Selasa, 16 Juni 2015

Menunggu Yang Berani Memutuskan



Sepak bola Indonesia berada dalam keadaan genting. Setelah kongres luar biasa Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang berlangsung senin kemarin di Palangkaraya gagal menyelesaikan konflik organisasi dan dualisme kompetisi karena Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) juga menggelar kongres tandingan di Jakarta, sepak bola Indonesia berada di ujung tanduk sanksi FIFA yang akan diputuskan pada rapat komite FIFA 14 Desember mendatang di Jepang.


Apabila selama tenggat waktu antara rapat komite FIFA tersebut tidak ada solusi-solusi yang diambil oleh kedua organisasi sepak bola yang tengah berseteru itu, maka bisa dipastikan FIFA akan memberi sanksi bagi sepak bola Indonesia baik dengan membekukan status keanggotaan hingga mengeluarkan Indonesia dari anggota FIFA. Kita tetap berharap semoga PSSI dan KPSI mau melihat dengan jernih bahwa konsekuensi dari pertaruhan mereka selama ini akan membawa dampak yang tak terkirakan bagi masa depan sepak bola Indonesia. Karena apabila sanksi FIFA itu sudah diputuskan maka sederet konsekuensi langsung maupun tidak langsung akan dihadapi oleh sepak bola Indonesia. 


Keadaan Darurat dan Pentingnya Keputusan

“Yang berdaulat adalah barangsiapa yang mengambil keputusan atas keadaan darurat”. Tesis yang mashur dalam filsafat politik ini berasal dari Carl Schmitt. Dalam pandangan yang kemudian disebut desisionisme itu, mengandaikan sebuah jalan politis lahir dari keputusan.

Konsep darurat sentral dalam tesis itu. Bukan undang-undang darurat atau situasi perang yang diacu di sini melainkan suatu keadaan luar biasa yang menggiring suatu negara atau institusi pada krisis konstitusi dan tatanan politisnya. Keadaan darurat inilah yang sedang dialami sepak bola Indonesia, karena semua tatanan yuridis yang semestinya menjadi landasan konstitusional penyelenggaraan sepak bola ternyata mengalami disorientasi. Antara PSSI dan KPSI masing-masing merasa memiliki landasan konstitusional yang legitimate.

Dalam kondisi seperti ini, keputusan-keputusan yang mengikat dan final tidak akan terwujud karena tarik-menarik kepentingan dan egoisme. Hal ini terbukti pada nota kesepahaman (MOU) yang telah ditandatangai oleh kedua organisasi tersebut di Kuala Lumpur, tapi pada kenyataannya nota kesepahaman tersebut tidak berhasil memutus ketidaksepahaman di antara mereka. Tatanan politis manajemen sepak bola menjadi semrawut karena masing-masing dari pihak yang berseteru merasa memiliki hak untuk menyelenggarakan pertandingan, sehingga terjadi dualisme kompetisi, yakni LSI dan LPI.


Keadaan itu bukan saja tidak lazim melainkan ekstrim dan singular. Kita bisa memakai istilah anomali atau abnormal untuk melukiskan sebuah situasi disorientasi konstitusional  dan tatanan politis seperti itu. Akibatnya, hal-hal yang dalam situasi normal dapat ditegaskan dengan pasti dalam keranka konstitusional yang jelas dan tegas, namun dalam situasi anomali atau abnormal itu sulit ditentukan. 


Konsep keadaan darurat menurut Schmitt memang dikenal dalam teori hukum, tetapi keadaan darurat itu sendiri berada di luar hukum dan tidak bisa diperikan secara yuridis. Jika dalam keadaan normal mekanisme-mekanisme yang merekatkan tatanan politis dapat diterima oleh tatanan yuridis yang berlaku, dalam keadaan darurat atau dalam keadaan kekecualian seperti itu rasionalitas yuridis itu mengalami krisis, entah statuta FIFA, statuta PSSI, nota kesepahaman, “surat sakti”, atau pun undang-undang negara yang mengatur olahraga kehilangan “kesaktiannya”.


Demikian halnya dengan institusi-institusi politis olahraga sepak bola seperti Kemenpora, PSSI, dan KPSI tidak sinkron satu sama lain karena konstitusi dan rasionalitas yuridis yang mendasarinya selama ini sebagai paradigma bersama telah kehilangan plausibilitasnya.

Dalam kondisi seperti ini, yang normal tidak membuktikan apa-apa, sebaliknya kekecualian atau kondisi darurat itu membuktikan segalanya. Oleh karena itu, meski PSSI maupun KPSI melegitimasi diri dengan statuta FIFA, statuta PSSI, MOU, “surat sakti” atau pun undang-undang, dasar-dasar legitimasi itu pada faktanya tidak menghasilkan apa pun. Karena keduanya tetap berdiri pada kekerasan hati masing-masing. 


Di sini, tesis Schmitt tentang peranan keputusan dalam keadaan darurat dapat menjadi jawaban. Dalam keadaan sepak bola yang tengah genting ini dibutuhkan sebuah tambatan untuk berpegang. Sebuah pedoman mata angin untuk mengarahkan diri. Itulah keputusan.


Siapa yang Berani dan Harus Mengambil Keputusan

Keadaan darurat senantiasa membutuhkan yang berdaulat yang berani mengambil keputusan. Demikian halnya dalam keadaan darurat sepak bola ini, kondisi itu membutuhkan subyek kedaulatan yang memutuskan apa yang seharusnya terjadi untuk menghentikan keadaan ini.

Berkaca pada nota kesepahaman (MOU) yang telah PSSI dan KPSI tandatangai bersama namun tidak dijalankan sebagaimana mestinya, di samping kisruh antara mereka yang telah berlangsung cukup lama, maka sangat sulit membayangkan sebuah solusi yang lahir dari kedua belah pihak yang berseteru itu. 


Oleh karena itu, harapan kita yang terakhir berada pada pemerintah. Pemerintah, entah Presiden SBY atau Kemenpora harus berani menjadi subyek kedaulatan yang berani memutuskan kekisruhan ini. Berbicara sepak bola dalam keadaan darurat ini tidak lagi berbicara tentang PSSI atau KPSI semata tapi berbicara tentang bangsa secara keseluruhan. Tentang harapan, cita-cita, obsesi, dan kebanggaan semua anak bangsa untuk melihat timnasnya berprestasi dan mampu berkompetisi di level tertinggi kompetisi sepak bola. Dan, harapan, cita-cita, obsesi, dan kebanggaan itu tidak pantas pupus gara-gara kisruh yang berlangsung di antara segelintir orang yang tidak memahami spirit olahraga, khususnya sepak bola.


Pemerintah tidak bisa “angkat tangan” melihat kekisruhan yang berkepanjangan ini. Pemerintah harus hadir mengingat FIFA juga telah memberikan angin segar bagi kewenangan pemerintah untuk “ikut campur” memecahkan masalah sepak bola ini. Apabila sikap pemerintah tetap mengambang menyikapi persolan ini, maka kita harus bersiap-siap menerima sanksi FIFA.   


Bukan waktunya untuk mencari distingsi antara yang benar dan salah, karena distingsi itu juga mengandaikan sebuah argumentasi yuridis, sementara dalam keadaan darurat argumentasi yuridis kehilangan “kesaktiannya”. Dalam keadaan darurat sepeti ini yang utama adalah siapa yang berani memutuskan. 


Singkatnya, para pencinta sepak bola di seluruh Indonesia menginginkan sebuah keputusan yang tegas dan menjadi daya ikat otoritatif demi harapan, masa depan, dan kebanggan rakyat yang terekspresi dalam sepak bola. Yang berdaulat adalah barang siapa yang berani mengambil keputusan atas keadaan darurat.[]






Tidak ada komentar:

Posting Komentar