Pendahuluan
Sesaat sebelum catatan ini
saya tulis, saya tengah menonton berita yang saling berganti tentang politik
nasional dan internasional, tentang pristiwa-pristiwa sosial dan kriminal,
tentang kejutan-kejutan ekonomi, tentang undang-undang yang tengah
diperebutkan, tentang calon presiden baru yang tengah menyusun formasi
pemerintahannya, tentang kekeringan yang melanda berbagai daerah akibat kemarau
panjang, tentang kerusakan lingkungan, tentang anak-anak yang bernasib lebih
baik menikmati fasilitas pendidikan layak sementara di tempat lain
saudara-saudara mereka terbata-bata melanjutkan pendidikannya, tentang keluarga
yang terpaksa makan nasi aking karena tak mampu membeli beras, tentang perang
yang berkecamuk di belahan dunia lain dan kematian-kematian massal oleh
senjata-senjata pembunuh super canggih, tentang kerakusan pejabat yang terjerat
kasus korupsi, dan berita-berita lain yang berjibun dan memaksa untuk
diperhatikan.
Setelah itu, saya membuka
laptop dari tempat duduk yang sama untuk berselancar di dunia maya, mencari
berbagai informasi yang saya butuhkan, membuat status baru di account
media sosial saya, dan tak lupa mengomentari status orang-orang dengan pesan
yang berbeda-beda. Di saat
bersamaan, seseorang teman mengirimkan pesan singkat ke handphone saya
dengan pesan mengajak untuk mendukung perjuangan suatu masyarakat adat yang
tengah melawan kekuasaan korporasi tertentu melalui dukungan SMS untuk menekan
pemerintah membuka mata dan telinganya bagi masyarakat yang tengah
memperjuangkan hak-haknya. Menariknya, meski saya tidak memiliki hubungan apa
pun, dan teman saya pun begitu, dengan masyarakat adat yang tengah
memperjuangkan haknya, saya tetap dituntut terlibat dengan memberikan dukungan
sebagai bentuk kepedulian saya dengan mengirim SMS dukungan ke nomor tertentu.
Proses intraksi komunikasi
itu berlangsung cepat. Saya hanya duduk di rumah, memencet tombol remot
control dan mengelik sana-sini di laptop saya, serta membaca, mengetik, dan
mengirim pesan di handphone saya.
Pengalaman orang lain
berhubungan dengan teknologi komunikasi tentu jauh lebih kompleks dan rutin.
Tapi, pengalaman itu cukup menjadi contoh bahwa ruang-waktu yang saya miliki
menciut begitu rupa. Teknologi komunikasi tidak mendatarkan dunia, lebih dari
itu ia menciutkan, melipat, dan memadatkan dunia. Kini, batasan ruang geografis
tidak lagi menjadi batasan yang menghambat intraksi sosial dan reflektif saya.
Ledakan informasi yang tak
terbendung akibat revolusi teknologi informasi dan komunikasi “memaksa” orang
untuk mengkonsumsi informasi yang datang setiap saat, menerobos pembagian ruang
antara ruang privat dan publik seseorang, dan bahkan memaksa perasaan reflektif
seseorang dari perasaan terdalamnya. Seperti perasaan sedih, bahagia, bangga,
getir, susah, dan perasaan-perasaan yang lain, mengenai berbagai pristiwa dan
momen yang bahkan tak berhubungan dengan kedirian seseorang.
Karena itu seseorang bisa
mengalami perasaan getir dan sedih ketika menyaksikan – melalui TV, komputer,
laptop, smartphone, dan teknologi elektronik lainnya – berita tentang seorang
ibu yang ditinggal mati keluarganya akibat perang, atau merasa jengkel dan
marah dengan ulah pejabat yang rakus dan korup, atau merasa peduli dengan nasib
sebuah keluarga miskin yang tak mampu membeli beras, atau merasa bangga karena
tim olahraga Indonesia mendapatkan medali emas dalam kejuaraan tertentu.
Pada kenyataannya, teknologi
komunikasi tidak hanya melipat-lipat informasi tapi juga mengabarkan ‘pesan’
yang ditangkap oleh seseorang. Informasi-informasi yang datang secara serentak
– simulaneity atau keserempakan adalah salah satu karakteristik
teknologi komunikasi – telah mempengaruhi pikiran sadar dan tidak sadar
seseorang secara persuasif – teknologi komunikasi juga mengandung karakteristik
persuasif.
Akibatnya, setiap orang
merasa berkepentingan untuk hadir dalam berbagai pristiwa, momen, dan isu-isu
sosial. Tidak ada tempat ‘kesendirian’ dalam teknologi komunikasi. Keterlibatan
seseorang dalam ruang-ruang sosial – yang bermula dari ruang maya kemudian ke
realitas sosial – dipaksa oleh keterlibatan-keterlibatannya pada teknologi
komunikasi. Istilah ‘homo social’ atau manusia sebagai mahluk sosial
tercermin dalam intraksi sosial yang dimediasi oleh teknologi komunikasi.
Kini, hampir tidak ada
pristiwa dan momen, dan isu-isu sosial yang luput dari perhatian masyarakat.
Konektifitas teknologi komunikasi memaksa relasi yang terus bersambung.
Misalnya, tanpa seseorang inginkan kehadiran suatu wacana yang tengah
berkembang di masyarakat, wacana itu tetap menyerobot menempelkan diri ketika
seseorang membuka facebook, twitter, BBM, atau ketika menonton televisi dan
mendengar radio.
Teknologi komunikasi telah
mendeterminasi, paling tidak dalam kehadiran informasi yang tak terbendung,
kecuali dengan sepenuhnya melepaskan diri darinya. Sesuatu yang sulit dilakukan
ketika ia berada terus dikantong, tas, atau rangsel.
Pada konteks yang lebih luas,
teknologi komunikasi memungkinkan, bahkan menciptakan iklim keterbukaan politik
dan partisipasi publik yang semakin intens. Di bawah kemajuan teknologi
komunikasi, ruang-ruang gelap kehidupan berbangsa dan bernegara mulai
tereliminasi. Hari ini, hampir tidak ada pejabat negara, baik di tingkat
eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang mampu menutup diri dari keterbukaan
teknologi komunikasi. Setiap waktu mereka menjadi sorotan publik melalui
sorotan kamera dan pena media massa (baik elektronik maupun cetak). Mereka
ibarat berada dalam ‘rumah kaca’ di mana pengawasan masyarakat juga tak kalah
awas pada gerak-gerik mereka. Melalui teknologi komunikasi, publik dapat
‘merekayasa’ sebuah dukungan luas bagi kebijakan-kebijakan negara.
Teknologi komunikasi digital,
dengan karakter impersonal dan massif menjadi mustahil untuk dibendung.
Informasi bisa beredar melalui berbagai siaran. Bahkan, teknologi komunikasi
tersebut juga memungkinkan setiap orang menjadi pewarta, pemberi kabar, dan
penyampai pesan. Apa yang dikenal dengan citizen zournalism atau
jurnalisme warga merujuk pada fenomena itu, dimana informasi atau berita
disampaikan bukan oleh wartawan resmi, tetapi oleh siapa pun.
Suatu pristiwa di belahan
dunia yang jauh dapat diketahui oleh masyarakat (real time) dan pada
saat itu juga (online). Bencana alam yang terjadi di tempat yang jauh,
misalnya, dapat diketahui oleh banyak orang di tempat lain seketika dan saat
itu juga, dan di saat bersamaan mengirim donasi melalui sms bangking bagi korban
bencana.
Oleh karena itu, meski belum
sepenuhnya berjalan dengan baik, tapi kemajuan teknologi komunikasi akan
memberi andil pada penguatan konsolidasi demokrasi, keterbukaan politik,
partisipasi publik, dan kepedulian sosial. Serta perubahan-perubahan besar
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sangat mungkin terwujud.
Kemajuan Teknologi Komunikasi
dan Perluasan Ruang Kebangsaan
Revolusi tengah berlangsung.
Bukan dengan berdarah-darah tapi berlangsung secara lunak. Meski demikian,
dampak dan perubahan-perubahan yang dibawanya bahkan jauh lebih dahsyat.
Revolusi itu berlangsung di bidang informasi dan komunikasi.
Dalam revolusi ini informasi
mengalir deras dan menyeruak ke dalam kesadaran banyak orang. Perubahan
informasi kini tidak lagi dalam sekala bulan, minggu, hari, jam, tapi menit
bahkan dalam hitungan detik.
Gambaran kecepatan informasi
tersebut merujuk pada apa yang disebut jalan raya informasi, yakni sebuah jalur
informasi tanpa hambatan yang memungkinkan kita untuk memesan dan membayar
untuk kegiatan belanja, memindahkan uang elektronik, mengawasi buku bank,
memilih produk-produk hiburan, dan berselancar di jejaring internet untuk
mencari informasi.
Para akademisi memiliki
penggambaran tentang fenomena ini. Mengikuti pembagian Toffler tentang
gelombang peradaban manusia, revolusi ini menandai bahwa peradaban manusia
telah memasuki gelombang ketiga, yakni manusia berada dalam peradaban yang
didukung oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, komputer, pengolahan
data, aplikasi luar angkasa (satelit), dan internet. Pada gelombang terakhir
ini ditandai oleh ledakan informasi.
Daniel Niel Bell – sosiolog
dari Amerika Serikat – memberi istilah pada gelombang peradaban ini dengan
istilah post-industrial society atau masyarakat pasca-industri. Menurut
Bell, gelombang peradaban ini juga ditandai dengan ledakan informasi, yang
merubah berbagai tatanan sosio-kultur-ekonomi. Misalnya dalam bidang jasa,
lebih banyak para profesional yang bekerja di bidang informasi dan komunikasi.
Ekspektasi sosial pun berubah, seperti apa yang diungkapkan Bell, “Apa yang
dihargai bukanlah kekuatan otot semata, atau tenaga, namun informasi.”
Dampak yang diakibatkan oleh
kemajuan-kemajuan di bidang teknologi komunikasi melanda seluruh kehidupan. Berbagai
konsep yang selama ini mapan mulai tergerogoti, karena fondasi penyokongnya
berubah, yakni tentang ruang-waktu. Batas-batas ruang-waktu yang selama ini
menjadi tembok-tembok yang memisahkan dan menghalangi hubungan komunikasi
individu mulai terdegradasi.
Apa yang menjadi
karakteristik zaman ini merujuk pada ruang maya – istilah yang berasal dari
novelis William Gibson (1984) – menunjuk pada ruang yang ‘tidak dimanapun’ di
mana e-mail berlalu lalang, transfer uang elektronik terjadi, dan pesan-pesan
digital berterbangan. Sebuah ‘tempat tanpa ruang’ konseptual di mana kata-kata,
data, hubungan manusia, status kekayaan, dan kekuasaan, diberi wujud oleh orang
dengan menggunakan teknologi komunikasi yang diprantarai komputer – yang kini
bisa dibawa di kantong para penggunanya.
Ruang Maya dimungkinkan
dengan munculnya medium baru, internet, yang salah satu fasilitasnya populer
dengan nama World Wide Web (WWW) pada era 1990-an, menandakan batas baru dalam
sistem komunikasi global. Sistem komunikasi tanpa batas, melampaui batas-batas
fisik, geografis, mental ideologis, ruang dan waktu. Komputer yang sebelumnya
sebagai medium pengumpulan dan penyimpanan, berkembang menjadi media komunikasi
dan jaringan komunikasi yang komfleks dengan segala struktur operasionalnya,
dengan membawa konsekuensi tersendiri bagi relasi pribadi dan sosial. Sehingga
pada akhirnya internet membawa bentuk budaya media.
Dengan berporos pada
internet, kemajuan-kemajuan dibidang teknologi informasi dan komunikasi semakin
pesat. Ponsel yang sebelumnya hanya menjadi alat komunikasi sederhana kini
bertransformasi menjadi media informasi super canggih dalam bentuk smartphone.
Bentuk-bentuk media informasi yang lain seperti ipad, ipod, tablet kini
menjamur tak terkirakan. Dengan kemajuan-kemajuan itu, informasi termuat penuh
dalam kantong-kantong setiap orang.
Munculnya berbagai inovasi
teknologi komunikasi yang berporos pada internet memunculkan kovergensi
teknologi. Munculnya teknologi komunikasi canggih semisal smartphone adalah
wujud konvergensi teknologi informasi dan komunikasi, di mana
teknologi-teknologi yang diproduksi dan digunakan secara terpisah digabung
menjadi satu. Konvergensi teknologi ini dimungkinkan oleh teknologi digital
yang bisa mengatur teknologi secara elektronis dan mengubahnya menjadi byte atau
bongkahan informasi yang dapat disusutkan pada saat pengiriman dan dibuka
kembali saat diterima. Ini membuat jauh lebih banyak informasi yang dapat
dikirim dan dengan lebih cepat melintasi jarak yang lebih jauh, serta
membawanya ke banyak orang.
Kemajuan-kemajuan teknologi
komunikasi mempengaruhi dan menciptakan cakupan serta bentuk dari
hubungan-hubungan dan kegiatan-kegiatan manusia. teknologi komunikasi telah
berubah menjadi subjek komunikasi yang intraktif dan menjadi sahabat manusia.
Pola intraksi sosial yang terbentuk melalui media telah menciptakan ruang baru,
ruang di mana manusia bisa berimajinasi dan berintraksi, membentuk pola
hubungan sosial yang tanpa batas, sangat luas, dan transparan.
Kemajuan-kemajuan itu
menantang keangkuhan ruang geografis yang menjadi hambatan intraksi komunikasi
antar individu. Kebudayaan elektronik melintasi ruang dan waktu, mendatangi
kita lewat layar dalam bentuk teks, gambar, video, radio, dan lain-lain.
Artefak dan makna-makna budaya dari berbagai priode sejarah dan tempat
geografis bisa bercampur dan digabung-gabungkan sehingga, meski nilai dan makna
yang terikat pada tempat tetap penting, jaringan di mana orang bisa teribat
telah jauh melampaui lokasi fisik mereka.
Ledakan informasi tidak hanya
menciutkan ruang-ruang geografis, namun secara bersamaan juga telah mendorong
munculnya sebuah intraksi yang lebih luas. Pada konteks inilah kita akan
membicarakan ruang kebangsaan Indonesia.
Indonesia adalah negara unik
bin ajaib. Keunikan dan keajaibannya berasal dari karakteristik geografisnya
yang terdiri dari gugusan kepulauan yang membentang sangat jauh dari Sabang
sampai Merauke atau dari Papua sampai Aceh, yang ditempati oleh masyarakat
kesukuan yang sangat plural dengan bahasa, budaya, dan agama yang berbeda-beda.
Karena itu tidak berlebihan ketika dikatan bahwa sebenarnya lebih banyak elemen
yang memisahkan dari pada menyatukan Indonesia. Pada kenyataannya, tak ada
ikatan konkret yang menyatukan atau mengikat apa yang kita sebut sebagai bangsa
Indonesia, kecuali perasaan samar-samar tentang gagasan persatuan-dan kesatuan
sebagai sebuah bangsa merdeka.
Benedict T. Anderson
menyinggung fenomena kebangsaan ini dengan menyebutnya sebagai imagine
community atau komunitas terbayang. Istilah tersebut merujuk pada
“ambiguitas” persatuan kebangsaan, karena tak ada landasan konkret yang
mempertemukan dan kemudian mempersatukan setiap elemen-elemen bangsa sehingga
menjadi satu-kesatuan kebangsaan yang utuh. Sebagaimana dikatakan Anderson;
Bangsa adalah sesuatu yang
terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun, tidak akan tahu dan
tidak akan kenal sebagian besar anggota yang lain, tidak akan bertatap muka
dengan mereka, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun
di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa, hidup sebuah bayangan
tentang kebersamaan mereka. (Benedict T. Anderson, 2001, h.8)
Jarak geografis dan waktu,
dengan keterbatasan sarana komunikasi dan transfortasi tidak memungkinkan
hubungan yang intim dan langsung antara setiap elemen-elemen bangsa yang
berjarak jauh. Karena itu, hanya sedikit yang “alamiah” yang membentuk
persatuan wilayah kepulauan yang begitu luas bernama Indonesia, yang terutama
adalah hasrat yang tertanam kuat yang lahir dari penderitaan kolonisasi,
selebihnya masih samar-samar.
Pada konteks ini, ruang
geografis dan waktu berarti tembok-tembok yang memisahkan. Tembok-tembok yang
terbangun natural itu menghambat kemungkinan lahirnya kesadaran kebangsaan atau
nasionalisme yang betul-betul nyata bagi setiap masyarakat. Karena pada
kenyataannya, penduduk dari suatu suku dan kepulauan tertentu tidak memiliki
kesempatan untuk mengetahui, bertatap muka, dan mendengar tentang penduduk yang
lain dari suku dan kepulauan yang berbeda.
Ketika berbicara tentang
kesatuan kebangsaan atau nasionalisme yang terbayang, Anderson memang berangkat
dari persoalan geografi-waktu yang menghambat pertemeuan-pertemuan yang
langsung di antara setiap warga negara. Dalam kaitannya dengan teknologi komunikasi,
konsep ‘imagined community’ itu menjadi lebih problematis – meski pada
sisi tertentu hipotesa itu tetap berlaku, karena ketidakmungkinan semua
komunitas kebangsaan bertemu dengan yang lain secara langsung.
Bertolak belakang dengan
ruang geografis yang semakin menciut, ruang kebangsaan dalam teknologi
komunikasi menemukan kemungkinannya untuk meluas. Karena dengan menyempitkan
ruang geografis, teknologi komunikasi berjasa dalam memperluas kemungkinan
berlangsungnya intraksi antara individu-individu yang berjarak. Bahkan,
teknologi komunikasi juga berperan pada terwujudnya kesadaran kebangsaan yang
lebih nyata.
Dengan kemajuan teknologi
komunikasi, hampir tidak ada hambatan untuk terjadinya komunikasi, misalnya
antara masyarakat Aceh dengan masyarakat Papua sebagai contoh di antara ruang
geografis yang paling berjarak di Indonesia. Batasan-batasan yang menghambat
rakyat Papua untuk mengetahui informasi dan tentang pristiwa-pristiwa yang
terjadi pada masyarakat Aceh semakin tergerus, begitu juga sebaliknya bagi
masyarakat Aceh.
Di sini kita bisa melihat
bahwa kemajuan teknologi komunikasi selain menciutkan kendala ruang geografis
antar suku bangsa, juga melahirkan integritas dan pencampur-bauran yang
kosmopolit antarmasyarakat yang sebelumnya dipisahkan oleh faktor-faktor
sejarah, sosial, dan primordial.
Dengan kata lain, teknologi
komunikasi juga memungkinkan lahirnya dampak lain yang tak terkira sebelumnya,
yakni penguatan integrasi nasional sebagai konsekuensi intraksi komunikasi dan
persebaran informasi di antara masyarakat yang berbeda-beda. Saya percaya bahwa
teknologi komunikasi akan memberi andil pada pengokohan kesadaran kebangsaan,
namun dengan perluasan kesadaran yang semakin kompleks, mengikuti kompleksitas
persebaran informasi dan komunikasi yang tak terbendung.
Ruang Kesadaran Kebangsaan
dan Kepedulian Sosial
Kemajuan teknologi komunikasi
yang sedemikian pesat telah membawakan kita bongkahan-bongkahan informasi
melewati pintu rumah. Bahkan lebih dekat dari itu. Kini melalui berbagai
teknologi digital yang kita tenteng dan akses di mana-mana, informasi hadir di
depan mata kita dengan kecepatan melebihi kecepatan mantra ‘bim sala bim’.
Kemajuan dan kecanggihan itu
tidak saja menimbulkan ledakan informasi, tapi juga memberi dampak yang sangat
jauh pada unsur-unsur pembentuk kesadaran individu. Akibat informasi yang
menyeruak ke dalam kesadaran seseorang tanpa mengenal batas-batas ruang dan
waktu, kini kesadaran seseorang tersusun dari unsur-unsur yang sangat kompleks
dan heterogen.
Hal ini juga berlaku pada
kesadaran kebangsaan. Ketika batasan-batasan untuk saling berintraksi, dan
berkomunikasi antar elemen masyarakat semakin menyusut akibat kemajuan
teknologi, maka ruang-ruang kesadaran kebangsaan juga tersusun dari unsur-unsur
yang lebih kaya dan heterogen
Teknologi komunikasi berhasil
menunjukkan realitas kebangsaan dengan lebih jelas. Ia berhasil menunjukkan
rupa citra di antara suku bangsa dan bahasa yang berbeda-beda, di antara agama
dan budaya yang beragam, yang hidup di antara gugus-gugus pulau-pulau yang
membentuk apa yang kita sebut Republik Indonesia.
Dewasa ini, hampir tak ada
lagi pristiwa, moment, dan isu-isu sosial
yang terjadi di berbagai penjuru negeri terisolasi dari
perhatian-perhatian publik. Dengan kemajuan teknologi komunikasi, hampir tak
ada kendala bagi berlangsungnya komunikasi antar elemen masyarakat dari suku
bangsa yang satu dengan yang lain meski dipisahkan oleh rentang geografis yang
jauh.
Kesadaran kebangsaan memang
erat kaitannya dengan dengan kemajuan teknologi komunikasi. Melalui produksi
dan komodifikasi buku dan surat kabar secara mekanis, kelahiran kapitalisme
percetakan, memungkinkan bahasa pasar (vernakular) dibakukan dan
disebarluaskan sehingga terciptalah
prasyarat-prasyarat bagi kehadiran kesadaran nasional. “Bahasa cetaklah yang
menciptakan nasionalisme itu sendiri”, kata Anderson.
Kesadaran kebangsaan dengan
demikian bukan lahir di ruang kosong, melainkan membutuhkan prasyarat-prasyarat
bagi kehadirannya. Apa yang dikatan Anderson menunjukkan bahwa teknologi –
dalam bentuk surat kabar dengan mesin cetak dalam bentuknya yang lebih
sederhana – telah berjasa dalam meletakkan landasan bagi kemungkinan lahirnya
kesadaran kebangsaan. Surat kabar dengan segala keterbatasan jangkauannya
membuka kemungkinan bagi jalinan komunikasi secara lebih luas.
Kehadiran mesin cetak dan
lahirnya kesadaran kebangsaan menunjukkan realitas menarik dari teknologi
komunikasi. Dalam bentuknya yang sangat sederhana, teknologi komunikasi
berhasil menawarkan ‘kesamaan bahasa’ bagi prasyarat kesadaran kebangsaan
secara lebih luas. Dalam wujudnya yang lebih canggih saat ini, dalam bentuk
teknologi komunikasi digital, yang telah menciutkan batas-batas geografis dan
mengeliminasi batas-batas sosial-primordial bagi berlangsungnya komunikasi di
antara setiap warga masyarakat, maka tidak berlebihan apabila masa depan cerah
kesadaran kebangsaan ditemukan dalam kemajuan teknologi komunikasi.
Dengan kata lain, ruang
kebangsaan seseorang diisi oleh berbagai informasi yang datang dari proses
komunikasi kompleks dalam teknologi komunikasi. Oleh karena itu, teknologi
komunikasi tidak saja membawakan informasi, tapi pada saat yang sama juga
menuntut kesadaran kebangsaan yang lebih peka, peduli, dan bertanggungjawab.
Tentu, teknologi komunikasi
juga menampilkan sisi belang atau bopeng dari realitas kebangsaan kita. Melalui
informasi yang ia sampaikan, terlepas kita mengingingkannya atau tidak, kita
tak boleh memungkiri bahwa pemandangan kebangsaan kita belum indah. Pada
faktanya, ketimpangan terjadi dimana-mana. Bentuknya sangat jelas; di saat
sebagian rakyat tidur dengan perut kenyang, pada saat yang sama masih banyak
rakyat yang tidak bisa tidur menahan lapar; di saat sebagian anak-anak di antar
ke sekolah menggunakan mobil mewah, pada waktu yang sama masih banyak anak-anak
yang menantang maut untuk sampai ke sekolah; atau di saat banyak orang berusaha
menurunkan berat badannya, pada saat yang sama masih sangat banyak anak-anak
dengan badan kurus dan gizi buruk.
Masih sangat banyak
bentuk-bentuk ketimpangan yang terjadi di republik ini. Keadaan yang
sesungguhnya mencederai dan menghianati komitmen kebangsaan. Karena persatuan
dan kesatuan tidak hanya berarti persatuan geografis, tetapi yang lebih penting
adalah kesamaan nasib dalam menikmati kemakmuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar