Dalam tulisan atau pembacaan ini saya pada mulanya tidak
bermaksud menjadikannya sebagai kritik sastra, pengantar, penilai, atau pun
penjelas dari maksud yang hendak disampaikan oleh novel ini. Lebih tepatnya,
saya tidak memiliki otoritas cukup untuk mengarahkan tulisan ke tujuan-tujuan
itu. Karena itu, tulisan atau pembacaan ini memang lebih sebagai sebuah
ekspresi dari kesan yang saya dapatkan dari proses pembacaan terhadap novel Lauh
Mahfuz ini.
Jadi, dalam kerja membaca teks novel Lauh Mahfuz ini,
saya mengambil pilihan membacanya untuk mendapatkan “kepentingan” (interest)
saya, yang dalam ilmu sastra disebut cara membaca ekstrinsik. Cara
membaca ekstrinsik adalah menafsirkan atau mendekati sastra dan makna melalui
medium-medium yang ada di luar teks sastra. (Mudji Sutrisno, Cultural
Studies, h. 50) Meskipun tidak sepenuhnya tidak “menilik” pada struktur
yang terdapat dalam teks itu sendiri.
Membaca Lauh Mahfuz, memberikan tantangan dan
kesulitan yang cukup berarti bagi saya. Kesulitan itu pertama-pertama datang
dari teks novel ini sendiri. Misalnya,
karakter-karakter dalam Lauh Mahfuz terkesan absurd dan berlalu
lalang tanpa hubungan. Gaya penulisan dan pencitraan seperti itu sah-sah saja
karena sebuah karakter – dalam istilah Hamingway disebut karikatur – menjadi
kuat bukan karena disebut terus-menerus, namun ia tidak kehilangan alur dan
konteks.
Alur cerita yang terkadang muncul seperti tanpa hubungan,
meloncat-loncat menembus ruang dan waktu yang berbeda, seperti tiba-tiba masuk
dalam ruang mimpi, kembali ke masa kecil, atau kisah-kisah yang disuguhkan pun
terkesan berserakan tanpa hubungan tematik yang saling mengikat, menjadi
seperti kisah yang diimbuhkan. Gaya penulisan dan penceritaan tersebut menjadi
tantangan tersendiri bagi pembaca untuk menemukan makna-makna yang terkandung,
terselip dan berserakan di antara tiap-tiap huruf dalam novel ini. Di samping
itu, kebiasaan dengan cara berpikir linear dan logis menimbulkan kesulitan
untuk mengikuti alur cerita yang di bangun novel ini.
Kesulitan sekaligus menjadi tantangan dalam membaca novel
ini selanjutnya datang dari pribadi saya sendiri secara subjektif – dan saya
yakin hal tersebut juga dialami oleh pembaca-pembaca yang lain. Kesulitan itu
pertama-tama datang dari ketidakmudahan untuk melampaui pijakan awal tempat
selama ini saya berdiri. Sangat sulit mencerna tema-tema yang ditawarkan novel
ini terutama terkait dengan agama, religiositas, dan pencarian spiritualitas
yang mana hal itu dapat ditemukan dalam agama-agama. “over netralitas posisi
yang disuguhkan novel ini dalam menilai keragaman religiusitas, seperti tanpa
sedikit pun pemihakan pada keyakinan-keyakinan tertentu sangat susah untuk saya
terima meskipun selama ini, hubungan dengan pemikiran-pemikiran “progresif”
juga intens.
Saya dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan yang sangat
saklek dan konservatif memegang agama. Hal tersebut sah-sah saja seandainya
perasaan teguh beragama itu tidak dibangun secara negasional, yakni menegasikan
keteguhan keberagaamaan orang lain yang beragama berbeda. Karena itu, sudah
sejak kecil, dijejalkan dalam benak saya bahwa hanya agama yang paling benar di
sisi Tuhan adalah Islam, sementara agama-agama yang lain adalah agama-agama
yang kelak akan dicampakkan di akhirat.
Menyebut agama orang lain seperti Kristen, Hindu, Budha,
apalagi Komunis, atau singkatnya agama selain Islam, bagaikan petir di siang
bolong, sehingga Anda harus siap-siap mendapat dampratan atau cibiran oleh
orang-orang sekeliling, atau lebih parahnya, Anda akan dipanggil kafir dan lain
sebagainya. Kondisi itu tentunya tak memberi kesempatan bagi saya untuk
setidaknya berhubungan dan bersosialisasi dengan orang-orang yang beragama
berbeda, apalagi merasakan bentuk laku spiritualitas yang berbeda yang
dipraktikkan oleh orang-orang itu. Intinya, tidak mudah merasakan secara intim
apa yang dirasakan oleh Menik atau Suster Bernardine Wirasti dalam laku
spiritualitas mereka.
Mitos-mitos tentang agama-agama lain disebarkan dalam
bangku-bangku sekolah, pengajian-pengajian umum, juga digemakan di atas
mimbar-mimbar khutbah jum’at. Mitos-mitos itu disebarkan dengan tujuan
menumbuhkan persepsi imajiner atau sterotif tentang agama-agama lain sehingga
menimbulkan permusuhan imajiner yang terus menghantui di alam bawah sadar
anak-anak seperti saya – sehingga meski sudah berada dalam kultur yang lebih
menghormati perbedaan, mencicipi beberapa pemikir-pemikir Barat dan Islam yang
progresif dan mendobrak, terkadang dalam moment tertentu persepsi-persepsi
imajiner itu menyeruak dari alam bawah sadar.
Mitos-mitos itu yang dijejalkan misalkan, cerita tentang
pengkhianatan yang dilakukan oleh kaum Nasrani dan Yahudi di Madinah pada masa
Nabi Muhammad hijrah ke kota itu. Cerita-cerita itu terus dijejalkan sehingga
menimbulkan kesan bahwa tabiat buruk itu diidap oleh semua umat Nasrani
(Kristen) atau kaum Yahudi. Sehingga, dalam benak saya dan barangkali anak-anak
yang hidup dalam kultur seperti itu memendam perasaan untuk ‘berhati-hati’
dengan orang-orang yang beragama Nasrani (Kristen) dan Yahudi, intinya pada
setiap orang yang berbeda agama dengan saya.
Cerita-cerita sejenis menyebabkan saya dan mungkin
anak-anak lain yang tumbuh dalam kultur yang serupa, akan mengalami kondisi
“kesakitan psikologis akut”, yang berupa fobia pada perbedaan dan keragaman
kepercayaan dan keyakinan. Akhirnya, saya, dan mungkin banyak orang lainnya,
menjadi sulit menerima bahwa kekayaan spiritualitas dan keselamatan itu bisa
ditemukan melalui jalan yang berbeda-beda atau melalui agama-agama selain yang
dipercayai.
Membaca Lauh Mahfuz kemudian menarik saya untuk
mendekonstruksi semua paham dan pandangan yang selama ini menjadi keyakinan
saya. Sikap toleransi pada agama-agama lain yang coba saya tumbuhkan dalam hati
ternyata tidak cukup. Karena toleransi saja belum tentu melahirkan sikap
penerimaan pada kedalaman rasa religiusitas yang diyakini oleh orang lain. Hal
ini tidak mudah, karena bisa dibayangkan paham dan pandangan itu telah terjejal
lama dalam alam bawah sadar saya. Karena itu, hal tersebut menjadi tantangan
yang paling berat untuk dilakukan.
Pengalaman membaca Lauh Mahfuz kemudian semakin
menarik saya untuk melihat lalu merefleksi realitas sosial di mana saya tumbuh
itu. Fenomena keberagamaan apa yang sedang dipeluk oleh masyarakat dan apa
faktor yang melahirkan sikap keberagamaan yang cenderung kaku, konservatif,
atau dalam istilah yang mungkin kurang tepat, yakni cenderung fanatis-fundamentalis,
atau laku keberagamaan yang menyimpan lafa kebencian di dasarnya.
Tema-tema tentang tauhid seperti yang digambarkan oleh Lauh
Mahfuz dalam beberapa bab, sudah
dihafal dengan sempurna oleh masyarakat. Perbedaan paham di antara
mazhab-mazhab diketahui dengan sangat baik. Namun, realitas sosial yang
bergulir ternyata sangat bertentangan dengan pengetahuan-pengetahuan agama yang
mereka ketahui; tak boleh ada perbedaan dan jika ada yang berbeda, maka
orang-orang itu adalah sesat, bid’ah dan kafir.
Jawaban dari fenomena sosial seperti itu belum sepenuhnya
saya dapatkan jawabannya. Dan, itu menjadi tantangan selanjutnya yang harus
ditemukan.
Membaca Adalah Tugas Menafsir
Membaca, kata Gadamer, adalah kerja menafsir. Sang
penafsir atau pembaca berusaha menangkap makna dari teks tertulis si pengarang.
Makna atau meaning merupakan arti awal ketika teks itu ditulis oleh
pengarangnya. Dalam istilah Gadamer disebut dengan pre-text. Artinya,
pra-teks adalah hiruk-pikuk wacana pra-tulisan yang harus ditukik pembaca untuk
menangkap makna awal untuk kemudian dijernihkan dalam tatap temu dengan teks.
Yang dimaksud teks adalah tulisan itu sendiri yang
merupakan wujud tertulis sang pengarang dengan makna atau meaning di
dalamnya. Yang paling pokok dari penafsiran adalah menemukan makna teks.
Untuk itu, perlu dibedakan antara makna dengan relevansi
kontekstual yang menjawab pertanyaan mamfaat atau konteks relevansi teks untuk
saat ini atau masa depan. Dalam istilah Gadamer, disebutnya sebagai significance,
semacam signifikansi kontekstual yang hanya akan ditemukan dan dipahami
setelah menemukan makna teks terlebih dahulu.
Maka, kerja menafsirkan secara bertahap adalah menangkap
makna lalu mencari signifikansi sehingga penafsiran berjalan terus dan
kehidupan dengan maknanya dari zaman ke zaman lewat teks tulis diteruskan,
karena makna tiap kali menemukan signifikansinya dalam perubahan zaman.
Untuk itu, penafsir harus cermat membedakan tiga tempat
beradanya makna, yaitu: pertama, makna yang dibubuhkan pengarang melalui
huruf-huruf atau dihurufkan oleh pengarang dari peristiwa kehidupan atau
pengalaman hidupnya yang diwujudi dalam aksara.
Yang kedua, ia harus membandingkan dengan
teks-teks di sekitar tema yang serupa yang biasanya disebut penafsiran antar
teks. Sedang yang ketiga, kesediaan penafsir dengan kesadaran sikapnya
untuk mau rendah hati terbuka dan membuka cakrawala mata bacanya pada cakrawala
makna teks sehingga saling dibuahi menemukan “makna baru” dalam peleburan
cakrawala (fusion of horizons). (Mudji Sutrisno, Cultural Studies, h.
49)
Membaca sebuah novel – karya yang menurut Orwell paling
anarkis dari segala bentuk sastra – merupakan penyerahan diri sepenuhnya kepada
teks. Sang penulis novel berkuasa secara penuh untuk mengarahkan pembaca, termasuk
para kritikus, untuk masuk ke dalam kehidupan imajiner yang baru. Karena
sifatnya yang berkuasa penuh itulah menilai dan mengkritik sebuah karya sastra
menjadi aksi naif dan mengada-ada. Sebuah karya sastra hanya mungkin ‘dilawan’
dengan karya sastra yang lain.
Pengarang telah bertindak selaku komentator dan kritikus
buat dirinya sendiri. Karena teks yang ditulisnya merupakan
jejak dari proses recoding, yakni membangun, memasang, dan mengarahkan
kode-kode tertentu, sekaligus menyingkirkan kode-kode yang lain, dengan
kebebasan penuh dan semena-mena. Selama recoding, selama pengarang
membaca-menulis atau menulis-membaca menyusun karyanya, sang pengarang adalah
raja dalam arti sesungguhnya, sampai tiba waktunya...
Namun, di saat yang sama, karena setiap teks merupakan
kode yang dibuat oleh sang pengarang yang nantinya akan berhadapan dengan
pembaca selain dirinya, maka dengan demikian, teks itu sekaligus menjadi ‘teks
yang menantang’. Dan, pembaca memiliki perlawanan untuk membalas tantangan itu
dengan melakukan decoding. Dalam konteks ini, decoding tidak
hanya dalam pengertian sekedar menerima pesan dan lantas menafsirkan, tapi
pembaca juga dengan bebas memiliki bahkan hak untuk menghancurkan teks itu
tentu menurut kemauan dan kemampuan pembaca sendiri.
Hal itu terkait dengan “matinya sang pengarang”, beberapa
saat setelah ia membubuhi tandatangan penerbitan teks itu sebagai bacaan
publik. Jadi, nasib novel yang berkuasa penuh itu berhadapan vis a vis dengan
kekuasaan penuh pembaca juga.
Itulah yang saya lakukan melalui tulisan ini. Menunjukkan
‘kekuasaan’ saya sebagai pembaca. Ketika membaca
sebuah novel, saya sadar bahwa saya akan menciptakan dunia sendiri di luar
pengarang novel itu. Novel itu akan menuntun dan mengarahkan pada sebuah tempat
yang entah di mana
akan berujung. Barangkali berbeda dari apa yang Derrida
katakan bahwa “tidak
ada apa-apa di luar teks”; namun saya banyak menemukan hal di luar teks
itu. Susastra itu menjadi mungkin bukan karena adanya ilmu sastra dan para
pengarang besar. Ia menjadi mungkin karena justru memberi peluang bagi setiap
orang untuk menghadirkan ‘sesuatu yang di luar itu’ menjadi teks. Apapun
bentuknya.
Di
sinilah aspek ‘membaca’ menjadi penting. Saya sepertinya sedang membaca karya Nugroho Suksmanto.
Tapi sesungguhnya saya sedang berusaha membaca diri sendiri melalui Lauh Mahfuz.
Saya tengah menerjemahkan dan menafsirkan fenomena kekerasan massal yang dialami keluarga Menuk dan Menik
serta keluarga lain yang dituduh sebagai komunis.
Saya juga tengah menerjemahkan dan menafsirkan rekayasa
para tokoh yang menjadi korban dalam pristiwa itu, memasuki kehidupan
karikatural sosok-sosok yang dimainkan dengan bebas oleh penulis novel. Serta
berusaha menghayati dan memerankan setiap peran yang dimainkan oleh
tokoh-tokohnya. Sebagai Panji, Menuk, Menik atau Maria Secunda, Bagus, Ralph,
Mario, dan tokoh-tokoh lainnya.
Kesimpulan yang tertangkap pun secara bebas musti diakui.
Karena itu, menurut saya “membaca adalah melampaui”. Membaca adalah berjalan
dan menempuh jarak lebih jauh dari teks. Dan secara simultan, saya tengah
menulis cerita Lauh Mahfuz termasuk memahami pengarangnya dalam diri
saya. Saya menulis ulang bacaan saya lewat morfem, semantik, sintaksis, dan
konteks untuk mengidentifikasi makna yang dikenal maupun tidak dikenal. Saya
membuat simbol-simbol baru dan sistem penulisan menurut saya sendiri.
Saya mencoba melakukan ekspansi yang lebih jauh dari sang
pengarang. Imajinasi saya tentang perjalan mistis-spiritual Panji dan Menuk,
Pencarian spiritual dan pembelaan kemanusiaan Menik atau Maria Secunda dan
Mario, tentang percintaan, dan lain-lain menjadi bagian dari diri saya sendiri.
Begitu juga yang dialami oleh setiap pembaca.
Membaca novel memang tak jarang membawa kita pada diri
kita yang lain, entah itu di masa lalu atau pun di masa depan. Seperti saat
membaca novel Laskar Pelangi atau Sang Pemimpi karya Andrea
Hirata, membawa saya kembali ke kebahagiaan masa kecil, kenakal, dan cita-cita
yang masih menggantung. Demikian halnya dengan novel Lauh Mahfuz, juga
menggiring saya kembali pada kenangan masa kecil, karena meski berbeda, pasti
ada titik kesemaan kondisi masa kecil yang kita alami.
Oleh karena itu, sekali lagi, tulisan ini bisa jadi,
bukan tentang Nugroho Sukmanto atau tentang Lauh Mahfuz, melainkan
tentang diri saya sendiri. Awal tulisan ini yang berisi tentang kesan saya
dalam proses pembacaan novel ini barangkali menjadi peneguhan bahwa tulisan ini
memang lebih terkait tentang diri saya sendiri.
Apa yang saya lakukan ini adalah menegaskan bahwa membaca
adalah menafsir, dan menafsir adalah kesediaan untuk masuk ke dalam keberadaan
teks di mana penafsir bertemu dialogis teks dalam dialog antar being yaitu
dalam kehidupan itu sendiri. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penting
untuk saling berdialog kehidupan di antara keduanya.
Dalam dialog, makna bertemu makna, lalu ditangkap
relevansinya, yaitu signifikansi makna yang menugasi penafsir untuk melanjutkan
tugasnya memuliakan kehidupan dengan menyajikan kebenaran makna dan kebenaran
signifikansi bagi orang lain.
Menafsirkan teks tertulis sudah jelas harus secara sadar
menapaki pengakuan teks sebagai bentukan (konstruksi) bahasa aksara yang
merangkumkan pengalaman dan pristiwa hidup di alam dan dengan sesama dalam
pristiwa saling memaknai dan memberi arti pada realitas, sehingga kehidupan
bisa dijalin terus dan tidak terjadi krisis acuan makna dalam istilah Gadamer
disebut dengan pembauran cakrawa (fusion of horizons). (Mudji Sutrisno, Cultural
Studies, h. 29-30)
Sementara Paul Recoure menyebutnya mimemis praxeos yang
menandai pertemuan antara dunia yang disarankan oleh
sebuah teks dan dunia konkret pembaca atau pendengar. Mimesis praxeos,
merupakan transfigurasi tindakan manusia yang terjadi berkat pengaruh cerita
yang dibaca atau didengar dan dihayati.
Dalam
mimesis proxeos, ketika pembaca menerima dan menghayati sebuah cerita,
maka ia membaurkan dunia yang disuguhkan oleh kisah dalam teks sastra dengan
dunia hidupnya yang konkret, sehingga dengan demikian terjadilah pembauran
horison. Mimemis atau peniruan dalam keadaan terbaiknya akan menjadi
transformasi kreatif karena pembaca tidak mungkin mengambil alih dunia teks seluruhnya
dan meninggalkan dunianya yang aktual. Demikan pula, pembaca tidak mungkin
membiarkan dunianya seperti semula, karena hal itu berarti menolak sama sekali
dunia yang ditawarkan teks, dan karena itu tak akan terjadi pembauran horizon.
Dengan
cara tertentu, dengan tingkatan berbeda-beda, dunia pembaca mengalami
transformasi. Namun, karena manusia secara ontologis terletak di dunia, maka
transformasi dunia yang terberi serentak merupakan transformasi “pembaca”
sebagai mahluk hidup yang mengada secara sadar dalam dunia.
Karena
itu, Milan Kundera menyebutkan tujuan sastra (novel) adalah untuk melindungi
kehidupan konkret manusia dan menjaga dari “pelupaan terhadap mengada” atau
merangkul kehidupan dunia. Begitulah dalam membaca sastra pembaca mereguk pengalaman
berharga terutama untuk hidupnya sendiri.
Sastra dan Religiusitas
Barangkali manusia ada, seperti yang diyakini
dalam agama-agama Semit, ketika Adam diciptakan kemudian dilempar ke dunia.
Bisa jadi pula, ia bermula dari seekor kera yang kemudian berkembang menjadi
berbagai hominid hingga homo sapiens alias manusia, sebagai
evolusi terakhirnya. Semua itu masih menjadi kontroversi hingga berabad-abad
setelah penjelasan awalnya.
Tapi satu hal yang tak lagi ditolak adalah
proposisi bahwa manusia ditemukan oleh kata, oleh bahasa, atau semesta ini ada
dalam arti bermakna ketika ada kata-kata yang memberinya sebutan, memberinya
nama dan makna. Dalam agama-agama kenyataan tersebut diafirmasi pada
ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci. Dalam al-Qur’an menyebutkan
hal pertama yang diajarkan Tuhan adalah kata atau nama (Q.S 2: 31) dan kalam (Q.S 96: 4).
Senada dengan itu, terdapat ungkapan dalam
Bibel yang menyebutkan “Pada mulanya adalah Kata, dan Kata adalah Tuhan”. Dan
juga dikatakan bahwa “Kata adalah Cahaya, dan ketika Cahaya itu fajar, seluruh
penciptaan terwujud.” Frase
pertama mengandung arti bahwa apa pun yang ada, sejauh yang dapat diekspresikan
hanya dapat diekspresikan dengan kata. Sedangkan frase kedua menjelaskan aspek
lain dari misteri ini, bahwa untuk memungkinkan jiwa keluar dari kegelapan
ilusi menuju cahya, yang pertama-tama diperlukan adalah kata. Hal ini
menunjukkan bahwa Spirit awal terselubung dalam misteri kata dan bahwa dalam
misteri katalah misteri spirit harus ditemukan.
Seperti diungkapkan dengan sangat indah dalam
doa Saraswati, Dewi Inspirasi Hindu; “O nourishing river, Mother of all that
is written, inspire fluent, truthful words. May I discover the sacred river of
wisdom within”. (Yudi Latif, 2009)
Maka dalam sejarah
ketuhanan-keagamaan, Tuhan yang disembah selalu merupakan “Tuhan-Kata”. Selanjutnya
dalam tradisi agama-agama dipercaya cahaya-Nya serba hadir di semesta dan jiwa,
pada yang manifes dan terselubung (QS. 24: 35). Oleh karenanya selalu ada pertautan antara kebatinan mikrokosmos
dengan kebatinan makrokosmos. Dalam bahasa Abraham Maslow, tidak ada oposisi,
kesenjangan dan perbedaan antara ego dan kosmos. Bahwa bahasa jiwa merupakan
vibrasi dari bahasa semesta. Dan suatu upaya aktualisasi diri dalam puncaknya
yang tertinggi dan terdalam adalah usaha meleburkan diri dengan kosmos bagi penemuan
kebenaran, keindahan dan kebaikan tertinggi.
Kehendak menyatu dengan kosmos ini membuat
manusia pada dasarnya religius. Oleh karena itu kehidupan spiritual menurut
Maslow, merupakan unsur kemanusiaan yang paling hakiki. Kehidupan spiritual
merupakan komponen dasar dari kehidupan biologis kita.
Bahwa ada pertautan yang mengandaikan antara
bahasa semesta dan jiwa mendapat perhatian lebih serius dari Carl Gustav Jung.
Pada suatu kesempatan ia mengajukan pertanyaan retoris: “Mengapa manusia
primitif perlu berpanjang kata untuk melukiskan dan menginterpretasi
pristiwa-pristiwa dalam alam kehidupan, seperti timbul-tenggelamnya matahari,
bulan dan musim? Ia percaya bahwa pristiwa-pristiwa alam itu diungkapkan ke
dalam kisah dan mitos bukan hanya cara untuk menjelaskan secara fisik. Akan
tetapi dunia luar (alam semesta) itu digunakan untuk memberi pengertian
terhadap dunia dalam (alam batin).
Jung menyatakan bahwa kekayaan simbol-simbol
dari manusia primitif itu – seni, agama, mitologi – untuk ribuan tahun lamanya
membantu manusia memahami misteri kehidupan. Dalam Psychology and Religion, Jung
menegaskan bahwa agama bukan hanya merupakan fenomena historis-sosiologis,
tetapi juga memiliki signifikansi psikologis. Seperti halnya Rudolf Otto, ia
mendefinisikan agama sebagai pengalaman supernatural (numinus) yang
mencengangkan dan mengontrol subjek manusia. Pengalaman keagamaan merupakan
penyerahan diri terhadap sebab dan kuasa abadi yang bersifat superior terhadap
manusia. Dengan demikian, manusia bukanlah kreator melainkan “korban” dari
pengalaman ini.
Dalam konteks ini, Jung berpandangan bahwa
agama sebaiknya dipahami dengan menghubungkannya dengan apa yang disebutnya
dengan collective unconsciusness (ketidaksadaran kolektif), realitas
psikis yang dialami bersama oleh semua manusia. Collective unconsciusnees ini
diekspresikan melalaui archetypes, yakni bentuk-bentuk pemikiran
universal, atau imaji mental yang mempengaruhi perasaan dan tindakan orang. Dalam
ungkapan Jung sendiri dikatakan:
Collective unconsciusnees mengandung seluruh warisan spiritual dari
evolusi manusia, yang dilahirkan secara baru dalam sturuktur otak setiap
individu. Kesadaran pikiran (conscious mind) adalah fenomena sesaat yang
mengerjakan seluruh proses adaptasi dan orientasi sementara. Adapun
ketidaksadaran (unconscious) adalah sumber dari daya-daya naluriah (instinctual)
dari jiwa dan dari bentuk atau kategori yang mengaturnya, bernama archetypes.
Seluruh ide yang paling berpengaruh dalam sejarah bisa dikembalikan pada archetypes.
Hal ini terutama menyangkut ide keagamaan, tetapi juga tak terkecuali
menyangkut konsep sentral sains, filsafat, dan etik. Hal ini tiada lain, karena
fungsi dari kesadaran bukan hanya untuk mengakui dan mengasimilasikan dunia
luar melalui pintu indra, tetapi juga untuk menerjemahkan ke dalam realitas
ekternal dunia dalam kita. (Jung 1971: 45-6).
Dengan kata lain, Jung melihat bahwa jiwa
ketaksadaran (unconscious psyche) mengekspresikan dirinya dalam pola-pola
archetypes yang mewujud dalam berbagai fenomena seperti mimpi, mitos,
visi ekstatik, simbol keagamaan, keyakinan budaya, dan ritus orang-orang
pra-aksara, yang secara esensial dipandangnya sebagai keberlangsungan dari
budaya purba. Dalam pandangannya, “dunia dalam” dari mitos dan archetypes
ini tidaklah bersifat inferior terhadap pikiran sadar dan rasional. Karena ego
sesungguhnya merupakan perpaduan dari “dunia dalam” (jiwa) dan “luar”, antara
unsur-unsur subyektif dan obyektif. Dan menjadi individu (individuation)
tak lain adalah kemampuan seseorang untuk mengintegrasikan hal-hal yang
berlawanan dalam dirinya: antara impuls ketaksadaran dan kesadaran.
Dalam elaborasinya tentang unconscious mind yang
terkandung dalam berbagai archetypes, Jung tiba pada bentuk simbol dan
mitos yang memadukan kisah dan spiritualitas. Di antara yang paling penting
dari bentuk-bentuk archetypes dalam sastra-lisan yang berdimensi
spiritualitas ini adalah “orang tua bijaksana, ibu bumi (earth mother),
anima dan animus (aspek feminin dan maskulin dari laki-laki dan perempuan),
salib, mandala, quaternity (elemen keberempatan), pahlawan, anak Tuhan,
kedirian (self), tuhan, dan pesona.
Sejalan dengan pemikiran Jung, Mircea Eliade
menegaskan bahwa seluruh studi tentang agama,
pada dasarnya merupakan studi tentang simbolisme. Untuk memahami mitos,
Shamanisme, atau ritus inisiasi adalah usaha menguraikan “struktur simbolik” keagamaan, yang
mewujud dalam pola-pola archetypes. Lebih lanjut Eliade menyatakan bahwa
seluruh ritus dan simbol keagamaan terkait erat dengan mitos-mitos kosmogenik
tentang penciptaan dan tentang penstrukturan kosmos kehidupan dari realitas
primordial atau kekacauan. (Yudi Latif, 2009)
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat
pra-aksara, sastra, dan spiritualitas adalah bagian yang tak bisa dipisahkan
sebagai unsur esensial dari realitas eksistensial. Tamsil dan mitologi
keagamaan dan menakjubkan mampu mengekspresikan keabadian archetypes secara
sempurna, yang memberi kekayaan spiritualitas pada kehidupan.
Ketika tradisi lisan beralih ke tradisi
tulisan, para mistikus dan penulis kreatif terus berusaha mempertautkan bahasa
jiwa sebagai vibrasi dari semesta alam ini. Mereka mencoba menangkapnya dengan
menerjemahkan dari bidang pengalaman dan ujaran ke bahasa tulis. Sejak itu,
para pencari dan penganut keyakinan berusaha menulis dan mencari literatur
spiritualitas untuk menemukan makna dan wawasan (insight). Penulisan
kreatif dan literatur berperan penting dalam semua tradisi agama sebagai
ekspresi ketuhanan. Setiap tradisi kepercayaan memiliki kumpulan karya sastra,
di luar teks suci, tempat para pencari menemukan inspirasi – pintu masuk ke
arah pengembaraan spiritual menuju dunia keabadian.
Terutama dalam agama-agama ahlul kitab, karena
ajaran agama berdasarkan pada firman Tuhan yang diwahyukan sebagai kitab suci,
maka sastra menempati posisi yang utama dan istimewa sebagai wahana pengalaman
keagamaan. Sejauh dikaitkan dengan tradisi Islam, Seyeed Hossein Nasr mengatakan,
“Pengaruh Al-Qur’an terhadap jiwa kaum muslim begitu besarnya sehingga
lingkungan budaya Islam memperlakukan
kata dan sastra sebagai bentuk utama ekspresi seni di mana pun Islam berada dan
di mana pun pengaruh al-Qur’an terasa” (Yudi Latif, 2009)
Sebelum mengalami gejala skularisasi yang
dalam, semua agama tidak mengenal pemisahan antara seni dan pemikiran,
intelektualitas dan sensualitas, logika dan intuisi-puitik, realitas kosmik dan
bahasa manusia. Menurut doktrin tradisional agama-agama, realitas batin alam
semesta mengungkapkan dirinya melalui mata batin atau penglihatan
intelektualitas – sebagai alat persepsi. Keselarasan yang berlangsung di alam
fisis terpantul dalam keselarasan dunia bahasa, yang merupakan refleski dari
jiwa manusia maupun kosmos. Dalam bahasa, kata menjadi substansi yang
menggantikan hakikat materi dunia eksternal, dan menyiratkan keselarasan
kosmik.
Mengutip tradisi Hindu, “Alam semesta dipandang
oleh kaum intelektual sebagai ‘mata hati’, yang merupakan hasil perkawinan
antara keselarasan (sᾱman) dan kata-kata”. Jika dalam makrokosmos keselarasan alam semesta
terwujud pada taraf realitas yang lebih tinggi, begitu pun dalam bahasa. Selalu
terdapat keselarasan dalam kata-kata dengan substansi bahasa, hingga
terwujudlah syair. “Melalu syairlah menggema kembali keselarasan fundamental
yang memungkinkan manusia untuk kembali pada keberadaan dan kesadaran yang
lebih tinggi”.
Keselarasan antara yang zahir dan yang batin,
logika dan puisi, serta antara dimensi maskulin dan feminin ini, ditemukan
dalam tradisi Timur Jauh, yang diungkapkan dalam keselarasan Yin dan Yang: juga
dalam Islam dengan tradisi tasawufnya yang menjaga antara keselarasan
penampakan (shurah) dan batin (ma’na). (Yudi Latif, 2009)
Memasuki perkembangan budaya kontemporer, tema sastra
bercorak religius tidak pernah mati. Mungkin sebagai jawaban atas kekeringan
kehidupan batin manusia modern atau sebagai pelarian dari kekerasan kehidupan
yang masih diliputi oleh konflik antar negara, sosial, agama, etnis, individu, batin,
dan degradasi lingkungan hidup yang membuat dunia sastra mau tak mau mengambil
bagian dalam dunia yang semakin sakit ini. Mau tak mau, dalam anomitas dunia
seperti ini, mengambil ungkapan Romo Mangunwijaya bahwa “Setiap karya sastra
yang berkualitas selalu berjiwa religius”. (Y.B. Mangunwijaya, 1988)
Lontara-lontaran pertanyaan eksistensial manusia,
perenungan filsafat, pengelana kearifan, pendamba keabadian, dan pecinta
keraguan, ketika sastra tumbuh di tengah pergulatan budaya yang saling membunuh
dan budaya yang saling mengelabui, pada dasarnya telah mendesak bahwa setiap
karya sastra yang berkualitas memang harus selalu berjiwa religius.
Seperti mereka yang pernah mendalami karya-karya penulis
tanah air, seperti Bukan Pasar Malam, Telegram, Godlob, Khutbah di Atas
Bukit, Dilarang Mencintai Bung-Bunga, hingga Atheis, untuk menyebut
beberapa saja, jelas kaya akan dimensi religiusitas dan pergulatan batin di
dalamnya.
Sastra ternyata menjadi indikator yang baik, sampai di
mana suatu masyarakat sudah bermutasi dari yang oleh Muhammad Iqbal disebut faith
- yakni ketaatan tanpa syarat, tanpa
berpikir kritis, kepada segala yang diperintahkan – ke tingkat thought,
rasional understanding of discipline and ultimate source of its authority. Dalam
tahap thought, menurut Iqbal, religiouse like seeks its foundation in
a kind of metaphysics. Dan apa itu metaphysics menurut Iqbal adalah logically
consistent view of the world with God as a part of view. (Y.B.
Mangunwijaya, 1988)
Namun, di atas fase penghayatan religius dalam arti
pemahaman (thought), menurut Iqbal masih ada penghayatan yang lebih
tinggi yakni yang sering disebut mistik. Mistik di sini bukanlah sebentuk
mistisisme atau takhayyul, yang pada dasarnya menunjuk pada pengingkaran atau
pelarian dari kehidupan nyata, melainkan pada pendewasan yang lebih menuju ke
dalam, atau menurut Iqbal “Pencarian kepribadian yang merdeka, bukan karena
pelepasan diri dari Hukum (agama), melainkan berkat penemuan sumber-sumber
terakhir dari hukum di kedalaman hati.” (Y.B. Maungunwijaya 1988). Dalam ajaran
Paulus, sang guru dari Tarsus, “Tujuan hukum (agama) adalah cinta kasih yang
bersemayam dalam hati nurani...” (1 Tim 1:5)
Karena itu, “Pada awal mula, segala sastra adalah
religius” demikian kata Y. B. Mangunwijaya. Religiusitas itu tidak selalu harus
berkaitan dengan agama. Jika agama lebih menunjuk pada kelembagaan kebaktian
kepada Tuhan dalam arti formal-yuridis, serta keseluruhan organisasi tafsir
kitab suci dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan.
Religiusitas lebih berarti pada aspek “di ke dalaman hati”; riak getaran hati
nurani pribadi; sikap personal yang menjadi misteri bagi orang lain dalam kadar
tertentu, karena menapaskan intimitas jiwa, yang dalam istilah Pascal disebut duceur
yakni cita rasa yang mencakup totalitas termasuk rasio dan rasa manusiawi ke
dalam si pribadi manusia. (Y.B. Mangunwijaya, 1988).
Karena itu, pada dasarnya religiusitas lebih dalam dari
agama yang tampak, formal, dan resmi. Religusitas lebih bergerak dalam tata
paguyuban yang cirinya intim. Seperti lagu yang berkualitas religius bisa saja
dinyanyikan oleh umat beragama tanpa memandang agama tertentu. Seperti lagu
“Tuhan” ciptaan Bimboo, dengan penuh penghayatan dapat dinyanyikan, baik oleh
orang-orang Muslim maupun Kristen.
Demikian halnya dengan novel Lauh Mahfuz ini.
Meski penggunaan judul yang diambil memiliki kekhasan pada Islam, namun ia
membuka diri bagi pembaca-pembaca yang berpijak pada agama-agama di luar Islam.
“Posisi ideologis” yang diangkat dalam alur cerita, dialog-dialog tokoh, tidak
berada pada posisi peneguhan pada identitas-identitas ideologis tertentu.
Setiap pembaca berhak mengedepankan sisi keyakinan subyektifnya tanpa harus
menegasikan keyakinan-keyakinan subjektif orang lain.
Dalam istilah Romomangun disebut sebagai, “religiusitas
yang dewasa”. Yakni sebuah karya sastra yang mampu menyuguhkan kandungan kadar
religiusitasnya. Bukan religiusitas dalam arti formal keagamaan, tetapi dalam
daya kemampuannya membuat orang bertanya pada dan tentang dirinya dengan
intimitas yang dalam.
Namun, religiusitas atau spiritualitas yang
digambarkan novel ini terkesan tidak biasa. Perjalanan mitis-spiritual
tokoh-tokoh dalam novel ini juga terkesan absurd. Terutama perjalanan mitis
spiritual yang dijalani tokoh utamanya Panji Wisesa tak serumit
perjalanan-perjalanan mitis yang diajarkan dalam laku-laku sufistik dan laku
dunia mistik. Jika, laku-laku spiritual yang berat, seperti membersihkan hati
dan pikiran dengan melakukan puasa, berpantangan seks, bertapa, berwirid dan
lain sebagainya, dalam novel ini hampir tak ditemukan laku-laku spiritualitas
khusus yang pernah diupayakan sebelumnya. Perjumpaan Panji dengan Syekh Abu Salaf al-Rasyidin di alam barzakh dalam mimpinya seperti terjadi begitu saja.
Perjalanan mitis-spiritual yang dijalani panji
tidak pula digambarkan sebagai perjalanan untuk mereguk nikmatnya penyatuan
dengan Tuhan, tapi sebatas perjalanan untuk mengubah nasib manusia, yang tersurat dalam jantung Lauh Mahfuz yang
berada di sebuah bangunan kubus, yakni Ka’bah.
Novel ini, barangkali hendak menolak ide yang membatasi pengalaman
spiritual hanya dipraktikkan oleh orang-orang saleh tertentu. Tapi pengalaman
mereguk kenikmatan perjalanan spiritual itu bisa di dapat dalam hal-hal yang biasa, pada orang-orang biasa,
tidak harus di tempat-tempat suci, tidak harus dalam pertapaan rumit, tapi pada
halaman belakang di bawah pohon bambu, atau di dalam mimpi sekali pun.
Umat Islam meyakini bahwa
tidur merupakan saudara kematian. Al-Qur’an menyatakan bahwa “Allah
memegang jiwa orang ketika matinya, dan memegang jiwa orang yang belu mati di
waktu tidurnya....” (Q.S al-Zumar: 42), dan otoritas-otoritas seperti
penafsir al-Qur’an al-Zamakhsyari juga berpendapat bahwa tidur dan mati
merupakan realitas yang sama. Ilmu mengenai tafsir mimpi disebutkan dalam
al-Qur’an misalnya surah Yusuf ayat 44 dan 100. Banyak literatur yang
mengembangkan subjek itu menunjukkan bahwa ilmu tersebut sangat populer di
sepanjang sejarah Islam. Karena hubungan erat antara tidur dan mati ditegaskan
sejak awal, tidak mengherankan bahwa data eskatologis “ditafsirkan” dengan cara
mengikuti prinsip-prinsip yang sama dengan yang digunakan untuk mimpi.
Dalam dunia mimpi, daya
imajinal menampilkan gagasan-gagasan dalam bentuk yang memiliki
keterkaitan atau “kesetaraan” dengan
makna atau isi yang dikandungnya. Tugas penafsir adalah memahami makna asal di
balik bentuk. Tugasnya dipermudah, tentu saja jika pemimpi itu “benar” dan
karena bukan hanya datang dari subyek yang bermimpi, melainkan juga dari alam
imajinasi objektif yang berasal dari luar dirinya.
Karena itu, Al-Ghazali
menyatakan bahwa karena tidur adalah saudara kembar kematian, melaluinya “kita
memperoleh kecerdasan untuk memahami beberapa keadaan yang tidak dapat kita
pahami saat terjaga. Dia menjelaskan bahwa amal manusia itu mempunyai ruh dan
“hakikat” yang tidak dapat dipahami di dunia ini, tetapi akan muncul setelah
kematian, sebab di akhirat bentuk-bentuk itu tunduk pada ruh dan hakikat
sehingga segala sesuatu yang terlihat di sana akan terlihat dalam bentuk yang
bersesuaian dengan realitasnya. Demikian pula dengan bentuk-bentuk yang kita
lihat dalam mimpi berhubungan sangat erat dengan makna-maknanya. (Abdul
Hakim&Yudi Latif, 2007)
Antara Religiusitas dan Bayang-Bayang Fanatisme
Dalam novel Lauh Mahfuz ini, pembaca akan
menjumpai ungkapan perlambangan religiusitas tanpa harus selalu merujuk pada
agama tertentu. Hal itu misalkan dalam bait berikut halaman 11; "kehidupan pasti suatu saat akan berakhir, yang
nanti tanpa melihat asal usulnya, semua akan bersama-sama berlabuh menanti
perhitungan angka rapor kenakalan, sebelum diperkenankan menghadap Sang
Pencipta." Pandangan tersebut dengan gamblang sekali melihatkan pemikiran kaum
religius yang melampaui pengotakan pemahaman institusi-institusi agama.
Bahkan pada tokoh yang digambarkan sebagai Komunis
yang karenanya disematkan citra manusia yang tak bertuhan atau atheis sekalipun,
ternyata tetap menyandang pandangan subyektif atas makna religiusitas menurut
versi dirinya.
Atheisme memenag cenderung dilihat
sebagai pandangan filosofis yang melakukan penolakan terhadap kepercayaan akan
keberadaan Tuhan. Padahal orang atheis juga memiliki pengetahuan religi
yang terkadang melebihi pengetahuan orang beragama sekalipun. Mereka mungkin
ragu atau pun tidak mepercayai Tuhan, namun mereka mengetahui sesuatu tentang
Tuhan. Sebagaimana tercermin dalam dialog antara Romo Warih Permadi dengan Ibu
Rekso (ibu Menuk-Menik), seorang tokoh Gerwani yang waktu itu baru keluar dari
tahanan politik yang dideritanya. Ketika Ibu Rekso ditanya untuk memilih agama
tertentu, ia menjawab, “Kalau yang Romo maksud dengan beragama adalah
memercayai kekuatan tertinggi, Mahabesar dan Mahakuasa, yang menciptakan dan
mengarahkan hidup kita, yang Romo sebut Allah, percayalah itu telah ada dalam
perasaan dan pikiran saya. Namun setelah saya dengan cermat mempelajari agama,
ternyata konsepsi tentang Tuhan dan penghambaan yang belum dapat masuk dalam
pikiran dan perasaan saya. Dengan kerendahan hati saya mohon untuk dapat
menerima yang Romo tawarkan” (h. 473)
Lauh Mahfuz juga
menetakkan kepercayaan agama-agama tanpa harus merasa terbebani untuk
menempatkan keparcayaan agama tertentu lebih tinggi dari agama lain. Di halaman
14, misalkan dia memasukkan “reinkarnasi” yang nota bene merupakan
kepercayaan agama Hindu, ia menyatakan, "Seorang penyayang binatang pasti menganggap
aku jahat, tega memakan binatang piaraan sendiri. Tetapi aku berpikir, toh
akhirnya ikan-ikan itu akan mati, pasti dia akan lebih senang bila kematiannya
tidak sia-sia. Apalagi tetap membuatnya tetap dekat, bahkan menyatu dengan
majikannya. Siapa tau kata orang Hindu, dengan demikian menyempurnakan
perjalanannya bereinkranasi."
Setelah memasukkan paham tentang reinkarnasi, pada
halaman 21, ia malah mengambil pemahaman yang bersumber dari Islam, “Sebagaimana
dinyatakan dalam Alquran, setelah pulas tertidur, roh manusia sementara
terlepas dari tubuh dan akan masuk lagi saat bangun.”
Novel Lauh Mahfuz ini mengajak setiap orang
beragama untuk beragama tanpa rasa takut. Ia menantang setiap kebenaran yang
berada di bawah bayang-bayang fanatisme. Yakni keyakinan yang sepenuhnya yaknin
bahwa perspektifnya atau kelompoknya adalah satu-satunya yang paling benar
sementara perspektif yang lain hanyalah memiliki sedikit kebenaran atau malah
sama sekali salah. Lauh Mahfuz menantang fanatisme yang berprinsip tertum
non datur atau the lau of excluded middle tersebut. (Abdul
Hakim & Yudi Latif, 2007)
Karena dengan beragama tanpa rasa takut seperti
judul tulisan Irsyad Mandji atau “religiusitas yang dewasa” istilah yang
disebutkan Romo Manungwijawa yang akan membuat hidup diliputi kedamaian dan
beragama adalah laku penyerahan diri kepada Tuhan yang dilandasi atas dasar cinta-kasih.
Sebagaimana yang dilakukan sosok Menuk yang akhirnya memeluk Islam, "pengabdian yang dia lakukan dalam menjalankan
agama dan dalam menghamba kepada Allah Azza Wa Jalla, bukan karena ada rasa
takut dalam dirinya. Ketakutan tak lain dan tak bukan merupakan ibadah para
budak. Juga jangan sampai menghamba kepada Allah karena berharap pahala, karena
itu merupakan ibadah orang-orang upahan." (hal 65). Bagi Menuk
juga Syekh Abu Salaf, "Mengabdi dan
menghamba kepada Allah karena dia cinta kepada_nya, paham benar akan eksistensi
atau keberadaan-Nya. Itulah ibadah orang-orang merdeka. Itulah keutamaan ibadah
sebenarnya." (hal 63).
Para filsuf, pemikir dan orang suci Islam seperti Rabi’ah Al-Adawiyyah juga acap
mengatakan tentang ibadah hakiki semacam ini. Tentang jalan dan pandangan
religius semacam ini. Atau dalam bahasa pop, ihwal ibadah "surga dan
neraka" pernah dinyanyikan dengan apik oleh Dhani Ahmad dan mendiang
Chrisye via lagu berjudul "Jika Surga Dan Neraka Tak Pernah Ada".
Yang petilan liriknya, pada bagian reff, berbunyi // Jika surga dan neraka tak pernah ada/ Masihkan kau bersujud
kepada-Nya/ Jika surga dan neraka tak pernah ada/ Masihkah kau menyebut
nama-Nya//.
Dalam agama Kristen, konsep cinta-kasih itulah yang
menjadi inti ajarannya. Perhatikanlah narasai tentang "Pengabdian dan
pengorbanan itulah yang menjadi inti ajaran Kristiani, dan cinta kasih
adalah napas serta semangatnya," (hal. 48). Filosofi cinta-kasih
itulah yang dijelaskan oleh tokoh Suster Wirasti, Biara Gereja Santa Ursula kepada
Menik atau Maria Secunda, bahwa “Menjadi yang lain memenuhi panggilan dalam
hidupmu itu tidaklah mengurangi rasa cintamu kepada Sang Pencipta. Demikian
pula tidak akan mengurangi kecintaan sang pencipta kepadamu. Pengabdian dan
pengorbanan senilai pengorbanan seorang biarawati, atau bahkan melebihi. Dapat
kamu lakukan di tempat kamu menjalani profesi sebagaimana panggilan jiwamu,
dengan mengerahkan segala kemampuan yang kamu miliki yang telah dianugerahi
oleh Sang Pencipta.” (h. 48)
Dalam Islam, hal senada
tersurat dengan jelas dalam Surah Albalad [90]: 6-7 yang menyebutkan; “Dan kami menunjukkan kepadanya dua jalan? Akan
tetapi, ia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah engkau jalan
yang mendaki lagi sukar itu? (Yakni membebaskan seorang budak, atau memberi makan pada musim kelaparan dan
paceklik. Kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang-orang miskin
yang hidup menderita, dan ia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan
untuk bersabar, dan saling berpesan untuk berkasih-sayang”.
Kedua ujaran tersebut menyampaikan dua pesan dan
spirit yang sama. Pertama, selama setiap pribadi, siapa pun itu selama ia
bekerja dalam profesinya masing-masing dengan penuh kesungguhan dan tanpa
mengenal putus asa, derajatnya sama saja dengan pribadi-pribadi yang
menyerahkan hidup di jalan Tuhan. Kedua, Tuhan juga tidak memerintahkan
pengabdian kepada-Nya ditunaikan harus seperti kaum sufi. Tuhan malah menyebut
“jalan yang sukar” dalam firmannya tersebut yang berarti mendapat “penghargaan”
dari Tuhan adalah pada kebajikan-kebajikan manusiawi, yakni menyantuni anak
yatim, orang miskin dan menderita. Bahkan pesan untuk bersabar dan pesan untuk
berkasih-sayang terhadap sesama mendapatkan tekanan yang besar dalam ayat
tersebut.
Dalam Lauh Mahfuz, hal itu ditegaskan dengan,
"Akidah harus diterjemahkan dalam
bentuk tanggung jawab pengabdian secara vertikal, yaitu kepada Tuham, yang
disebut hablum-minallah, dan secara horisontal, kepada sesama umat manusia,
yang disebut sebagai hablum-minannas." (hal 98).
Religiusitas dikisahkah dengan jujur bahwa
religiusitas harus berangkat untuk dua hal yang harus berjalan bersama, yakni
untuk hubungan dengan Tuhan (hablumminallah) dan hubungan dengan sesama manusia
(hablumminanas). Kenyataan bahwa tak jarang klaim demi hubungan dengan Tuhan,
dijadikan alibi untuk merusak hubungan sesama manuisia dalam keintiman dan
harmonis. Tak jarang, kita dengan sombong menyebut diri sebagai hakim-hakim
wakil Tuhan di bumi, atau sebagai pembela-pembela Tuhan, sehingga dengan rasa
bangga, mengebiri kebebasan sesama, membunuh kreatifitas, hingga menebas leher
sesama.
Modus keagamaan yang menekankan dimensi
spiritualitas puitik, yang memberi tempat pengucapan unconscious mind, sungguh
selaras dengan pandangan dunia klasik nusantara. Dalam Islam Observed (1968),
Clifford Geertz melukiskan gaya klasik Islam Indonesia sebagai
illuminasionisme, dengan pandangan dunianya yang bersifat sinkretik, selaras
dengan etosnya yang bersifat adaptif, gradualistik, estetik, dan toleran. Gaya
seperti ini menurutnya bertahan hingga setidaknya awal abad ke-19.
Namun sejak akhir abad itu, intrusi
nasionalisme dan skripturalisme dalam ruang publik Nusantara membawa tantangan
yang serius bagi gaya klasik tersebut. Efek modernisasi dan skripturalisasi
menimbulkan Clash of ideas pada ranah world view yang tak mudah
didamaikan, diikuti oleh goyahnya etos keberagamaan. Meskipun masyarakat masih
menjaga simbol-simbok sucinya, mereka mulai kehilangan pengalaman perjumpaan
langsung dengan Tuhannya. Gelombang modernisasi dan skripturalisasi sama-sama
menimbulkan apa yang disebut Max Weber ‘Disenchantment of the World’,
pudarnya elemen-elemen magis dan spiritual yang membawa retakan dalam moda
keberagamaan.
Modernisasi dan puritanisasi keagamaan
menjadikan kekayaan tamsil dan mitologi keagamaan dipandang sebagai takhayyul,
yang membuat kemarau spiritualitas bagi kehidupan kontemporer. Bersama kemarau
spiritualitas, sastra mengalami komodifikasi yang membawa banalitas dalam karya
sastra. Termasuk dalam sapuan komodifikasi ini adalah tema-tema
sastra-keagamaan. Booming buku-buku sastra-keagamaan lebih banyak memanjakan
gaerah kesalehan formal dan spiritulaitas instan, yang hanya menjanjikan
kepuasaan batin seketika.
Di sela-sela kemarau spiritualitas dan ekspansi
komodifikasi ini, fanatisme keagamaan bangkit menebaskan pedang ke segala arah.
Fanatisme adalah paham yang melakukan penolakan terhadap representasi. Bentuk yang paling
elemental dari penolakan tersebut adalah ikonoklasme dalam arti yang paling
literal dari kata tersebut: kebencian dan perusakan terhadap ikon dan citra.
Dalam seni, fanatisme menolak representasi
dengan melamurkan pandangan terhadap adanya “aesthteic gap” yang memisahkan
realitas seakan sebagai karya seni. Padahal interest seni terletak pada fakta
bahwa tak ada aturan yang tetap dan dapat diterima secara umum yang
menghubungkan antara realitas yang direpresentasikan dengan representasi karya
seni. Dengan menolak prinsip represntasi yang memungkinkan seniman
mengembangkan interpretasi dan rekaan, fanatisme tela membunuh kreatifitas
imajinatif sebagai nyawa ekspresi estetik.
Ketika ekspresi keagamaan kehilangan daya-daya
imaji-puitiknya, spiritualitas menghilang dari kehidupan. Itulah pangkal
alienasi dan nestapa kehidupan kontemporer. (Yudi Latif, 2009)
Daftar
Rujukan
Sutrisno , Ed. Mudji dkk,
Cultural Studies; Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan, Depok: Koekoesan
Latif, Yudi
Menyemai Karakter Bangsa; Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan, Jakarta:PT
Kompas Media Nusantara, 2009
Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas,
(Yogyakarta: Kanisius, 1988 , cet. 1
Hakim, Abd & Yudi
Latif, Bayang-Bayang Fanatisme; Esai-esai untuk mengenang Nurcholis Madjid,
Jakarta, 2007, cet. 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar