Indonesia
adalah taman dunia. Ibarat sebuah taman, Indonesia dipenuhi oleh
tumbuh-tumbuhan, aneka bunga, dan beragam spesies mahluk hidup yang berada di
dalamnya. Keanekaragaman merupakan faktor utama keindahan taman itu. Dengan
kata lain, kemajemukan suku-bangsa, budaya, dan agama adalah faktor utama
kelebihan bangsa Indonesia, di samping limpahan anugerah sumber daya alam yang
diberikan Tuhan.
Namun,
dalam beberapa tahun terakhir ini, realitas kemajemukan itu seringkali terkoyak
oleh serangkaian konflik bernuansa kekerasan yang marak terjadi di berbagai
daerah, dengan korban jiwa dan materi yang tak sedikit. Berbagai konflik
komunal itu tidak hanya mengganggu kenyamanan, keamanan, atau stabilitas
nasional, tapi menimbulkan ancaman disintigrasi yang semakin massif.
Konflik-konflik komunal tersebut menggambarkan bahwa bangunan kebangsaan yang
diangankan solid, ternyata ditopang oleh fondasi yang ringkih nan rapuh. Bangsa
ini harus khawatir dengan persoalan ini, karena tantangan terberat sebuah
bangsa yang tersusun secara multikultural, multietnik, dan multiagama yang
rapuh dan rentan dalam perpecahan, cenderung berakhir pada kehancuran, jika
gagal dikelola dengan bijak.
Kita
patut khawatir karena mencermati hasil studi Arend Lijphard beberapa tahun yang
lalu, mengenai demokrasi di negara-negara plural. Ia mengidentifikasi, dari 114
negara, hanya 15% di antaranya yang dapat digolongkan sebagai demokrasi yang
stabil yang berasal dari masyarakat yang plural, yang umumnya berasal dari
masyarakat yang relatif homogen (low and moderater pluralism). (Sultan
Hamengku Buwono X, 2007, h. 13)
Masyarakat
yang plural di Dunia Ketiga acapkali terjatuh pada instabilitas yang rawan
disintegrasi. Indonesia yang terdiri atas masyarakat yang plural,
multikultural, dan sangat heterogen, pada dasarnya tak memiliki jaminan untuk
tidak mengalami perpecahan, atau paling tidak kesulitan untuk mencapai
demokrasi yang stabil.
Mencermati
berbagai konflik yang marak terjadi hingga kini, faktor sentimen agama
merupakan hal yang paling dominan. Meskipun secara ideal-normatif, tidak ada
agama yang mengajarkan konflik dan permusuhan, tetapi secara faktual-historis
terekam bahwa sejarah hubungan antarkomunitas beragama acapkali diwarnai
ketegangan dan konflik kekerasan. Bahkan, dalam konteks global keterlibatan
anasir agama dalam serangkaian konflik tidak hanya meningkatkan eskalasi
konflik melainkan juga menyebabkan konflik yang tak mudah diurai. Sebagian
konflik bernuansa agama bahkan menyebabkan beberapa negara harus pecah menjadi
negara-negara tersendiri seperti Pakistan dan beberapa negara di Asia Selatan
serta sejumlah negara di Teluk Balkan. Pada kenyataannya, semenjak abad ke-20
hingga memasuki abad ke-21, konflik kekerasan bernuansa agama dan etnik semakin
meningkat menggantikan isu konflik yang bersumber pada ideologi kebangsaan.
(ed. Nur Achmad, 2001, h. 88-93).
Meskipun
konflik bernuansa agama merupakan tipe konflik yang tak mudah diurai, tetapi
bukan berarti konflik tersebut tidak bisa dikelola dengan baik. George Weige
memberi penilaian secara seimbang bahwa agama dapat menjadi sumber konflik
sekaligus juga memiliki potensi kreatif yang dapat berfungsi sebagai jaminan
yang kuat untuk toleransi sosial, pluralisme demokratis, dan resolusi konflik
nir-kekerasan. Syaratnya adalah ketersediaan dari para pemeluk agama untuk
menghayati dan mengamalkan ajaran agama secara dewasa, toleran, dan pluralis.
Sebagaimana disebutkan oleh Khaled Abou El Fadl bahwa semangat toleran dan
pluralis dari para penganut agama akan menentukan corak pemahaman teks suci
agama secara toleran pula. (Khaled Abou El Fadl, 2002, h. 23)
Budha
mengajarkan bahwa pikiran kita menjadi musuh yang paling berbahaya, tetapi juga
pikiran kita sendiri akan menjadi sahabat sejati yang sangat banyak membantu.
pikiran yang toleran akan termanifestasi pada sikap toleran, inklusif, dan
keterbukaan untuk menjalin hubungan yang harmonis antarsesama manusia terlepas
apa pun agama dan keyakinannya, sebaliknya pikiran yang dilandasi intoleransi
akan melahirkan sikap eksklusif, garang, dan penuh permusuhan.
Karena
itu, dialog menemukan arti pentingnya untuk menyemai bibit-bibit toleransi di
pikiran-pikiran umat beragama. Dilaog harus dikembangkan, dihidupkan, dan
dikuatkan baik ditingkat lokal, nasiona, regional, maupun mondial. Dalam
hubungan dengan upaya ini, saya mengutip apa yang dikatakan Hans Kȕng bahwa
“tidak akan ada damai di antara bangsa-bangsa, selama tidak ada di di antara
agama-agama. Dan tidak ada damai di antara agama-agama selama tidak ada dialog
di antara agama-agama.” Rumusan ini sangat tepat, artinya perdamaian
antarbangsa ditentukan oleh perdamaian antaragama, dan perdamaian antaragama
dapat dicapai melalui dialog antaragama. Tidak ada cara lain yang lebih baik di
dalam mengatasi ketegangan-ketegangan antaragama selain melalui dialog. (Seri
Dian, 1994)
Namun,
berkaca dari semakin maraknya konflik kekerasan bernuansa agama menunjukkan
bahwa terdapat persoalan mendasar dalam dialog antarumat beragama yang selama
ini berlangsung. Sehingga pesan-pesan damai dan toleransi yang harusnya
ditranspormasikan kepada segenap umat beragama mengalami sumbatan dalam proses
komunikasi itu. Maraknya dialog antar umat beragama ternyata belum mampu
menurunkan eskalasi konflik kekerasan di masyarakat secara signifikan, baik
yang dilatari kesenjangan sosial atau pun permasalah agama.
Menurut
hemat saya, sebagai anak muda atau komponen masyarakat merasa bahwa dialog yang
berlangsung selama ini, terlihat lahir dari sikap reaktif atas suatu pristiwa
konflik kekerasan yang tengah terjadi, sehingga dialog antaragama terkesan
bersifat temporal. Dialog belum dimaknai sebagai sebuah kebutuhan mendasar kita
sebagai umat beragama, yang perlu dipupuk dan dikembangkan terus menerus.
Bahkan tidak jarang, dialog antaragama berjalan pada suatu proposisi untuk mencari
suatu kebenaran yang paling hakiki di antara agama-agama. Jadi, dialog tidak
dimaknai sebagai proses untuk saling memahami di antara masing-masing agama,
tetapi pada penunjukan ego keberagamaan satu agama di atas agama lainnya.
Dialog seringkali dijadikan sebagai tempat untuk memenangkan suatu perkara,
atau bahkan untuk menyelundupkan agenda tersembunyi yang tidak diketahui
partner dialog. Perbedaan pendapat dianggap sebagai alasan untuk menghakimi dan
memberikan penilaian sepihak.
Hal ini
menyebabkan dialog antaragama kehilangan elemen utamanya, yakni keterbukaan,
sikap kritis dan upaya untuk saling mendengar. Dialog antaragama merupakan
tantangan bagi setiap orang untuk mengembangkan kejujuran dan otentisitas
imannya. Demikianlah, dialog mempunyai fungsi untuk melihat bagaimana relasi
antara saya dengan agama saya, relasi saya dengan orang atau agama lain, dan
seterusnya. Dialog antaragama merupakan pedang bermata dua, sisi pertama ia
merupakan sebuah otokritik karena dalam kehidupan kita masih sangat dibebani
oleh prasangka serta upaya entah sadar atau tidak untuk menegasikan orang lain.
Dan sisi yang kedua terarah kepada suatu percakapan kritis yang bersifat
eksternal, yaitu untuk saling memberikan pandangan berdasarkan keyakinan
sendiri. Oleh karena itu, suatu percakapan yang dialogis membutuhkan kesediaan
untuk mendengar dari semua pihak secara adil dan setara.
Diaolog
antaragama yang berlangsung selama ini masih berkutat pada dialog teologis.
Pada tataran ini memang sudah lebih maju dibanding sikap eksklusif, namun
dialog tidak boleh berhenti pada tataran ini. Kita harus berusaha membuka
dialog hidup kita terhadap kegembiraan, kesusahan, keperihatinan, dan
kegelisahan hidup sesama kita. Substansi dialog mempunyai jangkauan yang lebih
dalam bagi penghayatan keagamaan seseorang di tengah masyarakat-masyarakat
dunia semakin terbuka dan berubah-rubah. Kini sudah tiba saatnya bagi
agama-agama dunia secara bersama-sama mengarahkan setiap kegiatan dialog untuk
menyonsong masa depan, dengan segala kesempatan dan tantangan baik yang sudah
bisa diantisipasi maupun belum, demi masyarakat yang lebih adil, lebih merdeka,
dan lebih manusiawi.
Dialog
antaragama harus menempatkan peran agama-agama dalam konteks persoalan global
yang dihadapi bangsa manusia pada abad ini. Dialog perlu ditempatkan pada
tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan yang dihadapi umat manusia,
seperti persoalan lingkungan, kemiskinan, bencana alam, kejahatan perang,
perdamaian, dan lain sebagainya. Jadi, dialog antaragama tidak hanya bergerak
dalam dataran pengetahuan teologis mengenai agama lain, yang juga memang
penting namun yang terpenting adalah dialog beranjak dalam dataran pengalaman
dan keterlibatan iman yang mendalam dalam kehidupan konkret kemanusiaan.
Dialog
tidak boleh berhenti sekedar pada terwujudnya ko-eksistensi atau semacam
toleransi pasif. Menurut Hans Kȕng, dialog pada tataran ini memang sudah lebih
maju dari sikap eksklusif atau intoleran sama sekali, tetapi dia belum mampu
secara kreatif dan aktif melahirkan kadar toleransi yang saling membangun di
antara agama-agama. Oleh karena itu, Kȕng menawarkan sasaran dialog yang lebih
maju dari sekedar bertujuan ko-eksistensi menuju pro-eksistensi, yakni sebuah
sikap toleransi yang tidak berhenti pada pengakuan akan kebenaran-kebenaran
agama-agama tetapi masing-masing ikut terlibat secara aktif dan konkret dalam
mengupayakan kehidupan yang lebih baik di atas landasan-landasan universal
kemanusiaan.
Inilah
yang diupayakan Kȕng untuk menyusun sebuah etika global bagi tanggungjawab
bersama agama-agama untuk menjalin perdamaian di antara agama-agama dan untuk
turut terlibat dalam memperbaiki keadaan dunia yang sedang mengalami krisis
makna, nilai, dan norma. Dalam dunia yang dilanda peperangan, maka semua agama
berbagi pda satu tanggungjawab bersama, yaitu menghentikan perang dan
menciptakan perdamaian. Lewat kesadaran dialoglah, Kȕng melihat kemungkinan
yang bisa disumbangkan untuk melaksanakan tanggungjawab bersama itu, yaitu
mencari konsensus moral di antara agama-agama dunia. berhadapan dengan fenomena
dehumanisasi massal akibat kelaparan berkepanjangan, perang, sindikat obat
terlarang berskala nasional maupun global, perdagangan manusia, dan
problem-problem besar kemanusiaan lainnya, di sanalah agama ditagih
tanggungjawabnya tidak hanya secara individual tetapi juga secara bersama-sama.
(Seri Dian, 1994)
Pencarian
titik temu (kalimatun sawa) di luar aspek teologis yang memang sudah berbeda
sejak semula merupakan ajaran utama Islam (Q.S. Ali Imran ayat 64) dalam
hubungannya dengan dialog antaragama. Pencarian titik temu lewat perjumpaan dan
dialog yang konstruktif berkesinambungan merupakan tugas kemanusiaan yang
perenial, yang abadi, tiada kata berhenti. Pencarian titik temu antarumat
beragama dapat dimungkinkan lewat berbagai cara, salah satunya adalah lewat
pintu masuk etika, lantaran lewat pintu gerbang etika manusia beragama merasa
mempunyai puncak-puncak keperihatinan yang sama. Lewat pintu etika ini, manusia
beragama merasa mempunyai agama mempunyai puncak-puncak keprihatinan yang sama.
Lewat pintu etika ini, seluruh penganut agama-agama dapat bersentuhan
religiusitasnya untuk tidak hanya menonjolkan “having religion”nya. Lewat pintu
etika, dimensi spiritualitas keberagamaan lebih terasa lebih terasa promising
and challenging dan bukan hanya terfokus pada dimensi formalitas lahiriah
kelembagaan agama.
Konsensus
moral atau titik temu agama-agama memang cukup sulit terutama ditengah
kecenderungan menjamurnya klaim sebagai juru bicara Tuhan. Dengan klaim itu
dijadikan alibi untuk merusak hubungan antar sesama manusia dalam keintiman dan
keharmonisan. Kesombongan mengklaim diri sebagai haki-hakim wakil Tuhan di
bumi, atau sebagai pembela-pembela Tuhan sehingga dengan rasa bangga, mengebiri
kebebasan sesama, membunuh kreatifitas, hingga menebas leher sesama.
Meskipun
sukar, hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk berputus asa, malah sebaliknya
seharusnya menjadi penyemangat untuk terus menggalangkan dialog secara
terus-menerus. Saya percaya dengan apa yang dikatakan Kȕng bahwa dialog adalah
jalan satu-satunya untuk meredakan ketegangan-ketegangan di antara agama-agama.
Persoalannya
adalah kita tidak bisa lagi secara kaku memahami dialog antaragama sebagai
dialog antar para elit agama di atas panggung-panggung seminar atau di dalam
gedung-gedung mewah. Hal tersebut sah-sah saja, tapi pada kenyataannya tidak
mampu secara efektif menyentuh akar rumput yang biasanya menjadi tempat
terjadinya konflik kekerasan. Kita harus merumuskan sebuah bentuk dialog
kultural di antara agama-agama selain dari apa yang disampaikan Kȕng dengan
pencarian konsensus moral atau etika global tanggungjawab agama-agama. Dialog
kultural berarti menjadikan umat beragama sebagai subjek dialog, tidak hanya
dijadikan sebagai objek penyebaran pesan damai. Dengan begitu, dalam diri umat
beragama akan muncul sebuah keyakinan bahwa dialog adalah kebutuhan yang datang
dari nilai-nilai dan tradisi agama daripada sebagai nilai-nilai yang
diintrupsikan dari luar.
Bentuk
dialog seperti ini penting di tengah kedewasaan pada perbedaan, terutama
perbedaan keyakinan masih rendah di tengah masyarakat. Terlebih ketika
perbedaan dijadikan sebagai permainan untuk mendapatkan kepentingan-kepentingan
artifisial oleh oknum-oknum yang tak bertanggungjawab. Karena melalui dialog
kultural, masyarakat telah membuat suatu konsensus di antara mereka, yang
menjadi pengikat kerukunan di antara mereka. Sehingga kerukunan di
tengah-tengah masyarakat tersebut tidak mudah dirongrong oleh orang-orang yang
hatinya jahat.
Dialog-dialog
kultural di tengah-tengah masyarakat pada dasarnya sangat banyak. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat sudah menyadari kepentingan untuk menjaga
kerukunan di antara mereka secara sistematis. Dialog-dialog kultural itu dapat
kita jumpai dalam berbagai macam bentuk, seperti festival, seni tradisional,
maupun tradisi-tradisi lain yang telah menjadi ritus penjagaan kerukunan di
antara masyarakat. Hal inilah nilai fundamental sebuah dialog, yakni dialog
yang hidup secara inharent dalam kehidupan keseharian masyarakat, yang mana
dialog itu mereka pahami dan hayati sepenuh hati.
Melalui
dialog kultural, berbagai elemen masyarakat terutama kaum muda akan dapat
berkontribusi secara efektif dalam mewujudkan kerukunan dan perdamaian di
antara umat beragama. Kaum muda adalah elemen masyarakat yang paling strategis
untuk berperan dalam dialog antaragama. Citra sebagai individu yang berpikir
kritis dan terbuka merupakan “sasaran dialog” yang paling potensial sebagai
agen-agen pembawa pesan perdamaian. Namun, sayangnya selama ini, elemen
masyarakat inilah yang sering luput dari perhatian dalam berbagai aktivitas
dialog antarumat beragama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar