Kondisi Pertanian Indonesia
Barangkali, tidak ada konvensi tunggal terkait
kondisi pertanian kita saat ini. Sebagian pihak mungkin akan dengan gamblang
menyimpulkan bahwa pertanian kita sedang berada dalam jalur yang benar dengan
menunjukkan berbagai keberhasilan yang telah dan sedang dicapai. Sedangkan
pihak yang lain juga memiliki argumentasi yang cukup valid untuk mengatakan
kondisi pertanian kita berjalan dalam track yang salah. Keberhasilan
pemerintah menstabilkan ketersediaan
pangan dan mengontrol harga-harga bahan pokok misalnya, dapat ditunjukkan oleh
data-data statistik dan gambaran di permukaan pasar, namun
keberhasilan-keberhasilan tersebut juga menunjukkan kondisi yang paradoksal,
karena stabilitas ketersediaan pangan dipenuhi melalui impor. Demikian halnya
dengan stabilitas harga pangan, diciptakan dengan mengundang produk-produk
pertanian luar yang berakibat pada matinya pasar lokal dan membunuh sumber
perekonomian petani dan rakyat miskin. Demikian juga dengan tampilan
angka-angka mengesankan keberhasilan sektor pertanian, yang juga diiringi
jeritan tangis kelaparan dan kerentanan petani terhadap serbuan produk impor.
Ketiadaan satu kesimpulan tersebut terutama
karena luas dan kompleksnya lingkup pertanian. Kombinasi antara jenis usaha
dengan wilayah kegiatan pertanian saja sudah dapat menampilkan ragam kondisi
dan perkembangan yang demikian luas. Oleh karena itu, menurut saya, perbedaan
sudut pandang atas potret kondisi pertaniaan saat ini menunjukkan sifat
multidimensi dari pertanian.
Namun, untuk sampai pada kesimpulan yang
setidaknya lebih mendekati pada kondisi yang sesungguhnya, setidaknya ada dua
gambaran kondisi ‘sederhana’ yang dapat menjadi patokan. Pertama, kondisi
kesejahtraan petani; kedua, kondisi kemandirian rakyat dalam memperoleh
kebutuhan produk pertanian.
Kondisi Kesejahtraan Petani
Meski terus berkurang, jumlah penduduk miskin
di Indonesia masih cukup tinggi. Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih
lebih banyak dari total penduduk Malaysia, Brunei, dan Laos. Jumlah itu pun
belum dikomparasikan terkait jumlah pendapatan minimum setiap penduduk. Pada
tahun 2004, terdapat sekitar 36 juta orang atau hampir 17 dari total penduduk
Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar di antaranya atau
sekitar 25 juta tinggal di pedesaan, dan sebagian besar penduduk yang tinggal
di perdesaan adalah petani. Singkatnya, sebagian besar penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan adalah para petani.
Meskipun kontribusi sektor pertanian sangat
dominan terhadapa keseluruhan perekonomian nasional, tetapi kesejahtraan petani
masih stagnan. Sebagian besar dari penduduk miskin ini dengan usaha pertanian,
perikanan, dan kehutanan yang masih tradisional dan bersifat subsisten.
Sensus Pertanian 2003 menggambarkan tentang
seriusnya masalah kemiskinan dan ketidaksejahtraan petani. Menurut sensus
tersebut terdapat 25,4 juta rumah tangga dengan laju pertumbuhan dari
tahun-tahun sebelumnya sekitar 2,2 persen per tahun. Dari pertambahan tersebut,
jumlah petani “gurem” bertambah sekitar 13, 7 juta jiwa. Pertambahan petani gurem
ini mencapai 2,6 persen per tahun. Artinya, petani yang bertambah di Indonesia
adalah petani yang lebih gurem yang jelas mengindikasikan permasalahan
kemiskinan di sektor pertanian.
Penduduk miskin ini juga rentan mengalami kelaparan. Menurut data
FAO, ada sekitar 815 juta penduduk dunia sedang mengalami tragedi kelaparan
hebat, yang setiap saat berpotensi merenggut nyawa. Data-data itu semakin
mengejutkan karena satu dari tiap lima penduduk dunia menderita kekurangan
gizi. Sekitar 777 juta orang mengalami krisis atau kelangkaan pangan yang
menjurus menuju kategori menderita kelaparan. Angka kematian anak di
negara-negara berkembang juga sangat fantastis. 55 % dari 12 juta anak
meninggal tiap tahun akibat kekurangan gizi, sementara kematian ibu saat melahirkan
di Asia dan Afrika mencapai 20%, sebuah persentase yang masing sangat tinggi.
Masalah tersebut juga terjadi di Indonesia dengan besaran yang
mencemaskan. Tahun 2000 menurut laporan Unicef (United Nation Children’s Fund),
ada sekitar 10 juta anak Indonesia yang menderita kekurangan energi protein, 2,
4 juta anak di bawah 5 tahun menderita gizi buruk, dan tujuh juta balita
menderita kurang gizi. Angka-angka yang disampaikan Unicef tersebut pun harus
dilihat bukan sebagai angka keseluruhan, tapi harus dipahami sebagai sekedar
puncak gunung es.
Persoalannya, kondisi kelaparan dan krisis pangan tersebut khas
negara-negara berkembang yang nota bene produsen produk pangan. Ada
kondisi yang berjalan kontras antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
Kontras terhadap pangan dan gizi antara lain dapat dilihat dari kenyataan
adanya 300 juta penduduk dunia terutama di negara maju berjuang keras melawan
kegemukan, sedangkan 815 juta orang di negara-negara berkembang dalam kelaparan
hebat.
Kondisi yang timpang tersebut terjadi karena di
negara-negara berkembang seperti Indonesia, aktivitas pertanian dinilai rendah.
Sektor pertanian juga dituntut untuk mendukung sektor industri yang menjadi
prioritas dengan menyediakan bahan baku dan pangan murah bagi para pekerja di
kota. Sebuah praktik politik-ekonomi yang bias ke kota. Sektor pertanian dan
petani dipaksa untuk berkorban secara tidak adil. Banyak penentu kebijakan yang
berpandangan, bahwa untuk menekan inflasi harga pangan harus ditekan karena
merupakan unsur pembentuk inflasi terbesar. Instrumen yang biasa dilakukan
adalah operasi pasar. Kebijakan ini sebenarnya tidak adil bagi petani yang
telah tercekik oleh meningkatnya biaya hidup dan peningkatan biaya produksi. Kekeliruan
mendasar yang banyak dipraktikkan adalah melakukan transformasi ekonomi ke
sektor modern (industri dan jasa) secara tergesa-gesa demi mengejar pertumbuhan
tinggi, tetapi mengorbankan pemerataan.
Sebaliknya di negara maju, pertanian sangat
dihormati dan dilindungi. Kegiatan-kegiatan pertanian di nilai tinggi. Bentuk
perlindungan yang biasa dilakukan adalah memberikan subsidi yang sangat besar
kepada petani seraya melindungi pasar domestik dengan bea masuk tinggi. Hal ini
terjadi di hampir semua negara industri seperti Eropa, Amerika, dan Jepang.
Kemandirian Pemenuhan Kebutuhan
Aspek lain kondisi pertanian hingga saat ini
adalah problem kemandirian pemenuhan kebutuhan pangan. Kebutuhan pangan
nasioanl terhadap produk impor terhitung cukup besar. Bahkan ada beberapa
produk yang masuh dalam kategori ketergantungan. Contohnya gula dan susu
merupakan produk dengan tingkat kemandirian terendah bahkan berada pada tahap
ketergantungan. Kondisi serupa juga berlaku pada produk pangan lainnya, seperti
daging, jagung, kedelai, beras, hingga garam.
Angka impor yang terus meningkat untuk berbagai
komoditas pangan, disebabkan oleh kebutuhan yang juga meningkat, baik
disebabkan oleh jumlah penduduk, pola konsumsi yang berubah, sampai pada gaya
hidup. Persoalannya, kebutuhan yang terus meningkat tidak dibarengi oleh
peningkatan produksi, bahkan cenderung menurun. Kalaupun ada peningkatan,
percepatannya tidak seimbang atau lebih kecil dari peningkatan kebutuhan. Tahun
1986 misalkan, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan kedelai nasional, saat ini
hampir 60 persen kebutuhan kedelai nasional disuplay melalui kedelai impor.
Demikian halnya dengan gula, pada tahun 1970 Indonesia masih mampu memenuhi kebutuhan
gula nasional, bahkan mampu mengekspor, hari ini lebih dari 40 persen konsumsi
gula nasional adalah gula impor. Sampai dengan tahun 1990, Indonesia masih
mampu mencukupi sendiri kebutuhan garam nasionalnya, hari ini hampir 50 persen
kebutuhan garam nasional dipenuhi impor. Sampai tahun 1970, Indonesia masih
mengekspor sapi terutama ke Hongkong, hari ini kurang-lebih 25 persen kebutuhan
daging sapi nasional dipenuhi dari impor. Setiap tahun Indonesia mengimpor
sekitar 550.000 ekor sapi.
Ada satu hal penting yang ditunjukkan oleh
data-data di atas, yakni bahwa kita sebenarnya mampu memenuhi pasar pangan
nasional secara mandiri, bahkan untuk beberapa produk terbukti kita mampu
menjadi pengekspor bagi negara-negara lain. Fenomena kemunduran pertanian kita,
tidak dapat dilepaskan dari tata pengelolaan pertanaian nasional yang masih
kacau dan amburadul di samping tata perdagangan internasional yang lebih
menguntungkan negara-negara maju.
Revitalisasi Pertanian; Revitalisasi
Kesejahtraan Petani dan Revitalisasi Kemandirian Pangan
Untuk memperbaiki potret buram pertanian kita
saat ini tak ada jalan lain kecuali menempatkan kembali arti penting
(re-vitalisasi) pertanian sebagai kesadaran pembangunan yang lebih besar dan
substansial. Dengan demikian, revitalisasi pertanian juga berarti kesadaran
untuk menempatkan kesejahtraan petani dan kemandirian pangan sebagai tujuan
utama pembangunan pertanian.
Perwujudan dari revitalisasi pertanian tersebut
bermuara pada satu term ideologis, yakni keberpihakan. Keberpihakan merupakan
intisari dari ideologi marhaenisme yang digemakan Presiden Soekarno. Sejak
awal Bung Karno meyakini bahwa bangsa ini akan gagal jika keberpihakan pada
petani, nelayan, dan semua rakyat miskin diletakkan pada titik nadir. Penamaan
ideologi itu dengan “marhaenisme” sudah menggambarkan keberpihakan Bung Karno
pada pertanian diletakkan pada dasar kesadarannya. Karena kalau melihat
geneologi ideologi itu lahir dari perjumpaannya dengan seorang petani miskin
bernama Marhaen yang tidak tersentuh oleh berbagai gaung adiluhung
ideologi-ideologi saat itu. Sayangnya kesadaran ideologi yang pernah menjadi
landasan pembangunan pertanian itu tenggelam dari kesadaran sebagian besar kita
(terutama pemerintah) sehingga menjadi wajar awan kelabu masih menyelimuti pertanian
kita.
Jadi, keberpihakan berarti bahwa
usaha, proses dan kebijakan dari semua revitalisasi itu adalah bertujuan untuk
mewujudkan kesejahtraan petani, nelayan, petani hutan, dan segenap rakyat
Indonesia serta melindungi pasar domestik sebagai wujud perlindungan usaha
pertanian. Keberpihakan tersebut secara teknis kemudian berwujud dalam berbagai
hal yang pada intinya perlindungan terhadap pertanian.
Terkait dengan pemahaman di atas, revitalisasi
pertanian kemudian memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan kesejahtraan
petani dan mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja dan kesempatan
usaha baru, meningkatkan daya saing, membangun kedaulatan pangan dan pemenuhan
kebutuhan pokok secara mandiri, melestarikan lingkungan hidup, pembangunan
daerah dan lain-lain. Intinya, revitalisasi pertanian menjadi kemestiaan yang
harus ditempuh dan dijalani secara konsisten,
efektif, dan integratif apabila kita menginginkan berubah dari kondisi
pertanian yang memilukan ini. Bahwa Tuhan tidak akan mengubah kondisi suatu
kaum, kecuali kaum itu merubah kondisi yang melingkupinya secara kreatif, harus
menjadi kesadaran esensial dalam melihat pertaninan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar