Rabu, 17 Juni 2015

Pengetahuan Lokal Sebagai Struktur Dasar Pembangunan Pertanian Indonesia

Tonggak pertanian Indonesia berdiri di atas pondasi yang rapuh. Hal itu terutama dapat dilihat dari revolusi hijau pada masa Orde Baru. Struktur pengetahuan yang menjadi landasan proyek besar itu adalah model subyek-objek yang berarti menempatkan pertanian sebagai medan eksploitasi sumber daya alam. Operasionalisasi model subyek-objek itu adalah model sains. Operasionalisasi lebih lanjut dari pandangan tersebut adalah melalui kebijakan-kebijakan seperti intensifikasi pertanian. Persoalannya, konsep intensifikasi pertanian tersebut sebagai manifestasi dari pendekatan sains melalui penggunaan bibit hibrida, pupuk kimiawi dan pestisida, serta teknologi pertanian justru merusak kualitas lingkungan terutama tanah yang berdampak pada menurunnya produksi pangan. Permasalahannya tidak hanya terkait lingkungan yang tercemari namun juga meningkatkan biaya produksi. Saat krisis ekonomi melanda, harga pupuk dan pestisida menjadi mahal. Hal tersebut membuat harga produk pertanian melambung tinggi hingga tak terjangkau petani. Sementara di saat panen, harga produk pertanian turun dan tidak mampu mengganti biaya produksi. Dan, itu berarti petani selalu berada pada posisi yang sangat memilukan dan miskin. Manifestasi lanjutan dari pendekatan sains ini tidak jarang abai terhadap nilai-nilai seperti kualitas hidup, keberlanjutan, maupun kelestarian lingkungan. Hal itu merupakan konsekuensi dari klaim bermasalah sains sebagai sesuatu yang bebas nilai.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah sudut pandang epistemologis apa yang lebih tepat dan bagaimana menjalankannya. Kita senantiasa mengkomparasikan dalam garis berlawanan antara sains dan tradisi. Sains bersifat progresif karena mengelimininasi dirinya dari nilai-nilai, sementara tradisi sebaliknya. Sains dipercaya lebih adaptif terhadap potensi persoalan, sementara tradisi indiferen terhadapnya. Dikotomi ini merupakan dampak dari laju modernitas yang sinis terhadap tradisi karena dianggap sebagai candu yang memperlambat gerak peradaban. Klaim sains modern ini kemudian menjadi kritikan utama para postmodernias yang menemukan bahwa pengetahuan tidak bekerja di ruang hampa budaya, malah pengetahuan tidak bebas dari nilai, norma, dan aturan budaya. Pengetahuan pun tidak lagi memiliki kebijakan ajeg seperti yang diklaim para epistemolog modern. Ia adalah hasil kesepakatan dalam keputusan yang dibuat dalam lingkungan praktis bukan teoritis.
Fakta itu tercermin dari penemuan fakta-fakta lapangan para antropolog yang menunjukkan bahwa masyarakat adat Dayak ternyata memiliki pengetahuan lokal tentang cara berladang yang menyelesaikan persoalan lingkungan hidup yang tidak diperhitungkan oleh kalkulasi ekonomi modern. Penulis juga punya pengalaman tersendiri tentang kelebihan cocok tanam lokal yang sangat baik yang berlandaskan pada sistem pertanian lestari yang menghasilkan produk pertanian bagus. Di Sembalun, salah satu desa di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, merupakan salah satu pertanian bawang merah dan bawang putih yang terkenal dengan kualitasnya yang sangat baik. Masyarakat adat Sasak di sana mampu menghasilkan bawang kualitas terbaik dan berdaya hasil besar tanpa menggunakan pupuk. Namun setelah program revolusi hijau pemerintahan Presiden Soeharto melalui kebijakan intensifikasi dan penyeragaman, produk-produk pertanian bawang petani memang memiliki penghasilan yang lebih baik disebabkan oleh bibit hibrida dan pupuk pestisisa, tapi persoalannya itu hanya berlaku untuk beberapa tahun saja. Sementara dampak terburuk dari program itu bagi petani bawang di Sembalun itu adalah mereka kehilangan parietas bawang lokal dan tingkat kesuburan tanah menurun drastis hingga saat ini. Kualitas bawang terbaik yang pernah mereka hasilkan kini sudah tidak bisa tumbuh lagi.
Epistemologi pertanian kita seharusnya mengadopsi struktur pengetahuan intersubyektif di mana pertanian bukan persoalan swasembada, meningkatkan produksi, tetapi juga memelihara kualitas lingkungan. Oleh karena itu, keberlanjutan adalah premis utamanya dan bukan semata-semata keuntungan. Kita sebenarnya bisa menemukan operasionalisasi struktur pengetahuan itu pada nilai-nilai dan pengetahuan lokal yang secara turun-temurun dipraktikkan oleh sebagian petani, terutama masyarakat adat. Karena pengetahuan lokal terbukti dalam sebagian besar kasus lebih peduli terhadap keberlanjutan ekosistem sekaligus meningkatkan produktivitas. Itu menunjukkan bahwa pengetahuan lokal bukan hanya sebagai tradisi tetapi sebentuk struktur yang digunakan sebagai medium pemecahan masalah yang melihat kenyataan bukan sebagai obyek eksploitasi melainkan sesama subyek.
Tradisi mengolah alam yang diwariskan nenek moyang kita dalam pertanian mengandung kearifan-kearifan yang mengagumkan. Salah satu prinsip pentingnya adalah pengolahan alam bukanlah eksploitasi, karena alam adalah ibu dari peradaban manusia. Penghormatan pada alam adalah jelas tampak pada warisan tradisi upacara di lahan pertanian, juga upacara sedekah laut yang dilakukan para nelayan. Kearipan tradisional juga melindungi kelestarian alam dengan berbagai mitos tentang hukuman bagi mereka yang merusak alam. Di waktu yang lalu, banyak syarat yang harus dipenuhi sebelum menebang sebatang pohon. Jejak-jejak kejayaan alamnya, terlihat jelas dalam sejarah dunia. petualangan bangsa-bangsa Eropa mencari dunia baru, antara lain didorong oleh motivasi berniaga mencari sumber rempah-rempah yang banyak tersebar di nusantara. Sejak dahulu, Jawa dan Sumatra dikenal oleh bangsa China dan Inida sebagai gudang beras.
Bertolak dari kelebihan pengetahuan lokal dalam pertanian sebagaimana dicontohkan di atas, maka sikap sinis terhadap berbagai pengetahuan lokal seperti yang dipraktikkan oleh masyarakat adat di Indonesia sungguh tidak memiliki pijakan yang berdasar. Karena pengetahuan lokal itu lahir dari proses pembelajaran yang evaluatif, dialogis, dan reflektif. Pengetahuan lokal merupakan hasil kesepakatan komunitas menghadapai berbagai persoalan dalam kesalinghubungan mereka dengan lingkungan.
Kebijakan yang salah selama ini adalah karena pemerintah memisahkan masyarakat dengan lingkungannya. Salah satu contoh, demi menggenjot pendapatan asli daerah, hak ulayat diabaikan dan hutan adat pun diubah menjadi hutan negara untuk dibagi-bagi dalam bentuk HPH. Akibatnya, komunitas adat pun tersingkir dari lingkungan praksis keseharian mereka dan dipaksa melihat lingkungan bukan lagi sesama subyek melainkan hanya barang ekonomi yang tak bernyawa. Absennya lingkungan dari denyut nadi masyarakat berarti terhentinya denyut nadi pengetahuan lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar