Kita mungkin dibuat jengkel
oleh teriakan berita korupsi yang memenuhi langit-langit rumah kita setiap saat
seolah-olah tidak ada pristiwa lain yang harus diberitakan, seakan politik dan
korupsi adalah dua kata yang begitu lekat. Namun kita tentu jengkel sekaligus
gembira karena setidaknya hal itu berarti ada peningkatan yang berarti dalam
peroses penegakan hukum, khususnya terhadap kejahatan kerah-putih ini (maaf
kalau ada yang suka pakai baju kerah putih). Yang membuat kita jengkel terutama
sikap dan adegan yang dimainkan oleh para koruptor itu yang menunjukkan sikap
biasa-biasa saja, di mana korupsi tidak disadari sebagai kejahatan yang
mengerikan malahan dianggap sebagai suatu kewajaran dan persoalan seseorang
menjadi tersangka/terdakwa adalah persoalan kesialan semata.
Di dalam suatu sistem di mana
sikap dan laku korup tidak lagi dipersoalkan sebagai kesalahan moral, maka
persoalan yang tersisa tinggal bagaimana menemukan teknik, strategi dan
mekanisme baru, lebih efektif, dan lebih aman untuk melaksanakannya. Bahkan,
dalam sistem seperti itu rasa bersalah karena telah korupsi adalah berlebihan. Kenapa
berlebihan, karena korupsi dianggap sebagai kebiasaan dan rutinitas sebagaimana
rutinitas harian setiap orang. Karena itu, kejahatan korupsi itu mengalamai
banalisasi serta normalisasi yang mana korupsi mengalami pendangkalan makna,
bukan sebagai kejahatan berat, tapi hanya sebagai bagian dari rutinitas saja
atau justru sebagai jalan karir dalam politik dan birokrasi negara. dan
kejahatan korupsi justru lebih berbahaya ketika dimaknai seperti itu. Kejahatan
korupsi kemudian menjadi lebih dramatis dan vulgar ketika pelakunya tidak sadar
telah bertindak jahat, tetapi merasa hanya menjalankan sesuatu yang lazim
terjadi di lingkungannya. Di sinilah banalitas kejahatan korupsi di mana
korupsi terjadi secara massif, dipraktikkan sebagai sesuatu yang otomatis,
hampir tidak melibatkan rasa bersalah.
Oleh sebab itu, tidak
mengherankan kenapa para koruptor kehilangan rasa berdosa, bahkan menilai
status itu sebagai musibah, ujian, atau keapesan/kesialan semata. Karena itu
tidak mengherankan juga ketika para koruptor itu menampilkan citra religius, di
depan persidangan membawa tasbih, rajin membaca Qur’an, teriakan takbir
menggema keras, sementara di depan media massa mencitrakan diri sebagai orang
yang terdzalimi, tidak mendapatkan keadilan, difitnah, dikriminalisasi, dan
lain sebagainya, tiada lain karena korupsi sudah mengalami banalisasi serta
normalisasi.
Dalam pandangan Hannah Arend,
hal itu terjadi karena apa yang disebutnya sebagai Gedankenlosigkeit (absennya
pikiran). Kerusakan parah akal sehat itu bisa menimpa siapa saja. Absennya
pikiran, tulis Arendt “dapat ditemukan pada orang-orang yang sangat cerdas, dan
hati yang jahat bukanlah penyebabnya; mungkin yang sebaliknya terjadi, bahwa
kejahatan mungkin disebabkan oleh absennya pikiran”. Jadi, bukan kebodohan yang
menjadi faktornya melainkan suatu ketidakmampuan untuk berpikir secara otentik.
Persoalan inilah yang tidak dipahami dalam kecurigaan orang-orang terhadap
penetapan seseorang sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal
ini tergambar ketika Lutfi Hassan Ishaq ditangkap KPK kemudian muncul
kecurigaan bahwa hal itu adalah konspirasi Amerika Serikat, Zionis dan lain
sebagainya. Demikian halnya dalam penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka,
kemudian dianggap sebagai konspirasi penguasa, jebakan, fitnah, dan lain-lain.
Kecurigaan itu lahir dari praanggapan bahwa mereka adalah orang-orang besar,
bersih, pintar, bermoral. dan berkarisma sehingga tidak mungkin mereka
melakukan kejahatan korupsi. Padahal, menukil tulisan Arendt di atas bahwa
absennya pikiran bisa menimpa siapa saja, bahkan pada orang-orang yang sangat
cerdas, dan hati yang jahat bukanlah penyebabnya tapi sebaliknya kejahatan
terjadi (dalam hal ini korupsi) disebabkan oleh absennya pikiran. Dan absennya
pikiran menurut Arendt tidak muncul dari kelupaan terhadap standar dan
kebiasaan baik, bukan pula dari kebodohan dalam arti tidak mampu memahami, tapi
ketidakmampuan untuk “berpikir otentik dan bertindak bebas”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar