Rabu, 17 Juni 2015

Lauh Mahfuz; Sastra dan Manifesto Religiositas

Dalam tulisan atau pembacaan ini saya pada mulanya tidak bermaksud menjadikannya sebagai kritik sastra, pengantar, penilai, atau pun penjelas dari maksud yang hendak disampaikan oleh novel ini. Lebih tepatnya, saya tidak memiliki otoritas cukup untuk mengarahkan tulisan ke tujuan-tujuan itu. Karena itu, tulisan atau pembacaan ini memang lebih sebagai sebuah ekspresi dari kesan yang saya dapatkan dari proses pembacaan terhadap novel Lauh Mahfuz ini.
Jadi, dalam kerja membaca teks novel Lauh Mahfuz ini, saya mengambil pilihan membacanya untuk mendapatkan “kepentingan” (interest) saya, yang dalam ilmu sastra disebut cara membaca ekstrinsik. Cara membaca ekstrinsik adalah menafsirkan atau mendekati sastra dan makna melalui medium-medium yang ada di luar teks sastra. (Mudji Sutrisno, Cultural Studies, h. 50) Meskipun tidak sepenuhnya tidak “menilik” pada struktur yang terdapat dalam teks itu sendiri.
Membaca Lauh Mahfuz, memberikan tantangan dan kesulitan yang cukup berarti bagi saya. Kesulitan itu pertama-pertama datang dari teks novel ini sendiri. Misalnya,  karakter-karakter dalam Lauh Mahfuz terkesan absurd dan berlalu lalang tanpa hubungan. Gaya penulisan dan pencitraan seperti itu sah-sah saja karena sebuah karakter – dalam istilah Hamingway disebut karikatur – menjadi kuat bukan karena disebut terus-menerus, namun ia tidak kehilangan alur dan konteks.
Alur cerita yang terkadang muncul seperti tanpa hubungan, meloncat-loncat menembus ruang dan waktu yang berbeda, seperti tiba-tiba masuk dalam ruang mimpi, kembali ke masa kecil, atau kisah-kisah yang disuguhkan pun terkesan berserakan tanpa hubungan tematik yang saling mengikat, menjadi seperti kisah yang diimbuhkan. Gaya penulisan dan penceritaan tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi pembaca untuk menemukan makna-makna yang terkandung, terselip dan berserakan di antara tiap-tiap huruf dalam novel ini. Di samping itu, kebiasaan dengan cara berpikir linear dan logis menimbulkan kesulitan untuk mengikuti alur cerita yang di bangun novel ini.
Kesulitan sekaligus menjadi tantangan dalam membaca novel ini selanjutnya datang dari pribadi saya sendiri secara subjektif – dan saya yakin hal tersebut juga dialami oleh pembaca-pembaca yang lain. Kesulitan itu pertama-tama datang dari ketidakmudahan untuk melampaui pijakan awal tempat selama ini saya berdiri. Sangat sulit mencerna tema-tema yang ditawarkan novel ini terutama terkait dengan agama, religiositas, dan pencarian spiritualitas yang mana hal itu dapat ditemukan dalam agama-agama. “over netralitas posisi yang disuguhkan novel ini dalam menilai keragaman religiusitas, seperti tanpa sedikit pun pemihakan pada keyakinan-keyakinan tertentu sangat susah untuk saya terima meskipun selama ini, hubungan dengan pemikiran-pemikiran “progresif” juga intens.
Saya dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan yang sangat saklek dan konservatif memegang agama. Hal tersebut sah-sah saja seandainya perasaan teguh beragama itu tidak dibangun secara negasional, yakni menegasikan keteguhan keberagaamaan orang lain yang beragama berbeda. Karena itu, sudah sejak kecil, dijejalkan dalam benak saya bahwa hanya agama yang paling benar di sisi Tuhan adalah Islam, sementara agama-agama yang lain adalah agama-agama yang kelak akan dicampakkan di akhirat.
Menyebut agama orang lain seperti Kristen, Hindu, Budha, apalagi Komunis, atau singkatnya agama selain Islam, bagaikan petir di siang bolong, sehingga Anda harus siap-siap mendapat dampratan atau cibiran oleh orang-orang sekeliling, atau lebih parahnya, Anda akan dipanggil kafir dan lain sebagainya. Kondisi itu tentunya tak memberi kesempatan bagi saya untuk setidaknya berhubungan dan bersosialisasi dengan orang-orang yang beragama berbeda, apalagi merasakan bentuk laku spiritualitas yang berbeda yang dipraktikkan oleh orang-orang itu. Intinya, tidak mudah merasakan secara intim apa yang dirasakan oleh Menik atau Suster Bernardine Wirasti dalam laku spiritualitas mereka.
Mitos-mitos tentang agama-agama lain disebarkan dalam bangku-bangku sekolah, pengajian-pengajian umum, juga digemakan di atas mimbar-mimbar khutbah jum’at. Mitos-mitos itu disebarkan dengan tujuan menumbuhkan persepsi imajiner atau sterotif tentang agama-agama lain sehingga menimbulkan permusuhan imajiner yang terus menghantui di alam bawah sadar anak-anak seperti saya – sehingga meski sudah berada dalam kultur yang lebih menghormati perbedaan, mencicipi beberapa pemikir-pemikir Barat dan Islam yang progresif dan mendobrak, terkadang dalam moment tertentu persepsi-persepsi imajiner itu menyeruak dari alam bawah sadar.
Mitos-mitos itu yang dijejalkan misalkan, cerita tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh kaum Nasrani dan Yahudi di Madinah pada masa Nabi Muhammad hijrah ke kota itu. Cerita-cerita itu terus dijejalkan sehingga menimbulkan kesan bahwa tabiat buruk itu diidap oleh semua umat Nasrani (Kristen) atau kaum Yahudi. Sehingga, dalam benak saya dan barangkali anak-anak yang hidup dalam kultur seperti itu memendam perasaan untuk ‘berhati-hati’ dengan orang-orang yang beragama Nasrani (Kristen) dan Yahudi, intinya pada setiap orang yang berbeda agama dengan saya.
Cerita-cerita sejenis menyebabkan saya dan mungkin anak-anak lain yang tumbuh dalam kultur yang serupa, akan mengalami kondisi “kesakitan psikologis akut”, yang berupa fobia pada perbedaan dan keragaman kepercayaan dan keyakinan. Akhirnya, saya, dan mungkin banyak orang lainnya, menjadi sulit menerima bahwa kekayaan spiritualitas dan keselamatan itu bisa ditemukan melalui jalan yang berbeda-beda atau melalui agama-agama selain yang dipercayai.
Membaca Lauh Mahfuz kemudian menarik saya untuk mendekonstruksi semua paham dan pandangan yang selama ini menjadi keyakinan saya. Sikap toleransi pada agama-agama lain yang coba saya tumbuhkan dalam hati ternyata tidak cukup. Karena toleransi saja belum tentu melahirkan sikap penerimaan pada kedalaman rasa religiusitas yang diyakini oleh orang lain. Hal ini tidak mudah, karena bisa dibayangkan paham dan pandangan itu telah terjejal lama dalam alam bawah sadar saya. Karena itu, hal tersebut menjadi tantangan yang paling berat untuk dilakukan.
Pengalaman membaca Lauh Mahfuz kemudian semakin menarik saya untuk melihat lalu merefleksi realitas sosial di mana saya tumbuh itu. Fenomena keberagamaan apa yang sedang dipeluk oleh masyarakat dan apa faktor yang melahirkan sikap keberagamaan yang cenderung kaku, konservatif, atau dalam istilah yang mungkin kurang tepat, yakni cenderung fanatis-fundamentalis, atau laku keberagamaan yang menyimpan lafa kebencian di dasarnya.
Tema-tema tentang tauhid seperti yang digambarkan oleh Lauh Mahfuz  dalam beberapa bab, sudah dihafal dengan sempurna oleh masyarakat. Perbedaan paham di antara mazhab-mazhab diketahui dengan sangat baik. Namun, realitas sosial yang bergulir ternyata sangat bertentangan dengan pengetahuan-pengetahuan agama yang mereka ketahui; tak boleh ada perbedaan dan jika ada yang berbeda, maka orang-orang itu adalah sesat, bid’ah dan kafir.
Jawaban dari fenomena sosial seperti itu belum sepenuhnya saya dapatkan jawabannya. Dan, itu menjadi tantangan selanjutnya yang harus ditemukan.
Membaca Adalah Tugas Menafsir
Membaca, kata Gadamer, adalah kerja menafsir. Sang penafsir atau pembaca berusaha menangkap makna dari teks tertulis si pengarang. Makna atau meaning merupakan arti awal ketika teks itu ditulis oleh pengarangnya. Dalam istilah Gadamer disebut dengan pre-text. Artinya, pra-teks adalah hiruk-pikuk wacana pra-tulisan yang harus ditukik pembaca untuk menangkap makna awal untuk kemudian dijernihkan dalam tatap temu dengan teks.
Yang dimaksud teks adalah tulisan itu sendiri yang merupakan wujud tertulis sang pengarang dengan makna atau meaning di dalamnya. Yang paling pokok dari penafsiran adalah menemukan makna teks.
Untuk itu, perlu dibedakan antara makna dengan relevansi kontekstual yang menjawab pertanyaan mamfaat atau konteks relevansi teks untuk saat ini atau masa depan. Dalam istilah Gadamer, disebutnya sebagai significance, semacam signifikansi kontekstual yang hanya akan ditemukan dan dipahami setelah menemukan makna teks terlebih dahulu.
Maka, kerja menafsirkan secara bertahap adalah menangkap makna lalu mencari signifikansi sehingga penafsiran berjalan terus dan kehidupan dengan maknanya dari zaman ke zaman lewat teks tulis diteruskan, karena makna tiap kali menemukan signifikansinya dalam perubahan zaman.
Untuk itu, penafsir harus cermat membedakan tiga tempat beradanya makna, yaitu: pertama, makna yang dibubuhkan pengarang melalui huruf-huruf atau dihurufkan oleh pengarang dari peristiwa kehidupan atau pengalaman hidupnya yang diwujudi dalam aksara.
Yang kedua, ia harus membandingkan dengan teks-teks di sekitar tema yang serupa yang biasanya disebut penafsiran antar teks. Sedang yang ketiga, kesediaan penafsir dengan kesadaran sikapnya untuk mau rendah hati terbuka dan membuka cakrawala mata bacanya pada cakrawala makna teks sehingga saling dibuahi menemukan “makna baru” dalam peleburan cakrawala (fusion of horizons). (Mudji Sutrisno, Cultural Studies, h. 49)
Membaca sebuah novel – karya yang menurut Orwell paling anarkis dari segala bentuk sastra – merupakan penyerahan diri sepenuhnya kepada teks. Sang penulis novel berkuasa secara penuh untuk mengarahkan pembaca, termasuk para kritikus, untuk masuk ke dalam kehidupan imajiner yang baru. Karena sifatnya yang berkuasa penuh itulah menilai dan mengkritik sebuah karya sastra menjadi aksi naif dan mengada-ada. Sebuah karya sastra hanya mungkin ‘dilawan’ dengan karya sastra yang lain.
Pengarang telah bertindak selaku komentator dan kritikus buat dirinya sendiri. Karena teks yang ditulisnya merupakan jejak dari proses recoding, yakni membangun, memasang, dan mengarahkan kode-kode tertentu, sekaligus menyingkirkan kode-kode yang lain, dengan kebebasan penuh dan semena-mena. Selama recoding, selama pengarang membaca-menulis atau menulis-membaca menyusun karyanya, sang pengarang adalah raja dalam arti sesungguhnya, sampai tiba waktunya...
Namun, di saat yang sama, karena setiap teks merupakan kode yang dibuat oleh sang pengarang yang nantinya akan berhadapan dengan pembaca selain dirinya, maka dengan demikian, teks itu sekaligus menjadi ‘teks yang menantang’. Dan, pembaca memiliki perlawanan untuk membalas tantangan itu dengan melakukan decoding. Dalam konteks ini, decoding tidak hanya dalam pengertian sekedar menerima pesan dan lantas menafsirkan, tapi pembaca juga dengan bebas memiliki bahkan hak untuk menghancurkan teks itu tentu menurut kemauan dan kemampuan pembaca sendiri.
Hal itu terkait dengan “matinya sang pengarang”, beberapa saat setelah ia membubuhi tandatangan penerbitan teks itu sebagai bacaan publik. Jadi, nasib novel yang berkuasa penuh itu berhadapan vis a vis dengan kekuasaan penuh pembaca juga.
Itulah yang saya lakukan melalui tulisan ini. Menunjukkan ‘kekuasaan’ saya sebagai pembaca. Ketika membaca sebuah novel, saya sadar bahwa saya akan menciptakan dunia sendiri di luar pengarang novel itu. Novel itu akan menuntun dan mengarahkan pada sebuah tempat yang entah di mana akan berujung. Barangkali berbeda dari apa yang Derrida katakan bahwa “tidak ada apa-apa di luar teks”; namun saya banyak menemukan hal di luar teks itu. Susastra itu menjadi mungkin bukan karena adanya ilmu sastra dan para pengarang besar. Ia menjadi mungkin karena justru memberi peluang bagi setiap orang untuk menghadirkan ‘sesuatu yang di luar itu’ menjadi teks. Apapun bentuknya.
Di sinilah aspek ‘membaca’ menjadi penting. Saya sepertinya sedang membaca karya Nugroho Suksmanto. Tapi sesungguhnya saya sedang berusaha membaca diri sendiri melalui Lauh Mahfuz. Saya tengah menerjemahkan dan menafsirkan fenomena kekerasan massal yang dialami keluarga Menuk dan Menik serta keluarga lain yang dituduh sebagai komunis.
Saya juga tengah menerjemahkan dan menafsirkan rekayasa para tokoh yang menjadi korban dalam pristiwa itu, memasuki kehidupan karikatural sosok-sosok yang dimainkan dengan bebas oleh penulis novel. Serta berusaha menghayati dan memerankan setiap peran yang dimainkan oleh tokoh-tokohnya. Sebagai Panji, Menuk, Menik atau Maria Secunda, Bagus, Ralph, Mario, dan tokoh-tokoh lainnya.
Kesimpulan yang tertangkap pun secara bebas musti diakui. Karena itu, menurut saya “membaca adalah melampaui”. Membaca adalah berjalan dan menempuh jarak lebih jauh dari teks. Dan secara simultan, saya tengah menulis cerita Lauh Mahfuz termasuk memahami pengarangnya dalam diri saya. Saya menulis ulang bacaan saya lewat morfem, semantik, sintaksis, dan konteks untuk mengidentifikasi makna yang dikenal maupun tidak dikenal. Saya membuat simbol-simbol baru dan sistem penulisan menurut saya sendiri.
Saya mencoba melakukan ekspansi yang lebih jauh dari sang pengarang. Imajinasi saya tentang perjalan mistis-spiritual Panji dan Menuk, Pencarian spiritual dan pembelaan kemanusiaan Menik atau Maria Secunda dan Mario, tentang percintaan, dan lain-lain menjadi bagian dari diri saya sendiri. Begitu juga yang dialami oleh setiap pembaca.
Membaca novel memang tak jarang membawa kita pada diri kita yang lain, entah itu di masa lalu atau pun di masa depan. Seperti saat membaca novel Laskar Pelangi atau Sang Pemimpi karya Andrea Hirata, membawa saya kembali ke kebahagiaan masa kecil, kenakal, dan cita-cita yang masih menggantung. Demikian halnya dengan novel Lauh Mahfuz, juga menggiring saya kembali pada kenangan masa kecil, karena meski berbeda, pasti ada titik kesemaan kondisi masa kecil yang kita alami.
Oleh karena itu, sekali lagi, tulisan ini bisa jadi, bukan tentang Nugroho Sukmanto atau tentang Lauh Mahfuz, melainkan tentang diri saya sendiri. Awal tulisan ini yang berisi tentang kesan saya dalam proses pembacaan novel ini barangkali menjadi peneguhan bahwa tulisan ini memang lebih terkait tentang diri saya sendiri.
Apa yang saya lakukan ini adalah menegaskan bahwa membaca adalah menafsir, dan menafsir adalah kesediaan untuk masuk ke dalam keberadaan teks di mana penafsir bertemu dialogis teks dalam dialog antar being yaitu dalam kehidupan itu sendiri. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penting untuk saling berdialog kehidupan di antara keduanya.
Dalam dialog, makna bertemu makna, lalu ditangkap relevansinya, yaitu signifikansi makna yang menugasi penafsir untuk melanjutkan tugasnya memuliakan kehidupan dengan menyajikan kebenaran makna dan kebenaran signifikansi bagi orang lain.
Menafsirkan teks tertulis sudah jelas harus secara sadar menapaki pengakuan teks sebagai bentukan (konstruksi) bahasa aksara yang merangkumkan pengalaman dan pristiwa hidup di alam dan dengan sesama dalam pristiwa saling memaknai dan memberi arti pada realitas, sehingga kehidupan bisa dijalin terus dan tidak terjadi krisis acuan makna dalam istilah Gadamer disebut dengan pembauran cakrawa (fusion of horizons). (Mudji Sutrisno, Cultural Studies, h. 29-30)
Sementara Paul Recoure menyebutnya mimemis praxeos yang menandai pertemuan antara dunia yang disarankan oleh sebuah teks dan dunia konkret pembaca atau pendengar. Mimesis praxeos, merupakan transfigurasi tindakan manusia yang terjadi berkat pengaruh cerita yang dibaca atau didengar dan dihayati.
Dalam mimesis proxeos, ketika pembaca menerima dan menghayati sebuah cerita, maka ia membaurkan dunia yang disuguhkan oleh kisah dalam teks sastra dengan dunia hidupnya yang konkret, sehingga dengan demikian terjadilah pembauran horison. Mimemis atau peniruan dalam keadaan terbaiknya akan menjadi transformasi kreatif karena pembaca tidak mungkin mengambil alih dunia teks seluruhnya dan meninggalkan dunianya yang aktual. Demikan pula, pembaca tidak mungkin membiarkan dunianya seperti semula, karena hal itu berarti menolak sama sekali dunia yang ditawarkan teks, dan karena itu tak akan terjadi pembauran horizon.
Dengan cara tertentu, dengan tingkatan berbeda-beda, dunia pembaca mengalami transformasi. Namun, karena manusia secara ontologis terletak di dunia, maka transformasi dunia yang terberi serentak merupakan transformasi “pembaca” sebagai mahluk hidup yang mengada secara sadar dalam dunia.
Karena itu, Milan Kundera menyebutkan tujuan sastra (novel) adalah untuk melindungi kehidupan konkret manusia dan menjaga dari “pelupaan terhadap mengada” atau merangkul kehidupan dunia. Begitulah dalam membaca sastra pembaca mereguk pengalaman berharga terutama untuk hidupnya sendiri.
Sastra dan Religiusitas
Barangkali manusia ada, seperti yang diyakini dalam agama-agama Semit, ketika Adam diciptakan kemudian dilempar ke dunia. Bisa jadi pula, ia bermula dari seekor kera yang kemudian berkembang menjadi berbagai hominid hingga homo sapiens alias manusia, sebagai evolusi terakhirnya. Semua itu masih menjadi kontroversi hingga berabad-abad setelah penjelasan awalnya.
Tapi satu hal yang tak lagi ditolak adalah proposisi bahwa manusia ditemukan oleh kata, oleh bahasa, atau semesta ini ada dalam arti bermakna ketika ada kata-kata yang memberinya sebutan, memberinya nama dan makna. Dalam agama-agama kenyataan tersebut diafirmasi pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci. Dalam al-Qur’an menyebutkan hal pertama yang diajarkan Tuhan adalah kata atau nama (Q.S 2: 31) dan kalam (Q.S 96: 4).
Senada dengan itu, terdapat ungkapan dalam Bibel yang menyebutkan “Pada mulanya adalah Kata, dan Kata adalah Tuhan”. Dan juga dikatakan bahwa “Kata adalah Cahaya, dan ketika Cahaya itu fajar, seluruh penciptaan terwujud. Frase pertama mengandung arti bahwa apa pun yang ada, sejauh yang dapat diekspresikan hanya dapat diekspresikan dengan kata. Sedangkan frase kedua menjelaskan aspek lain dari misteri ini, bahwa untuk memungkinkan jiwa keluar dari kegelapan ilusi menuju cahya, yang pertama-tama diperlukan adalah kata. Hal ini menunjukkan bahwa Spirit awal terselubung dalam misteri kata dan bahwa dalam misteri katalah misteri spirit harus ditemukan.
Seperti diungkapkan dengan sangat indah dalam doa Saraswati, Dewi Inspirasi Hindu; “O nourishing river, Mother of all that is written, inspire fluent, truthful words. May I discover the sacred river of wisdom within. (Yudi Latif, 2009)
Maka dalam sejarah ketuhanan-keagamaan, Tuhan yang disembah selalu merupakan “Tuhan-Kata”. Selanjutnya dalam tradisi agama-agama dipercaya cahaya-Nya serba hadir di semesta dan jiwa, pada yang manifes dan terselubung (QS. 24: 35). Oleh karenanya selalu ada pertautan antara kebatinan mikrokosmos dengan kebatinan makrokosmos. Dalam bahasa Abraham Maslow, tidak ada oposisi, kesenjangan dan perbedaan antara ego dan kosmos. Bahwa bahasa jiwa merupakan vibrasi dari bahasa semesta. Dan suatu upaya aktualisasi diri dalam puncaknya yang tertinggi dan terdalam adalah usaha meleburkan diri dengan kosmos bagi penemuan kebenaran, keindahan dan kebaikan tertinggi.
Kehendak menyatu dengan kosmos ini membuat manusia pada dasarnya religius. Oleh karena itu kehidupan spiritual menurut Maslow, merupakan unsur kemanusiaan yang paling hakiki. Kehidupan spiritual merupakan komponen dasar dari kehidupan biologis kita.
Bahwa ada pertautan yang mengandaikan antara bahasa semesta dan jiwa mendapat perhatian lebih serius dari Carl Gustav Jung. Pada suatu kesempatan ia mengajukan pertanyaan retoris: “Mengapa manusia primitif perlu berpanjang kata untuk melukiskan dan menginterpretasi pristiwa-pristiwa dalam alam kehidupan, seperti timbul-tenggelamnya matahari, bulan dan musim? Ia percaya bahwa pristiwa-pristiwa alam itu diungkapkan ke dalam kisah dan mitos bukan hanya cara untuk menjelaskan secara fisik. Akan tetapi dunia luar (alam semesta) itu digunakan untuk memberi pengertian terhadap dunia dalam (alam batin).
Jung menyatakan bahwa kekayaan simbol-simbol dari manusia primitif itu – seni, agama, mitologi – untuk ribuan tahun lamanya membantu manusia memahami misteri kehidupan. Dalam Psychology and Religion, Jung menegaskan bahwa agama bukan hanya merupakan fenomena historis-sosiologis, tetapi juga memiliki signifikansi psikologis. Seperti halnya Rudolf Otto, ia mendefinisikan agama sebagai pengalaman supernatural (numinus) yang mencengangkan dan mengontrol subjek manusia. Pengalaman keagamaan merupakan penyerahan diri terhadap sebab dan kuasa abadi yang bersifat superior terhadap manusia. Dengan demikian, manusia bukanlah kreator melainkan “korban” dari pengalaman ini.
Dalam konteks ini, Jung berpandangan bahwa agama sebaiknya dipahami dengan menghubungkannya dengan apa yang disebutnya dengan collective unconsciusness (ketidaksadaran kolektif), realitas psikis yang dialami bersama oleh semua manusia. Collective unconsciusnees ini diekspresikan melalaui archetypes, yakni bentuk-bentuk pemikiran universal, atau imaji mental yang mempengaruhi perasaan dan tindakan orang. Dalam ungkapan Jung sendiri dikatakan:
Collective unconsciusnees mengandung seluruh warisan spiritual dari evolusi manusia, yang dilahirkan secara baru dalam sturuktur otak setiap individu. Kesadaran pikiran (conscious mind) adalah fenomena sesaat yang mengerjakan seluruh proses adaptasi dan orientasi sementara. Adapun ketidaksadaran (unconscious) adalah sumber dari daya-daya naluriah (instinctual) dari jiwa dan dari bentuk atau kategori yang mengaturnya, bernama archetypes. Seluruh ide yang paling berpengaruh dalam sejarah bisa dikembalikan pada archetypes. Hal ini terutama menyangkut ide keagamaan, tetapi juga tak terkecuali menyangkut konsep sentral sains, filsafat, dan etik. Hal ini tiada lain, karena fungsi dari kesadaran bukan hanya untuk mengakui dan mengasimilasikan dunia luar melalui pintu indra, tetapi juga untuk menerjemahkan ke dalam realitas ekternal dunia dalam kita. (Jung 1971: 45-6).
Dengan kata lain, Jung melihat bahwa jiwa ketaksadaran (unconscious psyche) mengekspresikan dirinya dalam pola-pola archetypes yang mewujud dalam berbagai fenomena seperti mimpi, mitos, visi ekstatik, simbol keagamaan, keyakinan budaya, dan ritus orang-orang pra-aksara, yang secara esensial dipandangnya sebagai keberlangsungan dari budaya purba. Dalam pandangannya, “dunia dalam” dari mitos dan archetypes ini tidaklah bersifat inferior terhadap pikiran sadar dan rasional. Karena ego sesungguhnya merupakan perpaduan dari “dunia dalam” (jiwa) dan “luar”, antara unsur-unsur subyektif dan obyektif. Dan menjadi individu (individuation) tak lain adalah kemampuan seseorang untuk mengintegrasikan hal-hal yang berlawanan dalam dirinya: antara impuls ketaksadaran dan kesadaran.
Dalam elaborasinya tentang unconscious mind yang terkandung dalam berbagai archetypes, Jung tiba pada bentuk simbol dan mitos yang memadukan kisah dan spiritualitas. Di antara yang paling penting dari bentuk-bentuk archetypes dalam sastra-lisan yang berdimensi spiritualitas ini adalah “orang tua bijaksana, ibu bumi (earth mother), anima dan animus (aspek feminin dan maskulin dari laki-laki dan perempuan), salib, mandala, quaternity (elemen keberempatan), pahlawan, anak Tuhan, kedirian (self), tuhan, dan pesona.
Sejalan dengan pemikiran Jung, Mircea Eliade menegaskan bahwa seluruh studi tentang agama,  pada dasarnya merupakan studi tentang simbolisme. Untuk memahami mitos, Shamanisme, atau ritus inisiasi adalah usaha menguraikan “struktur simbolik” keagamaan, yang mewujud dalam pola-pola archetypes. Lebih lanjut Eliade menyatakan bahwa seluruh ritus dan simbol keagamaan terkait erat dengan mitos-mitos kosmogenik tentang penciptaan dan tentang penstrukturan kosmos kehidupan dari realitas primordial atau kekacauan. (Yudi Latif, 2009)
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat pra-aksara, sastra, dan spiritualitas adalah bagian yang tak bisa dipisahkan sebagai unsur esensial dari realitas eksistensial. Tamsil dan mitologi keagamaan dan menakjubkan mampu mengekspresikan keabadian archetypes secara sempurna, yang memberi kekayaan spiritualitas pada kehidupan.
Ketika tradisi lisan beralih ke tradisi tulisan, para mistikus dan penulis kreatif terus berusaha mempertautkan bahasa jiwa sebagai vibrasi dari semesta alam ini. Mereka mencoba menangkapnya dengan menerjemahkan dari bidang pengalaman dan ujaran ke bahasa tulis. Sejak itu, para pencari dan penganut keyakinan berusaha menulis dan mencari literatur spiritualitas untuk menemukan makna dan wawasan (insight). Penulisan kreatif dan literatur berperan penting dalam semua tradisi agama sebagai ekspresi ketuhanan. Setiap tradisi kepercayaan memiliki kumpulan karya sastra, di luar teks suci, tempat para pencari menemukan inspirasi – pintu masuk ke arah pengembaraan spiritual menuju dunia keabadian.
Terutama dalam agama-agama ahlul kitab, karena ajaran agama berdasarkan pada firman Tuhan yang diwahyukan sebagai kitab suci, maka sastra menempati posisi yang utama dan istimewa sebagai wahana pengalaman keagamaan. Sejauh dikaitkan dengan tradisi Islam, Seyeed Hossein Nasr mengatakan, “Pengaruh Al-Qur’an terhadap jiwa kaum muslim begitu besarnya sehingga lingkungan budaya Islam  memperlakukan kata dan sastra sebagai bentuk utama ekspresi seni di mana pun Islam berada dan di mana pun pengaruh al-Qur’an terasa” (Yudi Latif, 2009)
Sebelum mengalami gejala skularisasi yang dalam, semua agama tidak mengenal pemisahan antara seni dan pemikiran, intelektualitas dan sensualitas, logika dan intuisi-puitik, realitas kosmik dan bahasa manusia. Menurut doktrin tradisional agama-agama, realitas batin alam semesta mengungkapkan dirinya melalui mata batin atau penglihatan intelektualitas – sebagai alat persepsi. Keselarasan yang berlangsung di alam fisis terpantul dalam keselarasan dunia bahasa, yang merupakan refleski dari jiwa manusia maupun kosmos. Dalam bahasa, kata menjadi substansi yang menggantikan hakikat materi dunia eksternal, dan menyiratkan keselarasan kosmik.
Mengutip tradisi Hindu, “Alam semesta dipandang oleh kaum intelektual sebagai ‘mata hati’, yang merupakan hasil perkawinan antara keselarasan (sá¾±man) dan kata-kata”. Jika dalam makrokosmos keselarasan alam semesta terwujud pada taraf realitas yang lebih tinggi, begitu pun dalam bahasa. Selalu terdapat keselarasan dalam kata-kata dengan substansi bahasa, hingga terwujudlah syair. “Melalu syairlah menggema kembali keselarasan fundamental yang memungkinkan manusia untuk kembali pada keberadaan dan kesadaran yang lebih tinggi”.
Keselarasan antara yang zahir dan yang batin, logika dan puisi, serta antara dimensi maskulin dan feminin ini, ditemukan dalam tradisi Timur Jauh, yang diungkapkan dalam keselarasan Yin dan Yang: juga dalam Islam dengan tradisi tasawufnya yang menjaga antara keselarasan penampakan (shurah) dan batin (ma’na). (Yudi Latif, 2009)
Memasuki perkembangan budaya kontemporer, tema sastra bercorak religius tidak pernah mati. Mungkin sebagai jawaban atas kekeringan kehidupan batin manusia modern atau sebagai pelarian dari kekerasan kehidupan yang masih diliputi oleh konflik antar negara, sosial, agama, etnis, individu, batin, dan degradasi lingkungan hidup yang membuat dunia sastra mau tak mau mengambil bagian dalam dunia yang semakin sakit ini. Mau tak mau, dalam anomitas dunia seperti ini, mengambil ungkapan Romo Mangunwijaya bahwa “Setiap karya sastra yang berkualitas selalu berjiwa religius”. (Y.B. Mangunwijaya, 1988)
Lontara-lontaran pertanyaan eksistensial manusia, perenungan filsafat, pengelana kearifan, pendamba keabadian, dan pecinta keraguan, ketika sastra tumbuh di tengah pergulatan budaya yang saling membunuh dan budaya yang saling mengelabui, pada dasarnya telah mendesak bahwa setiap karya sastra yang berkualitas memang harus selalu berjiwa religius.
Seperti mereka yang pernah mendalami karya-karya penulis tanah air, seperti Bukan Pasar Malam, Telegram, Godlob, Khutbah di Atas Bukit, Dilarang Mencintai Bung-Bunga, hingga Atheis, untuk menyebut beberapa saja, jelas kaya akan dimensi religiusitas dan pergulatan batin di dalamnya.
Sastra ternyata menjadi indikator yang baik, sampai di mana suatu masyarakat sudah bermutasi dari yang oleh Muhammad Iqbal disebut faith - yakni ketaatan tanpa syarat, tanpa berpikir kritis, kepada segala yang diperintahkan – ke tingkat thought, rasional understanding of discipline and ultimate source of its authority. Dalam tahap thought, menurut Iqbal, religiouse like seeks its foundation in a kind of metaphysics. Dan apa itu metaphysics menurut Iqbal adalah logically consistent view of the world with God as a part of view. (Y.B. Mangunwijaya, 1988)
Namun, di atas fase penghayatan religius dalam arti pemahaman (thought), menurut Iqbal masih ada penghayatan yang lebih tinggi yakni yang sering disebut mistik. Mistik di sini bukanlah sebentuk mistisisme atau takhayyul, yang pada dasarnya menunjuk pada pengingkaran atau pelarian dari kehidupan nyata, melainkan pada pendewasan yang lebih menuju ke dalam, atau menurut Iqbal “Pencarian kepribadian yang merdeka, bukan karena pelepasan diri dari Hukum (agama), melainkan berkat penemuan sumber-sumber terakhir dari hukum di kedalaman hati.” (Y.B. Maungunwijaya 1988). Dalam ajaran Paulus, sang guru dari Tarsus, “Tujuan hukum (agama) adalah cinta kasih yang bersemayam dalam hati nurani...” (1 Tim 1:5)
Karena itu, “Pada awal mula, segala sastra adalah religius” demikian kata Y. B. Mangunwijaya. Religiusitas itu tidak selalu harus berkaitan dengan agama. Jika agama lebih menunjuk pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dalam arti formal-yuridis, serta keseluruhan organisasi tafsir kitab suci dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan. Religiusitas lebih berarti pada aspek “di ke dalaman hati”; riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang menjadi misteri bagi orang lain dalam kadar tertentu, karena menapaskan intimitas jiwa, yang dalam istilah Pascal disebut duceur yakni cita rasa yang mencakup totalitas termasuk rasio dan rasa manusiawi ke dalam si pribadi manusia. (Y.B. Mangunwijaya, 1988).
Karena itu, pada dasarnya religiusitas lebih dalam dari agama yang tampak, formal, dan resmi. Religusitas lebih bergerak dalam tata paguyuban yang cirinya intim. Seperti lagu yang berkualitas religius bisa saja dinyanyikan oleh umat beragama tanpa memandang agama tertentu. Seperti lagu “Tuhan” ciptaan Bimboo, dengan penuh penghayatan dapat dinyanyikan, baik oleh orang-orang Muslim maupun Kristen.
Demikian halnya dengan novel Lauh Mahfuz ini. Meski penggunaan judul yang diambil memiliki kekhasan pada Islam, namun ia membuka diri bagi pembaca-pembaca yang berpijak pada agama-agama di luar Islam. “Posisi ideologis” yang diangkat dalam alur cerita, dialog-dialog tokoh, tidak berada pada posisi peneguhan pada identitas-identitas ideologis tertentu. Setiap pembaca berhak mengedepankan sisi keyakinan subyektifnya tanpa harus menegasikan keyakinan-keyakinan subjektif orang lain.
Dalam istilah Romomangun disebut sebagai, “religiusitas yang dewasa”. Yakni sebuah karya sastra yang mampu menyuguhkan kandungan kadar religiusitasnya. Bukan religiusitas dalam arti formal keagamaan, tetapi dalam daya kemampuannya membuat orang bertanya pada dan tentang dirinya dengan intimitas yang dalam.
Namun, religiusitas atau spiritualitas yang digambarkan novel ini terkesan tidak biasa. Perjalanan mitis-spiritual tokoh-tokoh dalam novel ini juga terkesan absurd. Terutama perjalanan mitis spiritual yang dijalani tokoh utamanya Panji Wisesa tak serumit perjalanan-perjalanan mitis yang diajarkan dalam laku-laku sufistik dan laku dunia mistik. Jika, laku-laku spiritual yang berat, seperti membersihkan hati dan pikiran dengan melakukan puasa, berpantangan seks, bertapa, berwirid dan lain sebagainya, dalam novel ini hampir tak ditemukan laku-laku spiritualitas khusus yang pernah diupayakan sebelumnya. Perjumpaan Panji dengan Syekh Abu Salaf al-Rasyidin di alam barzakh dalam mimpinya seperti terjadi begitu saja.
Perjalanan mitis-spiritual yang dijalani panji tidak pula digambarkan sebagai perjalanan untuk mereguk nikmatnya penyatuan dengan Tuhan, tapi sebatas perjalanan untuk mengubah nasib manusia,  yang tersurat dalam jantung Lauh Mahfuz yang berada di sebuah bangunan kubus, yakni Ka’bah.
Novel ini, barangkali hendak menolak ide yang membatasi pengalaman spiritual hanya dipraktikkan oleh orang-orang saleh tertentu. Tapi pengalaman mereguk kenikmatan perjalanan spiritual itu bisa di dapat dalam hal-hal yang biasa, pada orang-orang biasa, tidak harus di tempat-tempat suci, tidak harus dalam pertapaan rumit, tapi pada halaman belakang di bawah pohon bambu, atau di dalam mimpi sekali pun.
Umat Islam meyakini bahwa tidur merupakan saudara kematian. Al-Qur’an menyatakan bahwa “Allah memegang jiwa orang ketika matinya, dan memegang jiwa orang yang belu mati di waktu tidurnya....” (Q.S al-Zumar: 42), dan otoritas-otoritas seperti penafsir al-Qur’an al-Zamakhsyari juga berpendapat bahwa tidur dan mati merupakan realitas yang sama. Ilmu mengenai tafsir mimpi disebutkan dalam al-Qur’an misalnya surah Yusuf ayat 44 dan 100. Banyak literatur yang mengembangkan subjek itu menunjukkan bahwa ilmu tersebut sangat populer di sepanjang sejarah Islam. Karena hubungan erat antara tidur dan mati ditegaskan sejak awal, tidak mengherankan bahwa data eskatologis “ditafsirkan” dengan cara mengikuti prinsip-prinsip yang sama dengan yang digunakan untuk mimpi.
Dalam dunia mimpi, daya imajinal menampilkan gagasan-gagasan dalam bentuk yang memiliki keterkaitan  atau “kesetaraan” dengan makna atau isi yang dikandungnya. Tugas penafsir adalah memahami makna asal di balik bentuk. Tugasnya dipermudah, tentu saja jika pemimpi itu “benar” dan karena bukan hanya datang dari subyek yang bermimpi, melainkan juga dari alam imajinasi objektif yang berasal dari luar dirinya.
Karena itu, Al-Ghazali menyatakan bahwa karena tidur adalah saudara kembar kematian, melaluinya “kita memperoleh kecerdasan untuk memahami beberapa keadaan yang tidak dapat kita pahami saat terjaga. Dia menjelaskan bahwa amal manusia itu mempunyai ruh dan “hakikat” yang tidak dapat dipahami di dunia ini, tetapi akan muncul setelah kematian, sebab di akhirat bentuk-bentuk itu tunduk pada ruh dan hakikat sehingga segala sesuatu yang terlihat di sana akan terlihat dalam bentuk yang bersesuaian dengan realitasnya. Demikian pula dengan bentuk-bentuk yang kita lihat dalam mimpi berhubungan sangat erat dengan makna-maknanya. (Abdul Hakim&Yudi Latif, 2007)
Antara Religiusitas dan Bayang-Bayang Fanatisme
Dalam novel Lauh Mahfuz ini, pembaca akan menjumpai ungkapan perlambangan religiusitas tanpa harus selalu merujuk pada agama tertentu. Hal itu misalkan dalam bait berikut halaman 11; "kehidupan pasti suatu saat akan berakhir, yang nanti tanpa melihat asal usulnya, semua akan bersama-sama berlabuh menanti perhitungan angka rapor kenakalan, sebelum diperkenankan menghadap Sang Pencipta." Pandangan tersebut dengan gamblang sekali melihatkan pemikiran kaum religius yang melampaui pengotakan pemahaman institusi-institusi agama.
Bahkan pada tokoh yang digambarkan sebagai Komunis yang karenanya disematkan citra manusia yang tak bertuhan atau atheis sekalipun, ternyata tetap menyandang pandangan subyektif atas makna religiusitas menurut versi dirinya.
Atheisme memenag cenderung dilihat sebagai pandangan filosofis yang melakukan penolakan terhadap kepercayaan akan keberadaan Tuhan. Padahal orang atheis juga memiliki pengetahuan religi yang terkadang melebihi pengetahuan orang beragama sekalipun. Mereka mungkin ragu atau pun tidak mepercayai Tuhan, namun mereka mengetahui sesuatu tentang Tuhan. Sebagaimana tercermin dalam dialog antara Romo Warih Permadi dengan Ibu Rekso (ibu Menuk-Menik), seorang tokoh Gerwani yang waktu itu baru keluar dari tahanan politik yang dideritanya. Ketika Ibu Rekso ditanya untuk memilih agama tertentu, ia menjawab, “Kalau yang Romo maksud dengan beragama adalah memercayai kekuatan tertinggi, Mahabesar dan Mahakuasa, yang menciptakan dan mengarahkan hidup kita, yang Romo sebut Allah, percayalah itu telah ada dalam perasaan dan pikiran saya. Namun setelah saya dengan cermat mempelajari agama, ternyata konsepsi tentang Tuhan dan penghambaan yang belum dapat masuk dalam pikiran dan perasaan saya. Dengan kerendahan hati saya mohon untuk dapat menerima yang Romo tawarkan” (h. 473)
Lauh Mahfuz juga menetakkan kepercayaan agama-agama tanpa harus merasa terbebani untuk menempatkan keparcayaan agama tertentu lebih tinggi dari agama lain. Di halaman 14, misalkan dia memasukkan “reinkarnasi” yang nota bene merupakan kepercayaan agama Hindu,  ia menyatakan, "Seorang penyayang binatang pasti menganggap aku jahat, tega memakan binatang piaraan sendiri. Tetapi aku berpikir, toh akhirnya ikan-ikan itu akan mati, pasti dia akan lebih senang bila kematiannya tidak sia-sia. Apalagi tetap membuatnya tetap dekat, bahkan menyatu dengan majikannya. Siapa tau kata orang Hindu, dengan demikian menyempurnakan perjalanannya bereinkranasi."
Setelah memasukkan paham tentang reinkarnasi, pada halaman 21, ia malah mengambil pemahaman yang bersumber dari Islam, “Sebagaimana dinyatakan dalam Alquran, setelah pulas tertidur, roh manusia sementara terlepas dari tubuh dan akan masuk lagi saat bangun.”
Novel Lauh Mahfuz ini mengajak setiap orang beragama untuk beragama tanpa rasa takut. Ia menantang setiap kebenaran yang berada di bawah bayang-bayang fanatisme. Yakni keyakinan yang sepenuhnya yaknin bahwa perspektifnya atau kelompoknya adalah satu-satunya yang paling benar sementara perspektif yang lain hanyalah memiliki sedikit kebenaran atau malah sama sekali salah. Lauh Mahfuz menantang fanatisme yang berprinsip tertum non datur atau the lau of excluded middle tersebut. (Abdul Hakim & Yudi Latif, 2007)
Karena dengan beragama tanpa rasa takut seperti judul tulisan Irsyad Mandji atau “religiusitas yang dewasa” istilah yang disebutkan Romo Manungwijawa yang akan membuat hidup diliputi kedamaian dan beragama adalah laku penyerahan diri kepada Tuhan yang dilandasi atas dasar cinta-kasih. Sebagaimana yang dilakukan sosok Menuk yang akhirnya memeluk Islam, "pengabdian yang dia lakukan dalam menjalankan agama dan dalam menghamba kepada Allah Azza Wa Jalla, bukan karena ada rasa takut dalam dirinya. Ketakutan tak lain dan tak bukan merupakan ibadah para budak. Juga jangan sampai menghamba kepada Allah karena berharap pahala, karena itu merupakan ibadah orang-orang upahan." (hal 65). Bagi Menuk juga Syekh Abu Salaf, "Mengabdi dan menghamba kepada Allah karena dia cinta kepada_nya, paham benar akan eksistensi atau keberadaan-Nya. Itulah ibadah orang-orang merdeka. Itulah keutamaan ibadah sebenarnya." (hal 63).
Para filsuf, pemikir dan orang suci Islam seperti Rabi’ah Al-Adawiyyah juga acap mengatakan tentang ibadah hakiki semacam ini. Tentang jalan dan pandangan religius semacam ini. Atau dalam bahasa pop, ihwal ibadah "surga dan neraka" pernah dinyanyikan dengan apik oleh Dhani Ahmad dan mendiang Chrisye via lagu berjudul  "Jika Surga Dan Neraka Tak Pernah Ada". Yang petilan liriknya, pada bagian reff, berbunyi // Jika surga dan neraka tak pernah ada/ Masihkan kau bersujud kepada-Nya/ Jika surga dan neraka tak pernah ada/ Masihkah kau menyebut nama-Nya//.
Dalam agama Kristen, konsep cinta-kasih itulah yang menjadi inti ajarannya. Perhatikanlah narasai tentang "Pengabdian dan pengorbanan itulah yang menjadi inti ajaran Kristiani, dan cinta kasih adalah  napas serta semangatnya," (hal. 48). Filosofi cinta-kasih itulah yang dijelaskan oleh tokoh Suster Wirasti, Biara Gereja Santa Ursula kepada Menik atau Maria Secunda, bahwa “Menjadi yang lain memenuhi panggilan dalam hidupmu itu tidaklah mengurangi rasa cintamu kepada Sang Pencipta. Demikian pula tidak akan mengurangi kecintaan sang pencipta kepadamu. Pengabdian dan pengorbanan senilai pengorbanan seorang biarawati, atau bahkan melebihi. Dapat kamu lakukan di tempat kamu menjalani profesi sebagaimana panggilan jiwamu, dengan mengerahkan segala kemampuan yang kamu miliki yang telah dianugerahi oleh Sang Pencipta.” (h. 48)
Dalam Islam, hal senada tersurat dengan jelas dalam Surah Albalad [90]: 6-7 yang menyebutkan; “Dan kami menunjukkan kepadanya dua jalan? Akan tetapi, ia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah engkau jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yakni membebaskan seorang budak,  atau memberi makan pada musim kelaparan dan paceklik. Kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang-orang miskin yang hidup menderita, dan ia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar, dan saling berpesan untuk berkasih-sayang”.
Kedua ujaran tersebut menyampaikan dua pesan dan spirit yang sama. Pertama, selama setiap pribadi, siapa pun itu selama ia bekerja dalam profesinya masing-masing dengan penuh kesungguhan dan tanpa mengenal putus asa, derajatnya sama saja dengan pribadi-pribadi yang menyerahkan hidup di jalan Tuhan. Kedua, Tuhan juga tidak memerintahkan pengabdian kepada-Nya ditunaikan harus seperti kaum sufi. Tuhan malah menyebut “jalan yang sukar” dalam firmannya tersebut yang berarti mendapat “penghargaan” dari Tuhan adalah pada kebajikan-kebajikan manusiawi, yakni menyantuni anak yatim, orang miskin dan menderita. Bahkan pesan untuk bersabar dan pesan untuk berkasih-sayang terhadap sesama mendapatkan tekanan yang besar dalam ayat tersebut.
Dalam Lauh Mahfuz, hal itu ditegaskan dengan, "Akidah harus diterjemahkan dalam bentuk tanggung jawab pengabdian secara vertikal, yaitu kepada Tuham, yang disebut hablum-minallah, dan secara horisontal, kepada sesama umat manusia, yang disebut sebagai hablum-minannas." (hal 98).
Religiusitas dikisahkah dengan jujur bahwa religiusitas harus berangkat untuk dua hal yang harus berjalan bersama, yakni untuk hubungan dengan Tuhan (hablumminallah) dan hubungan dengan sesama manusia (hablumminanas). Kenyataan bahwa tak jarang klaim demi hubungan dengan Tuhan, dijadikan alibi untuk merusak hubungan sesama manuisia dalam keintiman dan harmonis. Tak jarang, kita dengan sombong menyebut diri sebagai hakim-hakim wakil Tuhan di bumi, atau sebagai pembela-pembela Tuhan, sehingga dengan rasa bangga, mengebiri kebebasan sesama, membunuh kreatifitas, hingga menebas leher sesama.
Modus keagamaan yang menekankan dimensi spiritualitas puitik, yang memberi tempat pengucapan unconscious mind, sungguh selaras dengan pandangan dunia klasik nusantara. Dalam Islam Observed (1968), Clifford Geertz melukiskan gaya klasik Islam Indonesia sebagai illuminasionisme, dengan pandangan dunianya yang bersifat sinkretik, selaras dengan etosnya yang bersifat adaptif, gradualistik, estetik, dan toleran. Gaya seperti ini menurutnya bertahan hingga setidaknya awal abad ke-19.
Namun sejak akhir abad itu, intrusi nasionalisme dan skripturalisme dalam ruang publik Nusantara membawa tantangan yang serius bagi gaya klasik tersebut. Efek modernisasi dan skripturalisasi menimbulkan Clash of ideas pada ranah world view yang tak mudah didamaikan, diikuti oleh goyahnya etos keberagamaan. Meskipun masyarakat masih menjaga simbol-simbok sucinya, mereka mulai kehilangan pengalaman perjumpaan langsung dengan Tuhannya. Gelombang modernisasi dan skripturalisasi sama-sama menimbulkan apa yang disebut Max Weber ‘Disenchantment of the World’, pudarnya elemen-elemen magis dan spiritual yang membawa retakan dalam moda keberagamaan.
Modernisasi dan puritanisasi keagamaan menjadikan kekayaan tamsil dan mitologi keagamaan dipandang sebagai takhayyul, yang membuat kemarau spiritualitas bagi kehidupan kontemporer. Bersama kemarau spiritualitas, sastra mengalami komodifikasi yang membawa banalitas dalam karya sastra. Termasuk dalam sapuan komodifikasi ini adalah tema-tema sastra-keagamaan. Booming buku-buku sastra-keagamaan lebih banyak memanjakan gaerah kesalehan formal dan spiritulaitas instan, yang hanya menjanjikan kepuasaan batin seketika.
Di sela-sela kemarau spiritualitas dan ekspansi komodifikasi ini, fanatisme keagamaan bangkit menebaskan pedang ke segala arah. Fanatisme adalah paham yang melakukan penolakan terhadap representasi. Bentuk yang paling elemental dari penolakan tersebut adalah ikonoklasme dalam arti yang paling literal dari kata tersebut: kebencian dan perusakan terhadap ikon dan citra.
Dalam seni, fanatisme menolak representasi dengan melamurkan pandangan terhadap adanya “aesthteic gap” yang memisahkan realitas seakan sebagai karya seni. Padahal interest seni terletak pada fakta bahwa tak ada aturan yang tetap dan dapat diterima secara umum yang menghubungkan antara realitas yang direpresentasikan dengan representasi karya seni. Dengan menolak prinsip represntasi yang memungkinkan seniman mengembangkan interpretasi dan rekaan, fanatisme tela membunuh kreatifitas imajinatif sebagai nyawa ekspresi estetik.
Ketika ekspresi keagamaan kehilangan daya-daya imaji-puitiknya, spiritualitas menghilang dari kehidupan. Itulah pangkal alienasi dan nestapa kehidupan kontemporer. (Yudi Latif, 2009)

Daftar Rujukan
Sutrisno , Ed. Mudji dkk, Cultural Studies; Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan, Depok: Koekoesan
Latif, Yudi Menyemai Karakter Bangsa; Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan, Jakarta:PT Kompas Media Nusantara, 2009
Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Yogyakarta: Kanisius,  1988 , cet. 1
Hakim, Abd & Yudi Latif, Bayang-Bayang Fanatisme; Esai-esai untuk mengenang Nurcholis Madjid, Jakarta, 2007, cet. 1








Tidak ada komentar:

Posting Komentar