Penghujung tahun 13 ini adalah
tahun kegaduhan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Berita-berita
media berlalu lalang mengetuk pintu rumah kita mengabarkan realitas kegaduhan
itu. Tahun 2013 menjadi tahun kegaduhan karena persis tahun ini adalah tahun
persiapan menyusun strategi-strategi besar menyambut perang (pemilu) 2014.
Sementara di Nusa Tenggara Barat, tahun 2013 adalah tahun kegaduhan karena
persis pertengahan tahun ini akan berlangsung “hajatan demokrasi” pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur NTB.
Pilkada
NTB dan Realitas Kegaduhan
Realitas kegaduhan itu
tergambar dalam berbagai corak. Misalnya, pengajian-pengajian akan semakin
gaduh – dan sulit membedakan antara pengajian dan kampanye politik, karena slogan-slogan
politik terujar di tengah pengajian dan pengajian di tengah kampanye. Masjid-masjid pun semakin ramai entah untuk
berzikir atau hanya sebatas menggelar gosip politik. Ayat-ayat dan
ucapan-ucapan Nabi berserak menjadi penghias atau sebagai slogan yang keluar
dari ujung ternggorokan di atas panggung khutbah atau pengajian umum. Di sisi
lain, gosip-gosip politik bertimbal-balik antar mulut-mulut yang berisik.
Orang-orang awam terjebak
dalam keingintahuan yang berujung kebingungan-kebingungan, ‘gerangan apa yang
tengah terjadi?’ tak ada yang hendak memberi tahu, bukan karena tidak ada yang
bisa menjelaskan, tetapi barangkali karena mereka tak perlu penjelasan. Yang
penting nanti kalau sudah waktunya datang mereka hanya harus mencoblos atau
mencontreng nomor, entah siapa yang berada di nomor itu. Seperti judi togel
untuk mendapatkan nomor yang barangkali saja benar; logika peruntungan.
Kenyataan itu adalah realitas lain dari paradoks demokrasi; penyelenggaraan
pemilu sebagai simbol demokrasi modern cenderung menempatkan warga negara
sebagai subjek statistik, yakni sebagai massa passif dan terdeterminasi, yang
prilakunya diukur dengan metode-metode statistik.
Sementara realitas dalam
dunia lain juga tak kalah gaduh, bahkan lebih gaduh dari realitas yang
berlangsung di dunia riil. Dunia lain itu adalah dunia maya. Di dunia maya,
catatan-catatan, sanjungan-sanjungan, hujata-hujatan, yel-yel, dan agitasi
berseliweran dalam kecepatan akses ranah ini.
Perdebatan-perdebatan pun
ramai, namun masalahnya tak jarang parsial nan absurd, meski sesekali ada juga
dialektika bernas yang muncul. Perdebatan itu tentang siapa yang pantas atau
mungkin lebih ekstrimnya, siapa yang berhak menjadi pemimpin NTB. Namun,
pertanyaannya berhenti pada siapa, dan bukan tentang apa atau bagaimana. Inilah
“politik figural”. Sukar berbicara tentang apa visi, ideologi politik, dan
bagaimana track-record seorang calon pemimpin. Sehingga tak heran
melihat banner yang terpampang berisi foto-foto calon pemimpin NTB, yang tak
lupa beserta foto-foto orang tua, kakek/nenek, atau nenek moyang yang dianggap
atau memang benar-benar berjasa bagi masyarakat NTB. Realitas lain apakah ini?
Privatisme
Apolitis dan “Matinya Politik”
Kita memang berada dalam
masyarakat yang serba tanggung. Dalam situasi seperti itu, politik dan
antipolitik berjalan beriringan. Kita memang berbicara tentang demokrasi tapi
di sisi lain kita belum bisa melepaskan diri dari politik figural. Apa yang
nihil dalam politik figural itu adalah deliberasi publik. Dan ketika deliberasi
publik itu absen dari aktivitas politik, maka hal itu berarti “politik”
kehilangan esensinya.
Konsekuensi lain yang lebih
parah dari politik figural itu adalah kecenderungan kuat untuk melihat urusan
publik sebagai urusan privat. Yang dalam bahasa Dana R. Villa disebut apolitical
privatism (privatisme apolitis). Misalkan, masyarakat memilih seorang calon
penguasa atas dasar kriteria-kriteria privat, misalnya karena dia adalah
keturunan tokoh tertentu atau datang dari keluarga terpandang, berjasa dan berpengaruh.
Sementara pada tataran pemerintah, gejala privatisme apolitis itu tergambar
pada tendensi kuat untuk menjalankan urusan-urusan publik berdasarkan kategori
atau standar privat yang sebenarnya hanya layak diterapkan pada aras keluarga.
Fenomena privatisme apolitis itu terkenal juga dalam istilah politik dinastik.
(Agus Sudibyo, 2012)
Bagi Hannah Arendt,
privatisme apolitis merupakan cerminan dari “matinya politik”. Karena “politik”
gagal mendorong warga negara untuk mengekspresikan dirinya secara aktif,
kreatif dan kritis di ruang publik yang pluralistik. Dalam pandangan Arendt,
“matinya politik” dalam privatisme apolitis karena menghilangkan dimensi
esensial politik yang bersifat diskursif-partisipatoris; “matinya politik”
karena politik bermakna hanya sebagai penguasaan, paksaan, dominasi, dan
ekspresi kekuatan.
Kegagapan membedakan antara
ruang privat dan ruang publik memiliki konsekuensi turunan. Dalam kaitannya
dengan pilihan politik, seperti dijelaskan sebelumnya, masyarakat cenderung
membuat standar-standar privat untuk kriteria seorang pemimpin. Dalam kontesk
di NTB misalkan, standar kriteria seorang pemimpin adalah karena ia banyak
menguasai ilmu agama (Islam), keturunan bangsawan atau keturunan tuan guru atau
ulama tertentu, bagaimana kepercayaan teologisnya (mazhab), apa ormas
keagamaannya, dan kriteria-kriteria privat lainnya.
Sementara dalam tataran
pemerintahan, pemerintah memiliki kecenderungan untuk melihat warga negara
sebagai keluarga besar. Sehingga kepentingan-kepentingan publik diupayakan
melalui kebijakan-kebijakan dengan standar privat. Seorang pemimpin adalah
seperti kepala rumah tangga yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur
keluarganya. Bentuk pemerintahan yang menjalankan fungsinya layaknya sebuah
keluarga besar akan cenderung menegasikan kebebasan, kehendak otonom, otentik,
spontan, dan kritis. Bentuk kegagapan
membedakan antara ruang privat dan ruang publik itu juga tergambar dari sindrom
para pejabat untuk melihat jabatan publik mereka sebagai jabatan privat.
Sehingga tidak aneh ketika ada kepala keluarga yang mengangkat keluarganya
untuk menduduki posisi-posisi tertentu, menjadikan keluarga mereka sebagai klan
penguasa, dan praktik-praktik lainnya yang sebenarnya sudah sangat lumrah.
Gawatnya, privatisme apolitis
itu menurut Dana R. Villa cenderung diikuti oleh fenomena yang disebutnya
sebagai “ekonomisasi politik”. Yakni penyederhanaan politik semata-mata sebagai
urusan ekonomi. Tujuan orang terlibat dalam politik dan pemerintahan adalah
pamrih ekonomi; untuk memperkaya diri, mencari konsesi bisnis, memperoleh akses
atas penguasaan sumber daya publik, dan menggasak kekayaan negara; realitas
yang paling gamblang dari kegagapan membedakan antara ruang privat dan ruang
publik yang berujung pada privatisme apolitis dan ekonomisasi politik adalah
menjamurnya korupsi, baik dalam arti literer maupun dalam makna yang lebih
metaforis. Terlibat
dalam politik kemudian hanya dimaknai dalam istilah Max Weber dengan “leben von politik” (hidup dari politik)
dan bukan “leben fur politik” (hidup
untuk politik).
Nilai-nilai politik sebagai leben fur politik atau
sebagai ekspresi kemanusiaan itulah yang hilang dalam kegaduhan politik hari
ini. Bahwa politik hanya berarti tamak, mengutamakan kepentingan pribadi,
licik, bahkan kasar. Politik tidak lagi dipahami sebagai peralatan alamiah
manusia untuk mengorganisasi diri guna mencapai hidup yang adil atau sebagai
ekpresi kebebasan dalam istilah Arendt (Rocky Gerung, 2008).
Harapan kita semua, masyarakat NTB adalah Pilkada 2013 ini
akan menjadi tonggak kebangkitan. Namun, saya cenderung pesimis seandainya
privatisme apolitis atau kegagapan membedakan antara ruang privat dan ruang
publik masih terjangkiti, baik di masyarakat apalagi di pemerintahan. Kecuali
masyarakat lebih hati-hati dan deliberat (cerdas) dalam membuat
kriteria-kriteria pemimpin mereka, sementara pemerintah bersedia membangun
sebuah ruang publik sebagi ruang deliberatif, tempat berbagi dialog tergelar
secara massif dan bebas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar