Selasa, 16 Juni 2015

Kedaulatan Bangsa dan Kedaulatan Pangan



“Aku bertanja kepadamu, sedangkan rakjat Indonesia akan mengalai tjelaka, bentjana, mala-petaka dalam waktu jang dekat kalau soal makanan rakjat tidak segera dipetjahkan, sedangkan soal persediaan makanan rakjat ini, bagi kita adalah soal hidup atau mati… Tjamkan, sekali lagi tjamkan, kalau kita tidak “aanpakkan” soal makanan rakjat ini setjara besar-besaran, setjara radikal dan revolusioner, kita akan mengalami malapetaka”

(Bung Karno)
Cuplikan pidato di atas  disampaikan Bung Karno saat peletakan batu pertama IPB tahun 1952. Cuplikan pidato tersebut menggambarkan future outlook seorang visioner terbesar yang pernah dimiliki bangsa ini mengenai masa depan bangsa Indonesia yang dilihat dari sudut ketersediaan pangan. Bahwa persoalan pangan menjadi denyut nadi yang menggerakkan roda sejarah dan kedaulatan bangsa Indonesia ke depan. Dari ungkapan itu juga memperlihatkan bahwa Bung Karno sangat menyadari betul bahwa persoalan ini menjadi tanggungjawab besar yang harus diemban dan ketersediaannya berada di pundak pemerintah. Nilai urgensitas pangan menjadikan perhatian, kepeduliaan, dan manajemennya harus dilakukan sepenuh hati serta diletakkan pada bagaimana semestinya.
Pangan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia yang posisinya tidak bisa disubstitusi oleh bidang lain. Selama masih ada kehidupan manusia, sepanjang itu kebutuhan pada pangan tidak akan pernah berakhir. Oleh karena itu, ketersediaannya adalah perasyarat pertama dan utama berjalannya kehidupan manusia. Stabilitas ketersediaannya juga mempengaruhi stabilitas sistem-sistem lain, seperti politik, ekonomi, dan sosial.
Disebabkan nilai urgensitasnya yang tak tergantikan itu, maka akan sangat rawan tatkala kita tidak mandiri dalam pemenuhannya. Sangat sulit membayangkan suatu negara dapat berdaulat penuh – dalam bidang politik, keamanan, ekonomi, dan lain sebagainya – apabila kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan tergantung pada impor. Tergantung baik dalam pasokan, pengambilan keputusan, ketergantungan teknologi, ketergantungan konsumsi, hingga ketergantungan gaya hidup.
Beberapa waktu yang lalu, para pengrajin tahu-tempe melakukan aksi mogok produksi yang dilatarbelakangi ketidakmampuan pemerintah menahan laju kenaikan harga kedelai. Harga yang sebelumnya Rp. 5.000 menjadi Rp. 8.000 per kilogeram, atau naik sebesar 35-40 persen membuat para pengrajin merasa tercekik.
Melambungnya harga kedelai disebabkan musim kering yang melanda Amerika Serikat, yang merupakan produsen utama dunia untuk kedelai. Namun, persoalan utama sesungguhnya berada pada ketidakmampuan kita untuk secara mandiri memenuhi kebutuhan pangan. Konsumsi kedelai kita sangat besar, hal ini disebabkan faktor sejarah dan budaya yang panjang terkait dengan konsumsi tahu-tempe dikalangan  masyarakat luas. Masyarakat seolah merasa ada yang kurang jika sehari saja mereka tidak mengkonsumsi tahu-tempe. Demikian halnya, dengan produk-produk lain berbahan dasar kedelai. Sementara ketergantungan kita terhadap kedelai impor terutama dari AS sangat besar sekitar 60% dari jumlah produksi yang mampu dihasilkan oleh petani kedelai lokal. Kebutuhan kedelai secara nasional sebesar 2,4 juta ton/tahun, sementara produksi nasional di Indonesia hanya mampu memenuhi 600.000 ton/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan kedelai nasional memiliki resiko besar tatkala pasokan impor mengalami kendala, baik kendala ekologis, kelangkaan di pasar internasional, maupun kendala ekonomik-politis.
Kebijakan impor pangan ini bukan hanya terjadi di kedelai saja. Ketergantungan terhadap kebutuhan pangan yang diimpor dari luar negeri, hampir berlaku pada semua kebutuhan pangan dan hortikultua. Badan Pusat Statistik (BPS), selama bulan Januari-Juni 2011 menunjukkan bahwa impor pangan Indonesia mencapai 11,33 juta ton dengan nilai US$ 5,36 miliar atau kurang lebih Rp 45 triliun. Komoditas impor bervariasi mulai dari beras, jagung, terigu, gula, garam, telur, ayam, daging sapi, singkong, kentang, bawang merah, cabai hingga buah-buahan. Sedangkan data impor pangan selama Januari-Maret 2012 dari Pelindo II cabang Tanjung Priok menunjukkan impor beras sebanyak 330.539 ton, jagung 33.700 ton, tapioka 7.422 ton, gandum 546.932 ton dan garam 25.400 ton.
Kalau kita perhatikan produk-produk pertanian yang beredar di pasar, disparitas harga yang berlaku antara produk-produk impor dengan produk-produk pertanian domestik sangat jomblang, di mana harga produk-produk pertanian domestik sangat tidak kompetitif dibandingkan dengan produk impor. Konsekuensinya, di tingkat pasar produk-produk pertanian lokal kalah bersaing dengan produk-produk pertanian yang datang dari negara-negara lain. Apakah problem itu wajar? Menurut saya tidak juga. Karena persoalan utamanya bukan pada harga, tetapi terkait dengan politik perdagangan dan politik global. Tujuan utamanya adalah, melahirkan ketergantungan akut bagi negara-negara pengimpor. Tatkala, produk-produk pertanian lokal kalah bersaing dengan produk-produk impor di pasar, geliat pertanian lokal akan jatuh dan ini berdampak pada kelangkaan dan krisis pangan nasional. Maka, pemenuhan kebutuhan pangan melalui impor merupakan sesuatu yang niscaya. Sebuah lingkaran setan yang menjebak kita pada situasi ketergantungan yang sebenarnya paradoks melihat sumber daya alam bangsa Indonesia yang sangat melimpah dan sumber daya manusia yang tangguh.
Negara tak lagi berdaulat mengatur produksi, distribusi, dan konsumsi pangan. Berbagai kebijakan pro pasar dikeluarkan pemerintah tanpa mempedulikan nasib petani. Misalnya pengurangan subsidi benih, pupuk, pengairan, pengurangan tarif bea impor bahan pangan pokok, dan merubah status Bulog. Sebagian besar bahan pangan berasal dari bahan impor yang murah karena petani di luar negeri mendapat banyak subsidi. Sementara subsidi petani kita terus dikurangi sehingga ongkos produksi menjadi naik. Alhasil, produksi pangan dalam negeri kalah bersaing dengan pangan impor. Petani pun enggan bertani. Akibatnya produksi dalam negeri tak cukup dan semakin menguntungkan pada impor. Ketika harga pangan dipasar naik yang mekanismenya dikontrol segelintir perusahaan multinasional, harga di Indonesia juga ikut melambung. Masyarakat miskin makin kesulitan memenuhi pangannya. Jumlah penduduk kelaparan, kurang gizi, busung lapar, dan mati karena kelaparan semakin meningkat.
Fakta yang lainnya adalah negara dan rakyat Indonesia saat ini sudah tidak memiliki kedaulatan pangan, karena kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi, dan konsumsi di sektor pangan telah diserahkan ke mekanisme pasar yang dikuasai oleh para pemilik modal raksasa. Sebut saja seperti Badan Urusan Logistik (BULOG) yang telah dijadikan privat dan industri hilir pangan hingga distribusinya (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Rakyat Indonesia hanya dijadikan sebagai para pekerja di sektor pangan atau sekedar konsumen saja.
Sangat ironis memang mengingat Indonesia yang selalu disebut sebagai negara agraris dan negara maritim, pada kenyataannya untuk memenuhi kebutuhan pangan nasionalnya harus bergantung pada negara-negara lain. Masalah ini kemudian membawa persoalan rembetan yang berantai dalam semua lini. Persoalan ini akan sangat berpengaruh pada pembangunan pertanian nasional, kesejahtraan petani, “ketahanan” pangan nasional, hingga pada persoalan yang sangat substansial, yakni kedaulatan bangsa atau hidup-matinya bangsa ini, seperti yang disebutkan Bung Karno di atas.
Ketergantunga pangan kita pada pasokan dari luar merupakan konsekuensi dari keputusan Indonesia menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) dan kebijakan liberalisasi ekonomi atau perdagangan bebas melalui Agreement on Agriculture (AoA). Indonesia kemudian semakin terbuka setelah Soeharto menandatangani Letter on Intent dengan Dana Moneter Internasional (International Monetery Fund/IMF) dan Structutal Adjustment Program (SAP) dengan Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1997. Ditambah dengan Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement/FTA), baik secara regional maupun bilateral, yang akhirnya menghancurkan produk pangan Indonesia, terutama para petani. Sebagai contoh, sejak Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA)  diberlakukan awal tahun 2010, perjanjian tersebut telah menyebabkan serbuan kentang impor dari Cina di sentra produksi kentang di Jawa Barat dan Jawa Tengah mulai September 2011. Sebagai akibatnya, ribuan keluarga petani mengalami kerugian ratusan juta rupiah karena merosotnya harga kentang para petani oleh serbuan kentang impor.
Mengingat kedaulatan pangan merupakan jati diri dan martabat bangsa, maka tidak ada alasan bagi Indonesia untuk menunda pencapaiannya. Lalu dari mana kita harus memulai? Tidak ada solusi yang mudah untuk keluar dari kondisi yang sistemik dan kompleks tersebut. Namun, karena “bencana” pangan bangsa ini disebabkan oleh sistem yang tidak adil yang berlaku dalam perjanjian-perjanjian internasional di atas, maka tiada lain kecuali mengoreksi kembali posisi bangsa ini dalam perjanjian-perjanjian itu dan meletakkannya pada posisi yang seharusnya yang dilandaskan pada prinsip tunggal, yakni kedaulatan bangsa, kedaulatan pangan, dan kesejahtraan petani. Di samping itu, pembangunan pertanian nasional harus dijalankan dan harus diarahkan untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan negara dan rakyat dalam menentukan kebijakan produksi, distribusi, dan konsumsi pangan berdasarkan pemanfaatan sumber daya lokal, tanpa pengaruh pihak luar; mengurangi ketergantungan pada pangan impor; memanfaatkan keragaman sumber daya hayati untuk memperoduksi berbagai pangan non beras; menciptakan lapangan kerja pada industri pertanian di desa; membebaskan petani dari perangkap kemiskinan sehingga mampu menyongsong masa depan yang lebih baik, dan berlakunya kebijakan yang pro terhadap petani dan masyarakat miskin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar