Rabu, 17 Juni 2015

Tantangan Keislaman dalam Keindonesiaan Kontemporer



Pendahuluan
Tulisan ini hendak menguraikan artikulasi Islam dalam menjawab tantangan-tantangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tulisan ini secara reflektif mengacu pada momen-momen penting tertentu yang dilalui Islam dalam pendulum sejarah dan Indonesia. Tulisan ini berangkat dari keperihatinan terkait kegagapan kita untuk menempatkan keislaman dalam konteks yang tidak melulu dikotomis, sebaliknya harus lebih konstruktif.
Islam telah memberikan kontribusi yang besar pada kelahiran Indonesia. Islam menjadi artikulasi penting dan simbol perlawanan terhadap penjajahan dan perwujudan kemerdekaan di Indonesia. Dan tugas yang harus diupayakan oleh umat Islam adalah menjadikan Islam sebagai artikulasi baru dalam menjawab tantangan-tantangan keislaman, kebangsaan, dan tantangan kemanusiaan secara keseluruhan.
Ada kesulitan untuk membicarakan Islam hari ini. Hal ini disebabkan oleh kenyataan sulitnya menjustifikasi Islam selain sebagai tautologi yang membosankan. Di negara-negara Muslim di Timur Tengah misalnya, sedang terjadi pergolakan politik dan konflik kekerasan yang tidak pasti juntrungannya. Akibat-akibat buruk yang secara intrinsik mengikuti kondisi-kondisi semacam itu yakni hamparan korban konflik yang mati sia-sia, biaya materi yang menghilangkan kesempatan untuk menjalankan hidup layak, ketakutan dan ancaman bertubi-tubi yang merampas keamanan psikologi, hilangnya kondisi-kondisi yang stabil bagi pembangunan fondasi-fondasi peradaban, dan lain sebagainya. Kondisi-kondisi yang terjadi di kawasan di mana peradaban Islam tumbuh hari ini, dengan orang-orang yang mengklaim sebagai pewaris dan pelaksana ajaran-ajarannya, membuat asumsi-asumsi yang banyak berkembang di kalangan intelektual Barat, bahwa Islam tidak kompatibel dengan modernitas, prinsip-prinsip demokrasi,[1] penghargaan terhadap hak-hak kemanusiaan, dan tidak relevan dengan perubahan-perubahan yang mengguncang.
Berbeda dengan negara-negara di negara-negara Islam di Timur Tengah, wajah Islam di Indonesia menampilkan rona yang lebih manis dan menjanjikan. Kita punya kepercayaan diri lebih untuk berbicara tentang Islam dari Indonesia. Sebagai negara dengan mayoritas penduduknya Muslim yang menjadikannya sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia memberikan kebanggan psikologis dan kebanggan akademis untuk menilai perkembangan Islam di negara ini. Negara dengan fakta kemajemukannya – multietnik, multi agama, multi bahasa, keragaman ekspresi kebudayaan dan keagamaan, yang tersusun dari jaringan kepulauan yang terpisahkan lautan dengan struktur geografis yang membentang dari Sabang hingga Merauke – ini adalah sebuah keajaiban zaman modern. Sebuah keajaiban karena negara-negara yang lahir pascakolonialisme dengan heteregonitas besar kebanyakan mengalami disintegrasi dan perpecahan menjadi negara-negara kecil.
Islam Indonesia menantang preferensi yang dibangun tentang Islam yang berkembang selama ini. Indonesia berhasil menunjukkan bahwa ekspresi Islam tidaklah seragam dan monolitik, dan karena itu preferensi-preferensi reduksionistik akan selalu mengalami tantangan dari fakta-fakta sebagaimana yang terjadi di Indonesia.
Kita tentu boleh berbangga dengan kenyataan itu. Namun, tidak boleh dilupakan bahwa ‘keajaiban’ Indonesia bukanlah realitas natural yang konstan. Keajaiban tersebut bersifat temporal, dan keberlangsungannya sangat ditentukan oleh cara-cara kita menjaganya. Tantangan pertama keislaman dan keindonesiaan kita datang dari keharusan untuk menjaga kemajemukan dan meneguhkan kesatuan dan persatuan Indonesia, dan menciptakan iklim-iklim kehidupan yang lebih baik.
Islam dan Spirit Nasionalisme Indonesia
Hubungan antara agama dan nasionalisme tidak selalu dipandang positif. Agama dipandang tidak hanya sekedar kendala, tetapi bahkan merendahkan nasionalisme itu sendiri. Francis Fukuyama misalnya, memandang agama hanya menimbulkan dampak negatif bagi nasionalisme.[2] Pandangan Fukuyama tidak sepenuhnya keliru, jika merujuk pada proto-nasionalisme pada abad ke 16 di Eropa yang begitu kental dengan sentiment keagamaan. Anggapan ini juga benar dalam hubungannya dengan nasionalisme Serbia yang berwajah garang dan brutal beberapa tahun yang lalu.[3]
Dengan mengacu pada hipotesa bahwa konteks sosio-historis sangat menentukan dalam lahirnya formasi-formasi dan relasi-relasi sosial, maka pandangan Fukuyama tidak bisa digenelarisasi pada segala konteks. Pada kenyataannya, dalam pengalaman sejarah Indonesia, Islam Indonesia dengan wajah yang lebih toleran dan ramah justru merangsang, menumbuhkan dan berperan positif dalam pertumbuhan spirit kebangsaan.
Dari sudut pandang sejarah, tidak bisa dipungkiri bahwa Islam Indonesia adalah realitas yang unik. Hal ini terkait bahwa Islam tidak pernah begitu bermasalah dengan persoalan kebangsaan. Dari sudut pandang sejarah kita bisa melihat bahwa agama ini merupakan kekuatan revolusioner yang paling menentukan. Islam merupakan kekuatan paling responsif terhadap realitas kebangsaan Indonesia. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa Islam telah dijadikan, apa yang oleh George McTurnan Kahin sebut sebagai “senjata ideologis (ideological weapon) untuk melakukan perlawan terhadap kolonialisme.[4] 
Bagi Kahin, satu dari faktor yang paling penting bagi lahirnya suatu nasionalisme terpadu adalah tingginya derajat homogenitas agama di Indonesia, yakni Islam. Dengan menyebarkan gerakan nasionalisme dari tempat asal mulanya dan pangkalan utamanya di Jawa ke pulau-pulau lain di Indonesia yang berada di bawah kolonialisme Belanda, kecenderungan fisik yang mungkin telah menjadi kuat di kalangan komunitas mereka, justru menjadi netral karena solidaritas pada satu agama yang sifatnya umum. [5]
Dalam sejarah Indonesia, Islam bukan suatu ikatan biasa. Islam merupakan simbol kelompok untuk melawan pengganggu asing. Pada masa kolonialisme, Islam menjadi artikulasi penting dan utama perlawanan terhadap setiap aspek-aspek penjajahan. Hal ini juga berpengaruh besar pada kegagalan strategi Belanda untuk menghalangi kekuatan gerakan Islam melalui strategi kultural dan ideolis yakni pendidikan Barat sekuler. Strategi kultural ideologis kolonialisme itu berbalik menjadi pisau bermata dua yang mencabik signifikansi aspek-aspek kultural penjajahan itu sendiri, dan tidak berhasil sama sekali memotong urat nadi daya hidup pertumbuhan nasionalisme di bawah pengaruh-pengaruh Islam.[6]
Fromberg, seorang Majelis Tertinggi Hindia Timur Nederland, menuliskan pada tahun 1914 bagi orang Jawa, Islam bukan hanya suatu masalah kepercayaan beragama, namun juga bentuk dari nasionalitas; Islam merupakan simbol bagi kaum nasionalis untuk saling mengenal.
Yang menarik dari penekanan Kahin terhadap hubungan Islam dan nasionalisme adalah terkait watak Islam Indonesia itu sendiri. Bagi Kahin, Islam tidak begitu saja menyerap nurani suatu ciri kebangsaan secara pasif, namun menjadi pengadaan saluran dini dari perkembangan nasionalisme yang matang, nasionalisme modern. Karakter unik agama Islam yang dimiliki mayoritas penduduk Indonesia yang mempercayainya membantu kemungkinan itu. “Di negara Islam lain, mungkin tidak ditemukan toleransi agama yang setinggi itu, kurangnya kefanatikan, dan keterbukaan pada gagasan-gagasan baru seperti di Indonesia”, kata Kahin.[7]
Penjelasan serupa juga disampaikan Azyumardi Azra. Dalam pengalaman Indonesia, kemajemukan etnisitas beserta potensi konflik dan perpecahan dengan segera dijinakkan oleh faktor Islam. Islam menjadi “supra identity” dan lokus kesetiaan yang mengatasi sentiment-sentimen dan kesetiaan etnis dan identitas lainnya. Islam menjadi kekuatan yang digunakan untuk membreak down patriotism lokal dan membantu menciptakan persatuan nasional.
Perkembangan Islam di Indonesia tidak hanya menyatukan kelompok etnis dalam pandangan keagamaan dan dunia yang sama, tetapi juga dalam aspek-aspek penting yang bahkan menjadi dasar nasionalisme, yakni bahasa. Berkat Islam, bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia, menjadi lingua-franca berbagai kelompok etnis di Indonesia.[8]
Kesetiaan pada Islam di Indonesia pada gilirannya memperkuat kesadaran kesejarahan yang sama. Penjajah Belanda yang secara teologis menurut ajaran Islam adalah kafir merupakan pendorong berbagai kelompok etnis pada tingkat teologis menurut ajaran Islam adalah kafir merupakan pendorong perlawanan berbagai kelompok etnis pada tingkat teologis keagamaan. Di sini, kita menemukan satu kenyataan penting terkait artikulasi pada Islam dalam pertarungan melawan penjajahan.
Dengan demikian, dalam kasus Indonesia, Islam menjadi unsur genuine pendorong munculnya spirit nasionalisme Indonesia. Karakteristiknya yang terbuka bagi segmentasi-segmentasi sosial yang beragam menyebabkan Islam berhasil menghimpun berbagai golongan. Kenyataan ini terlihat dari kemunculan Sarekat Islam (SI) yang mempraktikkan nasionalisme keislaman-keindonesiaan.
SI adalah organisasi nasionalis Indonesia pertama yang berdasarkan perjuangan-perjuangan politik. SI berasa dari suatu masyarakat pendangan Indonesia Sarekat Dagang Islam (SDI) yang terbentuk pada tahun 1909 oleh seorang bangsawan Jawa Raden Mas Tirtoadisuryo, yang kemudian berganti nama menjadi SI pada tahun 1912 di bawah kepemimpinan Oemar Said Tjokroaminoto.[9]
SI mencengangkan banyak orang Indonesia karena ia tiba-tiba muncul di tengah penjajahan, dan di sisi lain bekerja berdasarkan program politik yang jelas, dengan melampaui sekat-sekat kesukuan, ras, dan kebangsaanan. SI mengupayakan sebuah nasionalisme yang menyeluruh, dan karakter ini sekaligus membedakannya dengan gerakan-gerakan kebangsaan semisal Boedi Oetomo.
Orang-orang yang tergabung dalam SI berasal dari berbagai lapisan yang heterogen, yakni dari kaum muda terpelajar, pemimpin agama, pedagan, petani, buruh, hingga masinis kereta.  Berbagai unsur yang sangat heterogen ini tidak berkumpul dari satu kawasan geografis-administratif yang sama, melainkan berasosiasi dari daerah-daerah dan tempat-tempat yang berbeda. Hal ini menjadikan SI sebagai organisasi nasionalis pertama yang membawa spirit kebangsaan diluar batas-batas identitas primordial dan etnis.[10]
Dari guratan-guratan sejarah Indonesia dapat kita temukan bahwa agama sebagai motor penggerak nasionalisme. Islam berhasil mendorong suatu sikap dan spirit kebangsaan yang menjadi cikal-bakal perjuangan politik Indonesia. Meskipun dalam pergumulan sejarah berikutnya, diwarnai oleh perdebatan-perdebatan yang menempatkan Islam dan agama secara dikotomis dalam konteks perumusan asas dan dasar-dasar negara, kenyataan itu harus dilihat sebagai dinamika kebangsaan yang wajar. Indonesia memang tidak ditemukan dari homogenitas pandangan sehingga merupakan sesuatu yang wajar dalam proses-proses dinamika kebangsaan. Yang penting dan harus menjadi pijakan kita dalam membaca dan menghadapi tantang keislaman dan keindonesiaan kita hari ini adalah kedewasaan yang diteladankan oleh para pendiri bangsa ini. Pergumulan-pergumulan yang terjadi di antara mereka berlangsung dalam suasana saling menghormati, mengedepankan kepentingan-kepentingan bangsa dan negara dibandingkan kepentingan dan ego pribadi, serta mampu mengambil sikap-sikap yang relevan dari perdebatan-perdebatan yang deliberatif.
Artikulasi-Artikulasi Baru
Dari rangkaian sejarah hubungan Islam dan lahirnya spirit kebangsaan, kita dapat menemukan artikulasi penting Islam yang dirumuskan oleh para pejuang dan pendiri bangsa ini. Rakyat Indonesia pada masa pembangunan spriti kebangsaan dan pada masa gerakan kemerdekaan, berhasil menentukan satu titik temu yang mempertemukan mereka yakni Islam. Islam diartikulasikan sebagai ideologi pembebasan menghadapi unsur-unsur negatif kolonialisme.
Kenyataan tersebut  menggambarkan signifikansi dan daya besar agama Islam dalam kehidupan bangsa Indonesia. Di tengah kondisi Bangsa Indonesia yang masih dirundung oleh berbagai persoalan, maka menjadi tugas baru kaum muslim Indonesia untuk menemukan artikulasi-artikulasi baru Islam dalam menjawab berbagai tantangan keislaman dan keindonesiaan. Artikulasi itu mencakup menghargai dan menjaga kemajemukan Indonesia, meneguhkan persatuan dan kesatuan Indonesia, dan menjawab tantangan-tantangan kemanusiaan.[11]
Menjaga kemajemukan Indonesia
Fakta kemajemukan Indonesia digambarkan secara baik oleh Clifford. Menurut  Geertz, Indonesia sedemikian kompleks, sehingga sukar untuk melukiskan anatominya secara persis. Indonesia bukan hanya multietnis (Jawa, Batak, Bugis, Aceh, Flores, Bali, Sasak, dan seterusnya), melainkan juga menjadi arena pengaruh multimental (India, Cina, Belanda, Portugis, Hindhuisme, Buddhisme, Konfusianisme, Islam, Kristen, dan seterusnya). Indonesia, tulis Geertz, “Adalah sejumlah ‘bangsa’ dengan ukuran, makna, dan karakter yang berbeda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang bersifat historis, ideologis, religius, dan semacam itu disambung-sambung menjadi sebuah struktur ekonomis dan politis bersama.”[12]
Fakta pluralitas dan diversitas kultural Indonesia yang berasal dari bersatunya komunitas-komunitas kultural dan lainnya, yang memiliki pandangan hidup yang kurang lebih berbeda satu dengan yang lainnya, dan sebagian besar dari komunitas-komunitas itu telah mendiami wilayahnya jauh sebelum kawasan tersebut menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu tidak hanya berlaku bagi kelompok etnis yang sering dikategorikan “pribumi”, karena bahkan orang-orang Arab dan China atau kelompok lain yang sering disebut “pendatang” atau “non-pribumi” pun sudah ada di wilayah ini sebelum Indonesia lahir sebagai negara merdeka.[13]
Ketika kapal-kapal pertama Eropa berlayar memasuki kepulauan Melayu-Indonesia pada awal abad ke-16, mereka bukan menemukan sebuah dunia yang masih terlelap dalam kehidupan primitif, melainkan sebuah kawasan ramai dengan dinamisme komersial. Kepulaun ini telah lama menjadi salah satu dari pusat perniagaan maritim besar di dunia. Karena itu, kota dagang Asia Tenggara adalah titik temu pluralistis bagi orang-orang dari segala penjuru dunia. Para pengunjungnya meliputi orang-orang Arab, Cina (Muslim dan non-Muslim), Muslim, Hindu India, orang-orang suku animistis, beberapa Kristen, dan bahkan kadang-kadang delegasi tamu dari Jepang.”[14]
Dengan demikian, kemajemukan Indonesia adalah konsekuensi dari kehadiran bersama lebih dari satu bangsa, kelompok atau komunitas etnis yang telah berlangsung sangat lama. Karena itu, kemajemukan Indonesia adalah realitas yang tak mungkin dinegasikan. Mengingkarinya sama dengan mengingkari fakta keindonesiaan itu sendiri.
Kemajemukan sebagaimana termanifestasikan dalam Bhinneka Tunggal Ika adalah realitas natural sementara kesatuan adalah realitas potensial. Dengan demikian, umat Islam harus menjaga kebhinnekaan Indonesia, yang merupakan sunnatullah bangsa Indonesia. Hal ini penting untuk ditekankan karena kebhinnekaan Indonesia sering diingkari dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Toleransi yang diandaikan sebagai prasyarat kemajemukan diabaikan atas dasar pandangan-pandangan sempit. Konflik dan kekerasan atas nama agama, ras, suku, dan perbedaan ideologi masih sering mengoyak stabilitas sosial, dan menjadi gambaran bahwa penghargaan terhadap kemajemukan Indonesia belum terpatri sepenuhnya dalam segenap masyarakat.
Sebagai mayoritas, umat Islam harus menunjukkan wajah bersahabat dan penuh kasih kepada sesama. Secara teologis dan praktik-praktik keagamaan Nabi Muhammad dapat menjadi tauladan bagaimana toleransi dan perdamaian adalah spirit humanitas Islam. Tindakan-tindakan intoleransi selain mengabaikan spirit humanitas tersebut, juga melanggar spirit-spirit kebangsaan sebagai manusia yang beradab sebagaimana tertuang dalam sila kedua Pancasila.[15]
Meneguhkan Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Sebagaimana disebutkan di atas, jika kebhinnekaan adalah realitas kebangsaan sementara persatuan adalah potensialitas kebangsaan, maka persatuan Indonesia bukanlah realitas final melainkan narasi yang terus menjadi. Ia adalah potensialitas yang diaktualisasikan. Dengan demikian, eksistensi persatuan Indonesia sangat ditentukan oleh cara-cara kita mengapresiasinya, meneguhkan, dan menjaganya. 
Jika kita perhatikan, hanya sedikit yang “alamiah” yang membentuk persatuan wilayah kepulauan yang begitu luas itu, yang terutama adalah hasrat yang tertanam kuat yang lahir dari penderitaan kolonisasi. Oleh karena itu, persatuan Indonesia rentan menuju disintegrasi jika fondasi-fondasi yang menyangganya mulai ringkih. Egoism kedaerahan, fanatisme agama, dan ketidakadilan sosial adalah problem-problem besar yang menggerogoti persatuan Indonesia.
Meskipun suara-suara separatism tidak lagi segaduh beberapa tahun yang lalu, namun tak boleh dipungkiri bahwa potensi-potensi masih tertanam kuat. Di daerah-daerah yang jauh dari kekuasaan pusat, seperti di Papua, gerakan-gerakan separasi masih eksis dengan cita-cita dan persenjataan mereka, atau sisia-sia gerakan separasi di Aceh.
Di samping itu, gerakan-gerakan radikal yang mendasarkan diri pada ideologi agama sempit yang menganggap negara sebagai musuh yang harus dilawan masih bergentayangan. Hal ini dapat kita saksikan dari tindakan-tindakan terorisme yang tak kunjung terselesaikan hingga akar-akarnya.
Umat Islam bertanggungjawab penuh untuk menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia. Republik Indonesia adalah “warisan” dari para pendiri bangsa, para guru bangsa, kaum Muslimin yang berjuang dan mengorbankan jiwanya demi kemerdekaan dan persatuan Indonesia. Dan yang tak boleh dilupakan bahwa, persatuan keindonesiaan tidak hanya dibangun dalam konteks geografis, melainkan kesatuan kejiwaan untuk bersama-bersama mewujudkan kehidupan yang lebih baik, yang lebih beradab. Persatuan Indonesia adalah sila ketiga pancasila yang ‘mewajibkan’ setiap individu warga negara untuk mengeguhkan persatuan dan kesatuan.
Meneguhkan persatuan Indonesia juga menjadi tanggungjawab pemerintah. Namun, bentuk tanggungjawab itu tidak hanya diimplementasikan melalui pengerahan dengan apparatus-aparatus represif negara, melainkan yang lebih penting adalah melalui perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanahkan dalam Pancasila. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menyentuh setiap aspek kebutuhan rakyat Indonesia, seperti politik, ekonomi, sosial, dan ekologi.
Menjawab Problem-Problem Kemanusiaan
Janji-janji mesianistik modernitas dengan kemajuan dan perkembangan teknologi dan sistem-sistem politik-ekonomi bahwa manusia akan terbebas dari kemalangan hidup hanyalah kegombalan yang berlebihan. Dalam perkembangan-perkembangan mekanis teknologi, memang terjadi kemudahan-kemudahan, namun secara keseluruhan kehidupan umat manusia tidak juga membaik. Kematian akibat kelaparan dan busung lapar masih terjadi di berbagai negara, peperangan yang merenggut nyawa jutaan manusia masih berlangsung di berbagai kewasan, kerusakan-kerusakan lingkungan yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan manusia dibumi, dan masih banyak lagi anomali-anomali kehidupan manusia di zaman modern ini.
Di Indonesia, nasib-nasib malang yang dialami oleh ribuan penduduk merupakan kenyataan yang tak mungkin dipungkiri. Setelah mengalami kemerdekaan lebih dari setengah abad, masih banyak rakyat Indonesia yang belum terbebas dari kemalangan dan penderitaan hidup, masih terjajah oleh keadaan-keadaan yang membelenggu.
Umat Islam Indonesia tidak boleh berdiam diri atas segala kemalangan itu. Dalam al-Qur’an di tegaskan bahwa Tuhan tidak akan mengubah kondisi suatu ummat tanpa mereka sendiri merubah nasibnya. Islam sangat menekankan tanggungjawab sosial dalam kehidupan sosial. Istilah yang digunakan untuk merujuk pada kualitas-kualitas pribadi yang memiliki tanggungjawab sosial adalah kesalehan sosial atau masalih al-mursalah.[16]
Dilandasi oleh landasan-landasan teologis Islam dan landasan-landasan kultural kebangsaan, Umat Islam berkewajiban untuk mengupayakan perbaikan-perbaikan sosial bagi sesama. Umat Islam harus menjadi rahmat bagi lingkungan, dan bergotong royong dalam mengupayakan kebaikan.
Tantangan keislaman dan keindonesiaan adalah mewujudkan perbaikan-perbaikan kualitas hidup dan kualitas kemanusiaan yang didorong oleh nilai-nilai Islam yang toleran, damai, dan transformatif,  didorong oleh nilai-nilai keindonesiaan yang tertuang dalam prinsip-prinsip Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Undang-Undang, dan segala kreativitas-kreativitas kebangsaan yang lain.
Kesimpulan
Islam dan keindonesiaan adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Hal ini tidak untuk berbicara dalam tipologi integralistik bahwa Islam harus menjadi ideologi dan hukum negara, melainkan untuk menunjukkan bahwa hubungan antara Islam dan kebangsaan.
Artikulasi Islam dalam perjuangan-perjuangan mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia, menumbuhkan nasionalisme, dan ikut terlibat dalam setiap sendi pembangunan bangsa menjadi bukti bahwa Islam tidak bertolak belakang dengan kebangsaan, melainkan sebaliknya. Keajaiban persatuan Indonesia tidak lepas dari potensi integratif dan transformative Islam itu sendiri.
Tantangan umat Islam hari ini adalah harus melampaui cara pandang dikotomis dalam melihat agama dan negara. Pandangan harus diarahkan pada cara-cara yang lebih konstruktif dalam menjawab tantangan dalam kehidupan keagamaan dan kebangsaan.


[1]Lihat: Saiful Mujani, Muslim Demokrat; Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), h. 3. 
[2]Lihat: Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, (New York: The Free Press, 1992, h. 266-275
[3]Azyumardi Azra, Nationalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia: Tantangan Globalisasi. WWW.Setneg.go.id.
[4]George Mc Turnan Kahin, Nasionalisme and Revolution in Indonesia, (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press ,1970), h. 67-68
[5]George Mc Turnan Kahin, Nasionalisme and Revolution in Indonesia, (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press ,1970), h. 67-68
[6]George Mc Turnan Kahin, Nasionalisme and Revolution in Indonesia, (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press ,1970), h. 68  
[7]George Mc Turnan Kahin, Nasionalisme and Revolution in Indonesia, (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press ,1970), h. 68  
[8] Azyumardi Azra, Nationalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia: Tantangan Globalisasi. WWW.Setneg.go.id.

[9]M.C. Riclefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi, 2008), h. 358-359.
[10]Lihat: R.E Elson, The Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan, (Jakarta: Serambi, 2009), cet. 1. 

[11]Syafi’I Ma’arif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2009), cet. 1.  
[12]Dikutip dari Pengantar F. Budi Hardiman; Belajar dari Politik Multikulturalisme. Dalam buku Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, (Jakarta: LP3ES, 2011), Cet. 2, h. viii. 
[13](ed.) Hikmat Budiman, Minoritas E pluribus Umum dan Demokrasi. Dalam buku Hak Minoritas; Ethnos, Demos, dan Batas-Batas Multikulturalisme, (Jakarta: The Interseksi Foundation, 2009), cet. 1, h. 3.
[14]Robert W. Hefner; Multikulturalisme dan Kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Dalam buku Politik Multikulturalisme; Menggugat Realitas Kebangsaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), cet. 5, h. 16-20.  Lihat juga M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi, 2008), cet. 1, h. 39.
[15]Syafi’i Ma’arif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2009), cet. 1
[16]Kusmana; Islam dan Kesalehan Sosial: Relevansi Al-Qur'an tentang Filantropi dalam Pengembangan Masyarakat. Dalam buku Bunga Rampai Kesejahtraan Sosial, (ed. Kusmana), (Jakarta: PIC UIN Jakarta, 2006), h. 82.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar