Pendahuluan
Secara
geografis, Indonesia adalah negara yang sangat luas yang terbentuk dari gugusan
kepulauan-kepulauan yang membentang dari Sabang hingga Merauke, yang jika
diukur dengan bentangan negara-negara di Eropa, luas Indonesia mencapai jarak
dari London hingga Teheran. Bentangan negara yang begitu luas itu ditinggali
oleh populasi penduduk yang cukup besar, dengan perbedaaan demografis yang
sangat jelas, dengan perbedaan struktur sosial, keanekaragaman etnis dan
ekspresi kebudayaan, pluralitas keyakinan dan kepercayaan, hingga perbedaan
historisitas yang membentuk subjektivitas masing-masing kelompok masyarakat.
Oleh
karena itu, Indonesia adalah taman dunia. Ibarat sebuah taman, Indonesia
dihiasai oleh aneka bunga, tumbuhan, dan berbagai mahluk hidup yang berada di
dalamnya. Kebhinekaan itu kemudian berhasil menjadi satu-kesatuan yang saling
mengikat dalam apa yang kita diajarkan tentang Bhinneka Tunggal Ika,
berbeda-beda tetapi tetap satu.
Bhineka
Tunggal Ika (bersma Pancasila) adalah “mantra sakti” dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Ia adalah ideologi yang menjadi spirit survivalitas kesatuan
Indonesia hingga saat ini. Begitu sulit membayangkan Indonesia, dengan fakta
pluralitas dan multikulturalitasnya mampu mempertahankan eksistensinya sebagai
negara kesatuan. Bahkan, beberapa kalangan mengatakan bahwa hanya Indonesia
yang mampu mempertahakan kesatuannya di tengah keragaman yang begitu besar.
Beberapa
negara, salah satunya Uni Soviet malah pada akhirnya harus meratapi
kegagalannya mempertahankan kesatuannya, dan terpecah menjadi beberapa
negara-negara kecil. Oleh karena itu, meski “mantra” ini mendapat komentar
kritis dari para sarjana, namun fakta persatuan yang terwujud dari aktualisasi
spiritnya membuat kita tak bisa tak mengakui kekuatan “mantrawinya”.[1]
Akan
tetapi tak bisa dipungkiri pula bahwa kenyataan kondisi negara ini yang begitu
“amburadul” dalam berbagai sendi kehidupan membuat spirit yang dikandungnya
terasa tak mengejawantah sebagaimana semestinya. Korupsi, kemiskinan,
kebodohan, keterbelakangan, kriminalitas, ketidakacuhan pada otoritas hukum,
kesenjangan kemakmuran di tengah-tengah masyarakat, keluguan menjadi pasar
produk impor dan acuh terhadap hasil karya anak bangsa, dan lain-lain membuat
kesaktian Bhineka Tunggal Ika tumpul dalam aktualisasi. Dia masih dimaknai
sebagai motto penghias bibir, kebanggaan dangkal yang digemakan dalam berbagai
ranah dan moment.
Konsekuensi
dari dangkalnya aktualisasi nilai-nilai luhur bangsa ini harus disadari dengan
sungguh-sungguh oleh setiap individu. Realitas yang teramati sekarang ini telah
sangat bertolak-belakang dengan spirit Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri.
Egoisme kedaerahan kembali mengemuka, kita kemudian seolah hidup di satu atap
tetapi tak ada spirit yang mempertemukan kita. Akibatnya, kita hidup di bawah
satu atap, tetapi kemakmuran dan kesejahtraan berbeda, kepedulian terhadap
sesama mulai meluruh seakan kelaparan dan busung lapar yang terjadi di daerah
lain adalah bukan masalah kita. Persoalan kemenjarakan dalam berbagai sendi
kehidupan di antara masyarakat Indonesia adalah persoalan besar dan menjadi
tantangan besar yang harus mendapatkan jalan keluar, karena jika hal tersebut
terus-menerus terjadi, maka apa yang kita banggakan sebagai bangsa yang bersatu
hanya akan menjadi cerita bagi generasi mendatang. Inilah konsekuensi terburuk
yang harus disadari bersama oleh semua elemen bangsa ini.
Indonesia
memiliki segalanya untuk menjadi bangsa besar. Misalnya, ke-bhinneka-an agama,
budaya dan adat istiadat menjadi modal besar untuk mewujudkan kemakmuran dan
kesejahtraan. Budaya dan adat-istiadat yang berbeda-beda tersebut kemudian
mewujudkan keanekaragaman seni, tari, dan kuliner yang sangat kaya. Seandainya
keanekaragaman tersebut dihormati, dihargai, dicintai oleh setiap rakyat
Indonesia, dan menganggapnya sebagai bagian dari dirinya, maka ke-bhinneka-an
menjadi berkah Tuhan yang paling besar bagi bangsa ini.
Kemajemukan
secara alami adalah sejarah bangsa Indonesia. Persoalannya adalah bagaimana
mengaktualisasikan Bhinneka Tunggal Ika ke dalam konteks yang tepat;
yakni bagaimana caranya kita mengubah modal potensial itu menjadi kekuatan
nyata yang mampu menjawab problem dan tantangan kebangsaan yang tengah menerpa
Republik ini.
Tugas
seluruh rakyat Indonesia adalah mengejawantahkan spirit Bhinneka Tunggal Ika
pada tindakan-tindakan praktis dan riil dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Ia tidak boleh berhenti pada abstraksi yang mengawang-ngawang,
tetapi mampu menjadi kebijaksanaan praktis dalam kehidupan sehari-hari, seperti
tentang pemantapan rasa cinta tanah air dan pengembangan nilai-nilai kewargaan.
Kedua point tersebut juga harus mewujud dalam prilaku dan tindakan praktis
seperti gotong royong, disiplin lalu lintas, pemenuhan terhadap berbagai
kewajiban sebagai warganegara, penghormatan terhadap simbol-simbol negara, rasa
cinta terhadap produk dalam negeri, dan lain-lain.
Tulisan
ini dimaksudkan untuk menggugah pikiran kita mengenai bagaimana usaha
mengeksplorasi jari diri bangsa yang diderivasi dari wawasan Nusantara, yang
teraktualisasi dalam Bhinneka Tunggal Ika dapat ditempatkan sebagai
jawaban bagi segudang persoalan dan tantangan yang tengah kita hadapai.
Sebelum
sampai pada maksud itu, terlebih dahulu kita mengurai Bhinneka Tunggal Ika
sebagai fakta pluralitas Bangsa Indonesia.
Bhinneka
Tunggal Ika dan Fakta Pluralitas
Bhinneka
Tunggal Ika sebagai ideologi pemersatu Bangsa Indonesia merupakan sesanti yang
digali dari kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular pada abad keempat
belas di masa Kerajaan Majapahit. Dalam kitab itu tertulis “Rwaneka dhatu
winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng
Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma
mangrwa” (Bahwa agama Buddha dan Siwa (Hindu) merupakan zat yang berbeda,
tetapi nilai-nilai keberaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal.
Terpecah-belah, tetapi satu jua, artinya tak ada darma yang mendua). Semboyan
tersebut merupakan seloka yang menekankan pengtingnya kerukunan antar
umat beragama (waktu itu Hindu dan Buddha).
Corak
teologis ini semula dimaksudkan agar antara Buddha dan Hindu dapat hidup
berdampingan dalam damai dan harmonis. Corak teologis ajaran Mpu Tantular
tersebut kemudian digubah oleh para pendiri bangsa ini untuk menjadi dasar
persatuan Indonesia. Ajaran tersebut diberikan penafsiran baru karena relevansi
strategisnya bagi bangunan Indonesia merdeka yang terdiri dari beragam agama,
kepercayaan, ideologi politik, etnis, bahasa, dan budaya. Dasar pemikiran
tersebut menjadikan semboyan “sakti nan kramat” Bhinneka Tunggal Ika
terpampang melengkung dalam cengkramam kedua kaki Burung Garuda yang menjadi
simbol negara.
Semboyan
tersebut merupakan kondisi dan tujuan kehidupan yang ideal dalam lingkungan
masyarakat yang serba majemuk, multietnik, dan multiagama. Sebagaimana diungkapkan
Supomo, semboyan tersebut menggambarkan gagasan dasar, yaitu menghubungkan
daerah-daerah, pulau-pulau dan suku-suku bangsa di seluruh Nusantara menjadi
kesatuan-raya.[2]
Kutipan pupuh 139 bait Kakawin Sutasoma tersebut ditafsirkan dan diperkaya oleh
para pendiri Bangsa Indonesia yang menjadi bayangan atau imajinasi mereka
tentang citra bangungan Indonesia.
Seperti
yang saya katakan di bagian pendahuluan tulisan ini, Indonesia adalah ibarat
taman dengan keanekaraman hayati dan mahluk hidup di dalamnya. Negara yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke ini berjajar pulau-pulau dengan komposisi
dan konstruksi yang beragam. Di pulau-pulau tersebut berdiam penduduk dengan
beragam suku-bangsa, bahasa, budaya, adat-istiadat, dan keberagaman lainnya
dari berbagai aspek. Secara keseluruhan, pulau-pulau di Indonesia berjumlah
17.508 buah pulau besar dan kecil dengan kebhinnekaan suku yang mendiaminya
yang berjumlah lebih dari 1.128 suku bangsa dan lebih dari 700 bahasa daerah.
Oleh
karena itu, menurut Clifford Geertz, Indonesia sedemikian kompleks, sehingga
sukar untuk melukiskan anatominya secara persis. Indonesia bukan hanya
multietnis (Jawa, Batak, Bugis, Aceh, Flores, Bali, Sasak, dan seterusnya),
melainkan juga menjadi arena pengaruh multimental (India, Cina, Belanda,
Portugis, Hindhuisme, Buddhisme, Konfusianisme, Islam, Kristen, dan seterusnya).
Indonesia, tulis Geertz, “Adalah sejumlah ‘bangsa’ dengan ukuran, makna, dan
karakter yang berbeda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang bersifat
historis, ideologis, religius, dan semacam itu disambung-sambung menjadi sebuah
struktur ekonomis dan politis bersama.”[3]
Menurut
Budiono Kusumohamidjojo, yang dikutip oleh Hamengku Buwono X, “Masyarakat
Indonesia termasuk di antara masyarakat-masyarakat yang paling problematis di
dunia”. Apa yang dikatakan itu bukanlah berlebihan, karena memang perkembangan
masyarakat yang kini menyebut dirinya Indonesia itu, telah melalui suatu jarak
waktu yang panjang, yaitu ketika masyarakat itu masih bertegak dan hidup dalam
“negara” atau kerajaan-kerajaan Nusantara.[4]
Fakta
pluralitas dan diversitas kultural Indonesia yang berasal dari bersatunya
komunitas-komunitas kultural dan lainnya, yang memiliki pandangan hidup yang
kurang lebih berbeda satu dengan yang lainnya, dan sebagian besar dari
komunitas-komunitas itu telah mendiami wilayahnya jauh sebelum kawasan tersebut
menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu tidak hanya
berlaku bagi kelompok etnis yang sering dikategorikan “pribumi”, karena bahkan
orang-orang Arab dan China atau kelompok lain yang sering disebut “pendatang”
atau “non-pribumi” pun sudah ada di wilayah ini sebelum Indonesia lahir sebagai
negara merdeka.[5]
Tentang
hal ini menarik menyimak apa yang dikatakan oleh Clifford Geertz yang dikutip
oleh Hamengku Buwono X;
Ketika
kita menyaksikan panorama Indonesia saat ini, rasanya kita sedang menyusun
suatu sinopsis masa lalu tanpa batas, seperti kalau kita melihat benda-benda
peninggalan sejarah (artefak) dari bermacam-macam lapisan-lapisan dalam situs
arkeologis yang lama mengeram, yang dijajarkan di atas sebuah meja sehingga
sekali pandang bisa kita lihat kilasan sejarah manusia sepanjang ribuan tahun.
Semua atus kultural yang sepanjang tiga milenia, mengalir berututan, memasuki
Nusantara dari India, dari China, dari Timur Tengah, dari Eropa – terwakili di
tempat-ditempat tertentu: di Bali yang Hindu, permukinan China di Jakarta,
Semarang atau Surabaya, di pusat-pusat Muslim di Aceh, Makkasar atau Dataran
Tingggi Padang; di daerah-daerah Minahasa dan Ambon yang Calvinis, atau
daerah-daerah Flores dan Timor yang Katolik.[6]
Setelah
menunjukkan fakta pluralitas Indonesia yang bersumber dari fakta-fakta
historis-antropologis itu, Geertz dengan sangat membantu menunjukkan fakta
tentang kemajemukan kondisi masyarakat Indonesia hari ini yang merupakan dampak
dari sejarah panjang pembentukannya, sebagai berikut;
Rentang
struktur sosialnya juga lebar, dan merangkum; sistem kerukunan Melayu-Polynesia
di pedalaman Kalimantan atau Sulawesi, desa-desa tradisional di dataran rendah
di sepanjang sungai Jawa Tengah dan Jawa Timur, desa-desa nelayan dan
penyelundupan yang berorientasi pasar di pantai-pantai Kalimantan dan Sulawesi;
ibu kota-ibu kota provinsi yang kumuh dan kota-kota kecil di Jawa dan
pulau-pulau seberang; dan kota-kota metropolitan yang besar, terasing dan
setengah modern seperti Jakarta, Medan, Surabaya, dan Makkasar. Keanekaragaman
bentuk perekonomian, sistem-sistem stratifikasi, atau aturan kekerabatan yang
juga melimpah ruah.[7]
Dengan
demikian, kemajemukan Indonesia adalah konsekuensi dari kehadiran bersama lebih
dari satu bangsa, kelompok atau komunitas etnis di dalam negara ini. Masuknya
berbagai bangsa, kelompok atau komunitas tersebut menjadi Negara Indonesia
didasari oleh kesamaan nasib sebagai bangsa terjajah yang mana kesamaan nasib
itu melampaui sekat-sekat sosio-kultural bangsa-bangsa dan kelompok atau
komunitas etnis di Nusantara untuk bersatu. Karena itu, keberadaan
bangsa-bangsa itu dalam Negara Indonesia lahir dari kerelaan. Bangsa Indonesia
telah berabad-abad hidup dalam kebersamaan dan dengan keragaman serta perbedaan-perbedaan,
namun dengan keanekaragaman dan perbedaan itu mereka mengikat diri dalam satu
perjuangan yang terkonsolidasi membebaskan diri dari penjajahan.
Kesadaran
terhadap tantangan dan cita-cita untuk membangun sebuah bangsa telah
terpikirkan dalam benak para pendiri bangsa ini. Kesadaran itu kemudian
tertuang dalam Bhinneka Tunggal Ika. Ke-bhinneka-an adalah realitas sosial,
sedangkan ke-tunggal ika-an adalah cita-cita kebangsaan. Cita-cita sebagai
bangsa yang merdeka dan berdaulat adalah cita-cita yang membentuk sebuah ikatan
yang merangkul keberagaman.
Kesadaran
terhadap tantangan dan cita-cita itu sebenarnya sudah tercermin dari pilihan
menggunakan “Indonesia” sebagai nama negara ini. Penamaan Indonesia sebagai
konsep negara-bangsa pada awalnya merupakan konstruksi antropologi yang
dikembangkan oleh dua sarjana Inggris yakni James Richardson Logan dan George
Samuel Windsor Earl yang kemudian dipopulerkan oleh antropolog Jerman, Adolf
Bastian.[8]
Dalam
istilah antropologi itu, nama Indonesia berasal dari bahasa Latin; Indo yang
berarti Hindia, dan Nesioi yang berarti pulau-pulau. Maka jika digabungkan nama
Indonesia berarti pulau-pulau Hindia (Tempo, 2008: 66). Konstruksi inilah yang
kemudian diterima dalam Kongres Pemuda II yang menghasilkan apa yang kita
peringati sebagai Sumpah Pemuda, pada tanggal 28 Oktober 1928. Penamaan Indonesia,
tentu saja adalah pilihan politik yang sangat visioner karena mereka yang
terlibat dalam konsensus itu berlatarbelakang berbeda segalanya, baik agama,
budaya, dan adat-istiadat.
Dari penamaan di atas, dapat kita lihat bahwa
nama Indonesia adalah hasil perlintasan bahasa asing, bukan bahasa asli kita.
Jika dianalisis lebih lanjut, sangat banyak lema—ibarat 9 dari 10—dalam bahasa
Indonesia yang melintas dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa-bahasa asing
dengan cara yang khas.
Lewat analisis bahasa, kita dapat menemukan
betapa banyak kata serapan bahasa asing, termasuk juga bahasa daerah dari
wilayah Sabang sampai Merauke, yang sekaligus menggambarkan bahwa penduduk
Nusantara membawa kebudayaannya masing-masing menjadi suatu kebudayaan yang
bersifat kemempelaian, yaitu bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia adalah bahasa yang terbuka
bagi semua bahasa yang melintas ke sini. Gambaran paling gampang untuk melihat
bukti itu adalah menyimak teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, suatu maklumat
kepada dunia tentang arti kebangsaan berharkat karena merdeka dari penjajahan.
Di dalam teks ini kita dapat melihat bagaimana kata-kata bahasa asing dan
daerah menyatu menjadi suatu bahasa tunggal ika yang terbuka; bahasa Belanda
(proklamasi: proclamatie), Sanskerta (merdeka: mahardikka),
Jepang (’05, kalender Showa), Latin (Agustus, kalender Masehi; indo, nesioi).
Ada hal yang menarik dari dimensi linguistik
ini; sejak awal, bahasa Melayu yang kemudian ditarik menjadi bahasa nasional,
bahasa Indonesia, merupakan bahasa yang terbuka. Sebagaimana digambarkan oleh
Robert W. Hefner, bahwa bahasa Melayu adalah bahasa komunikatif, terutama
ketika daerah-daerah Melayu itu menjadi pusat perdagangan internasional pada
abad-abad ke-16 dan 17. “Mulusnya penyebaran bahasa ini mengisyaratkan bahwa
ada yang penting mengenai sifat pluralisme kawasan ini. Andaikata kotak-kotak
etnis itu mempunyai batas-batas yang tegas atau bersifat oposisional dan keras,
maka penyebaran linguistis ini pasti lebih lambat dan kurang merata.”[9]
Dari analisis bahasa tersebut, kita sudah
memperoleh gambaran yang jernih perihal kebhinnekaan Indonesia, karena
kebhinekaan bahasa juga dengan pasti menunjukkan kebhinekaan bangsa. Dengan
demikian, sudah menjadi kodrat kita sebagai bangsa yang plural. Keanekaragaman
ini adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa diingkari atau dinafikan begitu
saja, melainkan harus dihargai, dihormati, dan dikreasi menjadi modal dasar
kemajuan bangsa ini.
Para
pendiri bangsa ini sangat menyadari bahwa kebhinnekaan adalah realitas sosial
yang tak mungkin dinegasikan, melainkan sebaliknya dihormati dan dihargai.
Mereka juga mengajarkan kepada kita
bahwa ke-bhineka-an dapat menjadi kekuatan perubahan, sebagai kekuatan yang
mempersatukan dalam mewujudkan cita-cita bersama. Sumpah Pemuda yang menjadi
tonggak nasionalisme Indonesia tidaklah dihasilkan dari pemuda dengan
latar-belakang yang homogen, melainkan lahir dari pemuda-pemuda dengan
latar-belakang yang sangat berbeda-beda.
Penyangkalan Kebhinnekaan, Penyangkalan
Keindonesiaan
Fakta
tentang deep diversity Indonesia seringkali mengalami pelupaan atau
barangkali sengaja disangkal oleh elit penguasa yang tergambar pada bagaimana
kekuasaan mereka diproyeksikan. Terutama pada rezim Orde Baru Soeharo. Obsesi
tentang integrasi nasional dan moderniasai memperoleh bentuk yang sempurna
melalui berbagai kebijakan dan program yang dirancang oleh dua penyokong
utamanya; elit militer dan para ekonom-teknokrat. Mereka sebagai aktor utama
yang merefresentasikan kekuatan negara memiliki sebuah kesamaan dalam memandang
masyarakat. Mereka mengkonsepsikan masyarakat sebagai kumpulan manusia yang
memiliki keseragaman dalam berbagai karakteristiknya, yang menempati ruang
geografis yang dibayangkan sebagai sebuah bidang datar.
Berdasarkan
konsepsi semacam itu, militer dan ekonom-teknokrat memperlakukan masyarakat
sebagai sesuatu yang secara rasional-sistematis dapat didesain dan direkayasa
dari sebuah pusat pengendali tertentu menuju ke arah yang diinginkan. Perbedaan
dan keragaman etnis yang melekat dalam masarakat dianggap tidak ada atau tidak
relevan, dalam rekayasa sosial dan perencanaan pembangunan. Berbagai kebijakan
dan program dibuat secara seragam untuk seluruh rakyat Indonesia dan dijalankan
melalui pengendalian yang terpusat. Perencanaan pembangunan cukup didasarkan
oleh angka-angka statistik demografis-ekonomis dan berbagai indikator ekonomis
yang bersifat agregatif.
Pluralitas
dan heterogenitas etnis yang terdapat dalam masyarakat Indonesia
sungguh-sungguh berada di luar imajinasi kedua penyokong setia Orde Baru
tersebut. Proses rekonstruksi wacana etnisitas pada masa Orde Baru mencapai
puncaknya ketika berhasil dikemas dalam konsep “SARA” yang kemudian menjadi
acuan utama kebijakan negara yang pada dasarnya mengandaikan sebuah masyarakat
tanpa konflik dan harmoni. Implikasi dari konsep ini adalah perbedaan dan
keberagaman merupakan sumber konflik yang harus dihindari. Heterogenitas etnis
yang melekat pada masyarakat Indonesia dengan demikian harus dilebur melalui
berbagai kebijakan dan program sehingga pada akhirnya akan muncul apa yang
disebut sebagai kebudayaan nasional yang merupakan jati diri bangsa. Rezim Orde
Baru berupaya menyangkal entitas yang paling hakiki dari bangunan Indonesia,
yakni pluralitas dan heterogenitas itu sendiri. [10]
Politik
penyeragaman bahkan pemusnahan secara sistematis elemen-elemen lokalitas
menjadi harga yang harus ditanggung oleh daerah-daerah selama priode panjang
Orde Baru. Politik penyeragaman itu berlangsung mulai dari hal-hal yang sangat
sederhana seperti pakaian dan makanan sampai pada hal-hal yang sangat
fundamental seperti struktur pemerintahan desa. Karena penyeragaman menggunakan
krangka konseptual dan model yang bersumber pada tradisi Jawa, proses ini
kemudian serta-merta dimaknai sebagai proses jawanisasi. Beberapa peneliti
bahkan dengan terang menyebutnya sebagai jawanisasi Indonesia.[11]
Karenanya, tak mengherankan bila motif-motif kultural dan ideologis sering
menyeruak di balik tuntutan daerah menemukan fondasi bersamanya yang dilawankan
dengan “kolonialisme Jawa” sebagai “musuh bersama” daerah-daerah.
Pengalaman
terkait pergolakan-pergolakan di berbagai daerah yang terjadi pada priode
sebelumnya, benar-benar menjadi momok yang menghawatirkan pemerintahan Presiden
Soerharto. Kecurigaan dan kekhawatiran ini sangat mempengaruhi setiap program
dan kebijakan yang diambil pemimpin Orde Baru tersebut yang secara sistematis
ditujukan untuk menghadang segala hal yang berpotensi menjegal kekuasaannya.
Kecurigaan
dan kekhawatiran ini bisa dicermati pada kecenderungan over-sentralisasi dan
politik penyeragaman yang sangat keras yang dilakukan oleh rezim Orde Baru.
Kecurigaan dan kekhawatiran terhadap kemungkinan pemberontakan daerah dapat
dilacak pada bagaimana pengorganisasian struktur militer. Presiden Soerharto
membuat kebijakan untuk tidak menempatkan perwira dalam jabatan komando dari
daerah asalnya. Karena itu, tidak ada penguasa militer yang memiliki akar
politik yang kuat di daerah. Dengan cara
seperti ini, Presiden Soerhato berupaya mengendalikan di bawah kekuasaannya
segala hal yang berpotensi menopang pemberontakan, terutama dari kalangan
militer.
Langkah
lainnya yang diupayakan rezim Orde Baru untuk memuluskan roda kekuasaannya
adalah dengan mengendalikan kekuatan kewiraswastaan lokal. Sejarah pengaturan
politik lokal Indonesia selama Orde Baru menunjukkan terdapat dua kebijakan
penting yang diterapkan guna menghadapi sayap ekonomi ini dari berbagai aksi
“pemberontakan” di daerah, yakni dengan memangkas secara langsung kehidupan
mereka di tingkat lokal melalui pengembangan prosudur dan sekaligus pengalihan
hak monopoli pada kelompok penguasa baru yang berbasis pada birokrasi
sipil-militer dan keluarganya serta kekuatan minoritas pengusaha Tionghoa.
Strategi selanjutnya – yang paling berpengaruh besar pada lanskap Indonesia
hari ini – adalah dengan menyerap mereka ke Jakarta untuk menjadi bagian dari
“pengusaha nasional”. Kebijakan ini menjadikan para pengusaha lokal kehilangan
pijakannya di daerah-daerah. Deretan nama penting pengusaha lokal masa lalu
akhirnya menemukan Jakarta sebagai arena barunya, sementara mereka yang
berusaha tetap bertahan di daerah masing-masing menemukan tertutupnya ruang
ekonomi bagi aktivitas mereka.
Tidak
berhenti sampai di situ. Pemimpin Orde Baru sangat menyadari bahwa
penggerogotan kekuasaannya berpotensi datang dari sayap politik daerah-daerah
yang direpresentasikan oleh para politisi lokal. Ada dua stategi jitu yang
dijalankan rezim Orde Baru untuk mengeliminasi pengaruh mereka, yaitu melalui
politik pengasingan dan birokratisasi. Politik pengasingan bermakna ganda. Ia
bisa berarti pengasingan politik sebagaimana biasanya melalui pembuangan atau
dapat pula dalam bentuk penarikan mereka ke pusat (Jawa) dan daerah lainnya
untuk menempati jabatan-jabatan yang lebih penting tapi tidak signifikan secara
politik. Sementara strategi birokratisasi dilakukan dengan menyerap para
politisi lokal berpengaruh ke dalam birokrasi lokal. Lewat berbagai strategi pengaturan
politik, termasuk aturan kepegawaian, semua politisi yang memiliki potensi yang
kuat di daerah-daerah diserap untuk menjadi bagian dari jaringan politisi dan
sekaligus birokrasi nasional.
Ada
banyak lagi mekanisme yang digunakan rezim Orde Baru untuk mengebiri kekuatan
para politisi lokal, misalnya dengan perbedaan insentif dan penggajian
berdasarkan hirarki spasial, pemberlakuan sistem dan mekanisme kepartaian, dan
lain-lain, memainkan peran penting dalam menyerap para politisi dan birokrat
potensial daerah untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem kekuasaan
pusat. Ditambah dengan pelembagaan KKN sebagai sebuah sistem pengelolaan
kekuasaan, semakin memaksa para politisi lokal untuk terus menengok pada
lingkaran kekuasaan rezim Orde Baru di Jakarta.[12]
Hal
tesebut berdampak panjang dan kompleks pada realitas Indonesia hari ini.
Terutama pada ketimpangan pembangunan di antara daerah-daerah, khususnya antara
Jawa dan luar Jawa. Ketimpangan pembangunan ini memiliki dampak turunan yang
sangat akut dan kompleks pada semua bidang.
Peta
kesenjangan distribusi kemakmuran dan kesenjangan pembangunan antardaerah
terjadi karena mekanisme kekuasaan yang dijalankan secara sengaja oleh rezim
Orde Baru dan sebagai akibat yang inharen dari sistem kekuasaan yang
sentralistik. Dengan kekuasaan sentralistik Soeharto semua kebijakan bermuara
atau sangat tergantung dari kemauan pribadinya. Dalam konteks pembangunan
infrastruktur wilayah, pemimpin Orde Baru tersebut selalu berpijak pada
bagaimana sikap politik masyarakat daerah terhadap kekuasaannya. Apabila
terkategori tidak sejalan, misalnya tidak mendukung Golkar, maka daerah
tersebut seperti terbiasa miskin atau terus tertinggal. Setidaknya ada
perlakuan yang diskriminatif antara daerah berbasis massa Golkar dengan daerah
basis massa partai lain. Dan, karena kekuasaan sentralistik itu pula, posisi
daerah seperti menunggu “belas kasihan” pusat.
Sejauh
masa Orde Baru, daerah-daerah sistem pajak harus menyetor ke pusat. Tetapi
pengembaliannya untuk daerah tidak lebih dari kisaran angka lima persen. Porsi
terbesar dimiliki Jawa, sedangkan luar Jawa hanya mendapatkan alokasi sisa.
Implikasinya, di satu sisi terjadi migrasi ke Jawa dalam jumlah yang melapaui
batas, sementara penduduk luar Jawa tersedot. Daerah-daerah ditinggalkan dengan
merana, tanpa adanya dukungan sumber daya manusia yang potensial. Di sisi lain,
banyak daerah kaya sumber daya alam yang sesungguhnya telah berkontribusi besar
kepada pusat, tetapi masyarakat lokal tersebut hidup dalam lumpur kemiskinan.[13]
Kesenjangan
distribusi kemakmuran dan kesenjangan pembangunan juga muncul dari konsekuensi
inharen dalam mekanisme kekuasaan sentralistik. Dalam mekanisme kekuasaan yang
menempatkan ibu kota atau pusat sebagi mikroskosmos negara, maka distrubusi
kemakmuran dan pembangunan akan mengalami gradasi sejalan dengan jarak
geograifis sebuah daerah.[14]
Dengan kata lain, semakin dekat sebuah daerah dari pusat, maka biasanya daerah
tersebut memiliki kans lebih besar pada akses-akses pembangunan, sebaliknya
semakin jauh sebuah daerah dari pusat maka semakin langka pula
kebijakan-kebijakan pembangunan berpengaruh pada mereka.
Kelemahan
utama dari model pembangunan sentralistik itu adalah absennya partisipasi yang
genuin dari masyarakat. Pembangunan dilakukan tanpa diketahui apakah masyarakat
memang membutuhkan program-program itu. Masyarakat karenanya ibarat bayi yang
terus bergantung pada asupan susu ibunya. Kecenderungan yang kemudian muncul
adalah menguatnya apatisme dan berkembangnya sindrom ketergantungan yang parah.
Kelemahan ini merupakan kontradiksi internal yang terdapat dalam sistem politik
sentralistik rezim Orde Baru yang terutama bermuara pada situasi masyarakat
yang bersifat apolitik di mana elemen-elemen masyarakat yang seharusnya mampu
memberikan umpan balik terhadap negara telah dimatikan.[15]
Karenanya, Indonesia ibarat bayi besar yang gagap menyikapi eksistensinya,
selalu tergantung pada asupan, pengayoman, dan pembinaan karena segala potensi
kreativitasnya disumbat atas nama stabilitas dan pembangunan.
Hasrat
sentralisme dan politik penyeragaman merupakan penyangkalan atas Indonesia
karena menyangkal entitas yang paling hakiki yang menyusun Indonesia.
Kesepakatan untuk mendirikan Indonesia sebagai bangunan tempat kita bernaung
dan hidup di dalamnya, di dasarkan dari kerelaan dan kesepakatan masyarakat-masyarakat
di segala penjuru negeri. Jadi rakyatlah yang mendelegasikan atau mengamanatkan
diri mereka pada negara, dan bukan negara yang rela mengayomi mereka yang
bergerak dari pusat kepada daerah-daerah. Oleh karena itu, bentuk negara harus
simetris dengan konstruksi bangsa/daerah. Artinya, negara harus mengakomodasi
segala keunikan, heterogenitas, dan pluralitas yang menjadi identitas
daerah-daerah yang telah terbangun jauh sebelum sebuah bangunan negara Indonesia
berdiri.
Permasalahan
mengenai kemajemukan – agama, budaya, adat, bahasa, dan sebagainya – merupakan
kodrat alami Bangsa Indonesia. Dan, masalah-masalah terkait kemajemukan itu
mengambil bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan dinamika sosial-politik dari
satu pridoe sejarah ke priode sejarah lainnya.[16]
Dengan kata lain, setiap upaya untuk menegasikan kemajemukan merupakan tindakan
melawan kodrat Indonesia. Oleh karena itu upaya untuk menekan SARA (suku,
agama, ras, atau golongan) seperti yang dilakukan rezim Orde Baru adalah
upaya-upaya yang menyangkal eksistensi kodrati Indonesia sebagai bangsa yang bhinneka.
Bhinneka Tunggal Ika dan Masyarakat
Multikultural
Oleh karena itu, bangunan Indonesia yang harus
terus ditekankan setelah lebih dari satu dekade Reformasi ini adalah sebuah
masyarakat yang menghayati Bhinneka Tunggal Ika dalam arti yang sebenarnya,
atau dalam istilah sosiologis disebut masyarakat multikultural.
Multikulturalisme bukanlah kenyataan, melainkan sebuah harapan yang musti
diperjuangkan terus-menerus. Dengan kata lain, multikulturalisme tidaklah dapat
disamakan dengan keanekaragaman secara suku-bangsa atau kebudayaan suku-bangsa
yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan
keanekaragaman dalam kesederajatan.
Kesederajatan menjadi kata kunci penting dalam
konsep multikulturalisme karena keberagaman budaya tidak dengan sendirinya
mewujudkan mutlikulturalisme. Keanekaragan budaya bisa saja hanya wujud
monokulturalisme majemuk. Bila ada dua gaya atau tradisi hidu yang saling
berdampingan naum tidak saling bersinggungan, hal ini mesti dipandang sebagai
monokulturalisme majemuk.
Bentuk keanekaragaman yang menggambarkan
fenomena monokulturalisme majemuk itu sangat telanjang tergambar selama masa
panjang Orde Baru. Dalam orde ini, kebinekaan secara simbolis diakomodasi
melalui sejumlah lambang kedaerahan (alat musik, rumah adat, baju tradisional)
dalam suatu tatanan sentralistis yang dijaga secara ketat agar menonjolkan
persatuan dan kesatuan, bukan perbedaan dengan berbagai konsekuensinya.
Pada rentang waktu yang sama, proyek
negara-bangsa ala Orde Baru ditarik secara serampangan pada pola penyeragaman,
bukan keanekaragaman. Imajinasi berlebihan terhadap negara kesatuan membuat
prakarsa daerah untuk merayakan lokalitas menjadi tersumbat. Atas nama
sentralisasi, tolak ukur budaya menjadi singular, bukan plural.
Multikulturalisme – mengambil pandangan Geertz - dengan demikian membutuhkan sebuah politik
baru, yang melihat penegasan diri etnis, religius, ras, dan bahasa atau pun
regional tidak sebagai irrasionalitas masa silam atau pun bawaan yang harus
ditekan atau diatasi; suatu politik yang memperlakukan berbagai ungkapan
kolektif itu tidak sebagai kegilaan yang dilecehkan, melainkan menghadapi
berbagai ungkapan kolektif itu sebagai keniscayaan bangsa majemuk.[17]
Dalam model tersebut, sebuah masyarakat dilihat
memiliki sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang
coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari
masyarakat-masyarakat terkecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih
besar, yang mempunyai kebudayaan yang tersusun dari mosaik-mosaik dari berbagai
kelompok masyarakat. Model multikulturalisme seperti ini sebenarnya telah
menjadi acuan para pendiri bangsa sebagaimana terungkap dalam penjelasan pasan
32 UUD 1945 yang berbunyi; “kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak
kebudayaan di daerah.”
Dalam model monokultur majemuk ala Orde Baru,
identitas-identitas yang menjadi bangunan eksistensial masyarakat inilah yang
terus-menerus ditekan dalam kebijakan SARA, suatu kebijakan yang secara ketat
memagari hal-hal yang dianggap berpotensi membangkitkan sentimen perbedaan
suku, agama, ras, dan antargolongan atas nama persatuan dan kesatuan sempit.
Persoalan mendasar dari state centric ala
Orde Baru ini adalah tersumbatnya kreativitas-kreativitas warga negara dalam
memahami keberadaaan kebangsaan mereka. Kebudayaan kewarganegaraan menjadi
persoalan mendasar di mana negara menempatkan dirinya sebagai “bapak” dengan
citra feodalistiknya.[18]
Karena itu, wajah kesatuan yang tampak dalam rezim panjang Orde Baru menyimpan
persoalan mendasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbangsa dan
bernegara dalam kesatuan Republik Indonesia mengandaikan kesatuan dalam
keragaman belum menjadi cara hidup yang terkespresikan secara wajar sebagi
nilai hidup. Oleh karena itu, ketika kekuasaan negara “bapak” ala Orde Baru
itu, kekuatan-kekuatan dekstruktif yang tertekan selama kekusaan panjang itu
menemukan momentumnya untuk berlomba-lomba menyeruak ke ranah kehidupan, dan
tak jarang sekali menimbulkan dampak yang sangat destruktif sehingga melahap
habis keberhasilan-keberhasilan yang diklaim oleh penguasa Orde Baru.
Kita
harus belajar dari sejarah runtuhnya Yugoslavia dan komunisme Soviet. Bahwa
suatu politik yang berupaya menegasikan keragaman sosio-kultural di bawah
penindasan sebuah ideologi dan kekerasan politis justru menyimpan dendam
kultural. Elemen-elemen kolektif yang ditekan itu pada gilirannya memberontak
dan mendekonstruksi tatanan politis dan ideologis bersama itu. Gagalnya proyek
komunisme itu dan balkanisasi yang mengikutinya menjadi titik tolak perubahan
besar dalam memahami masyarakat modern bahwa masyarakat modern semakin disadari
tersusun dari berbagai macam bentuk kehidupan dan orientasi nilai.[19]
Problem
Bangsa Majemuk dan Strategi Kebudayaan
Realitas
kemajemukan Indonesia dapat menjadi berkah tapi juga berpotensi menjadi kutukan
sekaligus. Negara bangsa yang membentang luas dengan sumber daya yang begitu
kaya dengan pluralitas etis, budaya, bahasa, dan keyakinan dapat menjadi berkah
karena ia merupakan modal besar – karena setiap entitas kultural itu membawa
modal sosio-kultural yang begitu kaya. Namun, harus disadari pula bahwa
realitas kemajemukan itu juga berpotensi berubah menjadi kutukan, tergantung
dari cara kita memperlakukan kemajemukan itu. Indonesia besar tidak hanya dari
segi angka-angka statistik, seperti jumlah penduduk atau luas negara yang
meliputi hampir seluruh Eropa, pantai terpanjang di dunia, dan sebagainya.
Tetapi Indonesia juga besar dalam skala jumlah persoalan mendasar yang harus
diperhitungkan setiap saat.
Dengan
kata lain, persoalan besar selalu berpotensi besar muncul sewaktu-waktu, bahkan
meletup dalam besaran yang tak terduga, yang mengancam integrasi bangsa. Salah
satu masalah besar yang akan selalu menghantui persatuan Bangsa Indonesia
adalah suara-suara separatisme dari berbagai daerah, yang disebabkan oleh
berbagai faktor, dan faktor terbesar adalah persoalan keadilan dan kesenjangan
sosial.
Tidak
pernah mudah mengatur dan mengelola sebuah negara yang dihuni oleh penduduk
dengan kuantitas yang sangat besar dengan bentangan kawasan yang begitu
berjarak. Problem-problem imprastruktur, distribusi kesejahtraan, kesehatan dan
kebutuhan mendasar penduduk, serta konstruksi sosio-kultural dan
ekonomi-politik akan terus dihadapi bangsa Indonesia.
Dalam
konteks demokrasi, sejak awal era modern, para teoris di Barat menyangsingkan
terhadap munculnya prospek-prospek tata pemerintahan demokratis di
negara-negara yang sangat majemuk. Pada abad ke-19, seorang tokoh besar, J. S.
Mill menulis bahwa “Institusi-institusi merdeka nyaris mustahil muncul di
negara yang terdiri dari bangsa-bangsa yang berlainan. Di antara orang-orang
yang tidak memiliki rasa kesamaan, khususnya jika mereka membaca dan berbicara
dengan bahasa-bahasa yang berlainan, opini publik yang menyatu, yang perlu bagi
bekerjanya pemerintahan yang refresentatif, tidak bisa hidup.”[20] Ada
ironi yang terkandung dalam pandangan para pemikir liberal abad ke 19 seperti
Mill yang sigap mengakomodasi kepentingan-kepentingan utilitarian individu di
pasar, karena pada konteks kehidupan publik dan politik, mereka benar-benar
tidak siap menghadapi kemajemukan budaya.[21]
Optimisme
mengenai kemungkinan prospek lahirnya tatanan demokratis dalam masyarakat
kultural mulai berkembang di sejumlah kecil pemikir Barat pada tahun-tahun awal
setelah Perang Dunia I. Piagam untuk Liga Bangsa-Bangsa, yang sudah
diratifikasi setelah perang besar itu, seakan menjadi jalan pintas untuk
menyeimbangkan hak-hak mayoritas kultural dengan hak-hak minoritas. Akan
tetapi, keyakinan dan optimisme itu kembali terkubur disebabkan ketakutan
rasial dan etnis dari Perang Dunia II, yang memunculkan kekecewaan yang
tersebar luas pada bentuk-bentuk yang mengakui idenitas-identitas komunal
seperti itu.
Tahun-tahun
sesudah Perang Dunia II menjadi moment yang membangkitkan kembali pesimisme
masa lampau terkait prospek-prospek demokrasi dalam masyarakat-masyarakat yang
sangat plural. Hal ini tergambar pada “konsensus” teori modernisasi yang
mendominasi pemikiran politik Barat pada tahun 1950-an dan 1960-an. Salah satu
premis utama dalam teori modernisasi adalah menuntut homogenisasi kebudayaan
politis. Dan, jika hal ini tidak ada, maka negara harus menjadi subjek utama
yang menanamkan sebuah kebudayaan umum di antara warga negaranya yang
beranekaragam. Bahkan, Samuel P. Huntington secara lebih tegas mengemukakan
bahwa integrasi nasional menuntut “Pergantian sejumlah otoritas politis
tradisional, religius, familial, dan etnis dengan sebuah otoritas politis
nasional yang sekuler dan tunggal”. Tanpa pemangkasan solidaritas-solidaritas
etnoreligius, demokrasi dan perdamaian sipil seakan terancam.[22]
Pesismisme
beberapa kalangan pemikir Barat terhadap prospek demokrasi di masyarakat
multikultural ternyata mendapat koreksi dari realitas kebangsaan beberapa
negara dengan tingkat multikulturalitas rumit, seperti Indonesia. Heterogenitas
sosio-kultural ternyata tidak menghalangi Bangsa Indonesia untuk membangun
pranata pemerintahan demokratis. Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa ini
mampu mengatasinya dengan sangat baik, meski memang tidak bisa dipungkiri bahwa
masih terdapat banyak paradoks yang menyelimuti Indonesia.
Paradoks
Indonesia
Fakta
bahwa Indonesia berhasil mempertahankan persatuan dan berhasil “mengadopsi”
pranata demokrasi di mayoritas masyarakat Muslim merupakan prestasi besar –
karena beberapa teoris Barat seperti Samuel P. Huntington meragukan kemungkinan
lahirnya pranata demokrasi di negara-negara dengan mayoritas Muslim dan dengan
diversitas kultural yang sangat besar.[23]
Hal itu
tidak terlepas dari “kecanggihan” bangunan ideologis yang menjadi landasan
perjalanan bangsa Indonesia, yakni Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Kedua
“mantra sakti” tersebut berhasil mengikat berbagai perbedaan yang secara
kodrati dimiliki bangsa ini, dan mengubahnya menjadi kekuatan maha dahsyat yang
mengusir kejahatan praktik kolonial yang telah mengakar berabad-abad.
Namun
tetap harus disadari; prestasi-prestasi yang telah diraih itu memang
membanggakan, tetapi sarat ironi dan paradoksal. Betapa tidak, kita
mengembangkan semangat persatuan, dan telah sepakat membangun bangsa dalam
negara kesatuan, namun yang kita lihat hari ini berseminya semangat primordial
sempit, yang sangat potensial menimbulkan perpecahan.
Kita
juga sepakat berlindung di bawah atap yang sama, Indonsia, tetapi keadilan
sosial sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD 1945 begitu bertolak belakang
dari realitas kehidupan rakyat Indonesia. Jarak antara si kaya dan si miskin
begitu renggang, berjuta-juta rakyat miskin menderita kelaparan sementara
segelintir orang berpoya-poya dalam kemewahan. Karena itu, kita seperti tinggal
di bawah atap yang sama, tapi tidur di alas yang bebeda; si kaya tidur di atas
singgasana mewah dan tentu dengan mimpi indah, sementara si miskin tidur di
atas lantai dingin menggigil dengan menekan perut kosong meronta, apalagi
bermimpi tertidur pun tak mungkin. Si kaya berbaju mantal berharga mahal untuk
mengusir dinginnya musim hujan, sementara si miskin sekain baju pun tak punya
untuk mengganti baju yang terguyur hujan.
Kesamaan
nasib dan cita-cita bersama adalah faktor pengikat bangsa-bangsa yang
berbeda-beda untuk bersatu menjadi Indonesia, yakni kesamaan nasib sebagai
bangsa terjajah dan cita-cita bersama menjadi bangsa merdeka nan berdaulat.
Namun hari ini, kedua pengikat itu mulai tergerus oleh egoisme dan
ketidakpeduliaan. Yang menyatukan bangsa Indonesia hari ini, hanya sebatas
faktor politis, dan menjadi sangat berbahaya bagi masa depan persatuan dan
kesatuan Indonesia, karena ketika tidak ada landasan idealitas yang mengikat di
alam sadar dan alam bawah sadar setiap rakyat, maka integralisme hanya
berbentuk ikatan geografis, dan ikatan yang terakhir ini sifatnya sangat rentan.
Bentangan
luas geografis Indonesia, dengan hamparan sawah dan hutan, garis pantai yang
melintang panjang dengan kekayaan lautnya, gunung-gunung pencakar langit dengan
kekayaan sumber daya yang tersimpan di bawahnya seharusnya menjadi modal dasar
kesejahtraan dan kemakmuran rakyat. Akan tetapi pemenuhan kebutuhan dasar masih
langka, kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang layak hanya
dinikmati oleh segelintir orang. Sebagian besar rakyat hanya gigit jari dan
putus asa melihat melihat tingkah-polah negara yang mengabaikan mereka.
Falsafah
Pancasila selalu kita peringatkan, Bhinneka Tunggal Ika selalu kita
ucapkan, tetapi semangat gotong royong, mengedepankan mufakat dalam musyawarah,
dan menciptakan harmoni dalam perbedaan masih berupa cita-cita, sementara dalam
kehidupan sehari-hari adu-domba, kekerasan, chaos, merupakan praktik
nyata. Kita selalu berbicara tentang unity in diversity tetapi kaum
minoritas selalu menjadi langganan kekerasan dan hak-hak mereka dilupakan. Kita
juga berbicara tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan, tetapi rumah-rumah
ibadah dihancurkan, sementara negara menutup mata dan absen untuk melindungi
hak-hak warga negara – yang mana idiom warga negara mengandaikan kesetaraan
dihadapan negara terlepas apa pun latar sosio-kultural seorang warga negara.
Kesetaraan
di depan hukum yang diamanatkan undang-undang dihianati karena hukum hanya
tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Akibatnya, korupsi meraja lela, hukum
diperkosa oleh anak kandungnya sendiri (para penegak hukum). Persentase
tindakan kriminal terus menukik tinggi setiap hari, puluhan orang kehilangan
nyawa sia-sia gara-gara minuman keras (cukrik) yang diakibatkan oleh tatanan
sosial yang kacau. Tertib hukum yang menjadi ciri masyarakat beradab sangat
rendah, baik yang terjadi di birokrasi negara, maupun yang tercermin di jalan
raya-jalan raya.
Sementara
itu, petani, nelayan, dan pengusaha kecil gigit jari melihat hasil keringat
mereka kalah bersaing di pasar, produk-produk mereka tak mendapat keistimewaan
untuk bersanding dengan produk-produk impor di etalase toko-toko. Kita seperti
kehilangan kebanggaan untuk mengkonsumsi produk tangan anak negeri, di sisi
lain pemerintah juga tak punya visi membangun bangsanya secara berdaulat,
mendayagunakan semua modal kebangsaan yang begitu kaya bagi kesejahtaraan
bersama.
Strategi
Kebudayaan
Oleh
karena itu, tugas semua elemen bangsa ini adalah mengejawantahkan Bhinneka
Tunggal Ika menjadi “ideologi” yang hidup, tidak hanya sebatas slogan
pemanis bibir, tetapi sebagai strategi kebudayaan yang dituangkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam kebijakan publik, dan dalam kehidupan
di ruang publik. Strategi kebudayaan itu bertujuan agar seluruh kekayaan
kultural etnis di Nusantara ini dapat terjalin dalam “serat-serat kebudayaan,
yang membantuk batang tubuh kebudayaan Indonesia Baru yang kokoh, kukuh, ibarat
sebatang pohon yang menjulang tinggi, berdiri tegak oleh serat-serat kayu, akar
yang memikul batang, batang menunjang daun dan buah.
Dalam
konteks membangun masa depan Indonesia, maka implementasi kebijakan yang
diderivasi dari filosofi Bhinneka Tunggal Ika itu adalah bagaimana menjadikan
ragam kekayaan tradisi dan adat-istiadat bangsa-bangsa di Indonesia sebagai
sumbangan jalinan “serat-serat budaya” Indonesia yang kukuh dan kuat. Jika
diandaikan secara fisik, pertumbuhan pada setiap tahap akan terjadi
transformasi dalam bentuk baru. Dalam transformasi fisik itu, harus ditujukan
untuk menumbuhkan pohon yang tegak dan kuat. Tercabutnya akar-akar sebatang
pohon akan berdampak pada robohnya pohon sehingga pohon tidak lagi dapat
disebut pohon, melainkan hanya onggokan kayu.
Strategi
kebudayaan mengandung dua aspek penting bagaikan dua sisi mata uang. Pertama,
menunjukkan strategi pengelolaan cara bangsa itu bereaksi, berperilaku,
bertindak, dan bekerja dalam menumbuhkan proses berbangsa. Kedua, menunjukkan
strategi menumbuhkan nilai keutamaan berbangsa yang menjadi dasar dalam proses
membangsa itu, seperti nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, profesionalisme,
etika, respek, rasa malu, kerja keras, toleransi, cinta tanah air, dan lain
sebagainya.
Strategi
kebudayaan itu mensyaratkan kemampuan menghidupkan filosofi Bhinneka Tunggal
Ika itu ke dalam berbagai aspek. Dalam bidang hukum, filosofi Bhinneka
Tunggal Ika itu melahirkan sistem hukum yang berkeadilan. Dalam manajemen
negara, filosofi itu dijabarkan dalam program kerja agar secara sosiologis
hidup dan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Dalam hubungan
antar warga negara, maka filosofi itu tercermin pada hidupnya nilai-nilai
kewarganegaraan dalam kebijaksanaan praktis setiap warga negara.
Meluruhnya Nasionalisme dan Absennya
Nilai-Nilai Kewargaan
Dampak
buruk yang paling gamblang dari proses hegemoni total Orde Baru itu langsung
terjadi tepat setelah kejatuhan pemerintahan tersebut. Fakta pluralitas
Indonesia yang selama orde panjang itu ditekan dan tidak diberikan kesempatan
untuk mengalami proses pendewasaan alami menyeruak dan menjadi kekuatan
destruktif yang berpotensi menghancurkan bangunan kesatuan Indonesia yang
terlihat tenang di permukaan tetapi bergejolak di dasar seperti arus di bawah
samudra yang tenang.
Di
berbagai daerah muncul keinginan untuk melepaskan diri dari NKRI. Ketidakadilan
negara dalam mengupayakan kesejahtraan dan keakmuran bersama bagi segenap
rakyat yang tersebar di berbagai daerah menjadi alasan untuk memisahkan diri
dari kesatuan Indonesia. Spirit yang melandasi lahirnya bangsa Indonesia, yakni
kesamaan nasib sebagai bangsa terjajah tidak berlanjut pada kesamaan nasib
sebagai bangsa merdeka. Pemerintahan yang dengan telanjang melakukan korupsi,
kolusi, dan nepotisme menjadi kekuatan tersendiri bagi berbagai daerah untuk
memutuskan bercerai dari satu atap Indonesia.
Jarak
psikologis dan kepeduliaan sosial masyarakat pada akhirnya ikut terkikis.
Kepedulian sosial masyarakat kemudian seringkali hanya dibatasi pada lingkup
primordial sempit. Kita merasa tak peduli dengan penderitaan masyarakat suatu
daerah yang berbeda dari daerah kita sendiri. Jarak kemudiaan menjadi
penghalang yang memisahkan.
Dampak
negatif – yang sangat mendasar - yang
berlangsung lama bahkan setelah 15 tahun pasca Reformasi dari rezim feodalistik
dan sentralistik ala Orde Baru adalah sulit tumbuhnya kedewasaan masyarakat
dalam menginternalisasi dan mengaktualisasikan nilai-nilai kewargaan dalam
kehidupan sehari-hari. Padahal, upaya membangun Indonesia hanya mungkin
terwujud ketika nilai-nilai kewargaan itu dipahami oleh setiap elemen
masyarakat yang diadopsi menjadi pedoman kehidupan.
Nilai-nilai
kewargaan yang absen itu adalah tampak dalam tingkah laku-tingkah laku
sederhana tapi berdampak tidak sederhana, bahkan menjadi barometer tingkat
keadaban suatu bangsa. Membuang sampah pada tempatnya, terkesan adalah tindakan
biasa, tetapi sungguh menjadi cerminan nilai-nilai sosial dan peradaban. Karena
tindakan itu menjadi pertanda sederhana kepekaan sosial dan masyarakat yang
dewasa.
Demikian
halnya dengan kebiasaan mematuhi peraturan-peraturan lalu lintas, adalah nilai
kewargaan yang terkesan sederhana pula, tetapi tindakan itu adalah mencerminkan
kepeduliaan sosial-hukum seorang individu. Masih banyak lagi contoh mengenai
bagaimana absennya nilai-nilai kewargaan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di republik ini.
Lemahnya
nilai-nilai kewargaan adalah ancaman besar yang harus kita sadari dan mencari
solusinya. Karena dalam sejarah negara mana pun, ketika nilai-nilai kewargaan
yang terinternalisasi secara baik akan memperkuat sendi-sendi negara.
Sebaliknya, ketika nilai-nilai kewargaan absen dalam kehidupn warga negara,
maka negara hanya akan menjadi rimba raya, dimana yang menang adalah mereka
yang kuat, sementara yang lemah menjadi korban; yang kaya semakin makmur,
sementara yang miskin semakin sengsara. Nilai-nilai kewargaan yang dijalankan
oleh masyarakat menjadi “barometer” perjalanan suatu negara, apakah negara itu
berjalan sehat atau sebaliknya.
Mengembalikan
Nasionalisme dan Nilai-Nilai Kewargaan
Tugas
kita semua hari ini adalah mencari jalan keluar dari kemelut yang selama ini
menghantui perjalanan republik ini. Tugas itu adalah merefleksi Bhinneka
Tunggal Ika sebagai spirit yang melahirkan rasa cinta terhadap bangsa dan negara
ini yang kemudian terwujud sebagai kebijksaaan praktis dalam kehidupan
sehari-hari. Nilai-nilai itu tidak harus selalu dimaknai sebagai hal-hal besar,
seperti tindakan patriotisme para pahlawan yang bersedi mengorbankn jiwa dan
raganya bagi bangsa dan negara, tetapi pada hal-hal sederhana yang sebenarnya
bernilai besar bagi kehidupan bersama.
Ada
beragam definisi nasionalisme yang pada dasarnya menuju pada maksud yang sama.
Carlton J. H. Hayes misalkan misalkan berpendapat bahwa nasionalisme adalah gabungan
rasa kesetiaan terhadap negara dan kesadaran kerakyatan (nationality). Hans
Kohn juga menguraikan nasionalisme sebagai suatu keadaan atau pikiran yang
mengembangkan keyakinan bahwa kesetiaan terbesar harus diberikan kepada negara.
Kesetiaan ini kemudian menjadi suatu keinginan dan sentimen yang berkembang
melalui berbagai pengalaman hidup masyarakat. Keinginan dan sentimen ini
kemudian melahirkan gerak kesadaran bagi anggota masyarakat tersebut untuk
menyumbangkan jasa-jasa melalui aktivitas-aktivitas yang teratur dengan tujuan
terakhirnya untuk menegakkan sebuah negara yang berdaulat.[24]
Dengan
demikian nasionalisme dapat diterangkan sebagai paham kebangsaan yang tumbuh
karena adanya kesamaan nasib dan sejarah, serta adanya kepentingan untuk hidup
bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, dan demokratis,
serta maju dalam satu-kesatuan bangsa dan negara serta cita-cita bersama guna
mencapai dan memelihara identitas, kemakmuran negara bangsa yang bersangkutan.
Definis
nasionalisme yang diberikan oleh para akademisi di atas juga menunjukkan bahwa
kecintaan dan kesetiaan pada negara berjalan simetris dengan nilai-nilai
kewargaan. Dengan kata lain, nasionalisme tidak sekedar dimaknai secara abstrak
dan transenden tetapi berlaku secara riil dalam mewarnai dinamika sosial yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain, banyak cara untuk
menunjukkan kecintaan dan kesetiaan terhadap tanah air.
Kecintaan
dan kesetiaan terhadap tanah air seringkali ditujukan dengan penghormatan terhadap
simbol-simbol dan lambang negara, terutama bendera Merah-Putih dan Lambang
Garuda. Akan tetapi dalam konteks Bhinneka Tunggal Ika, penghormatan terhadap
simbol dan lambang negara tidak hanya dibatasi pada kedua simbol dan lambang
tersebut. penghormatan terhadap simbol dan lambang negara berarti menghormati
dan menghargai simbol-simbol dan lambang-lambang yang menjadi karakteristik
berbagai daerah di Indonesia. Spiritnya adalah berakar dari ruh Bhinneka
Tunggal Ika itu sendiri dan persatuan dan kesatuan sebagai Bangsa Indonsia.
Simbol dan lambang daerah Papua adalah simbol dan lambang Indonesia, karena
Papua adalah bagian dari Indonesia, karena itu menghormati, menghargai, dan
mencintai simbol dan lambang daerah Papua adalah berarti menghormati, menghargai,
dan mencintai simbol dan lambang negara. Begitu pula dengan simbol dan lambang
dari daerah-daerah yang lain.
Pengenalan
terhadap simbol-simbol negara selama ini memang sudah dilakukan sejak
pendidikan sekolah dasar, namun ada dua persoalan yang menurut saya jarang
diperhatikan, yakni pengenalan yang berhenti pada sebagai bentuk luar
simbol-simbol itu namun tidak sampai pada kandungan-kandungan filosofis dari
simbol-simbol itu, dan persoalan yang tak kalah penting adalah pelajaran yang
kita dapatkan mengenai simbol dan lambang negara hanya mencakup burung garuda,
bendera merah putih, bahasa Nasional, dan lagu kebangsaan Indonesia raya.
Setiap
lambang dan simbol negara lahir dari pergulatan panjang, merefleksi dan
merangkum berbagai spirit yang digali dari rangkain waktu masa lalu dan masa
kini. Karena itu lambang dan simbol adalah elemen yang begitu kaya sebagai
medium dimana memori-memori kolektif bangsa tersimpan. Dan, dengan demikian
menjadi tempat kita merujuk diri, baik tentang identitas, eksistensi,
imajinasi, dan visi menjadi sebuah bangsa. Lambang dan simbol negara tidak
hanya menjadi benda mati yang menjadi aksesori suatu bangsa yang membedakannya
dengan yang lain, dan karena itu berhenti pada pengenalan bentuk luar dari
lambang-lambang dan simbol-simbol tersebut. Pemahaman yang lebih substansial
dan filosofis harus terus diupayakan untuk memperkokoh pondasi dan kuatnya
bangunan identitas negeri yang pada akhirnya melahirkan kecintaan yang lebih
tinggi terhadap bangsa dan negara.
Burung
Garuda misalnya adalah lambang di mana memori kolektif bangsa ini tersimpan dan
akan selalu mengingatkan kita untuk merujuk pada memori kolektif itu dan
menjadi spirit kehidupan sebagai sebuah bangsa. Burung garuda adalah lambang
yang selalu menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Selain terpampang pada setiap
kantor-kantor pemerintahan juga menjadi semangat dalam ikhtiar dan juga
melambangkan kekuatan.
Lambang
burung garuda dirancang oleh Sultan Hamid II yang berasal dari Pontianak dan
disempurnakan oleh Presiden Soekarno yang kemudian di resmikan pemakaiannya
pada sidang kabinet Republik Indonesia Serikat tanggal 11 Februari 1950 adalah
gambaran tentang bagaimana spirit Bhinneka Tunggal Ika begitu kuat dalam
sanubari para pendiri bangsa ini. Sultan Hamid II yang berasal dari Pontianak,
yang beragama Islam, menggunakan Garuda sebagai lambang negara yang sebenarnya
lahir dari agama Hindu karena Garuda dalam mitologi Hindu adalah kendaraan (wahana)
Dewa Wisnu.[25]
Memori
kolektif bangsa Indonesia tersimpan dalam keseluruhan lambang Burung Garuda.
Seperti pada sayap, ekor hingga serabut halus kecil pada leher dan dibawah
perisai itu mengandung makna yang memperingatkan pada hari proklamasi
kemerdekaan republik Indonesia. Secara tersirat bahwa setidaknya masyarakat
Indonesia harus mengingat dan merefleksikan kemerdekaan yang di rebut dengan
perjuangan yang panjang.
Perisai
yang terdiri dari lima ruang masing-masing melambangkan sila-sila pancasila.
Pertama, bintang persegi lima (Nur Cahaya) yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua,
bergambar rantai dalam sila kedua pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan
beradab yang mengandung arti kemanusiaan yang di junjung tinggi. Ketiga,
bergambar pohon beringin sesuai sila ketiga pancasila yaitu persatuan
Indonesia. Keempat, kepala banteng yang dalam pancasila sebagai kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam perusyawaratan perwakilan. Dan yang
kelima, kapas dan padi sebagai bentuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Kemudian yang terakhir tulisan Bhineka Tunggal Ika yaitu
berbeda-beda tetapi tetap satu.
Secara
keseluruhan lambang Garuda Indonesia melambangkan cita-cita bangsa Indonesia
yang telah berhasil merebut dan mencapai kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus
1945 dengan segala pemusatan pikiran, dan gerak dalam mencapai cita-cita
pembangunan demi kemakmuran bangsa dan kejayaan negara, sekaligus mencapai
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Memori-memori
kolektif yang tersimpan dalam simbol-simbol dan lambang-lambang negara mampu
melahirkan gelora, patriotisme, dan nasionalisme rakyat karena ia mampu
mengeluarkan memori-memori kolektif masa lalu itu menjadi mermori kolektif masa
kini yang merasuk dalam pikiran dan jiwa setiap individu. Oleh karena itu,
ketikawa Bendera Merah-Putih dan lagu Kebangsaan dinyanyikan, mampu melahirkan
gelora yang sangat besar.
Akan
tetapi, persoalan yang cukup mendasar dalam konteks spirit Bhinneka Tunggal Ika
adalah kecenderungan untuk menganggap simbol-simbol lain yang menjadi
karakteristik suatu daerah bukan termasuk lambang dan simbol negara. Sehingga
simbol-simbol dan lambang-lambang itu tak mendapatkan rasa hormat dari
masyarakat sebagaimana pada keempat simbol negara yang lainnya. Mengenai hal
ini, lagi-lagi kita harus mengembalikan pada spirit Bhinneka Tunggal Ika itu
sendiri, yakni keanekaragaman yang menjadi fakta pluralitas bangsa ini, yang
juga tercermin dalam simbol dan lambang adalah bagian dari kekayaan bangsa
Indonesia.
Karena
lambang dan simbol negara itu adalah memori kolektif masa lalu yang tersimpan
di dalamnya, maka tugas kita hari ini adalah mewujudkan memori kolektif itu
dalam arti yang holistis dan substansialis. Imajinasi yang melahirkan semangat
para pahlawan dan pendiri bangsa ini untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
adalah tentang bangsa yang berdaulat sehingga meraih kesejahtraan dan
kemakmuran secara merata.
Indonesia
memiliki potensi yang sangat besar untuk meraih imajinasi tersebut. Tidak hanya
dari sumber daya alam dan sumber daya manusia yang sangat kaya dan besar,
tetapi juga dari kekayaan kultural yang kemudian terwujud dalam berbagai produk
budaya. Potensi yang sangat besar itu adalah disparitas pangan dan buah-buahan.
Indonesia memiliki sumber pangan yang sangat kaya baik secara ketersediaan
maupun nilai gizinya, begitu pula dengan keragaman jenis buah-buahan.
Persoalannya
adalah ke-bhinneka-an ini tidak dijadikan sebagai sumber kesejahtraan bersama.
Pemerintah lebih suka menyediaakan kebutuhan pangan dan buah-buahan nasional
dengan jalan instan, yakni impor dibandingkan mengusahakan memenuhinya dari
usaha pertanian sendiri, sementara itu tak sedikit masyarakat yang lebih
memiliki bahan pangan dan buah-buahan impor demi gengsi dan privilage dibanding
memilih produk yang lahir dari jerih payah para petani sendiri.
Keanekaragaman
budaya dan adat-istiadat juga tercermin dari kanekaragaman seni dan kuliner
bangsa Indonesia. Di setiap daerah memiliki kuliner khas tersendiri, yang jika
ditelisik lahir dari format sosial dan kebudayaan masing-masing. Semua itu
adalah menjadi gambarn riil mengenai ke-bhinneka-an Indonesia. Oleh karena itu
mencintai produk-produk yang dihasilkan oleh anak bangsa, yang lahir dari
kultur yang berbeda-beda itu adalah bagian dari aktualisasi nilai-nilai
Bhinneka Tunggal Ika. Salah satu contoh sederhana adalah mencintai rendang
sebagai makanan khas masyarakat Padang dibanding stick adalah bagian
dari mencintai produk-produk dalam negeri.
Sumberdaya-sumber
daya sosio-kultural yang begitu besar itu harus terus diperjuangkan, tidak saja
sebagai pelestarian, tetapi pada faktanya memiliki dampak riil bagi kemajuan
ekonomi bangsa ini. Dengan kata lain, mencintai produk dalam negeri sebagai
bentuk kencitaan terhadap bangsa Indonesia adalah spriti Bhinneka Tunggal Ika
yang sangat nyata dan memberikan dampak yang nyata pula. Spirit Bhinneka
Tunggal Ika sebagai pemersatu harus dimaknai sebagai bersatu dalam saling
mendorong pada kemajuan, kemakmuran, dan kesejahtraan antar sesama putra dan
putri bangsa terlepas apa pun latar belakang etnis, suku, agama, dan budaya.
Terwujudnya masyarakat yang adil dan
makmur tidak serta - merta datang dengan
sendirinya. Pemerintah dan masyarakat harus saling bekerjsama demi
terciptanya kehidupan yang berkecukupan.
Terbentuknya masyarakat Indonesia dengan jiwa dan semangat bersatu dengan
nasionalisme yang tinggi, yang mendiami berbagai pulau di Nusantara dengan
semangat hidup yang ber-bhinneka tungal
ika, juga haru dibarengi dengan rasa persaudaraan dan rasa tanggungjawab satu
sama lain.[26]
Berkehidupan dan berkebangsaan tampa didorong rasa tanggungjawab dan
kepeduliaan dari masing – masing lapisan masyarakat tentu hanya akan
mempersubur adanya kemelut dan berbagai masalah yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena seperti
kemiskinan, kelaparan, pengangguran dan bahkan buta huruf akan menjadi pendorong kita untuk selalu
berteriak lantang dalam menuntaskan berbagai problema yang dihadapi Republik
Indonesia.
Tanggung jawab bersama dapat digali
dari semangat Bhineka Tunggal Ika sebagai salah satu dasar negara Indonesia.
Pelaksanaan tersebut tidak hanya berupa teks dan simbol belaka. Melainkan harus
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika warga negara melaksanakan dengan
penuh kesadaran akan pentingnya berbangsa dan bernegara demi kesejahteraan
beresama maka akan beralih menjadi pengamalan persatuan.
Salah satu wujud kesadaran itu adalah kesadaran
wajib pajak sebagai kelanjutan dari pelaksanaan spirit Bhineka Tunggal Ika itu,
untuk terwujudnya masyarakat berbeda-beda tapi bersatu dalam mewujudkan
keadilan dan kemakmuran. Kesadaran akan tanggungjawab dan sebagai salah satu
pembuktian bahwa nilai – nilai kewarganegaraan tidak punah dimakan oleh waktu
dalam negara ini. Maka dapat dilihat dari bagaimana masyarakat tersebut
mempunyai kesadaran untuk membayar pajak tepat pada waktunya.
Dari berbagai permasalahan yang seakan
tidak kunjung berakhir, perlu sekiranya partispasi dari semua lapisan rakyat
Indonesia. Kecintaan terhadap negara ini dapat diungkap dari berbagai bentuk
tindakan. Salah satunya dengan menaati kontrak sosial (undng-undang) yang
berlaku. Sebagai negara hukum kita tidak mempunyai alasan untuk tidak menaati
kontrak sosial yang berlaku di negara ini. Sebab semua perilaku yang menyangkut
kepentingan umum bahkan pribadi telah mempunyai ketentuan masing-masing yang
diatur dalam bentuk kontrak sosial atau undang-undang. Sehingga kedudukan warga
negara di mana pun tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam arti yang
sesungguhnya. Bhineka Tunggal Ika tidak hanya berarti kesatuan dalam mengatasi
perbedaan dalam lingkup kenegaraan, tapi kesatuan nasib dan sepenanggunangan.
Spirit Bhineka Tunggal Ika itu harus terwujud pada penyebaran secara menyeluruh
seluruh “harta” negara bagi kesejahtraan dan kemakmuran seluruha rakyat
Indonesi, apa pun latar belakang sosial, etnis, suku, dan agamanya.
Salah satu bentuk penyebaran kemakmuran
itu adalah optimalisasi penggunaan pajak yang dipungut dari warga negara. Pajak
sebagai pungutan legal merupakan bentuk tindakan praktis dari spirit Bhineka
Tunggal Ika itu. Melalui pungutan legal dari sebagian kekayaan swasta itu
(privat) disebarkan bagi masyarakat (publik).
[1]Mengenai ulasan
kritis terhadap Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, lihat: Niels Mulder, Mistisisme
Jawa; Ideologi di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2001), Cet. 1.
[2]Bedjo Sujanto, Pemahaman
Kembali Bhinneka Tunggal Ika dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan
Bernegara, (Jakarta: CV. Sagung Seto, 2007), cet. 1, h. 1.
[3]Dikutip dari
Pengantar F. Budi Hardiman; Belajar dari Politik Multikulturalisme. Dalam
buku Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, (Jakarta: LP3ES, 2011),
Cet. 2, h. viii.
[4]Sultan Hamengku
Buwono X, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 83.
[5](ed.) Hikmat
Budiman, Minoritas E pluribus Umum dan Demokrasi. Dalam buku Hak Minoritas;
Ethnos, Demos, dan Batas-Batas Multikulturalisme, (Jakarta: The Interseksi
Foundation, 2009), cet. 1, h. 3.
[6]Sultan Hamengku
Buwono X, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 84
[7]Sultan Hamengku
Buwono X, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 84
[8]Lihat: R.E
Elson, The Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan, (Jakarta:
Serambi, 2009), cet. 1, h.1-5.
[9]Robert W.
Hefner; Multikulturalisme dan Kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan
Indonesia. Dalam buku Politik Multikulturalisme; Menggugat Realitas
Kebangsaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), cet. 5, h. 13.
[10]Riwanto
Tirtosudarmo, Mencari Indonesia; Demografi-Politik Pasca-Soeharto,
(Jakarta: LIPI Press , 2007), h. 207.
[11]Lihat: Niels
Mulder, Mistisisme Jawa; Ideologi di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS,
2003), cet. 3, h. 147. Terj.
[12]Abdul Gaffar
Karim (ed), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2003), cet. 1, h 8-10
[13] AM Saefuddin, Dari
Cendana ke Reformasi, (Jakarta: PPA Consultants, 2011), cet. 1, h. 44
[14]Denys Lombard, Nusa
Jawa: Silang Budaya 3 – Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, (Jakarta:
Gramedia, 2008), cet. 4, h. 71
[15]Riwanto
Tirtosudarmo, Mencari Indonesia; Demografi-Politik Pasca-Soeharto,
(Jakarta: LIPI Press , 2007), h. xv.
[16]Zainal Abidin,
Pluralisme Kewargaan; Dari Teologi ke Politik. Dalam Pluralisme Kewargaan;
Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2011), cet. 1,
h. 13.
[17]F. Budi Hardiman; Belajar dari Politik Multikulturalisme, dalam
buku Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, (Jakarta: LP3ES, 2011),
Cet. 2, h. ix
[18]Lihat: Niels Mulder, Mistisisme Jawa; Ideologi di Indonesia,
(Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2001), Cet. 1.
[19]Sultan Hamengku
Buwono X, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, (Jakarta: Gramedia, 2007).
[20]Dikutip dari Robert
W. Hefner; Multikulturalisme dan Kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan
Indonesia. Dalam buku Politik Multikulturalisme; Menggugat Realitas
Kebangsaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), cet. 5, h. 11.
[21]Robert W.
Hefner; Multikulturalisme dan Kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan
Indonesia. Dalam buku Politik Multikulturalisme; Menggugat Realitas
Kebangsaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), cet. 5, h. 11.
[22]Robert W.
Hefner; Multikulturalisme dan Kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan
Indonesia. Dalam buku Politik Multikulturalisme; Menggugat Realitas
Kebangsaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), cet. 5, h. 11.
[23]Lihat: Saiful Mujani, Muslim Demokrat; Islam, Budaya Demokrasi, dan
Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: PT Gramedia,
2007), h. 3.
[24]Koh Young Hun, Nasionalisme
dan Komunitas Terbayang dalam Karya-Karya Novel Pramoedya Ananta Toer, (Seoul:
Hankuk University of Foreign Studies), h. 59.
[25]Maarif,
Ahmad Syafii, ”Bhinneka Tunggal Ika Pesan Mpu Tantular Untuk Keindonesiaan
Kita”, Makalah dalam Lokakarya Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara,
Jakarta: MPR RI, 17-19 Juni 2011.
[26]Bedjo Sujanto, Pemahaman Kembali Bhinneka Tunggal Ika dalam
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara, (Jakarta: CV. Sagung
Seto, 2007), cet. 1, h. 77.
Bapak/Ibu, saya mencari tulisan Buya Ahmad Syafi'i Maarif yang Anda sebutkan di catatan kaki no. 25. Apakah Anda memiliki copy-nya?
BalasHapus