Rabu, 17 Juni 2015

Bhinneka Tunggal Ika: Menumbuhkan Nasionalisme dan Nilai-Nilai Kewargaan



Pendahuluan
Secara geografis, Indonesia adalah negara yang sangat luas yang terbentuk dari gugusan kepulauan-kepulauan yang membentang dari Sabang hingga Merauke, yang jika diukur dengan bentangan negara-negara di Eropa, luas Indonesia mencapai jarak dari London hingga Teheran. Bentangan negara yang begitu luas itu ditinggali oleh populasi penduduk yang cukup besar, dengan perbedaaan demografis yang sangat jelas, dengan perbedaan struktur sosial, keanekaragaman etnis dan ekspresi kebudayaan, pluralitas keyakinan dan kepercayaan, hingga perbedaan historisitas yang membentuk subjektivitas masing-masing kelompok masyarakat.
Oleh karena itu, Indonesia adalah taman dunia. Ibarat sebuah taman, Indonesia dihiasai oleh aneka bunga, tumbuhan, dan berbagai mahluk hidup yang berada di dalamnya. Kebhinekaan itu kemudian berhasil menjadi satu-kesatuan yang saling mengikat dalam apa yang kita diajarkan tentang Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu.
Bhineka Tunggal Ika (bersma Pancasila) adalah “mantra sakti” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia adalah ideologi yang menjadi spirit survivalitas kesatuan Indonesia hingga saat ini. Begitu sulit membayangkan Indonesia, dengan fakta pluralitas dan multikulturalitasnya mampu mempertahankan eksistensinya sebagai negara kesatuan. Bahkan, beberapa kalangan mengatakan bahwa hanya Indonesia yang mampu mempertahakan kesatuannya di tengah keragaman yang begitu besar.
Beberapa negara, salah satunya Uni Soviet malah pada akhirnya harus meratapi kegagalannya mempertahankan kesatuannya, dan terpecah menjadi beberapa negara-negara kecil. Oleh karena itu, meski “mantra” ini mendapat komentar kritis dari para sarjana, namun fakta persatuan yang terwujud dari aktualisasi spiritnya membuat kita tak bisa tak mengakui kekuatan “mantrawinya”.[1] 
Akan tetapi tak bisa dipungkiri pula bahwa kenyataan kondisi negara ini yang begitu “amburadul” dalam berbagai sendi kehidupan membuat spirit yang dikandungnya terasa tak mengejawantah sebagaimana semestinya. Korupsi, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, kriminalitas, ketidakacuhan pada otoritas hukum, kesenjangan kemakmuran di tengah-tengah masyarakat, keluguan menjadi pasar produk impor dan acuh terhadap hasil karya anak bangsa, dan lain-lain membuat kesaktian Bhineka Tunggal Ika tumpul dalam aktualisasi. Dia masih dimaknai sebagai motto penghias bibir, kebanggaan dangkal yang digemakan dalam berbagai ranah dan moment.
Konsekuensi dari dangkalnya aktualisasi nilai-nilai luhur bangsa ini harus disadari dengan sungguh-sungguh oleh setiap individu. Realitas yang teramati sekarang ini telah sangat bertolak-belakang dengan spirit Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri. Egoisme kedaerahan kembali mengemuka, kita kemudian seolah hidup di satu atap tetapi tak ada spirit yang mempertemukan kita. Akibatnya, kita hidup di bawah satu atap, tetapi kemakmuran dan kesejahtraan berbeda, kepedulian terhadap sesama mulai meluruh seakan kelaparan dan busung lapar yang terjadi di daerah lain adalah bukan masalah kita. Persoalan kemenjarakan dalam berbagai sendi kehidupan di antara masyarakat Indonesia adalah persoalan besar dan menjadi tantangan besar yang harus mendapatkan jalan keluar, karena jika hal tersebut terus-menerus terjadi, maka apa yang kita banggakan sebagai bangsa yang bersatu hanya akan menjadi cerita bagi generasi mendatang. Inilah konsekuensi terburuk yang harus disadari bersama oleh semua elemen bangsa ini.
Indonesia memiliki segalanya untuk menjadi bangsa besar. Misalnya, ke-bhinneka-an agama, budaya dan adat istiadat menjadi modal besar untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahtraan. Budaya dan adat-istiadat yang berbeda-beda tersebut kemudian mewujudkan keanekaragaman seni, tari, dan kuliner yang sangat kaya. Seandainya keanekaragaman tersebut dihormati, dihargai, dicintai oleh setiap rakyat Indonesia, dan menganggapnya sebagai bagian dari dirinya, maka ke-bhinneka-an menjadi berkah Tuhan yang paling besar bagi bangsa ini.
Kemajemukan secara alami adalah sejarah bangsa Indonesia. Persoalannya adalah bagaimana mengaktualisasikan Bhinneka Tunggal Ika ke dalam konteks yang tepat; yakni bagaimana caranya kita mengubah modal potensial itu menjadi kekuatan nyata yang mampu menjawab problem dan tantangan kebangsaan yang tengah menerpa Republik ini.
Tugas seluruh rakyat Indonesia adalah mengejawantahkan spirit Bhinneka Tunggal Ika pada tindakan-tindakan praktis dan riil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia tidak boleh berhenti pada abstraksi yang mengawang-ngawang, tetapi mampu menjadi kebijaksanaan praktis dalam kehidupan sehari-hari, seperti tentang pemantapan rasa cinta tanah air dan pengembangan nilai-nilai kewargaan. Kedua point tersebut juga harus mewujud dalam prilaku dan tindakan praktis seperti gotong royong, disiplin lalu lintas, pemenuhan terhadap berbagai kewajiban sebagai warganegara, penghormatan terhadap simbol-simbol negara, rasa cinta terhadap produk dalam negeri, dan lain-lain.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menggugah pikiran kita mengenai bagaimana usaha mengeksplorasi jari diri bangsa yang diderivasi dari wawasan Nusantara, yang teraktualisasi dalam Bhinneka Tunggal Ika dapat ditempatkan sebagai jawaban bagi segudang persoalan dan tantangan yang tengah kita hadapai.
Sebelum sampai pada maksud itu, terlebih dahulu kita mengurai Bhinneka Tunggal Ika sebagai fakta pluralitas Bangsa Indonesia.
Bhinneka Tunggal Ika dan Fakta Pluralitas
Bhinneka Tunggal Ika sebagai ideologi pemersatu Bangsa Indonesia merupakan sesanti yang digali dari kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular pada abad keempat belas di masa Kerajaan Majapahit. Dalam kitab itu tertulis “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” (Bahwa agama Buddha dan Siwa (Hindu) merupakan zat yang berbeda, tetapi nilai-nilai keberaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah-belah, tetapi satu jua, artinya tak ada darma yang mendua). Semboyan tersebut merupakan seloka yang menekankan pengtingnya kerukunan antar umat beragama (waktu itu Hindu dan Buddha).
Corak teologis ini semula dimaksudkan agar antara Buddha dan Hindu dapat hidup berdampingan dalam damai dan harmonis. Corak teologis ajaran Mpu Tantular tersebut kemudian digubah oleh para pendiri bangsa ini untuk menjadi dasar persatuan Indonesia. Ajaran tersebut diberikan penafsiran baru karena relevansi strategisnya bagi bangunan Indonesia merdeka yang terdiri dari beragam agama, kepercayaan, ideologi politik, etnis, bahasa, dan budaya. Dasar pemikiran tersebut menjadikan semboyan “sakti nan kramat” Bhinneka Tunggal Ika terpampang melengkung dalam cengkramam kedua kaki Burung Garuda yang menjadi simbol negara.
Semboyan tersebut merupakan kondisi dan tujuan kehidupan yang ideal dalam lingkungan masyarakat yang serba majemuk, multietnik, dan multiagama. Sebagaimana diungkapkan Supomo, semboyan tersebut menggambarkan gagasan dasar, yaitu menghubungkan daerah-daerah, pulau-pulau dan suku-suku bangsa di seluruh Nusantara menjadi kesatuan-raya.[2] Kutipan pupuh 139 bait Kakawin Sutasoma tersebut ditafsirkan dan diperkaya oleh para pendiri Bangsa Indonesia yang menjadi bayangan atau imajinasi mereka tentang citra bangungan Indonesia.
Seperti yang saya katakan di bagian pendahuluan tulisan ini, Indonesia adalah ibarat taman dengan keanekaraman hayati dan mahluk hidup di dalamnya. Negara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke ini berjajar pulau-pulau dengan komposisi dan konstruksi yang beragam. Di pulau-pulau tersebut berdiam penduduk dengan beragam suku-bangsa, bahasa, budaya, adat-istiadat, dan keberagaman lainnya dari berbagai aspek. Secara keseluruhan, pulau-pulau di Indonesia berjumlah 17.508 buah pulau besar dan kecil dengan kebhinnekaan suku yang mendiaminya yang berjumlah lebih dari 1.128 suku bangsa dan lebih dari 700 bahasa daerah.
Oleh karena itu, menurut Clifford Geertz, Indonesia sedemikian kompleks, sehingga sukar untuk melukiskan anatominya secara persis. Indonesia bukan hanya multietnis (Jawa, Batak, Bugis, Aceh, Flores, Bali, Sasak, dan seterusnya), melainkan juga menjadi arena pengaruh multimental (India, Cina, Belanda, Portugis, Hindhuisme, Buddhisme, Konfusianisme, Islam, Kristen, dan seterusnya). Indonesia, tulis Geertz, “Adalah sejumlah ‘bangsa’ dengan ukuran, makna, dan karakter yang berbeda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang bersifat historis, ideologis, religius, dan semacam itu disambung-sambung menjadi sebuah struktur ekonomis dan politis bersama.”[3]
Menurut Budiono Kusumohamidjojo, yang dikutip oleh Hamengku Buwono X, “Masyarakat Indonesia termasuk di antara masyarakat-masyarakat yang paling problematis di dunia”. Apa yang dikatakan itu bukanlah berlebihan, karena memang perkembangan masyarakat yang kini menyebut dirinya Indonesia itu, telah melalui suatu jarak waktu yang panjang, yaitu ketika masyarakat itu masih bertegak dan hidup dalam “negara” atau kerajaan-kerajaan Nusantara.[4]
Fakta pluralitas dan diversitas kultural Indonesia yang berasal dari bersatunya komunitas-komunitas kultural dan lainnya, yang memiliki pandangan hidup yang kurang lebih berbeda satu dengan yang lainnya, dan sebagian besar dari komunitas-komunitas itu telah mendiami wilayahnya jauh sebelum kawasan tersebut menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu tidak hanya berlaku bagi kelompok etnis yang sering dikategorikan “pribumi”, karena bahkan orang-orang Arab dan China atau kelompok lain yang sering disebut “pendatang” atau “non-pribumi” pun sudah ada di wilayah ini sebelum Indonesia lahir sebagai negara merdeka.[5]
Tentang hal ini menarik menyimak apa yang dikatakan oleh Clifford Geertz yang dikutip oleh Hamengku Buwono X;
Ketika kita menyaksikan panorama Indonesia saat ini, rasanya kita sedang menyusun suatu sinopsis masa lalu tanpa batas, seperti kalau kita melihat benda-benda peninggalan sejarah (artefak) dari bermacam-macam lapisan-lapisan dalam situs arkeologis yang lama mengeram, yang dijajarkan di atas sebuah meja sehingga sekali pandang bisa kita lihat kilasan sejarah manusia sepanjang ribuan tahun. Semua atus kultural yang sepanjang tiga milenia, mengalir berututan, memasuki Nusantara dari India, dari China, dari Timur Tengah, dari Eropa – terwakili di tempat-ditempat tertentu: di Bali yang Hindu, permukinan China di Jakarta, Semarang atau Surabaya, di pusat-pusat Muslim di Aceh, Makkasar atau Dataran Tingggi Padang; di daerah-daerah Minahasa dan Ambon yang Calvinis, atau daerah-daerah Flores dan Timor yang Katolik.[6]
Setelah menunjukkan fakta pluralitas Indonesia yang bersumber dari fakta-fakta historis-antropologis itu, Geertz dengan sangat membantu menunjukkan fakta tentang kemajemukan kondisi masyarakat Indonesia hari ini yang merupakan dampak dari sejarah panjang pembentukannya, sebagai berikut;
Rentang struktur sosialnya juga lebar, dan merangkum; sistem kerukunan Melayu-Polynesia di pedalaman Kalimantan atau Sulawesi, desa-desa tradisional di dataran rendah di sepanjang sungai Jawa Tengah dan Jawa Timur, desa-desa nelayan dan penyelundupan yang berorientasi pasar di pantai-pantai Kalimantan dan Sulawesi; ibu kota-ibu kota provinsi yang kumuh dan kota-kota kecil di Jawa dan pulau-pulau seberang; dan kota-kota metropolitan yang besar, terasing dan setengah modern seperti Jakarta, Medan, Surabaya, dan Makkasar. Keanekaragaman bentuk perekonomian, sistem-sistem stratifikasi, atau aturan kekerabatan yang juga melimpah ruah.[7]
Dengan demikian, kemajemukan Indonesia adalah konsekuensi dari kehadiran bersama lebih dari satu bangsa, kelompok atau komunitas etnis di dalam negara ini. Masuknya berbagai bangsa, kelompok atau komunitas tersebut menjadi Negara Indonesia didasari oleh kesamaan nasib sebagai bangsa terjajah yang mana kesamaan nasib itu melampaui sekat-sekat sosio-kultural bangsa-bangsa dan kelompok atau komunitas etnis di Nusantara untuk bersatu. Karena itu, keberadaan bangsa-bangsa itu dalam Negara Indonesia lahir dari kerelaan. Bangsa Indonesia telah berabad-abad hidup dalam kebersamaan dan dengan keragaman serta perbedaan-perbedaan, namun dengan keanekaragaman dan perbedaan itu mereka mengikat diri dalam satu perjuangan yang terkonsolidasi membebaskan diri dari penjajahan.
Kesadaran terhadap tantangan dan cita-cita untuk membangun sebuah bangsa telah terpikirkan dalam benak para pendiri bangsa ini. Kesadaran itu kemudian tertuang dalam Bhinneka Tunggal Ika. Ke-bhinneka-an adalah realitas sosial, sedangkan ke-tunggal ika-an adalah cita-cita kebangsaan. Cita-cita sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat adalah cita-cita yang membentuk sebuah ikatan yang merangkul keberagaman.
Kesadaran terhadap tantangan dan cita-cita itu sebenarnya sudah tercermin dari pilihan menggunakan “Indonesia” sebagai nama negara ini. Penamaan Indonesia sebagai konsep negara-bangsa pada awalnya merupakan konstruksi antropologi yang dikembangkan oleh dua sarjana Inggris yakni James Richardson Logan dan George Samuel Windsor Earl yang kemudian dipopulerkan oleh antropolog Jerman, Adolf Bastian.[8]
Dalam istilah antropologi itu, nama Indonesia berasal dari bahasa Latin; Indo yang berarti Hindia, dan Nesioi yang berarti pulau-pulau. Maka jika digabungkan nama Indonesia berarti pulau-pulau Hindia (Tempo, 2008: 66). Konstruksi inilah yang kemudian diterima dalam Kongres Pemuda II yang menghasilkan apa yang kita peringati sebagai Sumpah Pemuda, pada tanggal 28 Oktober 1928. Penamaan Indonesia, tentu saja adalah pilihan politik yang sangat visioner karena mereka yang terlibat dalam konsensus itu berlatarbelakang berbeda segalanya, baik agama, budaya, dan adat-istiadat.
Dari penamaan di atas, dapat kita lihat bahwa nama Indonesia adalah hasil perlintasan bahasa asing, bukan bahasa asli kita. Jika dianalisis lebih lanjut, sangat banyak lema—ibarat 9 dari 10—dalam bahasa Indonesia yang melintas dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa-bahasa asing dengan cara yang khas.
Lewat analisis bahasa, kita dapat menemukan betapa banyak kata serapan bahasa asing, termasuk juga bahasa daerah dari wilayah Sabang sampai Merauke, yang sekaligus menggambarkan bahwa penduduk Nusantara membawa kebudayaannya masing-masing menjadi suatu kebudayaan yang bersifat kemempelaian, yaitu bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia adalah bahasa yang terbuka bagi semua bahasa yang melintas ke sini. Gambaran paling gampang untuk melihat bukti itu adalah menyimak teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, suatu maklumat kepada dunia tentang arti kebangsaan berharkat karena merdeka dari penjajahan. Di dalam teks ini kita dapat melihat bagaimana kata-kata bahasa asing dan daerah menyatu menjadi suatu bahasa tunggal ika yang terbuka; bahasa Belanda (proklamasi: proclamatie), Sanskerta (merdeka: mahardikka), Jepang (’05, kalender Showa), Latin (Agustus, kalender Masehi; indo, nesioi).
Ada hal yang menarik dari dimensi linguistik ini; sejak awal, bahasa Melayu yang kemudian ditarik menjadi bahasa nasional, bahasa Indonesia, merupakan bahasa yang terbuka. Sebagaimana digambarkan oleh Robert W. Hefner, bahwa bahasa Melayu adalah bahasa komunikatif, terutama ketika daerah-daerah Melayu itu menjadi pusat perdagangan internasional pada abad-abad ke-16 dan 17. “Mulusnya penyebaran bahasa ini mengisyaratkan bahwa ada yang penting mengenai sifat pluralisme kawasan ini. Andaikata kotak-kotak etnis itu mempunyai batas-batas yang tegas atau bersifat oposisional dan keras, maka penyebaran linguistis ini pasti lebih lambat dan kurang merata.”[9]
Dari analisis bahasa tersebut, kita sudah memperoleh gambaran yang jernih perihal kebhinnekaan Indonesia, karena kebhinekaan bahasa juga dengan pasti menunjukkan kebhinekaan bangsa. Dengan demikian, sudah menjadi kodrat kita sebagai bangsa yang plural. Keanekaragaman ini adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa diingkari atau dinafikan begitu saja, melainkan harus dihargai, dihormati, dan dikreasi menjadi modal dasar kemajuan bangsa ini.
Para pendiri bangsa ini sangat menyadari bahwa kebhinnekaan adalah realitas sosial yang tak mungkin dinegasikan, melainkan sebaliknya dihormati dan dihargai. Mereka juga  mengajarkan kepada kita bahwa ke-bhineka-an dapat menjadi kekuatan perubahan, sebagai kekuatan yang mempersatukan dalam mewujudkan cita-cita bersama. Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak nasionalisme Indonesia tidaklah dihasilkan dari pemuda dengan latar-belakang yang homogen, melainkan lahir dari pemuda-pemuda dengan latar-belakang yang sangat berbeda-beda.
Penyangkalan Kebhinnekaan, Penyangkalan Keindonesiaan
Fakta tentang deep diversity Indonesia seringkali mengalami pelupaan atau barangkali sengaja disangkal oleh elit penguasa yang tergambar pada bagaimana kekuasaan mereka diproyeksikan. Terutama pada rezim Orde Baru Soeharo. Obsesi tentang integrasi nasional dan moderniasai memperoleh bentuk yang sempurna melalui berbagai kebijakan dan program yang dirancang oleh dua penyokong utamanya; elit militer dan para ekonom-teknokrat. Mereka sebagai aktor utama yang merefresentasikan kekuatan negara memiliki sebuah kesamaan dalam memandang masyarakat. Mereka mengkonsepsikan masyarakat sebagai kumpulan manusia yang memiliki keseragaman dalam berbagai karakteristiknya, yang menempati ruang geografis yang dibayangkan sebagai sebuah bidang datar.
Berdasarkan konsepsi semacam itu, militer dan ekonom-teknokrat memperlakukan masyarakat sebagai sesuatu yang secara rasional-sistematis dapat didesain dan direkayasa dari sebuah pusat pengendali tertentu menuju ke arah yang diinginkan. Perbedaan dan keragaman etnis yang melekat dalam masarakat dianggap tidak ada atau tidak relevan, dalam rekayasa sosial dan perencanaan pembangunan. Berbagai kebijakan dan program dibuat secara seragam untuk seluruh rakyat Indonesia dan dijalankan melalui pengendalian yang terpusat. Perencanaan pembangunan cukup didasarkan oleh angka-angka statistik demografis-ekonomis dan berbagai indikator ekonomis yang bersifat agregatif.
Pluralitas dan heterogenitas etnis yang terdapat dalam masyarakat Indonesia sungguh-sungguh berada di luar imajinasi kedua penyokong setia Orde Baru tersebut. Proses rekonstruksi wacana etnisitas pada masa Orde Baru mencapai puncaknya ketika berhasil dikemas dalam konsep “SARA” yang kemudian menjadi acuan utama kebijakan negara yang pada dasarnya mengandaikan sebuah masyarakat tanpa konflik dan harmoni. Implikasi dari konsep ini adalah perbedaan dan keberagaman merupakan sumber konflik yang harus dihindari. Heterogenitas etnis yang melekat pada masyarakat Indonesia dengan demikian harus dilebur melalui berbagai kebijakan dan program sehingga pada akhirnya akan muncul apa yang disebut sebagai kebudayaan nasional yang merupakan jati diri bangsa. Rezim Orde Baru berupaya menyangkal entitas yang paling hakiki dari bangunan Indonesia, yakni pluralitas dan heterogenitas itu sendiri. [10]
Politik penyeragaman bahkan pemusnahan secara sistematis elemen-elemen lokalitas menjadi harga yang harus ditanggung oleh daerah-daerah selama priode panjang Orde Baru. Politik penyeragaman itu berlangsung mulai dari hal-hal yang sangat sederhana seperti pakaian dan makanan sampai pada hal-hal yang sangat fundamental seperti struktur pemerintahan desa. Karena penyeragaman menggunakan krangka konseptual dan model yang bersumber pada tradisi Jawa, proses ini kemudian serta-merta dimaknai sebagai proses jawanisasi. Beberapa peneliti bahkan dengan terang menyebutnya sebagai jawanisasi Indonesia.[11] Karenanya, tak mengherankan bila motif-motif kultural dan ideologis sering menyeruak di balik tuntutan daerah menemukan fondasi bersamanya yang dilawankan dengan “kolonialisme Jawa” sebagai “musuh bersama” daerah-daerah.
Pengalaman terkait pergolakan-pergolakan di berbagai daerah yang terjadi pada priode sebelumnya, benar-benar menjadi momok yang menghawatirkan pemerintahan Presiden Soerharto. Kecurigaan dan kekhawatiran ini sangat mempengaruhi setiap program dan kebijakan yang diambil pemimpin Orde Baru tersebut yang secara sistematis ditujukan untuk menghadang segala hal yang berpotensi menjegal kekuasaannya.
Kecurigaan dan kekhawatiran ini bisa dicermati pada kecenderungan over-sentralisasi dan politik penyeragaman yang sangat keras yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Kecurigaan dan kekhawatiran terhadap kemungkinan pemberontakan daerah dapat dilacak pada bagaimana pengorganisasian struktur militer. Presiden Soerharto membuat kebijakan untuk tidak menempatkan perwira dalam jabatan komando dari daerah asalnya. Karena itu, tidak ada penguasa militer yang memiliki akar politik yang kuat di daerah.  Dengan cara seperti ini, Presiden Soerhato berupaya mengendalikan di bawah kekuasaannya segala hal yang berpotensi menopang pemberontakan, terutama dari kalangan militer.
Langkah lainnya yang diupayakan rezim Orde Baru untuk memuluskan roda kekuasaannya adalah dengan mengendalikan kekuatan kewiraswastaan lokal. Sejarah pengaturan politik lokal Indonesia selama Orde Baru menunjukkan terdapat dua kebijakan penting yang diterapkan guna menghadapi sayap ekonomi ini dari berbagai aksi “pemberontakan” di daerah, yakni dengan memangkas secara langsung kehidupan mereka di tingkat lokal melalui pengembangan prosudur dan sekaligus pengalihan hak monopoli pada kelompok penguasa baru yang berbasis pada birokrasi sipil-militer dan keluarganya serta kekuatan minoritas pengusaha Tionghoa. Strategi selanjutnya – yang paling berpengaruh besar pada lanskap Indonesia hari ini – adalah dengan menyerap mereka ke Jakarta untuk menjadi bagian dari “pengusaha nasional”. Kebijakan ini menjadikan para pengusaha lokal kehilangan pijakannya di daerah-daerah. Deretan nama penting pengusaha lokal masa lalu akhirnya menemukan Jakarta sebagai arena barunya, sementara mereka yang berusaha tetap bertahan di daerah masing-masing menemukan tertutupnya ruang ekonomi bagi aktivitas mereka.
Tidak berhenti sampai di situ. Pemimpin Orde Baru sangat menyadari bahwa penggerogotan kekuasaannya berpotensi datang dari sayap politik daerah-daerah yang direpresentasikan oleh para politisi lokal. Ada dua stategi jitu yang dijalankan rezim Orde Baru untuk mengeliminasi pengaruh mereka, yaitu melalui politik pengasingan dan birokratisasi. Politik pengasingan bermakna ganda. Ia bisa berarti pengasingan politik sebagaimana biasanya melalui pembuangan atau dapat pula dalam bentuk penarikan mereka ke pusat (Jawa) dan daerah lainnya untuk menempati jabatan-jabatan yang lebih penting tapi tidak signifikan secara politik. Sementara strategi birokratisasi dilakukan dengan menyerap para politisi lokal berpengaruh ke dalam birokrasi lokal. Lewat berbagai strategi pengaturan politik, termasuk aturan kepegawaian, semua politisi yang memiliki potensi yang kuat di daerah-daerah diserap untuk menjadi bagian dari jaringan politisi dan sekaligus birokrasi nasional.
Ada banyak lagi mekanisme yang digunakan rezim Orde Baru untuk mengebiri kekuatan para politisi lokal, misalnya dengan perbedaan insentif dan penggajian berdasarkan hirarki spasial, pemberlakuan sistem dan mekanisme kepartaian, dan lain-lain, memainkan peran penting dalam menyerap para politisi dan birokrat potensial daerah untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem kekuasaan pusat. Ditambah dengan pelembagaan KKN sebagai sebuah sistem pengelolaan kekuasaan, semakin memaksa para politisi lokal untuk terus menengok pada lingkaran kekuasaan rezim Orde Baru di Jakarta.[12]
Hal tesebut berdampak panjang dan kompleks pada realitas Indonesia hari ini. Terutama pada ketimpangan pembangunan di antara daerah-daerah, khususnya antara Jawa dan luar Jawa. Ketimpangan pembangunan ini memiliki dampak turunan yang sangat akut dan kompleks pada semua bidang.
Peta kesenjangan distribusi kemakmuran dan kesenjangan pembangunan antardaerah terjadi karena mekanisme kekuasaan yang dijalankan secara sengaja oleh rezim Orde Baru dan sebagai akibat yang inharen dari sistem kekuasaan yang sentralistik. Dengan kekuasaan sentralistik Soeharto semua kebijakan bermuara atau sangat tergantung dari kemauan pribadinya. Dalam konteks pembangunan infrastruktur wilayah, pemimpin Orde Baru tersebut selalu berpijak pada bagaimana sikap politik masyarakat daerah terhadap kekuasaannya. Apabila terkategori tidak sejalan, misalnya tidak mendukung Golkar, maka daerah tersebut seperti terbiasa miskin atau terus tertinggal. Setidaknya ada perlakuan yang diskriminatif antara daerah berbasis massa Golkar dengan daerah basis massa partai lain. Dan, karena kekuasaan sentralistik itu pula, posisi daerah seperti menunggu “belas kasihan” pusat.
Sejauh masa Orde Baru, daerah-daerah sistem pajak harus menyetor ke pusat. Tetapi pengembaliannya untuk daerah tidak lebih dari kisaran angka lima persen. Porsi terbesar dimiliki Jawa, sedangkan luar Jawa hanya mendapatkan alokasi sisa. Implikasinya, di satu sisi terjadi migrasi ke Jawa dalam jumlah yang melapaui batas, sementara penduduk luar Jawa tersedot. Daerah-daerah ditinggalkan dengan merana, tanpa adanya dukungan sumber daya manusia yang potensial. Di sisi lain, banyak daerah kaya sumber daya alam yang sesungguhnya telah berkontribusi besar kepada pusat, tetapi masyarakat lokal tersebut hidup dalam lumpur kemiskinan.[13]
Kesenjangan distribusi kemakmuran dan kesenjangan pembangunan juga muncul dari konsekuensi inharen dalam mekanisme kekuasaan sentralistik. Dalam mekanisme kekuasaan yang menempatkan ibu kota atau pusat sebagi mikroskosmos negara, maka distrubusi kemakmuran dan pembangunan akan mengalami gradasi sejalan dengan jarak geograifis sebuah daerah.[14] Dengan kata lain, semakin dekat sebuah daerah dari pusat, maka biasanya daerah tersebut memiliki kans lebih besar pada akses-akses pembangunan, sebaliknya semakin jauh sebuah daerah dari pusat maka semakin langka pula kebijakan-kebijakan pembangunan berpengaruh pada mereka.
Kelemahan utama dari model pembangunan sentralistik itu adalah absennya partisipasi yang genuin dari masyarakat. Pembangunan dilakukan tanpa diketahui apakah masyarakat memang membutuhkan program-program itu. Masyarakat karenanya ibarat bayi yang terus bergantung pada asupan susu ibunya. Kecenderungan yang kemudian muncul adalah menguatnya apatisme dan berkembangnya sindrom ketergantungan yang parah. Kelemahan ini merupakan kontradiksi internal yang terdapat dalam sistem politik sentralistik rezim Orde Baru yang terutama bermuara pada situasi masyarakat yang bersifat apolitik di mana elemen-elemen masyarakat yang seharusnya mampu memberikan umpan balik terhadap negara telah dimatikan.[15] Karenanya, Indonesia ibarat bayi besar yang gagap menyikapi eksistensinya, selalu tergantung pada asupan, pengayoman, dan pembinaan karena segala potensi kreativitasnya disumbat atas nama stabilitas dan pembangunan.
Hasrat sentralisme dan politik penyeragaman merupakan penyangkalan atas Indonesia karena menyangkal entitas yang paling hakiki yang menyusun Indonesia. Kesepakatan untuk mendirikan Indonesia sebagai bangunan tempat kita bernaung dan hidup di dalamnya, di dasarkan dari kerelaan dan kesepakatan masyarakat-masyarakat di segala penjuru negeri. Jadi rakyatlah yang mendelegasikan atau mengamanatkan diri mereka pada negara, dan bukan negara yang rela mengayomi mereka yang bergerak dari pusat kepada daerah-daerah. Oleh karena itu, bentuk negara harus simetris dengan konstruksi bangsa/daerah. Artinya, negara harus mengakomodasi segala keunikan, heterogenitas, dan pluralitas yang menjadi identitas daerah-daerah yang telah terbangun jauh sebelum sebuah bangunan negara Indonesia berdiri.
Permasalahan mengenai kemajemukan – agama, budaya, adat, bahasa, dan sebagainya – merupakan kodrat alami Bangsa Indonesia. Dan, masalah-masalah terkait kemajemukan itu mengambil bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan dinamika sosial-politik dari satu pridoe sejarah ke priode sejarah lainnya.[16] Dengan kata lain, setiap upaya untuk menegasikan kemajemukan merupakan tindakan melawan kodrat Indonesia. Oleh karena itu upaya untuk menekan SARA (suku, agama, ras, atau golongan) seperti yang dilakukan rezim Orde Baru adalah upaya-upaya yang menyangkal eksistensi kodrati Indonesia sebagai bangsa yang bhinneka.
Bhinneka Tunggal Ika dan Masyarakat Multikultural
Oleh karena itu, bangunan Indonesia yang harus terus ditekankan setelah lebih dari satu dekade Reformasi ini adalah sebuah masyarakat yang menghayati Bhinneka Tunggal Ika dalam arti yang sebenarnya, atau dalam istilah sosiologis disebut masyarakat multikultural. Multikulturalisme bukanlah kenyataan, melainkan sebuah harapan yang musti diperjuangkan terus-menerus. Dengan kata lain, multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan keanekaragaman secara suku-bangsa atau kebudayaan suku-bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman dalam kesederajatan.
Kesederajatan menjadi kata kunci penting dalam konsep multikulturalisme karena keberagaman budaya tidak dengan sendirinya mewujudkan mutlikulturalisme. Keanekaragan budaya bisa saja hanya wujud monokulturalisme majemuk. Bila ada dua gaya atau tradisi hidu yang saling berdampingan naum tidak saling bersinggungan, hal ini mesti dipandang sebagai monokulturalisme majemuk.
Bentuk keanekaragaman yang menggambarkan fenomena monokulturalisme majemuk itu sangat telanjang tergambar selama masa panjang Orde Baru. Dalam orde ini, kebinekaan secara simbolis diakomodasi melalui sejumlah lambang kedaerahan (alat musik, rumah adat, baju tradisional) dalam suatu tatanan sentralistis yang dijaga secara ketat agar menonjolkan persatuan dan kesatuan, bukan perbedaan dengan berbagai konsekuensinya.
Pada rentang waktu yang sama, proyek negara-bangsa ala Orde Baru ditarik secara serampangan pada pola penyeragaman, bukan keanekaragaman. Imajinasi berlebihan terhadap negara kesatuan membuat prakarsa daerah untuk merayakan lokalitas menjadi tersumbat. Atas nama sentralisasi, tolak ukur budaya menjadi singular, bukan plural.
Multikulturalisme – mengambil pandangan Geertz - dengan demikian membutuhkan sebuah politik baru, yang melihat penegasan diri etnis, religius, ras, dan bahasa atau pun regional tidak sebagai irrasionalitas masa silam atau pun bawaan yang harus ditekan atau diatasi; suatu politik yang memperlakukan berbagai ungkapan kolektif itu tidak sebagai kegilaan yang dilecehkan, melainkan menghadapi berbagai ungkapan kolektif itu sebagai keniscayaan bangsa majemuk.[17]
Dalam model tersebut, sebuah masyarakat dilihat memiliki sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat terkecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang tersusun dari mosaik-mosaik dari berbagai kelompok masyarakat. Model multikulturalisme seperti ini sebenarnya telah menjadi acuan para pendiri bangsa sebagaimana terungkap dalam penjelasan pasan 32 UUD 1945 yang berbunyi; “kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah.”
Dalam model monokultur majemuk ala Orde Baru, identitas-identitas yang menjadi bangunan eksistensial masyarakat inilah yang terus-menerus ditekan dalam kebijakan SARA, suatu kebijakan yang secara ketat memagari hal-hal yang dianggap berpotensi membangkitkan sentimen perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan atas nama persatuan dan kesatuan sempit.
Persoalan mendasar dari state centric ala Orde Baru ini adalah tersumbatnya kreativitas-kreativitas warga negara dalam memahami keberadaaan kebangsaan mereka. Kebudayaan kewarganegaraan menjadi persoalan mendasar di mana negara menempatkan dirinya sebagai “bapak” dengan citra feodalistiknya.[18] Karena itu, wajah kesatuan yang tampak dalam rezim panjang Orde Baru menyimpan persoalan mendasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbangsa dan bernegara dalam kesatuan Republik Indonesia mengandaikan kesatuan dalam keragaman belum menjadi cara hidup yang terkespresikan secara wajar sebagi nilai hidup. Oleh karena itu, ketika kekuasaan negara “bapak” ala Orde Baru itu, kekuatan-kekuatan dekstruktif yang tertekan selama kekusaan panjang itu menemukan momentumnya untuk berlomba-lomba menyeruak ke ranah kehidupan, dan tak jarang sekali menimbulkan dampak yang sangat destruktif sehingga melahap habis keberhasilan-keberhasilan yang diklaim oleh penguasa Orde Baru.
Kita harus belajar dari sejarah runtuhnya Yugoslavia dan komunisme Soviet. Bahwa suatu politik yang berupaya menegasikan keragaman sosio-kultural di bawah penindasan sebuah ideologi dan kekerasan politis justru menyimpan dendam kultural. Elemen-elemen kolektif yang ditekan itu pada gilirannya memberontak dan mendekonstruksi tatanan politis dan ideologis bersama itu. Gagalnya proyek komunisme itu dan balkanisasi yang mengikutinya menjadi titik tolak perubahan besar dalam memahami masyarakat modern bahwa masyarakat modern semakin disadari tersusun dari berbagai macam bentuk kehidupan dan orientasi nilai.[19]
Problem Bangsa Majemuk dan Strategi Kebudayaan
Realitas kemajemukan Indonesia dapat menjadi berkah tapi juga berpotensi menjadi kutukan sekaligus. Negara bangsa yang membentang luas dengan sumber daya yang begitu kaya dengan pluralitas etis, budaya, bahasa, dan keyakinan dapat menjadi berkah karena ia merupakan modal besar – karena setiap entitas kultural itu membawa modal sosio-kultural yang begitu kaya. Namun, harus disadari pula bahwa realitas kemajemukan itu juga berpotensi berubah menjadi kutukan, tergantung dari cara kita memperlakukan kemajemukan itu. Indonesia besar tidak hanya dari segi angka-angka statistik, seperti jumlah penduduk atau luas negara yang meliputi hampir seluruh Eropa, pantai terpanjang di dunia, dan sebagainya. Tetapi Indonesia juga besar dalam skala jumlah persoalan mendasar yang harus diperhitungkan setiap saat.
Dengan kata lain, persoalan besar selalu berpotensi besar muncul sewaktu-waktu, bahkan meletup dalam besaran yang tak terduga, yang mengancam integrasi bangsa. Salah satu masalah besar yang akan selalu menghantui persatuan Bangsa Indonesia adalah suara-suara separatisme dari berbagai daerah, yang disebabkan oleh berbagai faktor, dan faktor terbesar adalah persoalan keadilan dan kesenjangan sosial.
Tidak pernah mudah mengatur dan mengelola sebuah negara yang dihuni oleh penduduk dengan kuantitas yang sangat besar dengan bentangan kawasan yang begitu berjarak. Problem-problem imprastruktur, distribusi kesejahtraan, kesehatan dan kebutuhan mendasar penduduk, serta konstruksi sosio-kultural dan ekonomi-politik akan terus dihadapi bangsa Indonesia.
Dalam konteks demokrasi, sejak awal era modern, para teoris di Barat menyangsingkan terhadap munculnya prospek-prospek tata pemerintahan demokratis di negara-negara yang sangat majemuk. Pada abad ke-19, seorang tokoh besar, J. S. Mill menulis bahwa “Institusi-institusi merdeka nyaris mustahil muncul di negara yang terdiri dari bangsa-bangsa yang berlainan. Di antara orang-orang yang tidak memiliki rasa kesamaan, khususnya jika mereka membaca dan berbicara dengan bahasa-bahasa yang berlainan, opini publik yang menyatu, yang perlu bagi bekerjanya pemerintahan yang refresentatif, tidak bisa hidup.”[20] Ada ironi yang terkandung dalam pandangan para pemikir liberal abad ke 19 seperti Mill yang sigap mengakomodasi kepentingan-kepentingan utilitarian individu di pasar, karena pada konteks kehidupan publik dan politik, mereka benar-benar tidak siap menghadapi kemajemukan budaya.[21]
Optimisme mengenai kemungkinan prospek lahirnya tatanan demokratis dalam masyarakat kultural mulai berkembang di sejumlah kecil pemikir Barat pada tahun-tahun awal setelah Perang Dunia I. Piagam untuk Liga Bangsa-Bangsa, yang sudah diratifikasi setelah perang besar itu, seakan menjadi jalan pintas untuk menyeimbangkan hak-hak mayoritas kultural dengan hak-hak minoritas. Akan tetapi, keyakinan dan optimisme itu kembali terkubur disebabkan ketakutan rasial dan etnis dari Perang Dunia II, yang memunculkan kekecewaan yang tersebar luas pada bentuk-bentuk yang mengakui idenitas-identitas komunal seperti itu.
Tahun-tahun sesudah Perang Dunia II menjadi moment yang membangkitkan kembali pesimisme masa lampau terkait prospek-prospek demokrasi dalam masyarakat-masyarakat yang sangat plural. Hal ini tergambar pada “konsensus” teori modernisasi yang mendominasi pemikiran politik Barat pada tahun 1950-an dan 1960-an. Salah satu premis utama dalam teori modernisasi adalah menuntut homogenisasi kebudayaan politis. Dan, jika hal ini tidak ada, maka negara harus menjadi subjek utama yang menanamkan sebuah kebudayaan umum di antara warga negaranya yang beranekaragam. Bahkan, Samuel P. Huntington secara lebih tegas mengemukakan bahwa integrasi nasional menuntut “Pergantian sejumlah otoritas politis tradisional, religius, familial, dan etnis dengan sebuah otoritas politis nasional yang sekuler dan tunggal”. Tanpa pemangkasan solidaritas-solidaritas etnoreligius, demokrasi dan perdamaian sipil seakan terancam.[22]
Pesismisme beberapa kalangan pemikir Barat terhadap prospek demokrasi di masyarakat multikultural ternyata mendapat koreksi dari realitas kebangsaan beberapa negara dengan tingkat multikulturalitas rumit, seperti Indonesia. Heterogenitas sosio-kultural ternyata tidak menghalangi Bangsa Indonesia untuk membangun pranata pemerintahan demokratis. Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa ini mampu mengatasinya dengan sangat baik, meski memang tidak bisa dipungkiri bahwa masih terdapat banyak paradoks yang menyelimuti Indonesia.
Paradoks Indonesia
Fakta bahwa Indonesia berhasil mempertahankan persatuan dan berhasil “mengadopsi” pranata demokrasi di mayoritas masyarakat Muslim merupakan prestasi besar – karena beberapa teoris Barat seperti Samuel P. Huntington meragukan kemungkinan lahirnya pranata demokrasi di negara-negara dengan mayoritas Muslim dan dengan diversitas kultural yang sangat besar.[23]
Hal itu tidak terlepas dari “kecanggihan” bangunan ideologis yang menjadi landasan perjalanan bangsa Indonesia, yakni Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Kedua “mantra sakti” tersebut berhasil mengikat berbagai perbedaan yang secara kodrati dimiliki bangsa ini, dan mengubahnya menjadi kekuatan maha dahsyat yang mengusir kejahatan praktik kolonial yang telah mengakar berabad-abad.
Namun tetap harus disadari; prestasi-prestasi yang telah diraih itu memang membanggakan, tetapi sarat ironi dan paradoksal. Betapa tidak, kita mengembangkan semangat persatuan, dan telah sepakat membangun bangsa dalam negara kesatuan, namun yang kita lihat hari ini berseminya semangat primordial sempit, yang sangat potensial menimbulkan perpecahan.
Kita juga sepakat berlindung di bawah atap yang sama, Indonsia, tetapi keadilan sosial sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD 1945 begitu bertolak belakang dari realitas kehidupan rakyat Indonesia. Jarak antara si kaya dan si miskin begitu renggang, berjuta-juta rakyat miskin menderita kelaparan sementara segelintir orang berpoya-poya dalam kemewahan. Karena itu, kita seperti tinggal di bawah atap yang sama, tapi tidur di alas yang bebeda; si kaya tidur di atas singgasana mewah dan tentu dengan mimpi indah, sementara si miskin tidur di atas lantai dingin menggigil dengan menekan perut kosong meronta, apalagi bermimpi tertidur pun tak mungkin. Si kaya berbaju mantal berharga mahal untuk mengusir dinginnya musim hujan, sementara si miskin sekain baju pun tak punya untuk mengganti baju yang terguyur hujan.
Kesamaan nasib dan cita-cita bersama adalah faktor pengikat bangsa-bangsa yang berbeda-beda untuk bersatu menjadi Indonesia, yakni kesamaan nasib sebagai bangsa terjajah dan cita-cita bersama menjadi bangsa merdeka nan berdaulat. Namun hari ini, kedua pengikat itu mulai tergerus oleh egoisme dan ketidakpeduliaan. Yang menyatukan bangsa Indonesia hari ini, hanya sebatas faktor politis, dan menjadi sangat berbahaya bagi masa depan persatuan dan kesatuan Indonesia, karena ketika tidak ada landasan idealitas yang mengikat di alam sadar dan alam bawah sadar setiap rakyat, maka integralisme hanya berbentuk ikatan geografis, dan ikatan yang terakhir ini sifatnya sangat rentan.
Bentangan luas geografis Indonesia, dengan hamparan sawah dan hutan, garis pantai yang melintang panjang dengan kekayaan lautnya, gunung-gunung pencakar langit dengan kekayaan sumber daya yang tersimpan di bawahnya seharusnya menjadi modal dasar kesejahtraan dan kemakmuran rakyat. Akan tetapi pemenuhan kebutuhan dasar masih langka, kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang layak hanya dinikmati oleh segelintir orang. Sebagian besar rakyat hanya gigit jari dan putus asa melihat melihat tingkah-polah negara yang mengabaikan mereka.
Falsafah Pancasila selalu kita peringatkan, Bhinneka Tunggal Ika selalu kita ucapkan, tetapi semangat gotong royong, mengedepankan mufakat dalam musyawarah, dan menciptakan harmoni dalam perbedaan masih berupa cita-cita, sementara dalam kehidupan sehari-hari adu-domba, kekerasan, chaos, merupakan praktik nyata. Kita selalu berbicara tentang unity in diversity tetapi kaum minoritas selalu menjadi langganan kekerasan dan hak-hak mereka dilupakan. Kita juga berbicara tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan, tetapi rumah-rumah ibadah dihancurkan, sementara negara menutup mata dan absen untuk melindungi hak-hak warga negara – yang mana idiom warga negara mengandaikan kesetaraan dihadapan negara terlepas apa pun latar sosio-kultural seorang warga negara.
Kesetaraan di depan hukum yang diamanatkan undang-undang dihianati karena hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Akibatnya, korupsi meraja lela, hukum diperkosa oleh anak kandungnya sendiri (para penegak hukum). Persentase tindakan kriminal terus menukik tinggi setiap hari, puluhan orang kehilangan nyawa sia-sia gara-gara minuman keras (cukrik) yang diakibatkan oleh tatanan sosial yang kacau. Tertib hukum yang menjadi ciri masyarakat beradab sangat rendah, baik yang terjadi di birokrasi negara, maupun yang tercermin di jalan raya-jalan raya.  
Sementara itu, petani, nelayan, dan pengusaha kecil gigit jari melihat hasil keringat mereka kalah bersaing di pasar, produk-produk mereka tak mendapat keistimewaan untuk bersanding dengan produk-produk impor di etalase toko-toko. Kita seperti kehilangan kebanggaan untuk mengkonsumsi produk tangan anak negeri, di sisi lain pemerintah juga tak punya visi membangun bangsanya secara berdaulat, mendayagunakan semua modal kebangsaan yang begitu kaya bagi kesejahtaraan bersama.
Strategi Kebudayaan
Oleh karena itu, tugas semua elemen bangsa ini adalah mengejawantahkan Bhinneka Tunggal Ika menjadi “ideologi” yang hidup, tidak hanya sebatas slogan pemanis bibir, tetapi sebagai strategi kebudayaan yang dituangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam kebijakan publik, dan dalam kehidupan di ruang publik. Strategi kebudayaan itu bertujuan agar seluruh kekayaan kultural etnis di Nusantara ini dapat terjalin dalam “serat-serat kebudayaan, yang membantuk batang tubuh kebudayaan Indonesia Baru yang kokoh, kukuh, ibarat sebatang pohon yang menjulang tinggi, berdiri tegak oleh serat-serat kayu, akar yang memikul batang, batang menunjang daun dan buah.
Dalam konteks membangun masa depan Indonesia, maka implementasi kebijakan yang diderivasi dari filosofi Bhinneka Tunggal Ika itu adalah bagaimana menjadikan ragam kekayaan tradisi dan adat-istiadat bangsa-bangsa di Indonesia sebagai sumbangan jalinan “serat-serat budaya” Indonesia yang kukuh dan kuat. Jika diandaikan secara fisik, pertumbuhan pada setiap tahap akan terjadi transformasi dalam bentuk baru. Dalam transformasi fisik itu, harus ditujukan untuk menumbuhkan pohon yang tegak dan kuat. Tercabutnya akar-akar sebatang pohon akan berdampak pada robohnya pohon sehingga pohon tidak lagi dapat disebut pohon, melainkan hanya onggokan kayu.
Strategi kebudayaan mengandung dua aspek penting bagaikan dua sisi mata uang. Pertama, menunjukkan strategi pengelolaan cara bangsa itu bereaksi, berperilaku, bertindak, dan bekerja dalam menumbuhkan proses berbangsa. Kedua, menunjukkan strategi menumbuhkan nilai keutamaan berbangsa yang menjadi dasar dalam proses membangsa itu, seperti nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, profesionalisme, etika, respek, rasa malu, kerja keras, toleransi, cinta tanah air, dan lain sebagainya.
Strategi kebudayaan itu mensyaratkan kemampuan menghidupkan filosofi Bhinneka Tunggal Ika itu ke dalam berbagai aspek. Dalam bidang hukum, filosofi Bhinneka Tunggal Ika itu melahirkan sistem hukum yang berkeadilan. Dalam manajemen negara, filosofi itu dijabarkan dalam program kerja agar secara sosiologis hidup dan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Dalam hubungan antar warga negara, maka filosofi itu tercermin pada hidupnya nilai-nilai kewarganegaraan dalam kebijaksanaan praktis setiap warga negara.
Meluruhnya Nasionalisme dan Absennya Nilai-Nilai Kewargaan
Dampak buruk yang paling gamblang dari proses hegemoni total Orde Baru itu langsung terjadi tepat setelah kejatuhan pemerintahan tersebut. Fakta pluralitas Indonesia yang selama orde panjang itu ditekan dan tidak diberikan kesempatan untuk mengalami proses pendewasaan alami menyeruak dan menjadi kekuatan destruktif yang berpotensi menghancurkan bangunan kesatuan Indonesia yang terlihat tenang di permukaan tetapi bergejolak di dasar seperti arus di bawah samudra yang tenang.
Di berbagai daerah muncul keinginan untuk melepaskan diri dari NKRI. Ketidakadilan negara dalam mengupayakan kesejahtraan dan keakmuran bersama bagi segenap rakyat yang tersebar di berbagai daerah menjadi alasan untuk memisahkan diri dari kesatuan Indonesia. Spirit yang melandasi lahirnya bangsa Indonesia, yakni kesamaan nasib sebagai bangsa terjajah tidak berlanjut pada kesamaan nasib sebagai bangsa merdeka. Pemerintahan yang dengan telanjang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi kekuatan tersendiri bagi berbagai daerah untuk memutuskan bercerai dari satu atap Indonesia.
Jarak psikologis dan kepeduliaan sosial masyarakat pada akhirnya ikut terkikis. Kepedulian sosial masyarakat kemudian seringkali hanya dibatasi pada lingkup primordial sempit. Kita merasa tak peduli dengan penderitaan masyarakat suatu daerah yang berbeda dari daerah kita sendiri. Jarak kemudiaan menjadi penghalang yang memisahkan. 
Dampak negatif – yang sangat mendasar - yang berlangsung lama bahkan setelah 15 tahun pasca Reformasi dari rezim feodalistik dan sentralistik ala Orde Baru adalah sulit tumbuhnya kedewasaan masyarakat dalam menginternalisasi dan mengaktualisasikan nilai-nilai kewargaan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, upaya membangun Indonesia hanya mungkin terwujud ketika nilai-nilai kewargaan itu dipahami oleh setiap elemen masyarakat yang diadopsi menjadi pedoman kehidupan.
Nilai-nilai kewargaan yang absen itu adalah tampak dalam tingkah laku-tingkah laku sederhana tapi berdampak tidak sederhana, bahkan menjadi barometer tingkat keadaban suatu bangsa. Membuang sampah pada tempatnya, terkesan adalah tindakan biasa, tetapi sungguh menjadi cerminan nilai-nilai sosial dan peradaban. Karena tindakan itu menjadi pertanda sederhana kepekaan sosial dan masyarakat yang dewasa.
Demikian halnya dengan kebiasaan mematuhi peraturan-peraturan lalu lintas, adalah nilai kewargaan yang terkesan sederhana pula, tetapi tindakan itu adalah mencerminkan kepeduliaan sosial-hukum seorang individu. Masih banyak lagi contoh mengenai bagaimana absennya nilai-nilai kewargaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini.
Lemahnya nilai-nilai kewargaan adalah ancaman besar yang harus kita sadari dan mencari solusinya. Karena dalam sejarah negara mana pun, ketika nilai-nilai kewargaan yang terinternalisasi secara baik akan memperkuat sendi-sendi negara. Sebaliknya, ketika nilai-nilai kewargaan absen dalam kehidupn warga negara, maka negara hanya akan menjadi rimba raya, dimana yang menang adalah mereka yang kuat, sementara yang lemah menjadi korban; yang kaya semakin makmur, sementara yang miskin semakin sengsara. Nilai-nilai kewargaan yang dijalankan oleh masyarakat menjadi “barometer” perjalanan suatu negara, apakah negara itu berjalan sehat atau sebaliknya.

Mengembalikan Nasionalisme dan Nilai-Nilai Kewargaan
Tugas kita semua hari ini adalah mencari jalan keluar dari kemelut yang selama ini menghantui perjalanan republik ini. Tugas itu adalah merefleksi Bhinneka Tunggal Ika sebagai spirit yang melahirkan rasa cinta terhadap bangsa dan negara ini yang kemudian terwujud sebagai kebijksaaan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu tidak harus selalu dimaknai sebagai hal-hal besar, seperti tindakan patriotisme para pahlawan yang bersedi mengorbankn jiwa dan raganya bagi bangsa dan negara, tetapi pada hal-hal sederhana yang sebenarnya bernilai besar bagi kehidupan bersama.
Ada beragam definisi nasionalisme yang pada dasarnya menuju pada maksud yang sama. Carlton J. H. Hayes misalkan misalkan berpendapat bahwa nasionalisme adalah gabungan rasa kesetiaan terhadap negara dan kesadaran kerakyatan (nationality). Hans Kohn juga menguraikan nasionalisme sebagai suatu keadaan atau pikiran yang mengembangkan keyakinan bahwa kesetiaan terbesar harus diberikan kepada negara. Kesetiaan ini kemudian menjadi suatu keinginan dan sentimen yang berkembang melalui berbagai pengalaman hidup masyarakat. Keinginan dan sentimen ini kemudian melahirkan gerak kesadaran bagi anggota masyarakat tersebut untuk menyumbangkan jasa-jasa melalui aktivitas-aktivitas yang teratur dengan tujuan terakhirnya untuk menegakkan sebuah negara yang berdaulat.[24]
Dengan demikian nasionalisme dapat diterangkan sebagai paham kebangsaan yang tumbuh karena adanya kesamaan nasib dan sejarah, serta adanya kepentingan untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, dan demokratis, serta maju dalam satu-kesatuan bangsa dan negara serta cita-cita bersama guna mencapai dan memelihara identitas, kemakmuran negara bangsa yang bersangkutan.
Definis nasionalisme yang diberikan oleh para akademisi di atas juga menunjukkan bahwa kecintaan dan kesetiaan pada negara berjalan simetris dengan nilai-nilai kewargaan. Dengan kata lain, nasionalisme tidak sekedar dimaknai secara abstrak dan transenden tetapi berlaku secara riil dalam mewarnai dinamika sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain, banyak cara untuk menunjukkan kecintaan dan kesetiaan terhadap tanah air.
Kecintaan dan kesetiaan terhadap tanah air seringkali ditujukan dengan penghormatan terhadap simbol-simbol dan lambang negara, terutama bendera Merah-Putih dan Lambang Garuda. Akan tetapi dalam konteks Bhinneka Tunggal Ika, penghormatan terhadap simbol dan lambang negara tidak hanya dibatasi pada kedua simbol dan lambang tersebut. penghormatan terhadap simbol dan lambang negara berarti menghormati dan menghargai simbol-simbol dan lambang-lambang yang menjadi karakteristik berbagai daerah di Indonesia. Spiritnya adalah berakar dari ruh Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri dan persatuan dan kesatuan sebagai Bangsa Indonsia. Simbol dan lambang daerah Papua adalah simbol dan lambang Indonesia, karena Papua adalah bagian dari Indonesia, karena itu menghormati, menghargai, dan mencintai simbol dan lambang daerah Papua adalah berarti menghormati, menghargai, dan mencintai simbol dan lambang negara. Begitu pula dengan simbol dan lambang dari daerah-daerah yang lain.
Pengenalan terhadap simbol-simbol negara selama ini memang sudah dilakukan sejak pendidikan sekolah dasar, namun ada dua persoalan yang menurut saya jarang diperhatikan, yakni pengenalan yang berhenti pada sebagai bentuk luar simbol-simbol itu namun tidak sampai pada kandungan-kandungan filosofis dari simbol-simbol itu, dan persoalan yang tak kalah penting adalah pelajaran yang kita dapatkan mengenai simbol dan lambang negara hanya mencakup burung garuda, bendera merah putih, bahasa Nasional, dan lagu kebangsaan Indonesia raya.
Setiap lambang dan simbol negara lahir dari pergulatan panjang, merefleksi dan merangkum berbagai spirit yang digali dari rangkain waktu masa lalu dan masa kini. Karena itu lambang dan simbol adalah elemen yang begitu kaya sebagai medium dimana memori-memori kolektif bangsa tersimpan. Dan, dengan demikian menjadi tempat kita merujuk diri, baik tentang identitas, eksistensi, imajinasi, dan visi menjadi sebuah bangsa. Lambang dan simbol negara tidak hanya menjadi benda mati yang menjadi aksesori suatu bangsa yang membedakannya dengan yang lain, dan karena itu berhenti pada pengenalan bentuk luar dari lambang-lambang dan simbol-simbol tersebut. Pemahaman yang lebih substansial dan filosofis harus terus diupayakan untuk memperkokoh pondasi dan kuatnya bangunan identitas negeri yang pada akhirnya melahirkan kecintaan yang lebih tinggi terhadap bangsa dan negara.
Burung Garuda misalnya adalah lambang di mana memori kolektif bangsa ini tersimpan dan akan selalu mengingatkan kita untuk merujuk pada memori kolektif itu dan menjadi spirit kehidupan sebagai sebuah bangsa. Burung garuda adalah lambang yang selalu menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Selain terpampang pada setiap kantor-kantor pemerintahan juga menjadi semangat dalam ikhtiar dan juga melambangkan kekuatan.
Lambang burung garuda dirancang oleh Sultan Hamid II yang berasal dari Pontianak dan disempurnakan oleh Presiden Soekarno yang kemudian di resmikan pemakaiannya pada sidang kabinet Republik Indonesia Serikat tanggal 11 Februari 1950 adalah gambaran tentang bagaimana spirit Bhinneka Tunggal Ika begitu kuat dalam sanubari para pendiri bangsa ini. Sultan Hamid II yang berasal dari Pontianak, yang beragama Islam, menggunakan Garuda sebagai lambang negara yang sebenarnya lahir dari agama Hindu karena Garuda dalam mitologi Hindu adalah kendaraan (wahana) Dewa Wisnu.[25]
Memori kolektif bangsa Indonesia tersimpan dalam keseluruhan lambang Burung Garuda. Seperti pada sayap, ekor hingga serabut halus kecil pada leher dan dibawah perisai itu mengandung makna yang memperingatkan pada hari proklamasi kemerdekaan republik Indonesia. Secara tersirat bahwa setidaknya masyarakat Indonesia harus mengingat dan merefleksikan kemerdekaan yang di rebut dengan perjuangan yang panjang.
Perisai yang terdiri dari lima ruang masing-masing melambangkan sila-sila pancasila. Pertama, bintang persegi lima (Nur Cahaya) yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, bergambar rantai dalam sila kedua pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab yang mengandung arti kemanusiaan yang di junjung tinggi. Ketiga, bergambar pohon beringin sesuai sila ketiga pancasila yaitu persatuan Indonesia. Keempat, kepala banteng yang dalam pancasila sebagai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam perusyawaratan perwakilan. Dan yang kelima, kapas dan padi sebagai bentuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kemudian yang terakhir tulisan Bhineka Tunggal Ika yaitu berbeda-beda tetapi tetap satu.
Secara keseluruhan lambang Garuda Indonesia melambangkan cita-cita bangsa Indonesia yang telah berhasil merebut dan mencapai kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan segala pemusatan pikiran, dan gerak dalam mencapai cita-cita pembangunan demi kemakmuran bangsa dan kejayaan negara, sekaligus mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Memori-memori kolektif yang tersimpan dalam simbol-simbol dan lambang-lambang negara mampu melahirkan gelora, patriotisme, dan nasionalisme rakyat karena ia mampu mengeluarkan memori-memori kolektif masa lalu itu menjadi mermori kolektif masa kini yang merasuk dalam pikiran dan jiwa setiap individu. Oleh karena itu, ketikawa Bendera Merah-Putih dan lagu Kebangsaan dinyanyikan, mampu melahirkan gelora yang sangat besar.
Akan tetapi, persoalan yang cukup mendasar dalam konteks spirit Bhinneka Tunggal Ika adalah kecenderungan untuk menganggap simbol-simbol lain yang menjadi karakteristik suatu daerah bukan termasuk lambang dan simbol negara. Sehingga simbol-simbol dan lambang-lambang itu tak mendapatkan rasa hormat dari masyarakat sebagaimana pada keempat simbol negara yang lainnya. Mengenai hal ini, lagi-lagi kita harus mengembalikan pada spirit Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri, yakni keanekaragaman yang menjadi fakta pluralitas bangsa ini, yang juga tercermin dalam simbol dan lambang adalah bagian dari kekayaan bangsa Indonesia.
Karena lambang dan simbol negara itu adalah memori kolektif masa lalu yang tersimpan di dalamnya, maka tugas kita hari ini adalah mewujudkan memori kolektif itu dalam arti yang holistis dan substansialis. Imajinasi yang melahirkan semangat para pahlawan dan pendiri bangsa ini untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah tentang bangsa yang berdaulat sehingga meraih kesejahtraan dan kemakmuran secara merata.
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk meraih imajinasi tersebut. Tidak hanya dari sumber daya alam dan sumber daya manusia yang sangat kaya dan besar, tetapi juga dari kekayaan kultural yang kemudian terwujud dalam berbagai produk budaya. Potensi yang sangat besar itu adalah disparitas pangan dan buah-buahan. Indonesia memiliki sumber pangan yang sangat kaya baik secara ketersediaan maupun nilai gizinya, begitu pula dengan keragaman jenis buah-buahan.
Persoalannya adalah ke-bhinneka-an ini tidak dijadikan sebagai sumber kesejahtraan bersama. Pemerintah lebih suka menyediaakan kebutuhan pangan dan buah-buahan nasional dengan jalan instan, yakni impor dibandingkan mengusahakan memenuhinya dari usaha pertanian sendiri, sementara itu tak sedikit masyarakat yang lebih memiliki bahan pangan dan buah-buahan impor demi gengsi dan privilage dibanding memilih produk yang lahir dari jerih payah para petani sendiri.
Keanekaragaman budaya dan adat-istiadat juga tercermin dari kanekaragaman seni dan kuliner bangsa Indonesia. Di setiap daerah memiliki kuliner khas tersendiri, yang jika ditelisik lahir dari format sosial dan kebudayaan masing-masing. Semua itu adalah menjadi gambarn riil mengenai ke-bhinneka-an Indonesia. Oleh karena itu mencintai produk-produk yang dihasilkan oleh anak bangsa, yang lahir dari kultur yang berbeda-beda itu adalah bagian dari aktualisasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Salah satu contoh sederhana adalah mencintai rendang sebagai makanan khas masyarakat Padang dibanding stick adalah bagian dari mencintai produk-produk dalam negeri.
Sumberdaya-sumber daya sosio-kultural yang begitu besar itu harus terus diperjuangkan, tidak saja sebagai pelestarian, tetapi pada faktanya memiliki dampak riil bagi kemajuan ekonomi bangsa ini. Dengan kata lain, mencintai produk dalam negeri sebagai bentuk kencitaan terhadap bangsa Indonesia adalah spriti Bhinneka Tunggal Ika yang sangat nyata dan memberikan dampak yang nyata pula. Spirit Bhinneka Tunggal Ika sebagai pemersatu harus dimaknai sebagai bersatu dalam saling mendorong pada kemajuan, kemakmuran, dan kesejahtraan antar sesama putra dan putri bangsa terlepas apa pun latar belakang etnis, suku, agama, dan budaya.
Terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur  tidak serta - merta datang dengan sendirinya. Pemerintah dan masyarakat harus saling bekerjsama demi terciptanya  kehidupan yang berkecukupan. Terbentuknya masyarakat Indonesia dengan jiwa dan semangat bersatu dengan nasionalisme yang tinggi, yang mendiami berbagai pulau di Nusantara dengan semangat hidup yang  ber-bhinneka tungal ika, juga haru dibarengi dengan rasa persaudaraan dan rasa tanggungjawab satu sama lain.[26] Berkehidupan dan berkebangsaan tampa didorong rasa tanggungjawab dan kepeduliaan dari masing – masing lapisan masyarakat tentu hanya akan mempersubur adanya kemelut dan berbagai masalah yang berkembang  dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena seperti kemiskinan, kelaparan, pengangguran dan bahkan buta huruf  akan menjadi pendorong kita untuk selalu berteriak lantang dalam menuntaskan berbagai problema yang dihadapi Republik Indonesia.
Tanggung jawab bersama dapat digali dari semangat Bhineka Tunggal Ika sebagai salah satu dasar negara Indonesia. Pelaksanaan tersebut tidak hanya berupa teks dan simbol belaka. Melainkan harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika warga negara melaksanakan dengan penuh kesadaran akan pentingnya berbangsa dan bernegara demi kesejahteraan beresama maka akan beralih menjadi pengamalan persatuan.
Salah satu wujud kesadaran itu adalah kesadaran wajib pajak sebagai kelanjutan dari pelaksanaan spirit Bhineka Tunggal Ika itu, untuk terwujudnya masyarakat berbeda-beda tapi bersatu dalam mewujudkan keadilan dan kemakmuran. Kesadaran akan tanggungjawab dan sebagai salah satu pembuktian bahwa nilai – nilai kewarganegaraan tidak punah dimakan oleh waktu dalam negara ini. Maka dapat dilihat dari bagaimana masyarakat tersebut mempunyai kesadaran untuk membayar pajak tepat pada waktunya.
Dari berbagai permasalahan yang seakan tidak kunjung berakhir, perlu sekiranya partispasi dari semua lapisan rakyat Indonesia. Kecintaan terhadap negara ini dapat diungkap dari berbagai bentuk tindakan. Salah satunya dengan menaati kontrak sosial (undng-undang) yang berlaku. Sebagai negara hukum kita tidak mempunyai alasan untuk tidak menaati kontrak sosial yang berlaku di negara ini. Sebab semua perilaku yang menyangkut kepentingan umum bahkan pribadi telah mempunyai ketentuan masing-masing yang diatur dalam bentuk kontrak sosial atau undang-undang. Sehingga kedudukan warga negara di mana pun tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam arti yang sesungguhnya. Bhineka Tunggal Ika tidak hanya berarti kesatuan dalam mengatasi perbedaan dalam lingkup kenegaraan, tapi kesatuan nasib dan sepenanggunangan. Spirit Bhineka Tunggal Ika itu harus terwujud pada penyebaran secara menyeluruh seluruh “harta” negara bagi kesejahtraan dan kemakmuran seluruha rakyat Indonesi, apa pun latar belakang sosial, etnis, suku, dan agamanya.
Salah satu bentuk penyebaran kemakmuran itu adalah optimalisasi penggunaan pajak yang dipungut dari warga negara. Pajak sebagai pungutan legal merupakan bentuk tindakan praktis dari spirit Bhineka Tunggal Ika itu. Melalui pungutan legal dari sebagian kekayaan swasta itu (privat) disebarkan bagi masyarakat (publik). 




[1]Mengenai ulasan kritis terhadap Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, lihat: Niels Mulder, Mistisisme Jawa; Ideologi di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2001), Cet. 1.
[2]Bedjo Sujanto, Pemahaman Kembali Bhinneka Tunggal Ika dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara, (Jakarta: CV. Sagung Seto, 2007), cet. 1, h. 1.
[3]Dikutip dari Pengantar F. Budi Hardiman; Belajar dari Politik Multikulturalisme. Dalam buku Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, (Jakarta: LP3ES, 2011), Cet. 2, h. viii. 
[4]Sultan Hamengku Buwono X, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 83.
[5](ed.) Hikmat Budiman, Minoritas E pluribus Umum dan Demokrasi. Dalam buku Hak Minoritas; Ethnos, Demos, dan Batas-Batas Multikulturalisme, (Jakarta: The Interseksi Foundation, 2009), cet. 1, h. 3.
[6]Sultan Hamengku Buwono X, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 84
[7]Sultan Hamengku Buwono X, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 84
[8]Lihat: R.E Elson, The Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan, (Jakarta: Serambi, 2009), cet. 1, h.1-5.
[9]Robert W. Hefner; Multikulturalisme dan Kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Dalam buku Politik Multikulturalisme; Menggugat Realitas Kebangsaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), cet. 5, h. 13.  
[10]Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia; Demografi-Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LIPI Press , 2007), h. 207.
[11]Lihat: Niels Mulder, Mistisisme Jawa; Ideologi di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2003), cet. 3, h. 147. Terj.
[12]Abdul Gaffar Karim (ed), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2003), cet. 1, h 8-10
[13] AM Saefuddin, Dari Cendana ke Reformasi, (Jakarta: PPA Consultants, 2011), cet. 1, h. 44
[14]Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya 3 – Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, (Jakarta: Gramedia, 2008), cet. 4, h. 71
[15]Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia; Demografi-Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LIPI Press , 2007), h. xv.
[16]Zainal Abidin, Pluralisme Kewargaan; Dari Teologi ke Politik. Dalam Pluralisme Kewargaan; Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2011), cet. 1, h. 13.
[17]F. Budi Hardiman; Belajar dari Politik Multikulturalisme, dalam buku Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, (Jakarta: LP3ES, 2011), Cet. 2, h. ix 
[18]Lihat: Niels Mulder, Mistisisme Jawa; Ideologi di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2001), Cet. 1.
[19]Sultan Hamengku Buwono X, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, (Jakarta: Gramedia, 2007).
[20]Dikutip dari Robert W. Hefner; Multikulturalisme dan Kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Dalam buku Politik Multikulturalisme; Menggugat Realitas Kebangsaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), cet. 5, h. 11.  
[21]Robert W. Hefner; Multikulturalisme dan Kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Dalam buku Politik Multikulturalisme; Menggugat Realitas Kebangsaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), cet. 5, h. 11. 
[22]Robert W. Hefner; Multikulturalisme dan Kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Dalam buku Politik Multikulturalisme; Menggugat Realitas Kebangsaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), cet. 5, h. 11.  
[23]Lihat: Saiful Mujani, Muslim Demokrat; Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), h. 3.
[24]Koh Young Hun,  Nasionalisme dan Komunitas Terbayang dalam Karya-Karya Novel Pramoedya Ananta Toer, (Seoul: Hankuk University of Foreign Studies), h. 59.
[25]Maarif, Ahmad Syafii, ”Bhinneka Tunggal Ika Pesan Mpu Tantular Untuk Keindonesiaan Kita”, Makalah dalam Lokakarya Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: MPR RI, 17-19 Juni 2011.
[26]Bedjo Sujanto, Pemahaman Kembali Bhinneka Tunggal Ika dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara, (Jakarta: CV. Sagung Seto, 2007), cet. 1, h. 77.

1 komentar:

  1. Bapak/Ibu, saya mencari tulisan Buya Ahmad Syafi'i Maarif yang Anda sebutkan di catatan kaki no. 25. Apakah Anda memiliki copy-nya?

    BalasHapus