Rabu, 17 Juni 2015

Revitalisasi Pertanian; Revitalisasi Kesejahtraan Petani dan Revitalisasi Kemandirian Pangan

Kondisi Pertanian Indonesia
Barangkali, tidak ada konvensi tunggal terkait kondisi pertanian kita saat ini. Sebagian pihak mungkin akan dengan gamblang menyimpulkan bahwa pertanian kita sedang berada dalam jalur yang benar dengan menunjukkan berbagai keberhasilan yang telah dan sedang dicapai. Sedangkan pihak yang lain juga memiliki argumentasi yang cukup valid untuk mengatakan kondisi pertanian kita berjalan dalam track yang salah. Keberhasilan pemerintah  menstabilkan ketersediaan pangan dan mengontrol harga-harga bahan pokok misalnya, dapat ditunjukkan oleh data-data statistik dan gambaran di permukaan pasar, namun keberhasilan-keberhasilan tersebut juga menunjukkan kondisi yang paradoksal, karena stabilitas ketersediaan pangan dipenuhi melalui impor. Demikian halnya dengan stabilitas harga pangan, diciptakan dengan mengundang produk-produk pertanian luar yang berakibat pada matinya pasar lokal dan membunuh sumber perekonomian petani dan rakyat miskin. Demikian juga dengan tampilan angka-angka mengesankan keberhasilan sektor pertanian, yang juga diiringi jeritan tangis kelaparan dan kerentanan petani terhadap serbuan produk impor.
Ketiadaan satu kesimpulan tersebut terutama karena luas dan kompleksnya lingkup pertanian. Kombinasi antara jenis usaha dengan wilayah kegiatan pertanian saja sudah dapat menampilkan ragam kondisi dan perkembangan yang demikian luas. Oleh karena itu, menurut saya, perbedaan sudut pandang atas potret kondisi pertaniaan saat ini menunjukkan sifat multidimensi dari pertanian.
Namun, untuk sampai pada kesimpulan yang setidaknya lebih mendekati pada kondisi yang sesungguhnya, setidaknya ada dua gambaran kondisi ‘sederhana’ yang dapat menjadi patokan. Pertama, kondisi kesejahtraan petani; kedua, kondisi kemandirian rakyat dalam memperoleh kebutuhan produk pertanian.
Kondisi Kesejahtraan Petani
Meski terus berkurang, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup tinggi. Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih lebih banyak dari total penduduk Malaysia, Brunei, dan Laos. Jumlah itu pun belum dikomparasikan terkait jumlah pendapatan minimum setiap penduduk. Pada tahun 2004, terdapat sekitar 36 juta orang atau hampir 17 dari total penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar di antaranya atau sekitar 25 juta tinggal di pedesaan, dan sebagian besar penduduk yang tinggal di perdesaan adalah petani. Singkatnya, sebagian besar penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan adalah para petani.
Meskipun kontribusi sektor pertanian sangat dominan terhadapa keseluruhan perekonomian nasional, tetapi kesejahtraan petani masih stagnan. Sebagian besar dari penduduk miskin ini dengan usaha pertanian, perikanan, dan kehutanan yang masih tradisional dan bersifat subsisten.
Sensus Pertanian 2003 menggambarkan tentang seriusnya masalah kemiskinan dan ketidaksejahtraan petani. Menurut sensus tersebut terdapat 25,4 juta rumah tangga dengan laju pertumbuhan dari tahun-tahun sebelumnya sekitar 2,2 persen per tahun. Dari pertambahan tersebut, jumlah petani “gurem” bertambah sekitar 13, 7 juta jiwa. Pertambahan petani gurem ini mencapai 2,6 persen per tahun. Artinya, petani yang bertambah di Indonesia adalah petani yang lebih gurem yang jelas mengindikasikan permasalahan kemiskinan di sektor pertanian.
Penduduk miskin ini juga rentan mengalami kelaparan. Menurut data FAO, ada sekitar 815 juta penduduk dunia sedang mengalami tragedi kelaparan hebat, yang setiap saat berpotensi merenggut nyawa. Data-data itu semakin mengejutkan karena satu dari tiap lima penduduk dunia menderita kekurangan gizi. Sekitar 777 juta orang mengalami krisis atau kelangkaan pangan yang menjurus menuju kategori menderita kelaparan. Angka kematian anak di negara-negara berkembang juga sangat fantastis. 55 % dari 12 juta anak meninggal tiap tahun akibat kekurangan gizi, sementara kematian ibu saat melahirkan di Asia dan Afrika mencapai 20%, sebuah persentase yang masing sangat tinggi.
Masalah tersebut juga terjadi di Indonesia dengan besaran yang mencemaskan. Tahun 2000 menurut laporan Unicef (United Nation Children’s Fund), ada sekitar 10 juta anak Indonesia yang menderita kekurangan energi protein, 2, 4 juta anak di bawah 5 tahun menderita gizi buruk, dan tujuh juta balita menderita kurang gizi. Angka-angka yang disampaikan Unicef tersebut pun harus dilihat bukan sebagai angka keseluruhan, tapi harus dipahami sebagai sekedar puncak gunung es.
Persoalannya, kondisi kelaparan dan krisis pangan tersebut khas negara-negara berkembang yang nota bene produsen produk pangan. Ada kondisi yang berjalan kontras antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Kontras terhadap pangan dan gizi antara lain dapat dilihat dari kenyataan adanya 300 juta penduduk dunia terutama di negara maju berjuang keras melawan kegemukan, sedangkan 815 juta orang di negara-negara berkembang dalam kelaparan hebat.
Kondisi yang timpang tersebut terjadi karena di negara-negara berkembang seperti Indonesia, aktivitas pertanian dinilai rendah. Sektor pertanian juga dituntut untuk mendukung sektor industri yang menjadi prioritas dengan menyediakan bahan baku dan pangan murah bagi para pekerja di kota. Sebuah praktik politik-ekonomi yang bias ke kota. Sektor pertanian dan petani dipaksa untuk berkorban secara tidak adil. Banyak penentu kebijakan yang berpandangan, bahwa untuk menekan inflasi harga pangan harus ditekan karena merupakan unsur pembentuk inflasi terbesar. Instrumen yang biasa dilakukan adalah operasi pasar. Kebijakan ini sebenarnya tidak adil bagi petani yang telah tercekik oleh meningkatnya biaya hidup dan peningkatan biaya produksi. Kekeliruan mendasar yang banyak dipraktikkan adalah melakukan transformasi ekonomi ke sektor modern (industri dan jasa) secara tergesa-gesa demi mengejar pertumbuhan tinggi, tetapi mengorbankan pemerataan.
Sebaliknya di negara maju, pertanian sangat dihormati dan dilindungi. Kegiatan-kegiatan pertanian di nilai tinggi. Bentuk perlindungan yang biasa dilakukan adalah memberikan subsidi yang sangat besar kepada petani seraya melindungi pasar domestik dengan bea masuk tinggi. Hal ini terjadi di hampir semua negara industri seperti Eropa, Amerika, dan Jepang.
Kemandirian Pemenuhan Kebutuhan
Aspek lain kondisi pertanian hingga saat ini adalah problem kemandirian pemenuhan kebutuhan pangan. Kebutuhan pangan nasioanl terhadap produk impor terhitung cukup besar. Bahkan ada beberapa produk yang masuh dalam kategori ketergantungan. Contohnya gula dan susu merupakan produk dengan tingkat kemandirian terendah bahkan berada pada tahap ketergantungan. Kondisi serupa juga berlaku pada produk pangan lainnya, seperti daging, jagung, kedelai, beras, hingga garam.
Angka impor yang terus meningkat untuk berbagai komoditas pangan, disebabkan oleh kebutuhan yang juga meningkat, baik disebabkan oleh jumlah penduduk, pola konsumsi yang berubah, sampai pada gaya hidup. Persoalannya, kebutuhan yang terus meningkat tidak dibarengi oleh peningkatan produksi, bahkan cenderung menurun. Kalaupun ada peningkatan, percepatannya tidak seimbang atau lebih kecil dari peningkatan kebutuhan. Tahun 1986 misalkan, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan kedelai nasional, saat ini hampir 60 persen kebutuhan kedelai nasional disuplay melalui kedelai impor. Demikian halnya dengan gula, pada tahun 1970 Indonesia masih mampu memenuhi kebutuhan gula nasional, bahkan mampu mengekspor, hari ini lebih dari 40 persen konsumsi gula nasional adalah gula impor. Sampai dengan tahun 1990, Indonesia masih mampu mencukupi sendiri kebutuhan garam nasionalnya, hari ini hampir 50 persen kebutuhan garam nasional dipenuhi impor. Sampai tahun 1970, Indonesia masih mengekspor sapi terutama ke Hongkong, hari ini kurang-lebih 25 persen kebutuhan daging sapi nasional dipenuhi dari impor. Setiap tahun Indonesia mengimpor sekitar 550.000 ekor sapi.
Ada satu hal penting yang ditunjukkan oleh data-data di atas, yakni bahwa kita sebenarnya mampu memenuhi pasar pangan nasional secara mandiri, bahkan untuk beberapa produk terbukti kita mampu menjadi pengekspor bagi negara-negara lain. Fenomena kemunduran pertanian kita, tidak dapat dilepaskan dari tata pengelolaan pertanaian nasional yang masih kacau dan amburadul di samping tata perdagangan internasional yang lebih menguntungkan negara-negara maju.
Revitalisasi Pertanian; Revitalisasi Kesejahtraan Petani dan Revitalisasi Kemandirian Pangan
Untuk memperbaiki potret buram pertanian kita saat ini tak ada jalan lain kecuali menempatkan kembali arti penting (re-vitalisasi) pertanian sebagai kesadaran pembangunan yang lebih besar dan substansial. Dengan demikian, revitalisasi pertanian juga berarti kesadaran untuk menempatkan kesejahtraan petani dan kemandirian pangan sebagai tujuan utama pembangunan pertanian.
Perwujudan dari revitalisasi pertanian tersebut bermuara pada satu term ideologis, yakni keberpihakan. Keberpihakan merupakan intisari dari ideologi marhaenisme yang digemakan Presiden Soekarno. Sejak awal Bung Karno meyakini bahwa bangsa ini akan gagal jika keberpihakan pada petani, nelayan, dan semua rakyat miskin diletakkan pada titik nadir. Penamaan ideologi itu dengan “marhaenisme” sudah menggambarkan keberpihakan Bung Karno pada pertanian diletakkan pada dasar kesadarannya. Karena kalau melihat geneologi ideologi itu lahir dari perjumpaannya dengan seorang petani miskin bernama Marhaen yang tidak tersentuh oleh berbagai gaung adiluhung ideologi-ideologi saat itu. Sayangnya kesadaran ideologi yang pernah menjadi landasan pembangunan pertanian itu tenggelam dari kesadaran sebagian besar kita (terutama pemerintah) sehingga menjadi wajar awan kelabu masih menyelimuti pertanian kita.
Jadi, keberpihakan berarti bahwa usaha, proses dan kebijakan dari semua revitalisasi itu adalah bertujuan untuk mewujudkan kesejahtraan petani, nelayan, petani hutan, dan segenap rakyat Indonesia serta melindungi pasar domestik sebagai wujud perlindungan usaha pertanian. Keberpihakan tersebut secara teknis kemudian berwujud dalam berbagai hal yang pada intinya perlindungan terhadap pertanian.
Terkait dengan pemahaman di atas, revitalisasi pertanian kemudian memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan kesejahtraan petani dan mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja dan kesempatan usaha baru, meningkatkan daya saing, membangun kedaulatan pangan dan pemenuhan kebutuhan pokok secara mandiri, melestarikan lingkungan hidup, pembangunan daerah dan lain-lain. Intinya, revitalisasi pertanian menjadi kemestiaan yang harus ditempuh dan dijalani secara  konsisten, efektif, dan integratif apabila kita menginginkan berubah dari kondisi pertanian yang memilukan ini. Bahwa Tuhan tidak akan mengubah kondisi suatu kaum, kecuali kaum itu merubah kondisi yang melingkupinya secara kreatif, harus menjadi kesadaran esensial dalam melihat pertaninan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar