Paradoksalitas Indonesia
Indonesia adalah negara besar. Secara
geografis, negara ini sangat luas, terbentuk dari gugusan kepulauan-kepulauan
yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Sehingga kalau diukur dengan
bentangan negara-negara di Eropa, luas Indonesia mencapai jarak dari London hingga
Teheran, yang mana secara geopolitik sangat strategis, membentang antara benua
Asia dan Australia. Bentangan negara yang begitu luas ini juga dianugerahi oleh
Tuhan dengan sumber daya alam yang sangat melimpah, sumber daya hayati yang
beranekaragam, serta sumber daya mineral yang sangat kaya yang tersimpan di
bawah bumi Republik ini.
Sementara secara demografi, Indonesia memiliki
populasi penduduk yang cukup besar, bahkan menjadi negara ketiga di antara negara-negara
dengan populasi penduduk terbanyak di dunia. Populasi penduduk yang sangat
besar tersebut bukan penduduk yang homogen melainkan sangat majemuk, terdiri
dari 656 suku bangsa, dengan keragaman bahasa, budaya, dan agama. Oleh karena
itu, Indonesia adalah taman dunia. Ibarat sebuah taman, Indonesia dihiasai oleh
aneka bunga, tumbuhan, dan berbagai mahluk hidup yang berada di dalamnya.
Jadi, sebenarnya tidak ada alasan bagi
Indonesia untuk tidak menjadi negara maju, sejahetra, makmur, berdaulat, dan
bermartabat di antara negara-negara yang lain. Karena itu, wajah muram
Indonesia hari ini adalah sebuah paradoks di antara sekian potensi besar yang
dimilikinya. Bentangan luas negara ini malah menyisakan persoalan dimana-mana,
yang menunjukkan negara tak mampu mengurusnya dengan baik. Sumber daya alam
yang melimpah tak berbanding lurus dengan kesejahtraan rakyat. Dari sumber daya
yang begitu melimpah itu seharusnya rakyat layak hidup dalam kemakmuran dan
kesejahtraan, namun yang terjadi sebaliknya, rakyat hidup dalam kelaparan,
kemiskinan, dan keterbelakangan dalam berbagai bidang. Demikian halnya dengan
jumlah populasi besar, yang cenderung menjadi beban daripada menjadi berkah
atau sumber daya yang potensial. Pluralitas etnis, budaya, dan agama yang
seharusya menjadi modal sosio-kultural sangat berharga, malah menjadi faktor
pertikaian, perpecahan, dan menjadi penyakit disintegrasi yang bersifat kronis.
Pernah dalam sebuah diskusi tentang
keindonesiaan bersama teman-teman mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
dalam forum diskusi Indonesian Culture Academy (INCA) terceletuk sebuah
pernyataan yang sungguh menyentak bagi saya. Pernyataan penuh kesungguhan itu
muncul dari seorang peserta diskusi yang berasal dari Kalimantan yang
menceritakan bahwa masyarakatnya memiliki “hubungan” sangat sedikit dengan
Indonesia. Baik hubungan ekonomi maupun sosio-kultural, mereka merasa memiliki
kedekatan lebih dengan Negara Malaysia. Oleh karena itu, kenyataan menjadi
Indonesia bagi mereka hanyalah nasib yang datang secara arbitrer, tak
menguntungkan bahkan cenderung merugikan. Salah satu pernyataannya yang
menghentak batin saya adalah “Lebih baik bercerai tapi perut terisi (makmur dan
sejahtra), daripada bersatu tapi sengsara”. Celetukan ini secara tersirat
menegaskan bahwa bersatu dalam tubuh Indonesia tidak memiliki konsekuensi
penting bagi kehidupan mereka.
Terlepas pernyataan itu menggambarkan dengan
baik atau tidak realitas yang sesungguhnya terjadi, namun pernyataan itu
setidaknya menggugah kita untuk kembali merenungkan makna persatuan,
nasionalisme, arti menjadi Indonesia, kebhinekaan dan ketunggalikaan, dan
idiom-idiom sejenisnya. Karena, jangan-jangan tema-tema tersebut adalah semacam
ideologi absurd, yang menutup kekeroposan yang menyangganya. Terlebih, hingga
detik ini, persoalan “persatuan Indonesia” belum mencapai konvensi final dari
semua rakyat Indonesia di berbagai daerah. Suara-suara separatisme masih
nyaring terdengar seperti di Papua, Maluku, (dalam sisi tertentu) Aceh, dan
beberapa daerah lainnya. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa “persatuan
Indonesia” bukanlah pencapaian yang bersifat ajeg dan final.
Mengacu pada pandangan Benedict T Anderson,
gerakan separatisme tidak bisa dilepaskan dari makna yang terkandung dalam kata
“bangsa” yang dipakai untuk menyebut bangsa Indonesia. Dalam hal ini, bangsa
mengandung makna sebagai berikut;
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena
para anggota bangsa terkecil sekalipun, tidak akan tahu dan tidak akan kenal sebagian
besar anggota yang lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka, bahkan mungkin
tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun di benak setiap orang yang
menjadi anggota bangsa, hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka.[1]
Sebagai komunitas terbayang (imagined
community), bangsa memiliki garis-garis perbatasan elastis. Bertolak dari
gagasan tersebut, dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia sebagai komunitas
terbayang bukan merupakan sesuatu yang final, melainkan sebagai narasi yang
terus menjadi. Artinya, ia tidak terbentuk sekali jadi, tetapi dibentuk
secara terus-menerus. Di samping itu, hanya sedikit yang “alamiah” yang
membentuk persatuan wilayah kepulauan yang begitu luas ini, yang terutama adalah
hasrat yang tertanam kuat yang lahir dari penderitaan kolonisasi. Jadi, apa
yang kita tanggung, kita miliki bersama harus masih terus dicari. Dan ini harus
terus berlangsung.
Dengan demikian, persatuan atau integrasi
merupakan persoalan sosial yang tak pernah selesai. Hal itu disebabkan karena
persatuan atau integrasi akan selalu meninjau kembali tujuan-tujuannya sendiri,
ketika sudah mencapai taraf perkembangan tertentu dalam sejarah. Ini berarti
suatu perkembangan yang setingkat dari sebelumnya akan selalu dituntut untuk
diwujudkan. Dan ini berarti persatuan atau integrasi memiliki arti yang berbeda
untuk kepentingan yang berlainan. Mereka yang mendapat keuntungan dari moment integratif
tertentu, maka cenderung membela status quo, sedangkan bagi mereka yang
kepentingan-kepentingannya tak terpenuhi, cenderung mendorong integrasi ke arah
yang sebaliknya.[2] Ekspresi kelompok yang terakhir ini memiliki
banyak bentuk, dan yang paling ekstrem adalah separasi, atau keinginan untuk
memisahkan diri dari kesatuan-kebangsan yang bagi mereka tak memiliki
konsekuensi penting bagi kehidupan mereka.
Jadi, suara-suara separatisme yang terus
menggaung hingga saat ini, dapat ditafsirkan sebagai konsekuensi dari
ketidakpuasaan terhadap perlakuan negara yang tidak adil. Suara-suara
separatisme itu mempunyai beragam faktor, namun secara generatif bisa
disimpulkan dilandasi oleh kepentingan-kepentingan yang sangat konkret dan
mendasar, meskipun terkadang menggunakan bahasa yang berbeda seperti
alasan-alasan ideologis atau perbedaan-perbedaan kultural.
Kesenjangan dampak pembangunan antara Indonesia
bagian barat dengan Indonesia bagian timur setidaknya membuktikan hal itu. Dan,
suara-suara separatisme yang seringkali menggaung dari kawasan Indonesia Timur
merupakan konsekuensi kekuasaan pusat yang mengalami gradasi sejalan dengan
jarak geografis sebuah daerah, yang mana sekaligus berarti semakin kecil tangan-tangan
kekuasaan berpengaruh di suatu daerah, maka semakin kecil pula
kebijakan-kebijakan kekuasaan – terutama pembangunan – berpengaruh bagi
masayarakat di daerah terjauh itu. Maka, menjadi kewajaran jika kemiskinan dan
keterbelakangan adalah lukisan dalam peta daerah-daerah di kawasan Indonesia
Timur.
Kesenjangan antara Indonesia bagian barat
dengan Indonesia bagian timur, antara Jawa dan luar Jawa, terutama Indonesia
bagian timur adalah kenyataan yang tak terpungkiri. Meskipun perubahan sistem
politik seperti pemilu dan pilkada langsung, serta perubahan tata negara,
seperti otonomi daerah dan untuk daerah tertentu ditetapkan otonomi khusus,
ternyata tidak serta merta memberikan dampak yang menyenangkan.
Apabila hendak mencari sebuah pendasaran yang
kira-kira menjadi faktor penyebab persoalan-persoalan kronis di atas terus
membebani hingga saat ini, maka faktornya sudah muncul sejak lama, yakni sejak
masa kolonial Belanda, ketika gagasan Indonesia dibentuk, hingga ketika gagasan
tersebut dikonsepsikan dan diproyeksikan secara sistematis dalam priode panjang
Orde Baru. Faktor itu adalah kecenderungan sentralisme (tepatnya Jawa-sentris)
sebagai sistem pembangunan Indonesia.
Kenyataan tersebut memaksa kita untuk menemukan
sebuah cara pandang baru tentang Indonesia. Yang saya maksud dengan cara
pandang baru adalah mendekonstruksi cara pandang kita mengenai citra
pembangunan yang sentralistik, terpusat, dan Jawa-sentris. Karena
kecenderungan-kecenderungan ini masih terus menghinggapi mentalitas kita,
meskipun berbagai perubahan juga sudah mulai terwujud. Oleh karena itu, meski
judul tulisan ini terkesan ambisius dan hiperbolis, namun hal ini terkait
dengan semua anugerah atau potensi yang dimiliki bangsa ini, sekaligus
paradoksalitas yang ditunjukkannya, membutuhkan sebuah “dekonstruksi” tentang
bentuk Indonesia. Ditambah dengan kenyataan bahwa bangunan Indonesia didesign
secara sentralistik, yang cenderung mengabaikan kompleksitas persoalan
kebangsaan.
Bangunan Indonesia
Jika mengkaji literatur-literatur sejarah, maka
dapat ditarik benang merah bahwa kecenderungan sentralisme yang tentu mengacu
pada Jawa – baik dalam makna geopolitis maupun kultural – dalam bangunan Indonesia
sudah dimunculkan sejak lama, sejak gagasan “politis” Indonesia lahir. Gagasan
“politis’ Indonesia yang berasal dari penciptaan Hindia Timur Belanda dalam
bentuk kekuasaan horizontal kolonial Belanda dan melalui proses integrasi
vertikal seluruh wilayah Nusantara sebagai akibat perkembangan sarana
transportasi, kesamaan mata uang, sistem administrasi yang lebih terintegrasi, sistem
pajak, serta hukum yang terpusat memiliki dampak negatif yang tak sepenuhnya
disadari pada masa itu kecuali oleh segelintir orang.
Pembentukan semacam kesatuan politis di satu
sisi berhasil menyatukan berbagai orang, namun di sisi lain juga membahayakan
karena membongkar dan membentuk ulang hubungan-hubungan ekonomi dan budaya yang
telah ada. Ekonomi kolonial Jawa menjadi model, dengan fokus negara-negara
Barat yang mengimpor produk kawasan tropis. Wilayah lain yang sebelumnya
berorientasi ke Singapura (dan dalam skala yang lebih kecil, Penang) dan
terintegrasi ke dalam perdagangan antarnegara lewat pelabuhan ke Singapura,
dipaksa meniru pola Jawa. Jadi, keseluruhannya tidak diciptakan dari nol, tapi
sejak semula sudah ada negara yang berpusat di Jawa, dengan tambahan dari luar.
Pola itu punya dampak khusus bagi Indonesia kawasan timur, karena membuat Indonesia
Timur tidak lagi mendapat kontak dunia luar, sehingga kawasan tersebut “kelak
menjadi danau Belanda”. Sifat-sifat negara yang menyebabkan perubahan keadaan
itu akan bertahan lama; negara kuat, sangat terpusat, sangat birokratis, diatur
dan dibentuk berdasarkan pengalaman Jawa .[3]
Kiranya itulah yang dipikirkan Hendrikus
Colinj, anak didik van Heutsz, yang menolak pemikiran inklusiv-unitaris tentang
kemungkinan Hindia Timur Belanda sebagai sebuah negara modern model Barat. Ia
menganggap bahwa budaya, masyarakat, dan identitas lokal Hindia perlu
dipelihara. Dan jika tidak, kecenderungan generalisasi bakal membuat seluruh
Hindia tunduk kepada orang Jawa. Sebagaimana ditulisan Nelson,
.....Jawa sebagai pusat memang berkah, tapi sekaligus
kutukan; dengan menyatukan orang dari segala penjuru, Jawa menumbuhkan
kebersamaan tapi pada waktu yang sama juga mendominasi dan menghilangkan jarak
serta sudut pandang yang diperlukan untuk memahami keadaan baru dengan lebih
baik...[4]
Yang lebih tidak kentara, para pemimpin politik
Indonesia juga buta terhadap cara-cara radikal perpaduan kekuasaan politik
Belanda dan eksploitasi kapitalis Barat dalam mengubah bentuk negeri mereka.
Mereka terutama tidak memperhatikan makin beragamnya daerah-daerah di luar
Jawa. Sebagian besar kepentingan dan perhatian para pemimpin berada di tempat
gagasan mereka mendapat pengikut, terutama di Jawa, dan hanya sedikit
dikerahkan di tempat-tempat lain. Jadi, ketidakseimbangan ekonomi yang sudah
ada antara Jawa dan pulau-pulau lain malah diperkuat pada segi politik; Jawa
terus-menerus mengimpor dan mendominasi secara politik.[5]
Pada masa pasca-revolusi, komandan-komandan
daerah yang bermasalah dan membangkang – meskipun telah menjadi pahlawan pada
masa revolusi – juga disingkirkan, seringkali digantikan oleh perwira-perwira
suku Jawa. Pada waktu yang sama, pamong praja karir Jawa menggantikan
pejabat-pejabat lokal di daerah-daerah pemberontak. Akibatnya, daerah
Minangkabau di Sumatra Barat “merasa seperti daerah terjajah, dimana penduduk
setempat tak lagi dipercaya menduduki jabatan tinggi militer atau sipil”.[6]
Tidak heran kemudian muncul suara-suara yang
menentang pemerintahan pusat. Hassan Muhammad Tiro kemudian memproklamasikan
republik federal di berbagai bagian
negara pada 1960 untuk “melawan diktator Soekarno di Jakarta, yang menerapkan
kolonialis Jawa terhadap selusin lebih suku di Indonesia”. Suku-suku tersebut,
Tiro bersikeras, “bukan memperjuangkan separatisme melainkan murni demi hak
memerintah diri sendiri yang telah dirampas rezim Jawa Soekarno”.[7]
Kecenderungan dominasi Jawa tidak hanya muncul
dari tokoh-tokoh dengan latarbelakang etnis ini, tetapi juga diprovokasikan
oleh kolonial Belanda. Frances Gouda menyebutkan bahwa pemerintah kolonial
Belanda pada 1920-an dan 1930-an berusaha menumbuhkan konflik intern antara
orang Jawa yang dominan dengan kelompok etnis lain. Birokrasi Belanda
mengembangkan pandangan “keangkuhan” Jawa, Wederopbouw, pada 1920;
kerinduan persatuan (Indonesia) selalu muncul dari Jawa, karena Jawa merupakan
tempat lahir semua ungkapan penting di kepulauan ini. Beberapa sektor dalam
lembaga politik Hindia-Belanda diam-diam menyambut baik kecenderungan
naisonalis Jawa untuk memandang mitra Minangkabau mereka sebagai “filistin yang
hampir Barat”, sebagai agen provokator rahasia atas nama budaya Eropa, karena
mereka tidak mau memuja simbol-simbol sakral budaya Jawa, seperti Borobudur,
Arjunawiwaha, atau cerita-cerita Panji, dengan kekaguman yang sama. Selain itu,
orang-orang Minangkabau masuk ke dalam birokrasi kolonial bukan demi “kejayaan
pengabdian” sebagaimana priyai Jawa mengagumi peran administrasi tingkat menengah
mereka, tetapi sebagai pengusaha canggih yang segera merencanakan aturan
permainan dan memainkannya demi keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya.
Kesengajaan pemerintah kolonial Belanda menonjolkan citra dari bangsawan Jawa
sebagai “para pemikir” filsafat dan “para pemimpi” romantis, bahkan semakin
memudahkan priyai yang bercita-cita nasionalis untuk memandang rendah orang
Sumatra sebagai “sederhana” dan terlalu disibukkan oleh bisnis kotor, “politik
dan ekonomi praktis”.[8]
Kecenderungan jawan-sentris tersebut semakin
kentara dalam priode panjang pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto. Dengan
kekuasaan sentralistiknya semua kebijakan bermuara atau sangat tergantung dari
kemauan pribadi Soeharto. Dalam konteks pembangunan wilayah (infrastruktur),
pemimpin Orde Baru tersebut selalu berpijak pada bagaimana sikap politik
masyarakat daerah selama ini. Jika terkategori tidak sejalan, terutama tidak
mendukung Golkar, maka daerah tersebut seperti terbiasa miskin (terus
tertinggal). Setidaknya ada perlakuan yang diskriminatif antara daerah berbasis
massa Golkar dengan daerah basis massa PDIP atau PPP. Dan karena kekuasaan
sentralistik itu pula, posisi daerah seperti hanya menunggu “belas kasihan”
pusat. Sejauh masa Orde Baru, daerah-daerah sistem pajak harus menyetor ke
pusat. Tetapi pengembaliannya untuk daerah tidak lebih dari kisaran angka 5 persen.
Porsi terbesar dimiliki Pulau Jawa. Sedangkan luar Jawa hanya mendapatkan
alokasi “sisa”. Implikasinya, di satu sisi terjadi migrasi ke Jawa dalam jumlah
yang melampaui batas, sementara penduduk luar Jawa tersedot. Daerah-daerah
ditinggalkan dengan merana, tanpa daya dukung sumber daya manusia yang
potensial. Di sisi lain, banyak daerah kaya sumber daya alam yang sesungguhnya
telah berkontribusi besar kepada pusat, tetapi masyarakat lokal tersebut hidup
dalam lumpur kemiskinan.[9]
Kecenderungan Jawa-sentris dalam masa Orde Baru
tidak hanya dalam politik dan ekonomi, tetapi juga secara kultural. Rezim Orde
Baru secara sistematis melalui kekuasaannya yang absolut menanamkan nilai-nilai
kebudayaan Jawa kepada seluruh rakyat Indonesia. Dalam istilah Niels Mulder
disebutnya sebagai jawanisasi Indonesia.[10] Menurut Mulder, jawanisasi itu dapat dilihat
dalam falsafah-falsafat besar Indonesia, seperti Pancasila dan Bhineka Tunggal
Ika, atau pada idiom-idiom lain seperti persatuan, ketertiban, dan pembangunan.
Bagi beberapa orang, jawanisasi secara sederhana berarti persebaran penduduk
Jawa – entah melalui transmigrasi atau yang lainnya – ke daerah-daerah di luar
Jawa yang populasi penduduknya masih kurang. Namun, artinya tidak sesederhana
itu. Bagi beberapa kalangan, hal itu merupakan bentuk dari imperialisme Jawa ke
seluruh Nusantara. Entah itu dilakukan secara sengaja atau tidak.[11] Frase dari kata “luar Jawa” sebenarnya sudah
menjelaskan sendiri bahwa, Jawa adalah pusat, jantung, batin negeri ini, dan
dalam pandangan orang Jawa, batin adalah pusat kehidupan sehingga pantas
mendominasi aspek-aspek luar. Fakta bahwa sebagian terbesar perwira, pegawai
negeri eselon atas, dan para gubernur berasal dari Jawa memancing orang untuk
berbicara tentang imperialisme Jawa. Orang Jawa adalah majikan-majikan baru,
yang mendefinisikan apa itu Indonesia, siapa orang Indonesia, dan bagaimana
menjadi orang Indonesia.[12]
Bangunan Indonesia dibentuk dalam model Taman
Mini Indonesia Indah - sebuah
miniatur yang dibuat di atas sebuah danau buatan, yang disekelilingnya terdapat
anjungan-anjungan yang mewakili masing-masing provinsi – yang rancangannya
sangat modern, namun mengingatkan kita pada kutipan dari Nagarakaertagama yang
menampilkan ibukota sebagai mikrokosmos yang mencerminkan seluruh kerajaan.[13] Jakarta sebagai ibukota adalah mikroskosmos
yang menjadi pusat segala sesuatu, yang kemudian disebarkan ke seluruh negeri. Bangunan
negara yang dirancang dengan sistem mandala seperti itu, menimbulkan persoalan
besar pada kesenjangan pembangunan di antara masing-masing daerah. Karena
semakin jauh suatu daerah dari pusat kota, maka kesejahtraan dan kemakmuran
yang didistribusikan oleh pusat mengalami gradasi seiring jarak yang semakin
jauh antara pusat dengan daerah. Dengan kata lain, semakin jauh suatu daerah
dari pusat, maka semakin sedikit perhatian pusat terhadap kehidupan masayarakat
yang ada di suatu daerah itu. Kemiskinana dan keterbelakangan daerah-daerah
terjauh dari “pusat negara” padahal daerah-daerah itu memiliki sumber daya alam
melimpah, hanya mudah dipahami dengan melihat bangunan negara yang
dikonsepsikan dan diproyeksikan dalam model mandala, yakni ibu kota sebagai
pusat mikroskosmos.
Momentum 2014
Saya memiliki keyakinan bahwa wajah muram
negara ini tidak mungkin berubah kecuali bangunan Indonesia itu didekonstruksi
ulang. Kenyataannya Indonesia tidak dibangun secara egaliter, melainkan ada
dominasi yang kentara oleh satu kultur besar yang digunakan sebagai rancangan
bangunan Indonesia. Meski, negara ini sudah mengalami banyak perubahan, tetapi
mentalitas itu tampaknya masih terus eksis.
Persatuan Indonesia adalah sebuah keajaiban,
sekaligus menjadi kutukan. Negara yang membentang luas dengan sumber daya yang
begitu kaya dengan pluralitas etnis, budaya, bahasa, dan keyakinan, adalah
sebuah keajaiban karena banyak negara yang malah terpecah-belah meski tidak
memiliki keragaman sekompleks republik ini. Namun, kenyataan itu sekaligus
menjadi kutukan karena persoalan bagaimana negara ini musti dibangun dan
dijalankan adalah persoalan besar yang mencuat sejak gagasan politis Indonesia
muncul.
Barangkali, kita musti meninjau kembali pada
semua kemungkinan dalam narasi-narasi Indonesia yang digagas oleh para pendiri
bangsa ini. Seperti diingatkan Vickers, “negara sebesar dan seberagam negara
ini tidak hanya punya satu narasi”.[14] Narasi-narasi yang sempat mengalami
pembungkaman sudah selayaknya untuk dibuka kembali untuk menemukan sebuah
kemungkinan lain terkait citra bangunan Indonesia yang lebih baik.
Harus diingat bahwa model negara kesatuan dalam
sejarah Indonesia bukanlah konvensi final semua pendiri bangsa. Hatta dan Tan
Malaka misalnya, mencita-citakan sebuah negara federal sebagai bentuk akomodir
terhadap pluralitas Indonesia. Terlepas, gagasan itu tepat atu tidak, namun ia
musti mendapat perhatian karena pada faktanya, bentuk negara kesatuan seperti
saat ini masih menyisakan persoalan yang tak kunjung selesai.
Oleh karena itu, wacana pemindahan ibukota
beberapa waktu yang lalu, menurut hemat saya adalah di antara beberapa
alternatif yang layak untuk mendapat perhatian. Wacana itu layak tidak hanya
karena alasan ekologis, tetapi juga alasan sosio-kultural.
Tahun 2014 adalah momentum yang tepat sebagai
awal “dekonstruksi” Indonesia. Tahun ini adalah tahun harapan baru sebagai
konsekuensi pergantian estapet kekuasaan negara ini. Harapan besar kita adalah
hadirnya pemimpin yang berdaulat, wakil rakyat yang merakyat, yang memiliki
visi besar dan berani bercita-cita membangun Indonesia dengan wajah baru.
Barangkali, Indonesia terlalu besar untuk
dijalankan dalam bentuk seperti selama ini. Karena itu, kemungkinan-kemungkinan
lain harus terus dicari. Dan, ini tidak boleh berhenti.
[1]Benedict T
Anderson, Imagined Communities; Komunitas-Komunitas Terbayang, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), h. 8. Terj.
[3]R.E Elson, The Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan,
(Jakarta: PT Serambi, 2009), cet. 1,
[4]R.E Elson, The
Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan, (Jakarta: PT Serambi,
2009), cet. 1, h. 31
[5]R.E Elson, The
Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan, (Jakarta: PT Serambi,
2009), cet. 1, h. 120
[6]Anthony Reid, An
Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra (Singapura:
Singapore University Press, 2005), h. 19
[7]R.E Elson, The
Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan, (Jakarta: PT Serambi,
2009), cet. 1, h. 311
[8]Frances Gouda, Dutch
Culture Overseas; Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942, (Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semesta, 2007), cet. 2, h.118.
[9]AM Saefuddin, Dari
Cendana ke Reformasi, (Jakarta: PPA Consultants, 2011), cet. 1, h. 44
[10]Niels Mulder, Mistisisme
Jawa; Ideologi di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2003), cet. 3, h. 147,
terj.
[11]Christina S.
Handayani & Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, (Yogyakarta: LKIS,
2004), cet. 4, h. 92.
[13]Denys Lombard,
Nusa Jawa: Silang Budaya 3 – Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, (Jakarta:
Gramedia, 2008), cet. 4, h. 71
[14]R.E Elson, The
Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan, (Jakarta: PT Serambi,
2009), cet. 1, h. xxx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar