Rabu, 17 Juni 2015

Indonesia dan Fakta Kemajemukannnya

Indonesia adalah ibarat taman dengan keanekaraman hayati dan mahluk hidup di dalamnya. Negara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke ini berjajar pulau-pulau dengan komposisi dan konstruksi yang beragam. Di pulau-pulau tersebut berdiam penduduk dengan beragam suku-bangsa, bahasa, budaya, adat-istiadat, agama, dan keberagaman lainnya dari berbagai aspek. Secara keseluruhan, pulau-pulau di Indonesia berjumlah 17.508 buah pulau besar dan kecil dengan kebhinnekaan suku yang mendiaminya yang berjumlah lebih dari 1.128 suku bangsa dan lebih dari 700 bahasa daerah.
Oleh karena itu, menurut Clifford Geertz, Indonesia sedemikian kompleks, sehingga sukar untuk melukiskan anatominya secara persis. Indonesia bukan hanya multietnis (Jawa, Batak, Bugis, Aceh, Flores, Bali, Sasak, dan seterusnya), melainkan juga menjadi arena pengaruh multimental (India, Cina, Belanda, Portugis, Hindhuisme, Buddhisme, Konfusianisme, Islam, Kristen, dan seterusnya). Indonesia, tulis Geertz, “Adalah sejumlah ‘bangsa’ dengan ukuran, makna, dan karakter yang berbeda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang bersifat historis, ideologis, religius, dan semacam itu disambung-sambung menjadi sebuah struktur ekonomis dan politis bersama.”[1]
Fakta pluralitas dan diversitas kultural Indonesia yang berasal dari bersatunya komunitas-komunitas kultural dan lainnya, yang memiliki pandangan hidup yang kurang lebih berbeda satu dengan yang lainnya, dan sebagian besar dari komunitas-komunitas itu telah mendiami wilayahnya jauh sebelum kawasan tersebut menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu tidak hanya berlaku bagi kelompok etnis yang sering dikategorikan “pribumi”, karena bahkan orang-orang Arab dan China atau kelompok lain yang sering disebut “pendatang” atau “non-pribumi” pun sudah ada di wilayah ini sebelum Indonesia lahir sebagai negara merdeka.[2]
Ketika kapal-kapal pertama Eropa berlayar memasuki kepulauan Melayu-Indonesia pada awal abad ke-16, mereka bukan menemukan sebuah dunia yang masih terlelap dalam kehidupan primitif, melainkan sebuah kawasan ramai dengan dinamisme komersial. Kepulaun ini telah lama menjadi salah satu dari pusat perniagaan maritim besar di dunia. Karena itu, kota dagang Asia Tenggara adalah titik temu pluralistis bagi orang-orang dari segala penjuru dunia. Para pengunjungnya meliputi orang-orang Arab, Cina (Muslim dan non-Muslim), Muslim, Hindu India, orang-orang suku animistis, beberapa Kristen, dan bahkan kadang-kadang delegasi tamu dari Jepang.”[3]
Dengan demikian, kemajemukan Indonesia adalah konsekuensi dari kehadiran bersama lebih dari satu bangsa, kelompok atau komunitas etnis yang telah berlangsung sangat lama. Kemajemukan Indonesia adalah realitas yang tak mungkin dinegasikan, selama bentangan geografis tersebut masih disebut Indonesia. Kemajemukan adalah fakta keindonesiaan kita.
Oleh karena itu, sangat menyedihkan menyaksikan realitas kemajemukan itu seringsekali terkoyak oleh serangkaian konflik bernuansa kekerasan antaranak bangsa yang terjadi di berbagai daerah, dengan korban jiwa dan materi yang tak sedikit.  Berbagai konflik komunal itu tidak hanya mengganggu kenyamanan, keamanan, atau stabilitas nasional, tapi menimbulkan ancaman disintigrasi yang semakin massif. Konflik-konflik komunal tersebut juga memperlihatkan kepada kita dan menggambarkan bangunan kebangsaan yang diangankan solid, ternyata ditopang oleh fondasi yang ringkih nan rapuh. Bangsa ini harus khawatir dengan persoalan ini, karena tantangan terberat sebuah bangsa yang tersusun secara multikultural, multietnik, dan multiagama yang rapuh dan rentan dalam perpecahan, cenderung berakhir pada kehancuran, jika gagal dikelola dengan bijak.
Kita patut khawatir karena mencermati hasil studi Arend Lijphard beberapa tahun yang lalu, mengenai demokrasi di negara-negara plural. Ia mengidentifikasi, dari 114 negara, hanya 15% di antaranya yang dapat digolongkan sebagai demokrasi yang stabil yang berasal dari masyarakat yang plural, yang umumnya berasal dari masyarakat yang relatif homogen (low and moderater pluralism).[4]
Masyarakat yang plural di Dunia Ketiga acapkali terjatuh pada instabilitas yang rawan disintegrasi. Indonesia yang terdiri atas masyarakat yang plural, multikultural, dan sangat heterogen, pada dasarnya tak memiliki jaminan untuk tidak mengalami perpecahan, atau paling tidak kesulitan untuk mencapai demokrasi yang stabil.
Memang, tak bisa dipungkiri bahwa kemajemukan Bangsa Indonesia dapat menghadirkan dua potensi yang masing-masingnya sangat mungkin terjadi. Kemajemukan itu dapat memperlihatkan keindahan ibarat sebuah taman dengan keanekaragaman tumbuh-tumbuhan dan mahluk hidup di dalamnya yang menjadi modal dasar bagi kemajuan, atau sebagai realitas perbedaan yang mengoyak kedamaian, keharmonisan, sumber segala perpecahan dan kehancuran. Kedua potensi itu bisa terwujud tergantung dari cara Bangsa Indonesia mengelola dan memperlakukan kemajemukan atau keanekaragaman yang merupakan fakta kebangsaan Indonesia.
Para pendiri bangsa ini telah memperlihatkan bahwa mereka tidaklah menemukan sebuah realitas masyarakat yang homogen, mereka telah diwariskan oleh sejarah realitas yang tidak seragam. Namun, mereka mampu menghadapi tantangan itu, mula-mula dengan melampaui keegoan mereka, melampaui segala perbedaan di antara mereka, dan merajut segala perbedaan itu menjadi “sebuah taman” yang indah, taman yang layak di tempati oleh generasi-generasi sesudahnya.
Dan kini, kita telah mendapatkan warisan dari sejarah dan pendiri bangsa ini, sebuah warisan yang wajib dijaga dan ditanggung, yakni warisan bernama Indonesia. Kita diwariskan tanggungjawab untuk menjaga Indonesia, sebagai “taman” yang indah, nyaman, damai, harmonis, dalam keragaman dan kemajemukannya.
Kreativitas Kebangsaan
Wajah manis Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar dibandingkan dengan negara-negara dengan mayoritas muslim lainnya, bukanlah hasil yang lahir secara tiba-tiba. Perjalanan sejarah memang proses yang panjang, berliku, dan melelahkan; perkembangan mutakhir ini merupakan manifestasi dari kreatifitas kebangsaan yang berlangsung dalam rangkaian sejarah panjang bangsa Indonesia. Kreatifitas kebangsaan ini terefleksi pada kreativitas-kreativitas kultural dan kreativitas-kreativitas struktural.
Kreatifitas kultural Bangsa Indonesia tergambar dalam semua unsur kebudayaan, seperti nilai, etika, moral, seni, dan pola tingkah laku. Kreatifitas kultural tersebut bermuara pada wajah toleran, damai, harmonis yang merupakan kodrat kebangsaan Indonesia yang dapat kita lihat secara materil salah satunya pada aktifitas-aktifitas kreatif seni dan kebudayaan di berbagai kawasan di Indonesia. Meskipun benih-benih intoleransi berwajah garang masih terus muncul, signifikansi kreatifitas kultural Bangsa Indonesia lebih besar dibandingkan pengaruh-pengaruh destruktif semacam itu.
Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika adalah simbol kreativitas kultural yang paling penting dalam bangunan Indonesia. Sebagai asas negara, pancasila merupakan kreativitas kultural, sebagai titik temu kesepakatan (kalimatun sawa) di antara para pendiri bangsa. Signifikansi Pancasila adalah kemampuannya menjadi simbol persatuan dari kebhinnekaan Indonesia. Pancasila adalah cirri kultural bangsa Indonesia yang menjadi dasar di mana negara Indonesia dibentuk. Nilai-nilai yang dikandungnya merupakan seperangkat nilai yang mampu menjadi perekat sosial dan preferensi ideal di antara segenap rakyat Indonesia.
Sementara itu, Bhinneka Tunggal Ika adalah “mantra sakti” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia adalah ideologi yang menjadi spirit survivalitas kesatuan Indonesia hingga saat ini. Begitu sulit membayangkan Indonesia, dengan fakta pluralitas dan multikulturalitasnya mampu mempertahankan eksistensinya sebagai negara kesatuan. Bahkan, beberapa kalangan mengatakan bahwa hanya Indonesia yang mampu mempertahakan kesatuannya di tengah keragaman yang begitu besar. Semboyan tersebut merupakan kondisi dan tujuan kehidupan yang ideal dalam lingkungan masyarakat yang serba majemuk, multietnik, dan multiagama. Sebagaimana diungkapkan Supomo, semboyan tersebut menggambarkan gagasan dasar, yaitu menghubungkan daerah-daerah, pulau-pulau, dan suku-suku bangsa di seluruh Nusantara menjadi kesatuan-raya.[5]
Sementara itu, kreatifitas struktural terkait mengokohkan kreatifitas kultural pada dimensi materialitasnya. Kreatifitas struktural adalah kemampuan Bangsa Indonesia untuk menjamin dan menjembatani kebutuhan-kebutuhan struktural realitas keindonesiaan yang sangat majemuk baik dalam arti ekspresi maupun materialitasnya. Kreatifitas struktural ini dapat kita lihat pada bentuk kenegaraan. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Indonesia tidak lantas menjadi Negara Islam, tapi pada sisi yang lain tidak juga mengalami sekularitas ekstrem. Pada kenyataannya, Indonesia masih memiliki kementerian yang berfungsi mengurus urusan-urusan keagamaan, Indonesia masih memberikan kesempatan bagi partai-partai berbasis (massa) Islam, memiliki lembaga sosial keagamaan, dan lain sebagainya. Perkembangan kelembagaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia semakin intensif pasca lengsernya Presiden Soeharto. Pasca Orde Baru, Indonesia mengalami perubahan yang signifikan dalam sistem demokrasi seperti berlangsungnya pemilihan langsung dan sistem multipartai,  kebebasan pers, desentralisasi kekuasaan, dan reformasi fungsi militer. Perubahan-perubahan pada sistem ketatanegaraan ini melahirkan kesempatan pada kontestasi kekuasaan yang lebih terbuka, pembagiaan kekuasaan yang lebih adil, transparan, dan efektif, serta menjamin perlindungan hak-hak konstitusional setiap warga negara dengan lebih baik. Demikian pula, tumbuhnya lembaga-lembaga hukum yang memungkinkan ekspresi-ekspresi keagamaan dikontestasikan semisal pada mahkamah konstitusi dan undang-undang peradilan agama, dan lain sebagainya.
Perkembangan-perkembangan kelembagaan tersebut menjamin apa yang disebut Huntington sebagai ‘tertib politik’ (politic order) yang menjamin proses demokratisasi dan sistem pemerintahan berjalan stabil. Sekaligus, menjadi bentuk akomdosi transformatif agama dan negara.
Kreativitas kebangsaan yang terefleksi pada kreativitas-kreativitas kultural bangsa Indonesia harus dipelihara, diaplikasikan, dan dikontekstualisasi dalam kehidupan sehari-hari. Kreativitas-kreativitas kultural itu, baik dalam Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, ataupun yang tersebar dalam setiap ekspresi-ekspresi kebudayaan masyarakat Indonesia, merupakan harta warisan yang tak ternilai harganya. Kreativitas-kreativitas kultural tersebut, selain memperkaya khasanah kebangsaan kita, yang paling penting adalah menjaga eksistensi Indonesia itu sendiri. Sementara itu, kreativitas-kreativitas struktural merupakan kontrak-kontrak sosial yang menjamin tertib sosial-politik, dan oleh karena itu menuntut kepedulian setiap warga negara untuk mematuhinya demi berjalannya kehidupan berbangsa dan bernegara secara baik.



[1]Dikutip dari Pengantar F. Budi Hardiman; Belajar dari Politik Multikulturalisme. Dalam buku Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, (Jakarta: LP3ES, 2011), Cet. 2, h. viii. 
[2](ed.) Hikmat Budiman, Minoritas E pluribus Umum dan Demokrasi. Dalam buku Hak Minoritas; Ethnos, Demos, dan Batas-Batas Multikulturalisme, (Jakarta: The Interseksi Foundation, 2009), cet. 1, h. 3.
[3]Robert W. Hefner; Multikulturalisme dan Kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Dalam buku Politik Multikulturalisme; Menggugat Realitas Kebangsaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), cet. 5, h. 16-20.  Lihat juga M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi, 2008), cet. 1, h. 39.
[4]Sultan Hamengku Buwono X, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 13.
[5]Bedjo Sujanto, Pemahaman Kembali Bhinneka Tunggal Ika dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara, (Jakarta: CV. Sagung Seto, 2007), cet. 1, h. 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar