Tonggak
pertanian Indonesia berdiri di atas pondasi yang rapuh. Hal itu terutama dapat
dilihat dari revolusi hijau pada masa Orde Baru. Struktur pengetahuan yang
menjadi landasan proyek besar itu adalah model subyek-objek yang berarti
menempatkan pertanian sebagai medan eksploitasi sumber daya alam. Operasionalisasi
model subyek-objek itu adalah model sains. Operasionalisasi lebih lanjut dari
pandangan tersebut adalah melalui kebijakan-kebijakan seperti intensifikasi
pertanian. Persoalannya, konsep intensifikasi pertanian tersebut sebagai
manifestasi dari pendekatan sains melalui penggunaan bibit hibrida, pupuk
kimiawi dan pestisida, serta teknologi pertanian justru merusak kualitas
lingkungan terutama tanah yang berdampak pada menurunnya produksi pangan. Permasalahannya
tidak hanya terkait lingkungan yang tercemari namun juga meningkatkan biaya
produksi. Saat krisis ekonomi melanda, harga pupuk dan pestisida menjadi mahal.
Hal tersebut membuat harga produk pertanian melambung tinggi hingga tak
terjangkau petani. Sementara di saat panen, harga produk pertanian turun dan
tidak mampu mengganti biaya produksi. Dan, itu berarti petani selalu berada
pada posisi yang sangat memilukan dan miskin. Manifestasi lanjutan dari
pendekatan sains ini tidak jarang abai terhadap nilai-nilai seperti kualitas
hidup, keberlanjutan, maupun kelestarian lingkungan. Hal itu merupakan
konsekuensi dari klaim bermasalah sains sebagai sesuatu yang bebas nilai.
Pertanyaan
yang muncul kemudian adalah sudut pandang epistemologis apa yang lebih tepat dan
bagaimana menjalankannya. Kita senantiasa mengkomparasikan dalam garis
berlawanan antara sains dan tradisi. Sains bersifat progresif karena
mengelimininasi dirinya dari nilai-nilai, sementara tradisi sebaliknya. Sains
dipercaya lebih adaptif terhadap potensi persoalan, sementara tradisi indiferen
terhadapnya. Dikotomi ini merupakan dampak dari laju modernitas yang sinis
terhadap tradisi karena dianggap sebagai candu yang memperlambat gerak
peradaban. Klaim sains modern ini kemudian menjadi kritikan utama para
postmodernias yang menemukan bahwa pengetahuan tidak bekerja di ruang hampa
budaya, malah pengetahuan tidak bebas dari nilai, norma, dan aturan budaya. Pengetahuan
pun tidak lagi memiliki kebijakan ajeg seperti yang diklaim para epistemolog
modern. Ia adalah hasil kesepakatan dalam keputusan yang dibuat dalam
lingkungan praktis bukan teoritis.
Fakta
itu tercermin dari penemuan fakta-fakta lapangan para antropolog yang
menunjukkan bahwa masyarakat adat Dayak ternyata memiliki pengetahuan lokal
tentang cara berladang yang menyelesaikan persoalan lingkungan hidup yang tidak
diperhitungkan oleh kalkulasi ekonomi modern. Penulis juga punya pengalaman
tersendiri tentang kelebihan cocok tanam lokal yang sangat baik yang
berlandaskan pada sistem pertanian lestari yang menghasilkan produk pertanian
bagus. Di Sembalun, salah satu desa di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat,
merupakan salah satu pertanian bawang merah dan bawang putih yang terkenal
dengan kualitasnya yang sangat baik. Masyarakat adat Sasak di sana mampu
menghasilkan bawang kualitas terbaik dan berdaya hasil besar tanpa menggunakan
pupuk. Namun setelah program revolusi hijau pemerintahan Presiden Soeharto
melalui kebijakan intensifikasi dan penyeragaman, produk-produk pertanian
bawang petani memang memiliki penghasilan yang lebih baik disebabkan oleh bibit
hibrida dan pupuk pestisisa, tapi persoalannya itu hanya berlaku untuk beberapa
tahun saja. Sementara dampak terburuk dari program itu bagi petani bawang di
Sembalun itu adalah mereka kehilangan parietas bawang lokal dan tingkat
kesuburan tanah menurun drastis hingga saat ini. Kualitas bawang terbaik yang
pernah mereka hasilkan kini sudah tidak bisa tumbuh lagi.
Epistemologi
pertanian kita seharusnya mengadopsi struktur pengetahuan intersubyektif di
mana pertanian bukan persoalan swasembada, meningkatkan produksi, tetapi juga
memelihara kualitas lingkungan. Oleh karena itu, keberlanjutan adalah premis
utamanya dan bukan semata-semata keuntungan. Kita sebenarnya bisa menemukan
operasionalisasi struktur pengetahuan itu pada nilai-nilai dan pengetahuan
lokal yang secara turun-temurun dipraktikkan oleh sebagian petani, terutama
masyarakat adat. Karena pengetahuan lokal terbukti dalam sebagian besar kasus
lebih peduli terhadap keberlanjutan ekosistem sekaligus meningkatkan
produktivitas. Itu menunjukkan bahwa pengetahuan lokal bukan hanya sebagai
tradisi tetapi sebentuk struktur yang digunakan sebagai medium pemecahan
masalah yang melihat kenyataan bukan sebagai obyek eksploitasi melainkan sesama
subyek.
Tradisi
mengolah alam yang diwariskan nenek moyang kita dalam pertanian mengandung
kearifan-kearifan yang mengagumkan. Salah satu prinsip pentingnya adalah
pengolahan alam bukanlah eksploitasi, karena alam adalah ibu dari peradaban
manusia. Penghormatan pada alam adalah jelas tampak pada warisan tradisi
upacara di lahan pertanian, juga upacara sedekah laut yang dilakukan para
nelayan. Kearipan tradisional juga melindungi kelestarian alam dengan berbagai
mitos tentang hukuman bagi mereka yang merusak alam. Di waktu yang lalu, banyak
syarat yang harus dipenuhi sebelum menebang sebatang pohon. Jejak-jejak
kejayaan alamnya, terlihat jelas dalam sejarah dunia. petualangan bangsa-bangsa
Eropa mencari dunia baru, antara lain didorong oleh motivasi berniaga mencari
sumber rempah-rempah yang banyak tersebar di nusantara. Sejak dahulu, Jawa dan
Sumatra dikenal oleh bangsa China dan Inida sebagai gudang beras.
Bertolak
dari kelebihan pengetahuan lokal dalam pertanian sebagaimana dicontohkan di
atas, maka sikap sinis terhadap berbagai pengetahuan lokal seperti yang
dipraktikkan oleh masyarakat adat di Indonesia sungguh tidak memiliki pijakan
yang berdasar. Karena pengetahuan lokal itu lahir dari proses pembelajaran yang
evaluatif, dialogis, dan reflektif. Pengetahuan lokal merupakan hasil
kesepakatan komunitas menghadapai berbagai persoalan dalam kesalinghubungan
mereka dengan lingkungan.
Kebijakan
yang salah selama ini adalah karena pemerintah memisahkan masyarakat dengan
lingkungannya. Salah satu contoh, demi menggenjot pendapatan asli daerah, hak
ulayat diabaikan dan hutan adat pun diubah menjadi hutan negara untuk
dibagi-bagi dalam bentuk HPH. Akibatnya, komunitas adat pun tersingkir dari
lingkungan praksis keseharian mereka dan dipaksa melihat lingkungan bukan lagi
sesama subyek melainkan hanya barang ekonomi yang tak bernyawa. Absennya
lingkungan dari denyut nadi masyarakat berarti terhentinya denyut nadi
pengetahuan lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar