan yang feodalistik, yang cenderung berjarak dan menjauh dari rakyat.
Jokowi datang dan langsung memikat simpati dengan begitu cepat. Ia menggeser ketenaran semua politisi yang berkiprah jauh sebelum dirinya. Strategi blusukan menjadi rule model dalam pendekatan politik dari semua politisi yang berharap mendulang simpati rakyat, tapi tak ada yang seberhasil dirinya. Akhirnya, dari seorang Wali Kota Solo, ia berhasil merebut posisi orang nomor satu di DKI Jakarta, dan kini terpilih menjadi presiden sebuah negara besar bernama Indonesia.
Kehadirannya memang membangun harapan besar. Sosoknya yang bangkit dari ‘rakyat biasa’ melahirkan harapan di benak rakyat bahwa siapa pun dapat dan mungkin menjadi pemimpin tanpa latar belakang keagungan dalam sejarah hidupnya. Sebagai pemimpin dari ‘rakyat biasa’ dia juga melahirkan harapan bahwa kebijakan-kebijakannya akan mewakili asal dirinya, yakni kepentingan-kepentingan rakyat.
Namun demikian, di tengah optimisme itu, pertanyaan-pertanyaan retoris tetap relevan disuarakan; bisakah kita menitipkan harapan dan cita-cita besar padanya, dan secara polos meyakini harapan dan cita-cita itu akan aman, atau ia tak akan mengecewakan? Mungkinkah dari tangannya akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang menggebrak dan perubahan-perubahan besar?
Ketidakcukupan Demokrasi
Jokowi memang fenomenal. Dia tak perlu jenjang panjang dan rute yang berliku-liku untuk mendulang simpati. Ia tak perlu berjanji terlalu banyak untuk membangkitkan optimisme dan antusias masyarakat terhadap dirinya. Namun demikian, penting untuk sejak awal disadari bahwa harapan-harapan kita mungkin sekali retak padanya.
Jokowi berdiri pada hirarki kepemimpinan nasional sebagai hasil dari demokrasi yang sudah “ternamai” dalam format pemilihan umum. Sebagai sebuah format, demokrasi dibangun menjadi sistem dan prosudur yang harus praktis dan terkelola. Oleh sebab itu, demokrasi lebih sering berhenti pada pelembagaan formal ketimbang mensponsori revolusi. Ia punya kecenderungan untuk menjaga dirinya dari chaos, sehingga semua anasir perubahan yang mengguncang  tatanan sosial-politik pun pada akhirnya dilunakkan.
Pada praktiknya, demokrasi seringkali menghentikan proses politik dengan menyandarkan diri pada suara terbanyak atau sebuah konsensus. Dan konsensus tidak mudah menjadi wadah yang berani. Dalam pemilihan umum, mekanismenya yang utama adalah sistem yang mengikuti statistik. Tiap pemungutan suara terkurung dalam “kurva lonceng”, mayoritas pemilih tak menghendaki anasir perubahan yang radikal. Ada semacam tendensi bersama untuk tak memilih hal yang menguncang. Dengan kata lain, demokrasi selalu tak mencukupi untuk sebuah perbaikan, untuk sebuah cita-cita yang melampaui politik sehari-hari.
Terlebih, dalam demokrasi seorang pemimpin lahir dari ritus politik, bukan l’événement atau ‘kejadian’ mengikuti Alain Badiou – seorang filsuf politik kontemporer. Sang pemimpin hadir bukan dari suatu yang mengguncang dan menerobos situasi yang ada, yang dilakukan dan dihayati para pelakunya sebagai sesuatu yang baru dan berarti – sesuatu yang membangkitkan subyektivitas dan militansi. Serta sekaligus mengungkapkan nilai yang dapat diterima secara universal.
Ketika pemimpin tidak hadir dari l’événement atau ‘kejadian’ melainkan dari ritus politik yang terkurung dalam prosudur teknis elektoral, pada saat itu politik sebagai “Yang Politis (The Political) – sekali lagi menyitir Badiou – yakni politik yang dimaknai sebagai politik perjuangan yang lahir dari kulminasi gerak, keberanian, subjektivitas bersama-sama dengan kolektivitas dan universalitas yang mengarah pada kebaruan menjadi sulit bahkan mustahil terwujud.
Dalam situasi absennya “yang politis”, harapan akan yang luar biasa atau perubahan radikal merupakan kepolosan yang konyol. Pada konteks itu, optimisme dan antusiasme pada sosok Jokowi mungkin – sama sekali – tak aman. Alih-alih mengharapkan yang luar biasa, dalam keharibaan kurva lonceng demokrasi dan ritus politik sehari-hari, Jokowi tak akan bersedia mengubah politik Indonesia yang baru dan menggebrak meski suara perubahan yang dibawakannya terdengar nyaring.
Memelihara Gerak Perjuangan
Dalam keharibaan “kurva lonceng” demokrasi, sesuatu yang mengguncang, yang luar biasa hampir mustahil. Ketika pemilu demokratis berlangsung, saat itu pula politik sebagai gerak keberanian mewujudkan kebaruan menemukan hukum kelapukan. Politik hanya berkutat pada ritme yang monoton, keberanian untuk melampaui politik sehari-hari di simpan dalam peti.
Menyadari bahwa demokrasi tidak pernah cukup untuk melahirkan perubahan radikal dan harapan-harapan kita mungkin sekali dikecewakan sangatlah penting. Bukan untuk mendelegetimasi jalannya sejarah rezim pemerintahan berikutnya melainkan untuk mengingatkan kita bersama bahwa perjuangan akan perbaikan dan keadilan adalah panggilan yang tak pernah diam, siapa pun pemimpin negara ini.  
Saat demokratik sejati memang jarang sekali terjadi. Namun, bukan berarti kita bisa menjadikannya alasan untuk menghancurkan demokrasi. Satu-satunya jalan adalah menjaga kesetiaan dan kerinduan pada ‘Politik’ sebagai gerak perjuangan. Jalan yang ditempuh tak bisa ditentukan sebelumnya, dibutuhkan keluesan-keluesan dalam setiap langkah yang hendak ditempuh.
Pada titik itu, signifikansi para relawan yang berjuangan mendukung pasangan capres masing-masing terus menemukan momentumnya meski pemilu telah usai. Setelah keputusan MK final dan mengikat, saat itu pula tak ada lagi relawan untuk Jokowi-JK atau pun Prabowo-Hatta, yang tersisa adalah relawan untuk rakyat Indonesia. Perjuangan harus dikembalikan pada tuntutan perwujudan kepentingan rakyat.


1 komentar:

  1. Fairway casino no deposit bonus - xn--o80b910a26eepc81il5g.online
    Fairway casino no deposit bonus worrione 【2021】- Fairway casino no deposit bonus free spins no deposit required, 【2021】- Fairway casino หาเงินออนไลน์ no 메리트 카지노 쿠폰 deposit bonus

    BalasHapus