Rabu, 17 Juni 2015

Privatisme Apolitis dan Pilkada NTB; Refleksi atas “Matinya Politik”

Penghujung tahun 13 ini adalah tahun kegaduhan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Berita-berita media berlalu lalang mengetuk pintu rumah kita mengabarkan realitas kegaduhan itu. Tahun 2013 menjadi tahun kegaduhan karena persis tahun ini adalah tahun persiapan menyusun strategi-strategi besar menyambut perang (pemilu) 2014. Sementara di Nusa Tenggara Barat, tahun 2013 adalah tahun kegaduhan karena persis pertengahan tahun ini akan berlangsung “hajatan demokrasi” pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur NTB.
Pilkada NTB dan Realitas Kegaduhan
Realitas kegaduhan itu tergambar dalam berbagai corak. Misalnya, pengajian-pengajian akan semakin gaduh – dan sulit membedakan antara pengajian dan kampanye politik, karena slogan-slogan politik terujar di tengah pengajian dan pengajian di tengah kampanye.  Masjid-masjid pun semakin ramai entah untuk berzikir atau hanya sebatas menggelar gosip politik. Ayat-ayat dan ucapan-ucapan Nabi berserak menjadi penghias atau sebagai slogan yang keluar dari ujung ternggorokan di atas panggung khutbah atau pengajian umum. Di sisi lain, gosip-gosip politik bertimbal-balik antar mulut-mulut yang berisik.
Orang-orang awam terjebak dalam keingintahuan yang berujung kebingungan-kebingungan, ‘gerangan apa yang tengah terjadi?’ tak ada yang hendak memberi tahu, bukan karena tidak ada yang bisa menjelaskan, tetapi barangkali karena mereka tak perlu penjelasan. Yang penting nanti kalau sudah waktunya datang mereka hanya harus mencoblos atau mencontreng nomor, entah siapa yang berada di nomor itu. Seperti judi togel untuk mendapatkan nomor yang barangkali saja benar; logika peruntungan. Kenyataan itu adalah realitas lain dari paradoks demokrasi; penyelenggaraan pemilu sebagai simbol demokrasi modern cenderung menempatkan warga negara sebagai subjek statistik, yakni sebagai massa passif dan terdeterminasi, yang prilakunya diukur dengan metode-metode statistik.
Sementara realitas dalam dunia lain juga tak kalah gaduh, bahkan lebih gaduh dari realitas yang berlangsung di dunia riil. Dunia lain itu adalah dunia maya. Di dunia maya, catatan-catatan, sanjungan-sanjungan, hujata-hujatan, yel-yel, dan agitasi berseliweran dalam kecepatan akses ranah ini.
Perdebatan-perdebatan pun ramai, namun masalahnya tak jarang parsial nan absurd, meski sesekali ada juga dialektika bernas yang muncul. Perdebatan itu tentang siapa yang pantas atau mungkin lebih ekstrimnya, siapa yang berhak menjadi pemimpin NTB. Namun, pertanyaannya berhenti pada siapa, dan bukan tentang apa atau bagaimana. Inilah “politik figural”. Sukar berbicara tentang apa visi, ideologi politik, dan bagaimana track-record seorang calon pemimpin. Sehingga tak heran melihat banner yang terpampang berisi foto-foto calon pemimpin NTB, yang tak lupa beserta foto-foto orang tua, kakek/nenek, atau nenek moyang yang dianggap atau memang benar-benar berjasa bagi masyarakat NTB. Realitas lain apakah ini?
Privatisme Apolitis dan “Matinya Politik”
Kita memang berada dalam masyarakat yang serba tanggung. Dalam situasi seperti itu, politik dan antipolitik berjalan beriringan. Kita memang berbicara tentang demokrasi tapi di sisi lain kita belum bisa melepaskan diri dari politik figural. Apa yang nihil dalam politik figural itu adalah deliberasi publik. Dan ketika deliberasi publik itu absen dari aktivitas politik, maka hal itu berarti “politik” kehilangan esensinya.
Konsekuensi lain yang lebih parah dari politik figural itu adalah kecenderungan kuat untuk melihat urusan publik sebagai urusan privat. Yang dalam bahasa Dana R. Villa disebut apolitical privatism (privatisme apolitis). Misalkan, masyarakat memilih seorang calon penguasa atas dasar kriteria-kriteria privat, misalnya karena dia adalah keturunan tokoh tertentu atau datang dari keluarga terpandang, berjasa dan berpengaruh. Sementara pada tataran pemerintah, gejala privatisme apolitis itu tergambar pada tendensi kuat untuk menjalankan urusan-urusan publik berdasarkan kategori atau standar privat yang sebenarnya hanya layak diterapkan pada aras keluarga. Fenomena privatisme apolitis itu terkenal juga dalam istilah politik dinastik. (Agus Sudibyo, 2012)
Bagi Hannah Arendt, privatisme apolitis merupakan cerminan dari “matinya politik”. Karena “politik” gagal mendorong warga negara untuk mengekspresikan dirinya secara aktif, kreatif dan kritis di ruang publik yang pluralistik. Dalam pandangan Arendt, “matinya politik” dalam privatisme apolitis karena menghilangkan dimensi esensial politik yang bersifat diskursif-partisipatoris; “matinya politik” karena politik bermakna hanya sebagai penguasaan, paksaan, dominasi, dan ekspresi kekuatan.
Kegagapan membedakan antara ruang privat dan ruang publik memiliki konsekuensi turunan. Dalam kaitannya dengan pilihan politik, seperti dijelaskan sebelumnya, masyarakat cenderung membuat standar-standar privat untuk kriteria seorang pemimpin. Dalam kontesk di NTB misalkan, standar kriteria seorang pemimpin adalah karena ia banyak menguasai ilmu agama (Islam), keturunan bangsawan atau keturunan tuan guru atau ulama tertentu, bagaimana kepercayaan teologisnya (mazhab), apa ormas keagamaannya, dan kriteria-kriteria privat lainnya.
Sementara dalam tataran pemerintahan, pemerintah memiliki kecenderungan untuk melihat warga negara sebagai keluarga besar. Sehingga kepentingan-kepentingan publik diupayakan melalui kebijakan-kebijakan dengan standar privat. Seorang pemimpin adalah seperti kepala rumah tangga yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur keluarganya. Bentuk pemerintahan yang menjalankan fungsinya layaknya sebuah keluarga besar akan cenderung menegasikan kebebasan, kehendak otonom, otentik, spontan, dan kritis.  Bentuk kegagapan membedakan antara ruang privat dan ruang publik itu juga tergambar dari sindrom para pejabat untuk melihat jabatan publik mereka sebagai jabatan privat. Sehingga tidak aneh ketika ada kepala keluarga yang mengangkat keluarganya untuk menduduki posisi-posisi tertentu, menjadikan keluarga mereka sebagai klan penguasa, dan praktik-praktik lainnya yang sebenarnya sudah sangat lumrah.
Gawatnya, privatisme apolitis itu menurut Dana R. Villa cenderung diikuti oleh fenomena yang disebutnya sebagai “ekonomisasi politik”. Yakni penyederhanaan politik semata-mata sebagai urusan ekonomi. Tujuan orang terlibat dalam politik dan pemerintahan adalah pamrih ekonomi; untuk memperkaya diri, mencari konsesi bisnis, memperoleh akses atas penguasaan sumber daya publik, dan menggasak kekayaan negara; realitas yang paling gamblang dari kegagapan membedakan antara ruang privat dan ruang publik yang berujung pada privatisme apolitis dan ekonomisasi politik adalah menjamurnya korupsi, baik dalam arti literer maupun dalam makna yang lebih metaforis. Terlibat dalam politik kemudian hanya dimaknai dalam istilah Max Weber dengan “leben von politik” (hidup dari politik) dan bukan “leben fur politik” (hidup untuk politik).
Nilai-nilai politik sebagai leben fur politik atau sebagai ekspresi kemanusiaan itulah yang hilang dalam kegaduhan politik hari ini. Bahwa politik hanya berarti tamak, mengutamakan kepentingan pribadi, licik, bahkan kasar. Politik tidak lagi dipahami sebagai peralatan alamiah manusia untuk mengorganisasi diri guna mencapai hidup yang adil atau sebagai ekpresi kebebasan dalam istilah Arendt (Rocky Gerung, 2008).
Harapan kita semua, masyarakat NTB adalah Pilkada 2013 ini akan menjadi tonggak kebangkitan. Namun, saya cenderung pesimis seandainya privatisme apolitis atau kegagapan membedakan antara ruang privat dan ruang publik masih terjangkiti, baik di masyarakat apalagi di pemerintahan. Kecuali masyarakat lebih hati-hati dan deliberat (cerdas) dalam membuat kriteria-kriteria pemimpin mereka, sementara pemerintah bersedia membangun sebuah ruang publik sebagi ruang deliberatif, tempat berbagi dialog tergelar secara massif dan bebas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar