Sepak
bola Indonesia berada dalam keadaan genting. Setelah kongres luar biasa
Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang berlangsung senin kemarin di
Palangkaraya gagal menyelesaikan konflik organisasi dan dualisme kompetisi
karena Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) juga menggelar kongres
tandingan di Jakarta, sepak bola Indonesia berada di ujung tanduk sanksi FIFA
yang akan diputuskan pada rapat komite FIFA 14 Desember mendatang di Jepang.
Apabila selama tenggat waktu antara
rapat komite FIFA tersebut tidak ada solusi-solusi yang diambil oleh kedua
organisasi sepak bola yang tengah berseteru itu, maka bisa dipastikan FIFA akan
memberi sanksi bagi sepak bola Indonesia baik dengan membekukan status
keanggotaan hingga mengeluarkan Indonesia dari anggota FIFA. Kita tetap
berharap semoga PSSI dan KPSI mau melihat dengan jernih bahwa konsekuensi dari
pertaruhan mereka selama ini akan membawa dampak yang tak terkirakan bagi masa
depan sepak bola Indonesia. Karena apabila sanksi FIFA itu sudah diputuskan
maka sederet konsekuensi langsung maupun tidak langsung akan dihadapi oleh
sepak bola Indonesia.
Keadaan Darurat dan Pentingnya
Keputusan
“Yang berdaulat adalah barangsiapa yang
mengambil keputusan atas keadaan darurat”. Tesis yang mashur dalam filsafat
politik ini berasal dari Carl Schmitt. Dalam pandangan yang kemudian disebut
desisionisme itu, mengandaikan sebuah jalan politis lahir dari keputusan.
Konsep darurat sentral dalam tesis itu.
Bukan undang-undang darurat atau situasi perang yang diacu di sini melainkan
suatu keadaan luar biasa yang menggiring suatu negara atau institusi pada
krisis konstitusi dan tatanan politisnya. Keadaan darurat inilah yang sedang
dialami sepak bola Indonesia, karena semua tatanan yuridis yang semestinya
menjadi landasan konstitusional penyelenggaraan sepak bola ternyata mengalami
disorientasi. Antara PSSI dan KPSI masing-masing merasa memiliki landasan
konstitusional yang legitimate.
Dalam kondisi seperti ini, keputusan-keputusan
yang mengikat dan final tidak akan terwujud karena tarik-menarik kepentingan
dan egoisme. Hal ini terbukti pada nota kesepahaman (MOU) yang telah
ditandatangai oleh kedua organisasi tersebut di Kuala Lumpur, tapi pada
kenyataannya nota kesepahaman tersebut tidak berhasil memutus
ketidaksepahaman di antara mereka. Tatanan politis manajemen sepak bola menjadi
semrawut karena masing-masing dari pihak yang berseteru merasa memiliki hak
untuk menyelenggarakan pertandingan, sehingga terjadi dualisme kompetisi, yakni
LSI dan LPI.
Keadaan itu bukan saja tidak lazim
melainkan ekstrim dan singular. Kita bisa memakai istilah anomali atau abnormal
untuk melukiskan sebuah situasi disorientasi konstitusional dan tatanan politis seperti itu. Akibatnya,
hal-hal yang dalam situasi normal dapat ditegaskan dengan pasti dalam keranka
konstitusional yang jelas dan tegas, namun dalam situasi anomali atau abnormal
itu sulit ditentukan.
Konsep keadaan darurat menurut Schmitt
memang dikenal dalam teori hukum, tetapi keadaan darurat itu sendiri berada di
luar hukum dan tidak bisa diperikan secara yuridis. Jika dalam keadaan normal
mekanisme-mekanisme yang merekatkan tatanan politis dapat
diterima oleh tatanan yuridis yang berlaku, dalam keadaan darurat atau dalam
keadaan kekecualian seperti itu rasionalitas yuridis itu mengalami krisis,
entah statuta FIFA, statuta PSSI, nota kesepahaman, “surat sakti”, atau pun
undang-undang negara yang mengatur olahraga kehilangan “kesaktiannya”.
Demikian
halnya dengan institusi-institusi politis olahraga sepak bola seperti
Kemenpora, PSSI, dan KPSI tidak sinkron satu sama lain karena konstitusi dan
rasionalitas yuridis yang mendasarinya selama ini sebagai paradigma bersama
telah kehilangan plausibilitasnya.
Dalam
kondisi seperti ini, yang normal tidak membuktikan apa-apa, sebaliknya
kekecualian atau kondisi darurat itu membuktikan segalanya. Oleh karena itu,
meski PSSI maupun KPSI melegitimasi diri dengan statuta FIFA, statuta PSSI,
MOU, “surat sakti” atau pun undang-undang, dasar-dasar legitimasi itu pada
faktanya tidak menghasilkan apa pun. Karena keduanya tetap berdiri pada
kekerasan hati masing-masing.
Di sini,
tesis Schmitt tentang peranan keputusan dalam keadaan darurat dapat menjadi
jawaban. Dalam keadaan sepak bola yang tengah genting ini dibutuhkan sebuah
tambatan untuk berpegang. Sebuah pedoman mata angin untuk mengarahkan diri.
Itulah keputusan.
Siapa yang Berani dan Harus Mengambil Keputusan
Keadaan darurat senantiasa membutuhkan
yang berdaulat yang berani mengambil keputusan. Demikian halnya dalam keadaan
darurat sepak bola ini, kondisi itu membutuhkan subyek kedaulatan yang
memutuskan apa yang seharusnya terjadi untuk menghentikan keadaan ini.
Berkaca pada nota kesepahaman (MOU) yang telah PSSI dan KPSI
tandatangai bersama namun tidak dijalankan sebagaimana mestinya, di samping
kisruh antara mereka yang telah berlangsung cukup lama, maka sangat sulit
membayangkan sebuah solusi yang lahir dari kedua belah pihak yang berseteru
itu.
Oleh karena itu, harapan kita yang
terakhir berada pada pemerintah. Pemerintah, entah
Presiden SBY atau Kemenpora harus berani menjadi subyek kedaulatan yang berani
memutuskan kekisruhan ini. Berbicara sepak bola dalam keadaan darurat ini tidak
lagi berbicara tentang PSSI atau KPSI semata tapi berbicara tentang bangsa
secara keseluruhan. Tentang harapan, cita-cita, obsesi, dan kebanggaan semua
anak bangsa untuk melihat timnasnya berprestasi dan mampu berkompetisi di level
tertinggi kompetisi sepak bola. Dan, harapan, cita-cita, obsesi, dan kebanggaan
itu tidak pantas pupus gara-gara kisruh yang berlangsung di antara segelintir
orang yang tidak memahami spirit olahraga, khususnya sepak bola.
Pemerintah tidak bisa “angkat tangan”
melihat kekisruhan yang berkepanjangan ini. Pemerintah
harus hadir mengingat FIFA juga telah memberikan angin segar bagi kewenangan
pemerintah untuk “ikut campur” memecahkan masalah sepak bola ini. Apabila sikap
pemerintah tetap mengambang menyikapi persolan ini, maka kita harus
bersiap-siap menerima sanksi FIFA.
Bukan waktunya untuk mencari distingsi
antara yang benar dan salah, karena distingsi itu juga mengandaikan sebuah
argumentasi yuridis, sementara dalam keadaan darurat argumentasi yuridis
kehilangan “kesaktiannya”. Dalam keadaan darurat sepeti ini yang utama adalah
siapa yang berani memutuskan.
Singkatnya,
para pencinta sepak bola di seluruh Indonesia menginginkan sebuah keputusan
yang tegas dan
menjadi daya ikat otoritatif demi harapan, masa
depan, dan kebanggan rakyat yang terekspresi
dalam sepak bola. Yang berdaulat adalah barang siapa yang berani mengambil
keputusan atas keadaan darurat.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar