Rabu, 17 Juni 2015

Korupsi dan Absennya Pikiran

Kita mungkin dibuat jengkel oleh teriakan berita korupsi yang memenuhi langit-langit rumah kita setiap saat seolah-olah tidak ada pristiwa lain yang harus diberitakan, seakan politik dan korupsi adalah dua kata yang begitu lekat. Namun kita tentu jengkel sekaligus gembira karena setidaknya hal itu berarti ada peningkatan yang berarti dalam peroses penegakan hukum, khususnya terhadap kejahatan kerah-putih ini (maaf kalau ada yang suka pakai baju kerah putih). Yang membuat kita jengkel terutama sikap dan adegan yang dimainkan oleh para koruptor itu yang menunjukkan sikap biasa-biasa saja, di mana korupsi tidak disadari sebagai kejahatan yang mengerikan malahan dianggap sebagai suatu kewajaran dan persoalan seseorang menjadi tersangka/terdakwa adalah persoalan kesialan semata.
Di dalam suatu sistem di mana sikap dan laku korup tidak lagi dipersoalkan sebagai kesalahan moral, maka persoalan yang tersisa tinggal bagaimana menemukan teknik, strategi dan mekanisme baru, lebih efektif, dan lebih aman untuk melaksanakannya. Bahkan, dalam sistem seperti itu rasa bersalah karena telah korupsi adalah berlebihan. Kenapa berlebihan, karena korupsi dianggap sebagai kebiasaan dan rutinitas sebagaimana rutinitas harian setiap orang. Karena itu, kejahatan korupsi itu mengalamai banalisasi serta normalisasi yang mana korupsi mengalami pendangkalan makna, bukan sebagai kejahatan berat, tapi hanya sebagai bagian dari rutinitas saja atau justru sebagai jalan karir dalam politik dan birokrasi negara. dan kejahatan korupsi justru lebih berbahaya ketika dimaknai seperti itu. Kejahatan korupsi kemudian menjadi lebih dramatis dan vulgar ketika pelakunya tidak sadar telah bertindak jahat, tetapi merasa hanya menjalankan sesuatu yang lazim terjadi di lingkungannya. Di sinilah banalitas kejahatan korupsi di mana korupsi terjadi secara massif, dipraktikkan sebagai sesuatu yang otomatis, hampir tidak melibatkan rasa bersalah.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan kenapa para koruptor kehilangan rasa berdosa, bahkan menilai status itu sebagai musibah, ujian, atau keapesan/kesialan semata. Karena itu tidak mengherankan juga ketika para koruptor itu menampilkan citra religius, di depan persidangan membawa tasbih, rajin membaca Qur’an, teriakan takbir menggema keras, sementara di depan media massa mencitrakan diri sebagai orang yang terdzalimi, tidak mendapatkan keadilan, difitnah, dikriminalisasi, dan lain sebagainya, tiada lain karena korupsi sudah mengalami banalisasi serta normalisasi.
Dalam pandangan Hannah Arend, hal itu terjadi karena apa yang disebutnya sebagai Gedankenlosigkeit (absennya pikiran). Kerusakan parah akal sehat itu bisa menimpa siapa saja. Absennya pikiran, tulis Arendt “dapat ditemukan pada orang-orang yang sangat cerdas, dan hati yang jahat bukanlah penyebabnya; mungkin yang sebaliknya terjadi, bahwa kejahatan mungkin disebabkan oleh absennya pikiran”. Jadi, bukan kebodohan yang menjadi faktornya melainkan suatu ketidakmampuan untuk berpikir secara otentik. Persoalan inilah yang tidak dipahami dalam kecurigaan orang-orang terhadap penetapan seseorang sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini tergambar ketika Lutfi Hassan Ishaq ditangkap KPK kemudian muncul kecurigaan bahwa hal itu adalah konspirasi Amerika Serikat, Zionis dan lain sebagainya. Demikian halnya dalam penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka, kemudian dianggap sebagai konspirasi penguasa, jebakan, fitnah, dan lain-lain. Kecurigaan itu lahir dari praanggapan bahwa mereka adalah orang-orang besar, bersih, pintar, bermoral. dan berkarisma sehingga tidak mungkin mereka melakukan kejahatan korupsi. Padahal, menukil tulisan Arendt di atas bahwa absennya pikiran bisa menimpa siapa saja, bahkan pada orang-orang yang sangat cerdas, dan hati yang jahat bukanlah penyebabnya tapi sebaliknya kejahatan terjadi (dalam hal ini korupsi) disebabkan oleh absennya pikiran. Dan absennya pikiran menurut Arendt tidak muncul dari kelupaan terhadap standar dan kebiasaan baik, bukan pula dari kebodohan dalam arti tidak mampu memahami, tapi ketidakmampuan untuk “berpikir otentik dan bertindak bebas”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar