Pendahuluan
Tulisan ini hendak menguraikan
artikulasi Islam dalam menjawab tantangan-tantangan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Tulisan ini secara reflektif mengacu pada momen-momen penting
tertentu yang dilalui Islam dalam pendulum sejarah dan Indonesia. Tulisan ini
berangkat dari keperihatinan terkait kegagapan kita untuk menempatkan keislaman
dalam konteks yang tidak melulu dikotomis, sebaliknya harus lebih konstruktif.
Islam telah memberikan kontribusi yang
besar pada kelahiran Indonesia. Islam menjadi artikulasi penting dan simbol
perlawanan terhadap penjajahan dan perwujudan kemerdekaan di Indonesia. Dan
tugas yang harus diupayakan oleh umat Islam adalah menjadikan Islam sebagai
artikulasi baru dalam menjawab tantangan-tantangan keislaman, kebangsaan, dan
tantangan kemanusiaan secara keseluruhan.
Ada kesulitan untuk membicarakan Islam
hari ini. Hal ini disebabkan oleh kenyataan sulitnya menjustifikasi Islam
selain sebagai tautologi yang membosankan. Di negara-negara Muslim di Timur
Tengah misalnya, sedang terjadi pergolakan politik dan konflik kekerasan yang
tidak pasti juntrungannya. Akibat-akibat buruk yang secara intrinsik mengikuti
kondisi-kondisi semacam itu yakni hamparan korban konflik yang mati sia-sia,
biaya materi yang menghilangkan kesempatan untuk menjalankan hidup layak,
ketakutan dan ancaman bertubi-tubi yang merampas keamanan psikologi, hilangnya
kondisi-kondisi yang stabil bagi pembangunan fondasi-fondasi peradaban, dan
lain sebagainya. Kondisi-kondisi yang terjadi di kawasan di mana peradaban
Islam tumbuh hari ini, dengan orang-orang yang mengklaim sebagai pewaris dan
pelaksana ajaran-ajarannya, membuat asumsi-asumsi yang banyak berkembang di
kalangan intelektual Barat, bahwa Islam tidak kompatibel dengan modernitas,
prinsip-prinsip demokrasi,[1]
penghargaan terhadap hak-hak kemanusiaan, dan tidak relevan dengan
perubahan-perubahan yang mengguncang.
Berbeda dengan negara-negara di
negara-negara Islam di Timur Tengah, wajah Islam di Indonesia menampilkan rona
yang lebih manis dan menjanjikan. Kita punya kepercayaan diri lebih untuk
berbicara tentang Islam dari Indonesia. Sebagai negara dengan mayoritas
penduduknya Muslim yang menjadikannya sebagai negara dengan penduduk Muslim
terbesar dunia memberikan kebanggan psikologis dan kebanggan akademis untuk
menilai perkembangan Islam di negara ini. Negara dengan fakta kemajemukannya –
multietnik, multi agama, multi bahasa, keragaman ekspresi kebudayaan dan
keagamaan, yang tersusun dari jaringan kepulauan yang terpisahkan lautan dengan
struktur geografis yang membentang dari Sabang hingga Merauke – ini adalah
sebuah keajaiban zaman modern. Sebuah keajaiban karena negara-negara yang lahir
pascakolonialisme dengan heteregonitas besar kebanyakan mengalami disintegrasi
dan perpecahan menjadi negara-negara kecil.
Islam Indonesia menantang preferensi
yang dibangun tentang Islam yang berkembang selama ini. Indonesia berhasil
menunjukkan bahwa ekspresi Islam tidaklah seragam dan monolitik, dan karena itu
preferensi-preferensi reduksionistik akan selalu mengalami tantangan dari
fakta-fakta sebagaimana yang terjadi di Indonesia.
Kita tentu boleh berbangga dengan
kenyataan itu. Namun, tidak boleh dilupakan bahwa ‘keajaiban’ Indonesia
bukanlah realitas natural yang konstan. Keajaiban tersebut bersifat temporal,
dan keberlangsungannya sangat ditentukan oleh cara-cara kita menjaganya.
Tantangan pertama keislaman dan keindonesiaan kita datang dari keharusan untuk
menjaga kemajemukan dan meneguhkan kesatuan dan persatuan Indonesia, dan menciptakan
iklim-iklim kehidupan yang lebih baik.
Islam dan Spirit
Nasionalisme Indonesia
Hubungan antara agama dan nasionalisme
tidak selalu dipandang positif. Agama dipandang tidak hanya sekedar kendala,
tetapi bahkan merendahkan nasionalisme itu sendiri. Francis Fukuyama misalnya,
memandang agama hanya menimbulkan dampak negatif bagi nasionalisme.[2]
Pandangan Fukuyama tidak sepenuhnya keliru, jika merujuk pada
proto-nasionalisme pada abad ke 16 di Eropa yang begitu kental dengan sentiment
keagamaan. Anggapan ini juga benar dalam hubungannya dengan nasionalisme Serbia
yang berwajah garang dan brutal beberapa tahun yang lalu.[3]
Dengan mengacu pada hipotesa bahwa
konteks sosio-historis sangat menentukan dalam lahirnya formasi-formasi dan
relasi-relasi sosial, maka pandangan Fukuyama tidak bisa digenelarisasi pada
segala konteks. Pada kenyataannya, dalam pengalaman sejarah Indonesia, Islam
Indonesia dengan wajah yang lebih toleran dan ramah justru merangsang, menumbuhkan
dan berperan positif dalam pertumbuhan spirit kebangsaan.
Dari sudut pandang sejarah, tidak bisa
dipungkiri bahwa Islam Indonesia adalah realitas yang unik. Hal ini terkait
bahwa Islam tidak pernah begitu bermasalah dengan persoalan kebangsaan. Dari
sudut pandang sejarah kita bisa melihat bahwa agama ini merupakan kekuatan
revolusioner yang paling menentukan. Islam merupakan kekuatan paling responsif
terhadap realitas kebangsaan Indonesia. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa
Islam telah dijadikan, apa yang oleh George McTurnan Kahin sebut sebagai
“senjata ideologis (ideological weapon)
untuk melakukan perlawan terhadap kolonialisme.[4]
Bagi Kahin, satu dari faktor yang
paling penting bagi lahirnya suatu nasionalisme terpadu adalah tingginya derajat
homogenitas agama di Indonesia, yakni Islam. Dengan menyebarkan gerakan
nasionalisme dari tempat asal mulanya dan pangkalan utamanya di Jawa ke
pulau-pulau lain di Indonesia yang berada di bawah kolonialisme Belanda,
kecenderungan fisik yang mungkin telah menjadi kuat di kalangan komunitas
mereka, justru menjadi netral karena solidaritas pada satu agama yang sifatnya
umum. [5]
Dalam sejarah Indonesia, Islam bukan
suatu ikatan biasa. Islam merupakan simbol kelompok untuk melawan pengganggu
asing. Pada masa kolonialisme, Islam menjadi artikulasi penting dan utama
perlawanan terhadap setiap aspek-aspek penjajahan. Hal ini juga berpengaruh
besar pada kegagalan strategi Belanda untuk menghalangi kekuatan gerakan Islam
melalui strategi kultural dan ideolis yakni pendidikan Barat sekuler. Strategi
kultural ideologis kolonialisme itu berbalik menjadi pisau bermata dua yang
mencabik signifikansi aspek-aspek kultural penjajahan itu sendiri, dan tidak
berhasil sama sekali memotong urat nadi daya hidup pertumbuhan nasionalisme di
bawah pengaruh-pengaruh Islam.[6]
Fromberg, seorang Majelis Tertinggi
Hindia Timur Nederland, menuliskan pada tahun 1914 bagi orang Jawa, Islam bukan
hanya suatu masalah kepercayaan beragama, namun juga bentuk dari nasionalitas;
Islam merupakan simbol bagi kaum nasionalis untuk saling mengenal.
Yang menarik dari penekanan Kahin
terhadap hubungan Islam dan nasionalisme adalah terkait watak Islam Indonesia
itu sendiri. Bagi Kahin, Islam tidak begitu saja menyerap nurani suatu ciri
kebangsaan secara pasif, namun menjadi pengadaan saluran dini dari perkembangan
nasionalisme yang matang, nasionalisme modern. Karakter unik agama Islam yang
dimiliki mayoritas penduduk Indonesia yang mempercayainya membantu kemungkinan
itu. “Di negara Islam lain, mungkin tidak ditemukan toleransi agama yang
setinggi itu, kurangnya kefanatikan, dan keterbukaan pada gagasan-gagasan baru
seperti di Indonesia”, kata Kahin.[7]
Penjelasan serupa juga disampaikan
Azyumardi Azra. Dalam pengalaman Indonesia, kemajemukan etnisitas beserta
potensi konflik dan perpecahan dengan segera dijinakkan oleh faktor Islam.
Islam menjadi “supra identity” dan
lokus kesetiaan yang mengatasi sentiment-sentimen dan kesetiaan etnis dan
identitas lainnya. Islam menjadi kekuatan yang digunakan untuk membreak down
patriotism lokal dan membantu menciptakan persatuan nasional.
Perkembangan Islam di Indonesia tidak
hanya menyatukan kelompok etnis dalam pandangan keagamaan dan dunia yang sama,
tetapi juga dalam aspek-aspek penting yang bahkan menjadi dasar nasionalisme,
yakni bahasa. Berkat Islam, bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa
Indonesia, menjadi lingua-franca berbagai
kelompok etnis di Indonesia.[8]
Kesetiaan pada Islam di Indonesia pada
gilirannya memperkuat kesadaran kesejarahan yang sama. Penjajah Belanda yang
secara teologis menurut ajaran Islam adalah kafir merupakan pendorong berbagai
kelompok etnis pada tingkat teologis menurut ajaran Islam adalah kafir
merupakan pendorong perlawanan berbagai kelompok etnis pada tingkat teologis
keagamaan. Di sini, kita menemukan satu kenyataan penting terkait artikulasi
pada Islam dalam pertarungan melawan penjajahan.
Dengan demikian, dalam kasus Indonesia,
Islam menjadi unsur genuine pendorong munculnya spirit nasionalisme Indonesia.
Karakteristiknya yang terbuka bagi segmentasi-segmentasi sosial yang beragam
menyebabkan Islam berhasil menghimpun berbagai golongan. Kenyataan ini terlihat
dari kemunculan Sarekat Islam (SI) yang mempraktikkan nasionalisme keislaman-keindonesiaan.
SI adalah organisasi nasionalis
Indonesia pertama yang berdasarkan perjuangan-perjuangan politik. SI berasa
dari suatu masyarakat pendangan Indonesia Sarekat Dagang Islam (SDI) yang
terbentuk pada tahun 1909 oleh seorang bangsawan Jawa Raden Mas Tirtoadisuryo,
yang kemudian berganti nama menjadi SI pada tahun 1912 di bawah kepemimpinan
Oemar Said Tjokroaminoto.[9]
SI mencengangkan banyak orang Indonesia
karena ia tiba-tiba muncul di tengah penjajahan, dan di sisi lain bekerja
berdasarkan program politik yang jelas, dengan melampaui sekat-sekat kesukuan,
ras, dan kebangsaanan. SI mengupayakan sebuah nasionalisme yang menyeluruh, dan
karakter ini sekaligus membedakannya dengan gerakan-gerakan kebangsaan semisal
Boedi Oetomo.
Orang-orang yang tergabung dalam SI
berasal dari berbagai lapisan yang heterogen, yakni dari kaum muda terpelajar,
pemimpin agama, pedagan, petani, buruh, hingga masinis kereta. Berbagai unsur yang sangat heterogen ini
tidak berkumpul dari satu kawasan geografis-administratif yang sama, melainkan
berasosiasi dari daerah-daerah dan tempat-tempat yang berbeda. Hal ini
menjadikan SI sebagai organisasi nasionalis pertama yang membawa spirit
kebangsaan diluar batas-batas identitas primordial dan etnis.[10]
Dari guratan-guratan sejarah Indonesia
dapat kita temukan bahwa agama sebagai motor penggerak nasionalisme. Islam
berhasil mendorong suatu sikap dan spirit kebangsaan yang menjadi cikal-bakal
perjuangan politik Indonesia. Meskipun dalam pergumulan sejarah berikutnya,
diwarnai oleh perdebatan-perdebatan yang menempatkan Islam dan agama secara
dikotomis dalam konteks perumusan asas dan dasar-dasar negara, kenyataan itu
harus dilihat sebagai dinamika kebangsaan yang wajar. Indonesia memang tidak
ditemukan dari homogenitas pandangan sehingga merupakan sesuatu yang wajar
dalam proses-proses dinamika kebangsaan. Yang penting dan harus menjadi pijakan
kita dalam membaca dan menghadapi tantang keislaman dan keindonesiaan kita hari
ini adalah kedewasaan yang diteladankan oleh para pendiri bangsa ini.
Pergumulan-pergumulan yang terjadi di antara mereka berlangsung dalam suasana
saling menghormati, mengedepankan kepentingan-kepentingan bangsa dan negara
dibandingkan kepentingan dan ego pribadi, serta mampu mengambil sikap-sikap
yang relevan dari perdebatan-perdebatan yang deliberatif.
Artikulasi-Artikulasi
Baru
Dari rangkaian sejarah hubungan Islam
dan lahirnya spirit kebangsaan, kita dapat menemukan artikulasi penting Islam
yang dirumuskan oleh para pejuang dan pendiri bangsa ini. Rakyat Indonesia pada
masa pembangunan spriti kebangsaan dan pada masa gerakan kemerdekaan, berhasil
menentukan satu titik temu yang mempertemukan mereka yakni Islam. Islam
diartikulasikan sebagai ideologi pembebasan menghadapi unsur-unsur negatif
kolonialisme.
Kenyataan tersebut menggambarkan signifikansi dan daya besar
agama Islam dalam kehidupan bangsa Indonesia. Di tengah kondisi Bangsa
Indonesia yang masih dirundung oleh berbagai persoalan, maka menjadi tugas baru
kaum muslim Indonesia untuk menemukan artikulasi-artikulasi baru Islam dalam
menjawab berbagai tantangan keislaman dan keindonesiaan. Artikulasi itu
mencakup menghargai dan menjaga kemajemukan Indonesia, meneguhkan persatuan dan
kesatuan Indonesia, dan menjawab tantangan-tantangan kemanusiaan.[11]
Menjaga
kemajemukan Indonesia
Fakta kemajemukan Indonesia digambarkan
secara baik oleh Clifford. Menurut
Geertz, Indonesia sedemikian
kompleks, sehingga sukar untuk melukiskan anatominya secara persis. Indonesia
bukan hanya multietnis (Jawa, Batak, Bugis, Aceh, Flores, Bali, Sasak, dan
seterusnya), melainkan juga menjadi arena pengaruh multimental (India, Cina,
Belanda, Portugis, Hindhuisme, Buddhisme, Konfusianisme, Islam, Kristen, dan
seterusnya). Indonesia, tulis Geertz, “Adalah sejumlah ‘bangsa’ dengan ukuran,
makna, dan karakter yang berbeda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang
bersifat historis, ideologis, religius, dan semacam itu disambung-sambung
menjadi sebuah struktur ekonomis dan politis bersama.”[12]
Fakta
pluralitas dan diversitas kultural Indonesia yang berasal dari bersatunya
komunitas-komunitas kultural dan lainnya, yang memiliki pandangan hidup yang
kurang lebih berbeda satu dengan yang lainnya, dan sebagian besar dari
komunitas-komunitas itu telah mendiami wilayahnya jauh sebelum kawasan tersebut
menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu tidak hanya
berlaku bagi kelompok etnis yang sering dikategorikan “pribumi”, karena bahkan
orang-orang Arab dan China atau kelompok lain yang sering disebut “pendatang”
atau “non-pribumi” pun sudah ada di wilayah ini sebelum Indonesia lahir sebagai
negara merdeka.[13]
Ketika
kapal-kapal pertama Eropa berlayar memasuki kepulauan Melayu-Indonesia pada
awal abad ke-16, mereka bukan menemukan sebuah dunia yang masih terlelap dalam
kehidupan primitif, melainkan sebuah kawasan ramai dengan dinamisme komersial.
Kepulaun ini telah lama menjadi salah satu dari pusat perniagaan maritim besar
di dunia. Karena itu, kota dagang Asia Tenggara adalah titik temu pluralistis
bagi orang-orang dari segala penjuru dunia. Para pengunjungnya meliputi
orang-orang Arab, Cina (Muslim dan non-Muslim), Muslim, Hindu India,
orang-orang suku animistis, beberapa Kristen, dan bahkan kadang-kadang delegasi
tamu dari Jepang.”[14]
Dengan
demikian, kemajemukan Indonesia adalah konsekuensi dari kehadiran bersama lebih
dari satu bangsa, kelompok atau komunitas etnis yang telah berlangsung sangat
lama. Karena itu, kemajemukan Indonesia adalah realitas yang tak mungkin
dinegasikan. Mengingkarinya sama dengan mengingkari fakta keindonesiaan itu
sendiri.
Kemajemukan
sebagaimana termanifestasikan dalam Bhinneka Tunggal Ika adalah realitas
natural sementara kesatuan adalah realitas potensial. Dengan demikian, umat
Islam harus menjaga kebhinnekaan Indonesia, yang merupakan sunnatullah bangsa
Indonesia. Hal ini penting untuk ditekankan karena kebhinnekaan Indonesia
sering diingkari dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Toleransi yang
diandaikan sebagai prasyarat kemajemukan diabaikan atas dasar
pandangan-pandangan sempit. Konflik dan kekerasan atas nama agama, ras, suku,
dan perbedaan ideologi masih sering mengoyak stabilitas sosial, dan menjadi
gambaran bahwa penghargaan terhadap kemajemukan Indonesia belum terpatri
sepenuhnya dalam segenap masyarakat.
Sebagai
mayoritas, umat Islam harus menunjukkan wajah bersahabat dan penuh kasih kepada
sesama. Secara teologis dan praktik-praktik keagamaan Nabi Muhammad dapat
menjadi tauladan bagaimana toleransi dan perdamaian adalah spirit humanitas
Islam. Tindakan-tindakan intoleransi selain mengabaikan spirit humanitas
tersebut, juga melanggar spirit-spirit kebangsaan sebagai manusia yang beradab
sebagaimana tertuang dalam sila kedua Pancasila.[15]
Meneguhkan Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Sebagaimana disebutkan di atas, jika
kebhinnekaan adalah realitas kebangsaan sementara persatuan adalah
potensialitas kebangsaan, maka persatuan Indonesia bukanlah realitas final
melainkan narasi yang terus menjadi.
Ia adalah potensialitas yang diaktualisasikan. Dengan demikian, eksistensi
persatuan Indonesia sangat ditentukan oleh cara-cara kita mengapresiasinya,
meneguhkan, dan menjaganya.
Jika kita perhatikan, hanya sedikit yang “alamiah” yang membentuk persatuan wilayah
kepulauan yang begitu luas itu, yang terutama adalah hasrat yang tertanam kuat
yang lahir dari penderitaan kolonisasi. Oleh karena itu, persatuan Indonesia
rentan menuju disintegrasi jika fondasi-fondasi yang menyangganya mulai
ringkih. Egoism kedaerahan, fanatisme agama, dan ketidakadilan sosial adalah
problem-problem besar yang menggerogoti persatuan Indonesia.
Meskipun
suara-suara separatism tidak lagi segaduh beberapa tahun yang lalu, namun tak
boleh dipungkiri bahwa potensi-potensi masih tertanam kuat. Di daerah-daerah
yang jauh dari kekuasaan pusat, seperti di Papua, gerakan-gerakan separasi
masih eksis dengan cita-cita dan persenjataan mereka, atau sisia-sia gerakan
separasi di Aceh.
Di
samping itu, gerakan-gerakan radikal yang mendasarkan diri pada ideologi agama
sempit yang menganggap negara sebagai musuh yang harus dilawan masih
bergentayangan. Hal ini dapat kita saksikan dari tindakan-tindakan terorisme
yang tak kunjung terselesaikan hingga akar-akarnya.
Umat Islam bertanggungjawab penuh untuk
menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia. Republik Indonesia adalah “warisan”
dari para pendiri bangsa, para guru bangsa, kaum Muslimin yang berjuang dan
mengorbankan jiwanya demi kemerdekaan dan persatuan Indonesia. Dan yang tak
boleh dilupakan bahwa, persatuan keindonesiaan tidak hanya dibangun dalam
konteks geografis, melainkan kesatuan kejiwaan untuk bersama-bersama mewujudkan
kehidupan yang lebih baik, yang lebih beradab. Persatuan Indonesia adalah sila
ketiga pancasila yang ‘mewajibkan’ setiap individu warga negara untuk
mengeguhkan persatuan dan kesatuan.
Meneguhkan persatuan Indonesia juga
menjadi tanggungjawab pemerintah. Namun, bentuk tanggungjawab itu tidak hanya
diimplementasikan melalui pengerahan dengan apparatus-aparatus represif negara,
melainkan yang lebih penting adalah melalui perwujudan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanahkan dalam Pancasila. Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menyentuh setiap aspek kebutuhan rakyat
Indonesia, seperti politik, ekonomi, sosial, dan ekologi.
Menjawab
Problem-Problem Kemanusiaan
Janji-janji mesianistik modernitas
dengan kemajuan dan perkembangan teknologi dan sistem-sistem politik-ekonomi
bahwa manusia akan terbebas dari kemalangan hidup hanyalah kegombalan yang
berlebihan. Dalam perkembangan-perkembangan mekanis teknologi, memang terjadi
kemudahan-kemudahan, namun secara keseluruhan kehidupan umat manusia tidak juga
membaik. Kematian akibat kelaparan dan busung lapar masih terjadi di berbagai
negara, peperangan yang merenggut nyawa jutaan manusia masih berlangsung di
berbagai kewasan, kerusakan-kerusakan lingkungan yang mempengaruhi kelangsungan
kehidupan manusia dibumi, dan masih banyak lagi anomali-anomali kehidupan
manusia di zaman modern ini.
Di Indonesia, nasib-nasib malang yang
dialami oleh ribuan penduduk merupakan kenyataan yang tak mungkin dipungkiri.
Setelah mengalami kemerdekaan lebih dari setengah abad, masih banyak rakyat
Indonesia yang belum terbebas dari kemalangan dan penderitaan hidup, masih
terjajah oleh keadaan-keadaan yang membelenggu.
Umat Islam Indonesia tidak boleh
berdiam diri atas segala kemalangan itu. Dalam al-Qur’an di tegaskan bahwa
Tuhan tidak akan mengubah kondisi suatu ummat tanpa mereka sendiri merubah
nasibnya. Islam sangat menekankan tanggungjawab sosial dalam kehidupan sosial.
Istilah yang digunakan untuk merujuk pada kualitas-kualitas pribadi yang
memiliki tanggungjawab sosial adalah kesalehan sosial atau masalih al-mursalah.[16]
Dilandasi oleh landasan-landasan
teologis Islam dan landasan-landasan kultural kebangsaan, Umat Islam
berkewajiban untuk mengupayakan perbaikan-perbaikan sosial bagi sesama. Umat
Islam harus menjadi rahmat bagi lingkungan, dan bergotong royong dalam
mengupayakan kebaikan.
Tantangan keislaman dan keindonesiaan
adalah mewujudkan perbaikan-perbaikan kualitas hidup dan kualitas kemanusiaan
yang didorong oleh nilai-nilai Islam yang toleran, damai, dan
transformatif, didorong oleh nilai-nilai
keindonesiaan yang tertuang dalam prinsip-prinsip Pancasila, Bhinneka Tunggal
Ika, Undang-Undang, dan segala kreativitas-kreativitas kebangsaan yang lain.
Kesimpulan
Islam dan keindonesiaan adalah dua
entitas yang tidak bisa dipisahkan. Hal ini tidak untuk berbicara dalam
tipologi integralistik bahwa Islam harus menjadi ideologi dan hukum negara,
melainkan untuk menunjukkan bahwa hubungan antara Islam dan kebangsaan.
Artikulasi Islam dalam
perjuangan-perjuangan mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia,
menumbuhkan nasionalisme, dan ikut terlibat dalam setiap sendi pembangunan
bangsa menjadi bukti bahwa Islam tidak bertolak belakang dengan kebangsaan,
melainkan sebaliknya. Keajaiban persatuan Indonesia tidak lepas dari potensi
integratif dan transformative Islam itu sendiri.
Tantangan umat Islam hari ini adalah
harus melampaui cara pandang dikotomis dalam melihat agama dan negara.
Pandangan harus diarahkan pada cara-cara yang lebih konstruktif dalam menjawab
tantangan dalam kehidupan keagamaan dan kebangsaan.
[1]Lihat: Saiful Mujani, Muslim
Demokrat; Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia
Pasca-Orde Baru, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), h. 3.
[2]Lihat:
Francis Fukuyama, The End of History and
The Last Man, (New
York: The Free Press, 1992, h. 266-275
[3]Azyumardi
Azra, Nationalisme, Etnisitas, dan Agama
di Indonesia: Tantangan Globalisasi. WWW.Setneg.go.id.
[4]George Mc
Turnan Kahin, Nasionalisme and Revolution
in Indonesia, (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press ,1970), h. 67-68
[5]George Mc
Turnan Kahin, Nasionalisme and Revolution
in Indonesia, (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press ,1970), h. 67-68
[6]George Mc
Turnan Kahin, Nasionalisme and Revolution
in Indonesia, (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press ,1970), h. 68
[7]George Mc
Turnan Kahin, Nasionalisme and Revolution
in Indonesia, (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press ,1970), h. 68
[8] Azyumardi
Azra, Nationalisme, Etnisitas, dan Agama
di Indonesia: Tantangan Globalisasi. WWW.Setneg.go.id.
[9]M.C.
Riclefs, Sejarah Indonesia Modern
1200-2008, (Jakarta: Serambi, 2008), h. 358-359.
[10]Lihat: R.E Elson, The
Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan, (Jakarta: Serambi, 2009),
cet. 1.
[11]Syafi’I
Ma’arif, Islam dalam Bingkai
Keindonesiaan dan Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2009), cet. 1.
[12]Dikutip dari Pengantar F.
Budi Hardiman; Belajar dari Politik Multikulturalisme. Dalam buku Will
Kymlicka, Kewargaan Multikultural, (Jakarta: LP3ES, 2011), Cet. 2, h.
viii.
[13](ed.) Hikmat Budiman, Minoritas
E pluribus Umum dan Demokrasi. Dalam buku Hak Minoritas; Ethnos, Demos, dan
Batas-Batas Multikulturalisme, (Jakarta: The Interseksi Foundation, 2009),
cet. 1, h. 3.
[14]Robert W. Hefner; Multikulturalisme
dan Kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Dalam buku Politik
Multikulturalisme; Menggugat Realitas Kebangsaan, (Yogyakarta: Kanisius,
2007), cet. 5, h. 16-20. Lihat juga M.C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi, 2008), cet. 1,
h. 39.
[15]Syafi’i
Ma’arif, Islam dalam Bingkai
Keindonesiaan dan Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2009), cet. 1
[16]Kusmana; Islam dan Kesalehan Sosial: Relevansi
Al-Qur'an tentang Filantropi dalam Pengembangan Masyarakat. Dalam buku
Bunga Rampai Kesejahtraan Sosial, (ed. Kusmana), (Jakarta: PIC UIN Jakarta,
2006), h. 82.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar