Selasa, 16 Juni 2015

Mencari Bentuk Indonesia


Paradoksalitas Indonesia
Indonesia adalah negara besar. Secara geografis, negara ini sangat luas, terbentuk dari gugusan kepulauan-kepulauan yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Sehingga kalau diukur dengan bentangan negara-negara di Eropa, luas Indonesia mencapai jarak dari London hingga Teheran, yang mana secara geopolitik sangat strategis, membentang antara benua Asia dan Australia. Bentangan negara yang begitu luas ini juga dianugerahi oleh Tuhan dengan sumber daya alam yang sangat melimpah, sumber daya hayati yang beranekaragam, serta sumber daya mineral yang sangat kaya yang tersimpan di bawah bumi Republik ini.
Sementara secara demografi, Indonesia memiliki populasi penduduk yang cukup besar, bahkan menjadi negara ketiga di antara negara-negara dengan populasi penduduk terbanyak di dunia. Populasi penduduk yang sangat besar tersebut bukan penduduk yang homogen melainkan sangat majemuk, terdiri dari 656 suku bangsa, dengan keragaman bahasa, budaya, dan agama. Oleh karena itu, Indonesia adalah taman dunia. Ibarat sebuah taman, Indonesia dihiasai oleh aneka bunga, tumbuhan, dan berbagai mahluk hidup yang berada di dalamnya.
Jadi, sebenarnya tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak menjadi negara maju, sejahetra, makmur, berdaulat, dan bermartabat di antara negara-negara yang lain. Karena itu, wajah muram Indonesia hari ini adalah sebuah paradoks di antara sekian potensi besar yang dimilikinya. Bentangan luas negara ini malah menyisakan persoalan dimana-mana, yang menunjukkan negara tak mampu mengurusnya dengan baik. Sumber daya alam yang melimpah tak berbanding lurus dengan kesejahtraan rakyat. Dari sumber daya yang begitu melimpah itu seharusnya rakyat layak hidup dalam kemakmuran dan kesejahtraan, namun yang terjadi sebaliknya, rakyat hidup dalam kelaparan, kemiskinan, dan keterbelakangan dalam berbagai bidang. Demikian halnya dengan jumlah populasi besar, yang cenderung menjadi beban daripada menjadi berkah atau sumber daya yang potensial. Pluralitas etnis, budaya, dan agama yang seharusya menjadi modal sosio-kultural sangat berharga, malah menjadi faktor pertikaian, perpecahan, dan menjadi penyakit disintegrasi yang bersifat kronis.
Pernah dalam sebuah diskusi tentang keindonesiaan bersama teman-teman mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam forum diskusi Indonesian Culture Academy (INCA) terceletuk sebuah pernyataan yang sungguh menyentak bagi saya. Pernyataan penuh kesungguhan itu muncul dari seorang peserta diskusi yang berasal dari Kalimantan yang menceritakan bahwa masyarakatnya memiliki “hubungan” sangat sedikit dengan Indonesia. Baik hubungan ekonomi maupun sosio-kultural, mereka merasa memiliki kedekatan lebih dengan Negara Malaysia. Oleh karena itu, kenyataan menjadi Indonesia bagi mereka hanyalah nasib yang datang secara arbitrer, tak menguntungkan bahkan cenderung merugikan. Salah satu pernyataannya yang menghentak batin saya adalah “Lebih baik bercerai tapi perut terisi (makmur dan sejahtra), daripada bersatu tapi sengsara”. Celetukan ini secara tersirat menegaskan bahwa bersatu dalam tubuh Indonesia tidak memiliki konsekuensi penting bagi kehidupan mereka.
Terlepas pernyataan itu menggambarkan dengan baik atau tidak realitas yang sesungguhnya terjadi, namun pernyataan itu setidaknya menggugah kita untuk kembali merenungkan makna persatuan, nasionalisme, arti menjadi Indonesia, kebhinekaan dan ketunggalikaan, dan idiom-idiom sejenisnya. Karena, jangan-jangan tema-tema tersebut adalah semacam ideologi absurd, yang menutup kekeroposan yang menyangganya. Terlebih, hingga detik ini, persoalan “persatuan Indonesia” belum mencapai konvensi final dari semua rakyat Indonesia di berbagai daerah. Suara-suara separatisme masih nyaring terdengar seperti di Papua, Maluku, (dalam sisi tertentu) Aceh, dan beberapa daerah lainnya. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa “persatuan Indonesia” bukanlah pencapaian yang bersifat ajeg dan final.
Mengacu pada pandangan Benedict T Anderson, gerakan separatisme tidak bisa dilepaskan dari makna yang terkandung dalam kata “bangsa” yang dipakai untuk menyebut bangsa Indonesia. Dalam hal ini, bangsa mengandung makna sebagai berikut;
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun, tidak akan tahu dan tidak akan kenal sebagian besar anggota yang lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa, hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka.[1]
Sebagai komunitas terbayang (imagined community), bangsa memiliki garis-garis perbatasan elastis. Bertolak dari gagasan tersebut, dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia sebagai komunitas terbayang bukan merupakan sesuatu yang final, melainkan sebagai narasi yang terus menjadi. Artinya, ia tidak terbentuk sekali jadi, tetapi dibentuk secara terus-menerus. Di samping itu, hanya sedikit yang “alamiah” yang membentuk persatuan wilayah kepulauan yang begitu luas ini, yang terutama adalah hasrat yang tertanam kuat yang lahir dari penderitaan kolonisasi. Jadi, apa yang kita tanggung, kita miliki bersama harus masih terus dicari. Dan ini harus terus berlangsung.
Dengan demikian, persatuan atau integrasi merupakan persoalan sosial yang tak pernah selesai. Hal itu disebabkan karena persatuan atau integrasi akan selalu meninjau kembali tujuan-tujuannya sendiri, ketika sudah mencapai taraf perkembangan tertentu dalam sejarah. Ini berarti suatu perkembangan yang setingkat dari sebelumnya akan selalu dituntut untuk diwujudkan. Dan ini berarti persatuan atau integrasi memiliki arti yang berbeda untuk kepentingan yang berlainan. Mereka yang mendapat keuntungan dari moment integratif tertentu, maka cenderung membela status quo, sedangkan bagi mereka yang kepentingan-kepentingannya tak terpenuhi, cenderung mendorong integrasi ke arah yang sebaliknya.[2] Ekspresi kelompok yang terakhir ini memiliki banyak bentuk, dan yang paling ekstrem adalah separasi, atau keinginan untuk memisahkan diri dari kesatuan-kebangsan yang bagi mereka tak memiliki konsekuensi penting bagi kehidupan mereka.
Jadi, suara-suara separatisme yang terus menggaung hingga saat ini, dapat ditafsirkan sebagai konsekuensi dari ketidakpuasaan terhadap perlakuan negara yang tidak adil. Suara-suara separatisme itu mempunyai beragam faktor, namun secara generatif bisa disimpulkan dilandasi oleh kepentingan-kepentingan yang sangat konkret dan mendasar, meskipun terkadang menggunakan bahasa yang berbeda seperti alasan-alasan ideologis atau perbedaan-perbedaan kultural.
Kesenjangan dampak pembangunan antara Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur setidaknya membuktikan hal itu. Dan, suara-suara separatisme yang seringkali menggaung dari kawasan Indonesia Timur merupakan konsekuensi kekuasaan pusat yang mengalami gradasi sejalan dengan jarak geografis sebuah daerah, yang mana sekaligus berarti semakin kecil tangan-tangan kekuasaan berpengaruh di suatu daerah, maka semakin kecil pula kebijakan-kebijakan kekuasaan – terutama pembangunan – berpengaruh bagi masayarakat di daerah terjauh itu. Maka, menjadi kewajaran jika kemiskinan dan keterbelakangan adalah lukisan dalam peta daerah-daerah di kawasan Indonesia Timur.
Kesenjangan antara Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur, antara Jawa dan luar Jawa, terutama Indonesia bagian timur adalah kenyataan yang tak terpungkiri. Meskipun perubahan sistem politik seperti pemilu dan pilkada langsung, serta perubahan tata negara, seperti otonomi daerah dan untuk daerah tertentu ditetapkan otonomi khusus, ternyata tidak serta merta memberikan dampak yang menyenangkan.
Apabila hendak mencari sebuah pendasaran yang kira-kira menjadi faktor penyebab persoalan-persoalan kronis di atas terus membebani hingga saat ini, maka faktornya sudah muncul sejak lama, yakni sejak masa kolonial Belanda, ketika gagasan Indonesia dibentuk, hingga ketika gagasan tersebut dikonsepsikan dan diproyeksikan secara sistematis dalam priode panjang Orde Baru. Faktor itu adalah kecenderungan sentralisme (tepatnya Jawa-sentris) sebagai sistem pembangunan Indonesia.
Kenyataan tersebut memaksa kita untuk menemukan sebuah cara pandang baru tentang Indonesia. Yang saya maksud dengan cara pandang baru adalah mendekonstruksi cara pandang kita mengenai citra pembangunan yang sentralistik, terpusat, dan Jawa-sentris. Karena kecenderungan-kecenderungan ini masih terus menghinggapi mentalitas kita, meskipun berbagai perubahan juga sudah mulai terwujud. Oleh karena itu, meski judul tulisan ini terkesan ambisius dan hiperbolis, namun hal ini terkait dengan semua anugerah atau potensi yang dimiliki bangsa ini, sekaligus paradoksalitas yang ditunjukkannya, membutuhkan sebuah “dekonstruksi” tentang bentuk Indonesia. Ditambah dengan kenyataan bahwa bangunan Indonesia didesign secara sentralistik, yang cenderung mengabaikan kompleksitas persoalan kebangsaan. 
Bangunan Indonesia
Jika mengkaji literatur-literatur sejarah, maka dapat ditarik benang merah bahwa kecenderungan sentralisme yang tentu mengacu pada Jawa – baik dalam makna geopolitis maupun kultural – dalam bangunan Indonesia sudah dimunculkan sejak lama, sejak gagasan “politis” Indonesia lahir. Gagasan “politis’ Indonesia yang berasal dari penciptaan Hindia Timur Belanda dalam bentuk kekuasaan horizontal kolonial Belanda dan melalui proses integrasi vertikal seluruh wilayah Nusantara sebagai akibat perkembangan sarana transportasi, kesamaan mata uang, sistem administrasi yang lebih terintegrasi, sistem pajak, serta hukum yang terpusat memiliki dampak negatif yang tak sepenuhnya disadari pada masa itu kecuali oleh segelintir orang.
Pembentukan semacam kesatuan politis di satu sisi berhasil menyatukan berbagai orang, namun di sisi lain juga membahayakan karena membongkar dan membentuk ulang hubungan-hubungan ekonomi dan budaya yang telah ada. Ekonomi kolonial Jawa menjadi model, dengan fokus negara-negara Barat yang mengimpor produk kawasan tropis. Wilayah lain yang sebelumnya berorientasi ke Singapura (dan dalam skala yang lebih kecil, Penang) dan terintegrasi ke dalam perdagangan antarnegara lewat pelabuhan ke Singapura, dipaksa meniru pola Jawa. Jadi, keseluruhannya tidak diciptakan dari nol, tapi sejak semula sudah ada negara yang berpusat di Jawa, dengan tambahan dari luar. Pola itu punya dampak khusus bagi Indonesia kawasan timur, karena membuat Indonesia Timur tidak lagi mendapat kontak dunia luar, sehingga kawasan tersebut “kelak menjadi danau Belanda”. Sifat-sifat negara yang menyebabkan perubahan keadaan itu akan bertahan lama; negara kuat, sangat terpusat, sangat birokratis, diatur dan dibentuk berdasarkan pengalaman Jawa .[3]  
Kiranya itulah yang dipikirkan Hendrikus Colinj, anak didik van Heutsz, yang menolak pemikiran inklusiv-unitaris tentang kemungkinan Hindia Timur Belanda sebagai sebuah negara modern model Barat. Ia menganggap bahwa budaya, masyarakat, dan identitas lokal Hindia perlu dipelihara. Dan jika tidak, kecenderungan generalisasi bakal membuat seluruh Hindia tunduk kepada orang Jawa. Sebagaimana ditulisan Nelson,
.....Jawa sebagai pusat memang berkah, tapi sekaligus kutukan; dengan menyatukan orang dari segala penjuru, Jawa menumbuhkan kebersamaan tapi pada waktu yang sama juga mendominasi dan menghilangkan jarak serta sudut pandang yang diperlukan untuk memahami keadaan baru dengan lebih baik...[4]
Yang lebih tidak kentara, para pemimpin politik Indonesia juga buta terhadap cara-cara radikal perpaduan kekuasaan politik Belanda dan eksploitasi kapitalis Barat dalam mengubah bentuk negeri mereka. Mereka terutama tidak memperhatikan makin beragamnya daerah-daerah di luar Jawa. Sebagian besar kepentingan dan perhatian para pemimpin berada di tempat gagasan mereka mendapat pengikut, terutama di Jawa, dan hanya sedikit dikerahkan di tempat-tempat lain. Jadi, ketidakseimbangan ekonomi yang sudah ada antara Jawa dan pulau-pulau lain malah diperkuat pada segi politik; Jawa terus-menerus mengimpor dan mendominasi secara politik.[5]
Pada masa pasca-revolusi, komandan-komandan daerah yang bermasalah dan membangkang – meskipun telah menjadi pahlawan pada masa revolusi – juga disingkirkan, seringkali digantikan oleh perwira-perwira suku Jawa. Pada waktu yang sama, pamong praja karir Jawa menggantikan pejabat-pejabat lokal di daerah-daerah pemberontak. Akibatnya, daerah Minangkabau di Sumatra Barat “merasa seperti daerah terjajah, dimana penduduk setempat tak lagi dipercaya menduduki jabatan tinggi militer atau sipil”.[6]
Tidak heran kemudian muncul suara-suara yang menentang pemerintahan pusat. Hassan Muhammad Tiro kemudian memproklamasikan republik federal  di berbagai bagian negara pada 1960 untuk “melawan diktator Soekarno di Jakarta, yang menerapkan kolonialis Jawa terhadap selusin lebih suku di Indonesia”. Suku-suku tersebut, Tiro bersikeras, “bukan memperjuangkan separatisme melainkan murni demi hak memerintah diri sendiri yang telah dirampas rezim Jawa Soekarno”.[7]
Kecenderungan dominasi Jawa tidak hanya muncul dari tokoh-tokoh dengan latarbelakang etnis ini, tetapi juga diprovokasikan oleh kolonial Belanda. Frances Gouda menyebutkan bahwa pemerintah kolonial Belanda pada 1920-an dan 1930-an berusaha menumbuhkan konflik intern antara orang Jawa yang dominan dengan kelompok etnis lain. Birokrasi Belanda mengembangkan pandangan “keangkuhan” Jawa, Wederopbouw, pada 1920; kerinduan persatuan (Indonesia) selalu muncul dari Jawa, karena Jawa merupakan tempat lahir semua ungkapan penting di kepulauan ini. Beberapa sektor dalam lembaga politik Hindia-Belanda diam-diam menyambut baik kecenderungan naisonalis Jawa untuk memandang mitra Minangkabau mereka sebagai “filistin yang hampir Barat”, sebagai agen provokator rahasia atas nama budaya Eropa, karena mereka tidak mau memuja simbol-simbol sakral budaya Jawa, seperti Borobudur, Arjunawiwaha, atau cerita-cerita Panji, dengan kekaguman yang sama. Selain itu, orang-orang Minangkabau masuk ke dalam birokrasi kolonial bukan demi “kejayaan pengabdian” sebagaimana priyai Jawa mengagumi peran administrasi tingkat menengah mereka, tetapi sebagai pengusaha canggih yang segera merencanakan aturan permainan dan memainkannya demi keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya. Kesengajaan pemerintah kolonial Belanda menonjolkan citra dari bangsawan Jawa sebagai “para pemikir” filsafat dan “para pemimpi” romantis, bahkan semakin memudahkan priyai yang bercita-cita nasionalis untuk memandang rendah orang Sumatra sebagai “sederhana” dan terlalu disibukkan oleh bisnis kotor, “politik dan ekonomi praktis”.[8]
Kecenderungan jawan-sentris tersebut semakin kentara dalam priode panjang pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto. Dengan kekuasaan sentralistiknya semua kebijakan bermuara atau sangat tergantung dari kemauan pribadi Soeharto. Dalam konteks pembangunan wilayah (infrastruktur), pemimpin Orde Baru tersebut selalu berpijak pada bagaimana sikap politik masyarakat daerah selama ini. Jika terkategori tidak sejalan, terutama tidak mendukung Golkar, maka daerah tersebut seperti terbiasa miskin (terus tertinggal). Setidaknya ada perlakuan yang diskriminatif antara daerah berbasis massa Golkar dengan daerah basis massa PDIP atau PPP. Dan karena kekuasaan sentralistik itu pula, posisi daerah seperti hanya menunggu “belas kasihan” pusat. Sejauh masa Orde Baru, daerah-daerah sistem pajak harus menyetor ke pusat. Tetapi pengembaliannya untuk daerah tidak lebih dari kisaran angka 5 persen. Porsi terbesar dimiliki Pulau Jawa. Sedangkan luar Jawa hanya mendapatkan alokasi “sisa”. Implikasinya, di satu sisi terjadi migrasi ke Jawa dalam jumlah yang melampaui batas, sementara penduduk luar Jawa tersedot. Daerah-daerah ditinggalkan dengan merana, tanpa daya dukung sumber daya manusia yang potensial. Di sisi lain, banyak daerah kaya sumber daya alam yang sesungguhnya telah berkontribusi besar kepada pusat, tetapi masyarakat lokal tersebut hidup dalam lumpur kemiskinan.[9]  
Kecenderungan Jawa-sentris dalam masa Orde Baru tidak hanya dalam politik dan ekonomi, tetapi juga secara kultural. Rezim Orde Baru secara sistematis melalui kekuasaannya yang absolut menanamkan nilai-nilai kebudayaan Jawa kepada seluruh rakyat Indonesia. Dalam istilah Niels Mulder disebutnya sebagai jawanisasi Indonesia.[10] Menurut Mulder, jawanisasi itu dapat dilihat dalam falsafah-falsafat besar Indonesia, seperti Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, atau pada idiom-idiom lain seperti persatuan, ketertiban, dan pembangunan. Bagi beberapa orang, jawanisasi secara sederhana berarti persebaran penduduk Jawa – entah melalui transmigrasi atau yang lainnya – ke daerah-daerah di luar Jawa yang populasi penduduknya masih kurang. Namun, artinya tidak sesederhana itu. Bagi beberapa kalangan, hal itu merupakan bentuk dari imperialisme Jawa ke seluruh Nusantara. Entah itu dilakukan secara sengaja atau tidak.[11] Frase dari kata “luar Jawa” sebenarnya sudah menjelaskan sendiri bahwa, Jawa adalah pusat, jantung, batin negeri ini, dan dalam pandangan orang Jawa, batin adalah pusat kehidupan sehingga pantas mendominasi aspek-aspek luar. Fakta bahwa sebagian terbesar perwira, pegawai negeri eselon atas, dan para gubernur berasal dari Jawa memancing orang untuk berbicara tentang imperialisme Jawa. Orang Jawa adalah majikan-majikan baru, yang mendefinisikan apa itu Indonesia, siapa orang Indonesia, dan bagaimana menjadi orang Indonesia.[12]
Bangunan Indonesia dibentuk dalam model Taman Mini Indonesia Indah - sebuah miniatur yang dibuat di atas sebuah danau buatan, yang disekelilingnya terdapat anjungan-anjungan yang mewakili masing-masing provinsi – yang rancangannya sangat modern, namun mengingatkan kita pada kutipan dari Nagarakaertagama yang menampilkan ibukota sebagai mikrokosmos yang mencerminkan seluruh kerajaan.[13] Jakarta sebagai ibukota adalah mikroskosmos yang menjadi pusat segala sesuatu, yang kemudian disebarkan ke seluruh negeri. Bangunan negara yang dirancang dengan sistem mandala seperti itu, menimbulkan persoalan besar pada kesenjangan pembangunan di antara masing-masing daerah. Karena semakin jauh suatu daerah dari pusat kota, maka kesejahtraan dan kemakmuran yang didistribusikan oleh pusat mengalami gradasi seiring jarak yang semakin jauh antara pusat dengan daerah. Dengan kata lain, semakin jauh suatu daerah dari pusat, maka semakin sedikit perhatian pusat terhadap kehidupan masayarakat yang ada di suatu daerah itu. Kemiskinana dan keterbelakangan daerah-daerah terjauh dari “pusat negara” padahal daerah-daerah itu memiliki sumber daya alam melimpah, hanya mudah dipahami dengan melihat bangunan negara yang dikonsepsikan dan diproyeksikan dalam model mandala, yakni ibu kota sebagai pusat mikroskosmos.
Momentum 2014
Saya memiliki keyakinan bahwa wajah muram negara ini tidak mungkin berubah kecuali bangunan Indonesia itu didekonstruksi ulang. Kenyataannya Indonesia tidak dibangun secara egaliter, melainkan ada dominasi yang kentara oleh satu kultur besar yang digunakan sebagai rancangan bangunan Indonesia. Meski, negara ini sudah mengalami banyak perubahan, tetapi mentalitas itu tampaknya masih terus eksis.
Persatuan Indonesia adalah sebuah keajaiban, sekaligus menjadi kutukan. Negara yang membentang luas dengan sumber daya yang begitu kaya dengan pluralitas etnis, budaya, bahasa, dan keyakinan, adalah sebuah keajaiban karena banyak negara yang malah terpecah-belah meski tidak memiliki keragaman sekompleks republik ini. Namun, kenyataan itu sekaligus menjadi kutukan karena persoalan bagaimana negara ini musti dibangun dan dijalankan adalah persoalan besar yang mencuat sejak gagasan politis Indonesia muncul.
Barangkali, kita musti meninjau kembali pada semua kemungkinan dalam narasi-narasi Indonesia yang digagas oleh para pendiri bangsa ini. Seperti diingatkan Vickers, “negara sebesar dan seberagam negara ini tidak hanya punya satu narasi”.[14] Narasi-narasi yang sempat mengalami pembungkaman sudah selayaknya untuk dibuka kembali untuk menemukan sebuah kemungkinan lain terkait citra bangunan Indonesia yang lebih baik.
Harus diingat bahwa model negara kesatuan dalam sejarah Indonesia bukanlah konvensi final semua pendiri bangsa. Hatta dan Tan Malaka misalnya, mencita-citakan sebuah negara federal sebagai bentuk akomodir terhadap pluralitas Indonesia. Terlepas, gagasan itu tepat atu tidak, namun ia musti mendapat perhatian karena pada faktanya, bentuk negara kesatuan seperti saat ini masih menyisakan persoalan yang tak kunjung selesai.
Oleh karena itu, wacana pemindahan ibukota beberapa waktu yang lalu, menurut hemat saya adalah di antara beberapa alternatif yang layak untuk mendapat perhatian. Wacana itu layak tidak hanya karena alasan ekologis, tetapi juga alasan sosio-kultural.
Tahun 2014 adalah momentum yang tepat sebagai awal “dekonstruksi” Indonesia. Tahun ini adalah tahun harapan baru sebagai konsekuensi pergantian estapet kekuasaan negara ini. Harapan besar kita adalah hadirnya pemimpin yang berdaulat, wakil rakyat yang merakyat, yang memiliki visi besar dan berani bercita-cita membangun Indonesia dengan wajah baru.
Barangkali, Indonesia terlalu besar untuk dijalankan dalam bentuk seperti selama ini. Karena itu, kemungkinan-kemungkinan lain harus terus dicari. Dan, ini tidak boleh berhenti.


[1]Benedict T Anderson, Imagined Communities; Komunitas-Komunitas Terbayang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 8. Terj.
[2]Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), cet. 1, h. 40.
[3]R.E Elson, The Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan, (Jakarta: PT Serambi, 2009), cet. 1,   
[4]R.E Elson, The Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan, (Jakarta: PT Serambi, 2009), cet. 1, h. 31 
[5]R.E Elson, The Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan, (Jakarta: PT Serambi, 2009), cet. 1, h. 120 
[6]Anthony Reid, An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra (Singapura: Singapore University Press, 2005), h. 19
[7]R.E Elson, The Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan, (Jakarta: PT Serambi, 2009), cet. 1, h. 311
[8]Frances Gouda, Dutch Culture Overseas; Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007), cet. 2, h.118.
[9]AM Saefuddin, Dari Cendana ke Reformasi, (Jakarta: PPA Consultants, 2011), cet. 1, h. 44
[10]Niels Mulder, Mistisisme Jawa; Ideologi di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2003), cet. 3, h. 147, terj.
[11]Christina S. Handayani & Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, (Yogyakarta: LKIS, 2004), cet. 4, h. 92.
[12]Niels Mulder, Mistisisme Jawa; Ideologi di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2003), cet. 3, h. 149.

[13]Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya 3 – Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, (Jakarta: Gramedia, 2008), cet. 4, h. 71
[14]R.E Elson, The Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan, (Jakarta: PT Serambi, 2009), cet. 1, h. xxx 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar