Rabu, 17 Juni 2015

Teknologi Komunikasi dan Ruang Kebangsaan

Pendahuluan
Sesaat sebelum catatan ini saya tulis, saya tengah menonton berita yang saling berganti tentang politik nasional dan internasional, tentang pristiwa-pristiwa sosial dan kriminal, tentang kejutan-kejutan ekonomi, tentang undang-undang yang tengah diperebutkan, tentang calon presiden baru yang tengah menyusun formasi pemerintahannya, tentang kekeringan yang melanda berbagai daerah akibat kemarau panjang, tentang kerusakan lingkungan, tentang anak-anak yang bernasib lebih baik menikmati fasilitas pendidikan layak sementara di tempat lain saudara-saudara mereka terbata-bata melanjutkan pendidikannya, tentang keluarga yang terpaksa makan nasi aking karena tak mampu membeli beras, tentang perang yang berkecamuk di belahan dunia lain dan kematian-kematian massal oleh senjata-senjata pembunuh super canggih, tentang kerakusan pejabat yang terjerat kasus korupsi, dan berita-berita lain yang berjibun dan memaksa untuk diperhatikan.
Setelah itu, saya membuka laptop dari tempat duduk yang sama untuk berselancar di dunia maya, mencari berbagai informasi yang saya butuhkan, membuat status baru di account media sosial saya, dan tak lupa mengomentari status orang-orang dengan pesan yang berbeda-beda.        Di saat bersamaan, seseorang teman mengirimkan pesan singkat ke handphone saya dengan pesan mengajak untuk mendukung perjuangan suatu masyarakat adat yang tengah melawan kekuasaan korporasi tertentu melalui dukungan SMS untuk menekan pemerintah membuka mata dan telinganya bagi masyarakat yang tengah memperjuangkan hak-haknya. Menariknya, meski saya tidak memiliki hubungan apa pun, dan teman saya pun begitu, dengan masyarakat adat yang tengah memperjuangkan haknya, saya tetap dituntut terlibat dengan memberikan dukungan sebagai bentuk kepedulian saya dengan mengirim SMS dukungan ke nomor tertentu.
Proses intraksi komunikasi itu berlangsung cepat. Saya hanya duduk di rumah, memencet tombol remot control dan mengelik sana-sini di laptop saya, serta membaca, mengetik, dan mengirim pesan di handphone saya.
Pengalaman orang lain berhubungan dengan teknologi komunikasi tentu jauh lebih kompleks dan rutin. Tapi, pengalaman itu cukup menjadi contoh bahwa ruang-waktu yang saya miliki menciut begitu rupa. Teknologi komunikasi tidak mendatarkan dunia, lebih dari itu ia menciutkan, melipat, dan memadatkan dunia. Kini, batasan ruang geografis tidak lagi menjadi batasan yang menghambat intraksi sosial dan reflektif saya.
Ledakan informasi yang tak terbendung akibat revolusi teknologi informasi dan komunikasi “memaksa” orang untuk mengkonsumsi informasi yang datang setiap saat, menerobos pembagian ruang antara ruang privat dan publik seseorang, dan bahkan memaksa perasaan reflektif seseorang dari perasaan terdalamnya. Seperti perasaan sedih, bahagia, bangga, getir, susah, dan perasaan-perasaan yang lain, mengenai berbagai pristiwa dan momen yang bahkan tak berhubungan dengan kedirian seseorang.
Karena itu seseorang bisa mengalami perasaan getir dan sedih ketika menyaksikan – melalui TV, komputer, laptop, smartphone, dan teknologi elektronik lainnya – berita tentang seorang ibu yang ditinggal mati keluarganya akibat perang, atau merasa jengkel dan marah dengan ulah pejabat yang rakus dan korup, atau merasa peduli dengan nasib sebuah keluarga miskin yang tak mampu membeli beras, atau merasa bangga karena tim olahraga Indonesia mendapatkan medali emas dalam kejuaraan tertentu.
Pada kenyataannya, teknologi komunikasi tidak hanya melipat-lipat informasi tapi juga mengabarkan ‘pesan’ yang ditangkap oleh seseorang. Informasi-informasi yang datang secara serentak – simulaneity atau keserempakan adalah salah satu karakteristik teknologi komunikasi – telah mempengaruhi pikiran sadar dan tidak sadar seseorang secara persuasif – teknologi komunikasi juga mengandung karakteristik persuasif.
Akibatnya, setiap orang merasa berkepentingan untuk hadir dalam berbagai pristiwa, momen, dan isu-isu sosial. Tidak ada tempat ‘kesendirian’ dalam teknologi komunikasi. Keterlibatan seseorang dalam ruang-ruang sosial – yang bermula dari ruang maya kemudian ke realitas sosial – dipaksa oleh keterlibatan-keterlibatannya pada teknologi komunikasi. Istilah ‘homo social’ atau manusia sebagai mahluk sosial tercermin dalam intraksi sosial yang dimediasi oleh teknologi komunikasi.
Kini, hampir tidak ada pristiwa dan momen, dan isu-isu sosial yang luput dari perhatian masyarakat. Konektifitas teknologi komunikasi memaksa relasi yang terus bersambung. Misalnya, tanpa seseorang inginkan kehadiran suatu wacana yang tengah berkembang di masyarakat, wacana itu tetap menyerobot menempelkan diri ketika seseorang membuka facebook, twitter, BBM, atau ketika menonton televisi dan mendengar radio.
Teknologi komunikasi telah mendeterminasi, paling tidak dalam kehadiran informasi yang tak terbendung, kecuali dengan sepenuhnya melepaskan diri darinya. Sesuatu yang sulit dilakukan ketika ia berada terus dikantong, tas, atau rangsel.
Pada konteks yang lebih luas, teknologi komunikasi memungkinkan, bahkan menciptakan iklim keterbukaan politik dan partisipasi publik yang semakin intens. Di bawah kemajuan teknologi komunikasi, ruang-ruang gelap kehidupan berbangsa dan bernegara mulai tereliminasi. Hari ini, hampir tidak ada pejabat negara, baik di tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang mampu menutup diri dari keterbukaan teknologi komunikasi. Setiap waktu mereka menjadi sorotan publik melalui sorotan kamera dan pena media massa (baik elektronik maupun cetak). Mereka ibarat berada dalam ‘rumah kaca’ di mana pengawasan masyarakat juga tak kalah awas pada gerak-gerik mereka. Melalui teknologi komunikasi, publik dapat ‘merekayasa’ sebuah dukungan luas bagi kebijakan-kebijakan negara.
Teknologi komunikasi digital, dengan karakter impersonal dan massif menjadi mustahil untuk dibendung. Informasi bisa beredar melalui berbagai siaran. Bahkan, teknologi komunikasi tersebut juga memungkinkan setiap orang menjadi pewarta, pemberi kabar, dan penyampai pesan. Apa yang dikenal dengan citizen zournalism atau jurnalisme warga merujuk pada fenomena itu, dimana informasi atau berita disampaikan bukan oleh wartawan resmi, tetapi oleh siapa pun.
Suatu pristiwa di belahan dunia yang jauh dapat diketahui oleh masyarakat (real time) dan pada saat itu juga (online). Bencana alam yang terjadi di tempat yang jauh, misalnya, dapat diketahui oleh banyak orang di tempat lain seketika dan saat itu juga, dan di saat bersamaan mengirim donasi melalui sms bangking bagi korban bencana.
Oleh karena itu, meski belum sepenuhnya berjalan dengan baik, tapi kemajuan teknologi komunikasi akan memberi andil pada penguatan konsolidasi demokrasi, keterbukaan politik, partisipasi publik, dan kepedulian sosial. Serta perubahan-perubahan besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sangat mungkin terwujud.
Kemajuan Teknologi Komunikasi dan Perluasan Ruang Kebangsaan
Revolusi tengah berlangsung. Bukan dengan berdarah-darah tapi berlangsung secara lunak. Meski demikian, dampak dan perubahan-perubahan yang dibawanya bahkan jauh lebih dahsyat. Revolusi itu berlangsung di bidang informasi dan komunikasi.
Dalam revolusi ini informasi mengalir deras dan menyeruak ke dalam kesadaran banyak orang. Perubahan informasi kini tidak lagi dalam sekala bulan, minggu, hari, jam, tapi menit bahkan dalam hitungan detik.
Gambaran kecepatan informasi tersebut merujuk pada apa yang disebut jalan raya informasi, yakni sebuah jalur informasi tanpa hambatan yang memungkinkan kita untuk memesan dan membayar untuk kegiatan belanja, memindahkan uang elektronik, mengawasi buku bank, memilih produk-produk hiburan, dan berselancar di jejaring internet untuk mencari informasi.
Para akademisi memiliki penggambaran tentang fenomena ini. Mengikuti pembagian Toffler tentang gelombang peradaban manusia, revolusi ini menandai bahwa peradaban manusia telah memasuki gelombang ketiga, yakni manusia berada dalam peradaban yang didukung oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, komputer, pengolahan data, aplikasi luar angkasa (satelit), dan internet. Pada gelombang terakhir ini ditandai oleh ledakan informasi.
Daniel Niel Bell – sosiolog dari Amerika Serikat – memberi istilah pada gelombang peradaban ini dengan istilah post-industrial society atau masyarakat pasca-industri. Menurut Bell, gelombang peradaban ini juga ditandai dengan ledakan informasi, yang merubah berbagai tatanan sosio-kultur-ekonomi. Misalnya dalam bidang jasa, lebih banyak para profesional yang bekerja di bidang informasi dan komunikasi. Ekspektasi sosial pun berubah, seperti apa yang diungkapkan Bell, “Apa yang dihargai bukanlah kekuatan otot semata, atau tenaga, namun informasi.”
Dampak yang diakibatkan oleh kemajuan-kemajuan di bidang teknologi komunikasi melanda seluruh kehidupan. Berbagai konsep yang selama ini mapan mulai tergerogoti, karena fondasi penyokongnya berubah, yakni tentang ruang-waktu. Batas-batas ruang-waktu yang selama ini menjadi tembok-tembok yang memisahkan dan menghalangi hubungan komunikasi individu mulai terdegradasi.
Apa yang menjadi karakteristik zaman ini merujuk pada ruang maya – istilah yang berasal dari novelis William Gibson (1984) – menunjuk pada ruang yang ‘tidak dimanapun’ di mana e-mail berlalu lalang, transfer uang elektronik terjadi, dan pesan-pesan digital berterbangan. Sebuah ‘tempat tanpa ruang’ konseptual di mana kata-kata, data, hubungan manusia, status kekayaan, dan kekuasaan, diberi wujud oleh orang dengan menggunakan teknologi komunikasi yang diprantarai komputer – yang kini bisa dibawa di kantong para penggunanya.
Ruang Maya dimungkinkan dengan munculnya medium baru, internet, yang salah satu fasilitasnya populer dengan nama World Wide Web (WWW) pada era 1990-an, menandakan batas baru dalam sistem komunikasi global. Sistem komunikasi tanpa batas, melampaui batas-batas fisik, geografis, mental ideologis, ruang dan waktu. Komputer yang sebelumnya sebagai medium pengumpulan dan penyimpanan, berkembang menjadi media komunikasi dan jaringan komunikasi yang komfleks dengan segala struktur operasionalnya, dengan membawa konsekuensi tersendiri bagi relasi pribadi dan sosial. Sehingga pada akhirnya internet membawa bentuk budaya media.
Dengan berporos pada internet, kemajuan-kemajuan dibidang teknologi informasi dan komunikasi semakin pesat. Ponsel yang sebelumnya hanya menjadi alat komunikasi sederhana kini bertransformasi menjadi media informasi super canggih dalam bentuk smartphone. Bentuk-bentuk media informasi yang lain seperti ipad, ipod, tablet kini menjamur tak terkirakan. Dengan kemajuan-kemajuan itu, informasi termuat penuh dalam kantong-kantong setiap orang.
Munculnya berbagai inovasi teknologi komunikasi yang berporos pada internet memunculkan kovergensi teknologi. Munculnya teknologi komunikasi canggih semisal smartphone adalah wujud konvergensi teknologi informasi dan komunikasi, di mana teknologi-teknologi yang diproduksi dan digunakan secara terpisah digabung menjadi satu. Konvergensi teknologi ini dimungkinkan oleh teknologi digital yang bisa mengatur teknologi secara elektronis dan mengubahnya menjadi byte atau bongkahan informasi yang dapat disusutkan pada saat pengiriman dan dibuka kembali saat diterima. Ini membuat jauh lebih banyak informasi yang dapat dikirim dan dengan lebih cepat melintasi jarak yang lebih jauh, serta membawanya ke banyak orang.
Kemajuan-kemajuan teknologi komunikasi mempengaruhi dan menciptakan cakupan serta bentuk dari hubungan-hubungan dan kegiatan-kegiatan manusia. teknologi komunikasi telah berubah menjadi subjek komunikasi yang intraktif dan menjadi sahabat manusia. Pola intraksi sosial yang terbentuk melalui media telah menciptakan ruang baru, ruang di mana manusia bisa berimajinasi dan berintraksi, membentuk pola hubungan sosial yang tanpa batas, sangat luas, dan transparan.
Kemajuan-kemajuan itu menantang keangkuhan ruang geografis yang menjadi hambatan intraksi komunikasi antar individu. Kebudayaan elektronik melintasi ruang dan waktu, mendatangi kita lewat layar dalam bentuk teks, gambar, video, radio, dan lain-lain. Artefak dan makna-makna budaya dari berbagai priode sejarah dan tempat geografis bisa bercampur dan digabung-gabungkan sehingga, meski nilai dan makna yang terikat pada tempat tetap penting, jaringan di mana orang bisa teribat telah jauh melampaui lokasi fisik mereka.
Ledakan informasi tidak hanya menciutkan ruang-ruang geografis, namun secara bersamaan juga telah mendorong munculnya sebuah intraksi yang lebih luas. Pada konteks inilah kita akan membicarakan ruang kebangsaan Indonesia.
Indonesia adalah negara unik bin ajaib. Keunikan dan keajaibannya berasal dari karakteristik geografisnya yang terdiri dari gugusan kepulauan yang membentang sangat jauh dari Sabang sampai Merauke atau dari Papua sampai Aceh, yang ditempati oleh masyarakat kesukuan yang sangat plural dengan bahasa, budaya, dan agama yang berbeda-beda. Karena itu tidak berlebihan ketika dikatan bahwa sebenarnya lebih banyak elemen yang memisahkan dari pada menyatukan Indonesia. Pada kenyataannya, tak ada ikatan konkret yang menyatukan atau mengikat apa yang kita sebut sebagai bangsa Indonesia, kecuali perasaan samar-samar tentang gagasan persatuan-dan kesatuan sebagai sebuah bangsa merdeka.
Benedict T. Anderson menyinggung fenomena kebangsaan ini dengan menyebutnya sebagai imagine community atau komunitas terbayang. Istilah tersebut merujuk pada “ambiguitas” persatuan kebangsaan, karena tak ada landasan konkret yang mempertemukan dan kemudian mempersatukan setiap elemen-elemen bangsa sehingga menjadi satu-kesatuan kebangsaan yang utuh. Sebagaimana dikatakan Anderson;
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun, tidak akan tahu dan tidak akan kenal sebagian besar anggota yang lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa, hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka. (Benedict T. Anderson, 2001, h.8)
Jarak geografis dan waktu, dengan keterbatasan sarana komunikasi dan transfortasi tidak memungkinkan hubungan yang intim dan langsung antara setiap elemen-elemen bangsa yang berjarak jauh. Karena itu, hanya sedikit yang “alamiah” yang membentuk persatuan wilayah kepulauan yang begitu luas bernama Indonesia, yang terutama adalah hasrat yang tertanam kuat yang lahir dari penderitaan kolonisasi, selebihnya masih samar-samar.
Pada konteks ini, ruang geografis dan waktu berarti tembok-tembok yang memisahkan. Tembok-tembok yang terbangun natural itu menghambat kemungkinan lahirnya kesadaran kebangsaan atau nasionalisme yang betul-betul nyata bagi setiap masyarakat. Karena pada kenyataannya, penduduk dari suatu suku dan kepulauan tertentu tidak memiliki kesempatan untuk mengetahui, bertatap muka, dan mendengar tentang penduduk yang lain dari suku dan kepulauan yang berbeda.
Ketika berbicara tentang kesatuan kebangsaan atau nasionalisme yang terbayang, Anderson memang berangkat dari persoalan geografi-waktu yang menghambat pertemeuan-pertemuan yang langsung di antara setiap warga negara. Dalam kaitannya dengan teknologi komunikasi, konsep ‘imagined community’ itu menjadi lebih problematis – meski pada sisi tertentu hipotesa itu tetap berlaku, karena ketidakmungkinan semua komunitas kebangsaan bertemu dengan yang lain secara langsung.
Bertolak belakang dengan ruang geografis yang semakin menciut, ruang kebangsaan dalam teknologi komunikasi menemukan kemungkinannya untuk meluas. Karena dengan menyempitkan ruang geografis, teknologi komunikasi berjasa dalam memperluas kemungkinan berlangsungnya intraksi antara individu-individu yang berjarak. Bahkan, teknologi komunikasi juga berperan pada terwujudnya kesadaran kebangsaan yang lebih nyata.
Dengan kemajuan teknologi komunikasi, hampir tidak ada hambatan untuk terjadinya komunikasi, misalnya antara masyarakat Aceh dengan masyarakat Papua sebagai contoh di antara ruang geografis yang paling berjarak di Indonesia. Batasan-batasan yang menghambat rakyat Papua untuk mengetahui informasi dan tentang pristiwa-pristiwa yang terjadi pada masyarakat Aceh semakin tergerus, begitu juga sebaliknya bagi masyarakat Aceh.
Di sini kita bisa melihat bahwa kemajuan teknologi komunikasi selain menciutkan kendala ruang geografis antar suku bangsa, juga melahirkan integritas dan pencampur-bauran yang kosmopolit antarmasyarakat yang sebelumnya dipisahkan oleh faktor-faktor sejarah, sosial, dan primordial.
Dengan kata lain, teknologi komunikasi juga memungkinkan lahirnya dampak lain yang tak terkira sebelumnya, yakni penguatan integrasi nasional sebagai konsekuensi intraksi komunikasi dan persebaran informasi di antara masyarakat yang berbeda-beda. Saya percaya bahwa teknologi komunikasi akan memberi andil pada pengokohan kesadaran kebangsaan, namun dengan perluasan kesadaran yang semakin kompleks, mengikuti kompleksitas persebaran informasi dan komunikasi yang tak terbendung.
Ruang Kesadaran Kebangsaan dan Kepedulian Sosial
Kemajuan teknologi komunikasi yang sedemikian pesat telah membawakan kita bongkahan-bongkahan informasi melewati pintu rumah. Bahkan lebih dekat dari itu. Kini melalui berbagai teknologi digital yang kita tenteng dan akses di mana-mana, informasi hadir di depan mata kita dengan kecepatan melebihi kecepatan mantra ‘bim sala bim’.
Kemajuan dan kecanggihan itu tidak saja menimbulkan ledakan informasi, tapi juga memberi dampak yang sangat jauh pada unsur-unsur pembentuk kesadaran individu. Akibat informasi yang menyeruak ke dalam kesadaran seseorang tanpa mengenal batas-batas ruang dan waktu, kini kesadaran seseorang tersusun dari unsur-unsur yang sangat kompleks dan heterogen.
Hal ini juga berlaku pada kesadaran kebangsaan. Ketika batasan-batasan untuk saling berintraksi, dan berkomunikasi antar elemen masyarakat semakin menyusut akibat kemajuan teknologi, maka ruang-ruang kesadaran kebangsaan juga tersusun dari unsur-unsur yang lebih kaya dan heterogen
Teknologi komunikasi berhasil menunjukkan realitas kebangsaan dengan lebih jelas. Ia berhasil menunjukkan rupa citra di antara suku bangsa dan bahasa yang berbeda-beda, di antara agama dan budaya yang beragam, yang hidup di antara gugus-gugus pulau-pulau yang membentuk apa yang kita sebut Republik Indonesia.
Dewasa ini, hampir tak ada lagi pristiwa, moment, dan isu-isu sosial  yang terjadi di berbagai penjuru negeri terisolasi dari perhatian-perhatian publik. Dengan kemajuan teknologi komunikasi, hampir tak ada kendala bagi berlangsungnya komunikasi antar elemen masyarakat dari suku bangsa yang satu dengan yang lain meski dipisahkan oleh rentang geografis yang jauh.
Kesadaran kebangsaan memang erat kaitannya dengan dengan kemajuan teknologi komunikasi. Melalui produksi dan komodifikasi buku dan surat kabar secara mekanis, kelahiran kapitalisme percetakan, memungkinkan bahasa pasar (vernakular) dibakukan dan disebarluaskan  sehingga terciptalah prasyarat-prasyarat bagi kehadiran kesadaran nasional. “Bahasa cetaklah yang menciptakan nasionalisme itu sendiri”, kata Anderson.
Kesadaran kebangsaan dengan demikian bukan lahir di ruang kosong, melainkan membutuhkan prasyarat-prasyarat bagi kehadirannya. Apa yang dikatan Anderson menunjukkan bahwa teknologi – dalam bentuk surat kabar dengan mesin cetak dalam bentuknya yang lebih sederhana – telah berjasa dalam meletakkan landasan bagi kemungkinan lahirnya kesadaran kebangsaan. Surat kabar dengan segala keterbatasan jangkauannya membuka kemungkinan bagi jalinan komunikasi secara lebih luas.
Kehadiran mesin cetak dan lahirnya kesadaran kebangsaan menunjukkan realitas menarik dari teknologi komunikasi. Dalam bentuknya yang sangat sederhana, teknologi komunikasi berhasil menawarkan ‘kesamaan bahasa’ bagi prasyarat kesadaran kebangsaan secara lebih luas. Dalam wujudnya yang lebih canggih saat ini, dalam bentuk teknologi komunikasi digital, yang telah menciutkan batas-batas geografis dan mengeliminasi batas-batas sosial-primordial bagi berlangsungnya komunikasi di antara setiap warga masyarakat, maka tidak berlebihan apabila masa depan cerah kesadaran kebangsaan ditemukan dalam kemajuan teknologi komunikasi.
Dengan kata lain, ruang kebangsaan seseorang diisi oleh berbagai informasi yang datang dari proses komunikasi kompleks dalam teknologi komunikasi. Oleh karena itu, teknologi komunikasi tidak saja membawakan informasi, tapi pada saat yang sama juga menuntut kesadaran kebangsaan yang lebih peka, peduli, dan bertanggungjawab.
Tentu, teknologi komunikasi juga menampilkan sisi belang atau bopeng dari realitas kebangsaan kita. Melalui informasi yang ia sampaikan, terlepas kita mengingingkannya atau tidak, kita tak boleh memungkiri bahwa pemandangan kebangsaan kita belum indah. Pada faktanya, ketimpangan terjadi dimana-mana. Bentuknya sangat jelas; di saat sebagian rakyat tidur dengan perut kenyang, pada saat yang sama masih banyak rakyat yang tidak bisa tidur menahan lapar; di saat sebagian anak-anak di antar ke sekolah menggunakan mobil mewah, pada waktu yang sama masih banyak anak-anak yang menantang maut untuk sampai ke sekolah; atau di saat banyak orang berusaha menurunkan berat badannya, pada saat yang sama masih sangat banyak anak-anak dengan badan kurus dan gizi buruk.
Masih sangat banyak bentuk-bentuk ketimpangan yang terjadi di republik ini. Keadaan yang sesungguhnya mencederai dan menghianati komitmen kebangsaan. Karena persatuan dan kesatuan tidak hanya berarti persatuan geografis, tetapi yang lebih penting adalah kesamaan nasib dalam menikmati kemakmuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar