Indonesia
adalah ibarat taman dengan keanekaraman hayati dan mahluk hidup di dalamnya.
Negara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke ini berjajar pulau-pulau
dengan komposisi dan konstruksi yang beragam. Di pulau-pulau tersebut berdiam
penduduk dengan beragam suku-bangsa, bahasa, budaya, adat-istiadat, agama, dan keberagaman lainnya dari
berbagai aspek. Secara keseluruhan, pulau-pulau di Indonesia berjumlah 17.508
buah pulau besar dan kecil dengan kebhinnekaan suku yang mendiaminya yang
berjumlah lebih dari 1.128 suku bangsa dan lebih dari 700 bahasa daerah.
Oleh
karena itu, menurut Clifford Geertz, Indonesia sedemikian kompleks, sehingga
sukar untuk melukiskan anatominya secara persis. Indonesia bukan hanya
multietnis (Jawa, Batak, Bugis, Aceh, Flores, Bali, Sasak, dan seterusnya),
melainkan juga menjadi arena pengaruh multimental (India, Cina, Belanda,
Portugis, Hindhuisme, Buddhisme, Konfusianisme, Islam, Kristen, dan
seterusnya). Indonesia, tulis Geertz, “Adalah sejumlah ‘bangsa’ dengan ukuran,
makna, dan karakter yang berbeda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang
bersifat historis, ideologis, religius, dan semacam itu disambung-sambung
menjadi sebuah struktur ekonomis dan politis bersama.”[1]
Fakta
pluralitas dan diversitas kultural Indonesia yang berasal dari bersatunya
komunitas-komunitas kultural dan lainnya, yang memiliki pandangan hidup yang
kurang lebih berbeda satu dengan yang lainnya, dan sebagian besar dari
komunitas-komunitas itu telah mendiami wilayahnya jauh sebelum kawasan tersebut
menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu tidak hanya
berlaku bagi kelompok etnis yang sering dikategorikan “pribumi”, karena bahkan
orang-orang Arab dan China atau kelompok lain yang sering disebut “pendatang”
atau “non-pribumi” pun sudah ada di wilayah ini sebelum Indonesia lahir sebagai
negara merdeka.[2]
Ketika
kapal-kapal pertama Eropa berlayar memasuki kepulauan Melayu-Indonesia pada
awal abad ke-16, mereka bukan menemukan sebuah dunia yang masih terlelap dalam
kehidupan primitif, melainkan sebuah kawasan ramai dengan dinamisme komersial.
Kepulaun ini telah lama menjadi salah satu dari pusat perniagaan maritim besar
di dunia. Karena itu, kota dagang Asia Tenggara adalah titik temu pluralistis
bagi orang-orang dari segala penjuru dunia. Para pengunjungnya meliputi
orang-orang Arab, Cina (Muslim dan non-Muslim), Muslim, Hindu India,
orang-orang suku animistis, beberapa Kristen, dan bahkan kadang-kadang delegasi
tamu dari Jepang.”[3]
Dengan
demikian, kemajemukan Indonesia adalah konsekuensi dari kehadiran bersama lebih
dari satu bangsa, kelompok atau komunitas etnis yang telah berlangsung sangat
lama. Kemajemukan Indonesia adalah realitas yang tak mungkin dinegasikan,
selama bentangan geografis tersebut masih disebut Indonesia. Kemajemukan adalah
fakta keindonesiaan kita.
Oleh
karena itu, sangat menyedihkan menyaksikan realitas kemajemukan itu
seringsekali terkoyak oleh serangkaian konflik bernuansa kekerasan antaranak
bangsa yang terjadi di berbagai daerah, dengan korban jiwa dan materi yang tak
sedikit. Berbagai konflik komunal itu
tidak hanya mengganggu kenyamanan, keamanan, atau stabilitas nasional, tapi
menimbulkan ancaman disintigrasi yang semakin massif. Konflik-konflik komunal
tersebut juga memperlihatkan kepada kita dan menggambarkan bangunan kebangsaan
yang diangankan solid, ternyata ditopang oleh fondasi yang ringkih nan rapuh.
Bangsa ini harus khawatir dengan persoalan ini, karena tantangan terberat
sebuah bangsa yang tersusun secara multikultural, multietnik, dan multiagama
yang rapuh dan rentan dalam perpecahan, cenderung berakhir pada kehancuran,
jika gagal dikelola dengan bijak.
Kita
patut khawatir karena mencermati hasil studi Arend Lijphard beberapa tahun yang
lalu, mengenai demokrasi di negara-negara plural. Ia mengidentifikasi, dari 114
negara, hanya 15% di antaranya yang dapat digolongkan sebagai demokrasi yang
stabil yang berasal dari masyarakat yang plural, yang umumnya berasal dari
masyarakat yang relatif homogen (low and moderater pluralism).[4]
Masyarakat
yang plural di Dunia Ketiga acapkali terjatuh pada instabilitas yang rawan
disintegrasi. Indonesia yang terdiri atas masyarakat yang plural,
multikultural, dan sangat heterogen, pada dasarnya tak memiliki jaminan untuk
tidak mengalami perpecahan, atau paling tidak kesulitan untuk mencapai
demokrasi yang stabil.
Memang,
tak bisa dipungkiri bahwa kemajemukan Bangsa Indonesia dapat menghadirkan dua
potensi yang masing-masingnya sangat mungkin terjadi. Kemajemukan itu dapat
memperlihatkan keindahan ibarat sebuah taman dengan keanekaragaman
tumbuh-tumbuhan dan mahluk hidup di dalamnya yang menjadi modal dasar bagi
kemajuan, atau sebagai realitas perbedaan yang mengoyak kedamaian,
keharmonisan, sumber segala perpecahan dan kehancuran. Kedua potensi itu bisa
terwujud tergantung dari cara Bangsa Indonesia mengelola dan memperlakukan
kemajemukan atau keanekaragaman yang merupakan fakta kebangsaan Indonesia.
Para
pendiri bangsa ini telah memperlihatkan bahwa mereka tidaklah menemukan sebuah
realitas masyarakat yang homogen, mereka telah diwariskan oleh sejarah realitas
yang tidak seragam. Namun, mereka mampu menghadapi tantangan itu, mula-mula
dengan melampaui keegoan mereka, melampaui segala perbedaan di antara mereka,
dan merajut segala perbedaan itu menjadi “sebuah taman” yang indah, taman yang
layak di tempati oleh generasi-generasi sesudahnya.
Dan
kini, kita telah mendapatkan warisan dari sejarah dan pendiri bangsa ini,
sebuah warisan yang wajib dijaga dan ditanggung, yakni warisan bernama
Indonesia. Kita diwariskan tanggungjawab untuk menjaga Indonesia, sebagai
“taman” yang indah, nyaman, damai, harmonis, dalam keragaman dan
kemajemukannya.
Kreativitas
Kebangsaan
Wajah manis Indonesia sebagai
negara dengan penduduk muslim terbesar dibandingkan dengan negara-negara dengan
mayoritas muslim lainnya, bukanlah hasil yang lahir secara tiba-tiba.
Perjalanan sejarah memang proses yang panjang, berliku, dan melelahkan;
perkembangan mutakhir ini merupakan manifestasi dari kreatifitas kebangsaan
yang berlangsung dalam rangkaian sejarah panjang bangsa Indonesia. Kreatifitas
kebangsaan ini terefleksi pada kreativitas-kreativitas kultural dan
kreativitas-kreativitas struktural.
Kreatifitas kultural Bangsa
Indonesia tergambar dalam semua unsur kebudayaan, seperti nilai, etika, moral,
seni, dan pola tingkah laku. Kreatifitas kultural tersebut bermuara pada wajah
toleran, damai, harmonis yang merupakan kodrat kebangsaan Indonesia yang dapat
kita lihat secara materil salah satunya pada aktifitas-aktifitas kreatif seni dan
kebudayaan di berbagai kawasan di Indonesia. Meskipun benih-benih intoleransi
berwajah garang masih terus muncul, signifikansi kreatifitas kultural Bangsa
Indonesia lebih besar dibandingkan pengaruh-pengaruh destruktif semacam itu.
Pancasila dan Bhinneka Tunggal
Ika adalah simbol kreativitas kultural yang paling penting dalam bangunan
Indonesia. Sebagai asas negara, pancasila merupakan kreativitas kultural,
sebagai titik temu kesepakatan (kalimatun
sawa) di antara para pendiri bangsa. Signifikansi Pancasila adalah
kemampuannya menjadi simbol persatuan dari kebhinnekaan
Indonesia. Pancasila adalah cirri kultural bangsa Indonesia yang menjadi
dasar di mana negara Indonesia dibentuk. Nilai-nilai yang dikandungnya
merupakan seperangkat nilai yang mampu menjadi perekat sosial dan preferensi
ideal di antara segenap rakyat Indonesia.
Sementara itu, Bhinneka Tunggal Ika adalah “mantra
sakti” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia adalah ideologi yang menjadi
spirit survivalitas kesatuan Indonesia hingga saat ini. Begitu sulit
membayangkan Indonesia, dengan fakta pluralitas dan multikulturalitasnya mampu
mempertahankan eksistensinya sebagai negara kesatuan. Bahkan, beberapa kalangan
mengatakan bahwa hanya Indonesia yang mampu mempertahakan kesatuannya di tengah
keragaman yang begitu besar. Semboyan tersebut merupakan kondisi dan tujuan
kehidupan yang ideal dalam lingkungan masyarakat yang serba majemuk,
multietnik, dan multiagama. Sebagaimana diungkapkan Supomo, semboyan tersebut
menggambarkan gagasan dasar, yaitu menghubungkan daerah-daerah, pulau-pulau,
dan suku-suku bangsa di seluruh Nusantara menjadi kesatuan-raya.[5]
Sementara itu, kreatifitas
struktural terkait mengokohkan kreatifitas kultural pada dimensi
materialitasnya. Kreatifitas struktural adalah kemampuan Bangsa Indonesia untuk
menjamin dan menjembatani kebutuhan-kebutuhan struktural realitas keindonesiaan
yang sangat majemuk baik dalam arti ekspresi maupun materialitasnya.
Kreatifitas struktural ini dapat kita lihat pada bentuk kenegaraan. Sebagai
negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Indonesia tidak lantas menjadi
Negara Islam, tapi pada sisi yang lain tidak juga mengalami sekularitas
ekstrem. Pada kenyataannya, Indonesia masih memiliki kementerian yang berfungsi
mengurus urusan-urusan keagamaan, Indonesia masih memberikan kesempatan bagi
partai-partai berbasis (massa) Islam, memiliki lembaga sosial keagamaan, dan
lain sebagainya. Perkembangan kelembagaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
semakin intensif pasca lengsernya Presiden Soeharto. Pasca Orde Baru, Indonesia
mengalami perubahan yang signifikan dalam sistem demokrasi seperti
berlangsungnya pemilihan langsung dan sistem multipartai, kebebasan pers, desentralisasi kekuasaan, dan
reformasi fungsi militer. Perubahan-perubahan pada sistem ketatanegaraan ini
melahirkan kesempatan pada kontestasi kekuasaan yang lebih terbuka, pembagiaan
kekuasaan yang lebih adil, transparan, dan efektif, serta menjamin perlindungan
hak-hak konstitusional setiap warga negara dengan lebih baik. Demikian pula,
tumbuhnya lembaga-lembaga hukum yang memungkinkan ekspresi-ekspresi keagamaan
dikontestasikan semisal pada mahkamah konstitusi dan undang-undang peradilan
agama, dan lain sebagainya.
Perkembangan-perkembangan
kelembagaan tersebut menjamin apa yang disebut Huntington sebagai ‘tertib
politik’ (politic order) yang menjamin proses demokratisasi dan sistem
pemerintahan berjalan stabil. Sekaligus, menjadi bentuk akomdosi transformatif
agama dan negara.
Kreativitas kebangsaan yang
terefleksi pada kreativitas-kreativitas kultural bangsa Indonesia harus
dipelihara, diaplikasikan, dan dikontekstualisasi dalam kehidupan sehari-hari.
Kreativitas-kreativitas kultural itu, baik dalam Pancasila dan Bhinneka Tunggal
Ika, ataupun yang tersebar dalam setiap ekspresi-ekspresi kebudayaan masyarakat
Indonesia, merupakan harta warisan yang tak ternilai harganya.
Kreativitas-kreativitas kultural tersebut, selain memperkaya khasanah
kebangsaan kita, yang paling penting adalah menjaga eksistensi Indonesia itu
sendiri. Sementara itu, kreativitas-kreativitas struktural merupakan kontrak-kontrak
sosial yang menjamin tertib sosial-politik, dan oleh karena itu menuntut
kepedulian setiap warga negara untuk mematuhinya demi berjalannya kehidupan
berbangsa dan bernegara secara baik.
[1]Dikutip dari
Pengantar F. Budi Hardiman; Belajar dari Politik Multikulturalisme.
Dalam buku Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, (Jakarta: LP3ES,
2011), Cet. 2, h. viii.
[2](ed.) Hikmat
Budiman, Minoritas E pluribus Umum dan Demokrasi. Dalam buku Hak Minoritas;
Ethnos, Demos, dan Batas-Batas Multikulturalisme, (Jakarta: The Interseksi
Foundation, 2009), cet. 1, h. 3.
[3]Robert W.
Hefner; Multikulturalisme dan Kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan
Indonesia. Dalam buku Politik Multikulturalisme; Menggugat Realitas
Kebangsaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), cet. 5, h. 16-20. Lihat juga M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia
Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi, 2008), cet. 1, h. 39.
[4]Sultan Hamengku
Buwono X, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 13.
[5]Bedjo Sujanto, Pemahaman
Kembali Bhinneka Tunggal Ika dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan
Bernegara, (Jakarta: CV. Sagung Seto, 2007), cet. 1, h. 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar