“Aku bertanja kepadamu, sedangkan rakjat Indonesia akan mengalai
tjelaka, bentjana, mala-petaka dalam waktu jang dekat kalau soal makanan rakjat
tidak segera dipetjahkan, sedangkan soal persediaan makanan rakjat ini, bagi
kita adalah soal hidup atau mati… Tjamkan, sekali lagi tjamkan, kalau kita tidak
“aanpakkan” soal makanan rakjat ini setjara besar-besaran, setjara radikal dan
revolusioner, kita akan mengalami malapetaka”
(Bung Karno)
Cuplikan
pidato di atas disampaikan Bung Karno
saat peletakan batu pertama IPB tahun 1952. Cuplikan pidato tersebut
menggambarkan future outlook seorang visioner terbesar yang pernah
dimiliki bangsa ini mengenai masa depan bangsa Indonesia yang dilihat dari
sudut ketersediaan pangan. Bahwa persoalan pangan menjadi denyut nadi yang
menggerakkan roda sejarah dan kedaulatan bangsa Indonesia ke depan. Dari
ungkapan itu juga memperlihatkan bahwa Bung Karno sangat menyadari betul bahwa
persoalan ini menjadi tanggungjawab besar yang harus diemban dan
ketersediaannya berada di pundak pemerintah. Nilai urgensitas pangan menjadikan
perhatian, kepeduliaan, dan manajemennya harus dilakukan sepenuh hati serta
diletakkan pada bagaimana semestinya.
Pangan
merupakan kebutuhan dasar setiap manusia yang posisinya tidak bisa disubstitusi
oleh bidang lain. Selama masih ada kehidupan manusia, sepanjang itu kebutuhan
pada pangan tidak akan pernah berakhir. Oleh karena itu, ketersediaannya adalah
perasyarat pertama dan utama berjalannya kehidupan manusia. Stabilitas
ketersediaannya juga mempengaruhi stabilitas sistem-sistem lain, seperti politik,
ekonomi, dan sosial.
Disebabkan
nilai urgensitasnya yang tak tergantikan itu, maka akan sangat rawan tatkala kita
tidak mandiri dalam pemenuhannya. Sangat sulit membayangkan suatu negara dapat
berdaulat penuh – dalam bidang politik, keamanan, ekonomi, dan lain sebagainya
– apabila kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan tergantung pada impor.
Tergantung baik dalam pasokan, pengambilan keputusan, ketergantungan teknologi,
ketergantungan konsumsi, hingga ketergantungan gaya hidup.
Beberapa
waktu yang lalu, para pengrajin tahu-tempe melakukan aksi mogok produksi yang
dilatarbelakangi ketidakmampuan pemerintah menahan laju kenaikan harga kedelai.
Harga yang sebelumnya Rp. 5.000 menjadi Rp. 8.000 per kilogeram, atau naik
sebesar 35-40 persen membuat para pengrajin merasa tercekik.
Melambungnya harga kedelai disebabkan musim kering yang melanda
Amerika Serikat, yang merupakan produsen utama dunia untuk kedelai. Namun,
persoalan utama sesungguhnya berada pada ketidakmampuan kita untuk secara
mandiri memenuhi kebutuhan pangan. Konsumsi kedelai kita sangat besar, hal ini
disebabkan faktor sejarah dan budaya yang panjang terkait dengan konsumsi
tahu-tempe dikalangan masyarakat luas.
Masyarakat seolah merasa ada yang kurang jika sehari saja mereka tidak
mengkonsumsi tahu-tempe. Demikian halnya, dengan produk-produk lain berbahan
dasar kedelai. Sementara ketergantungan kita terhadap kedelai impor terutama
dari AS sangat besar sekitar 60% dari jumlah produksi yang mampu dihasilkan
oleh petani kedelai lokal. Kebutuhan kedelai secara nasional sebesar 2,4 juta
ton/tahun, sementara produksi nasional di Indonesia hanya mampu memenuhi
600.000 ton/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan kedelai nasional
memiliki resiko besar tatkala pasokan impor mengalami kendala, baik kendala
ekologis, kelangkaan di pasar internasional, maupun kendala ekonomik-politis.
Kebijakan impor pangan ini bukan hanya terjadi di kedelai saja.
Ketergantungan terhadap kebutuhan pangan yang diimpor dari luar negeri, hampir
berlaku pada semua kebutuhan pangan dan hortikultua. Badan Pusat Statistik
(BPS), selama bulan Januari-Juni 2011 menunjukkan bahwa impor pangan Indonesia
mencapai 11,33 juta ton dengan nilai US$ 5,36 miliar atau kurang lebih Rp 45
triliun. Komoditas impor bervariasi mulai dari beras, jagung, terigu, gula,
garam, telur, ayam, daging sapi, singkong, kentang, bawang merah, cabai hingga
buah-buahan. Sedangkan data impor pangan selama Januari-Maret 2012 dari Pelindo
II cabang Tanjung Priok menunjukkan impor beras sebanyak 330.539 ton, jagung
33.700 ton, tapioka 7.422 ton, gandum 546.932 ton dan garam 25.400 ton.
Kalau
kita perhatikan produk-produk pertanian yang beredar di pasar, disparitas harga
yang berlaku antara produk-produk impor dengan produk-produk pertanian domestik
sangat jomblang, di mana harga produk-produk pertanian domestik sangat tidak
kompetitif dibandingkan dengan produk impor. Konsekuensinya, di tingkat pasar
produk-produk pertanian lokal kalah bersaing dengan produk-produk pertanian
yang datang dari negara-negara lain. Apakah problem itu wajar? Menurut saya
tidak juga. Karena persoalan utamanya bukan pada harga, tetapi terkait dengan
politik perdagangan dan politik global. Tujuan utamanya adalah, melahirkan
ketergantungan akut bagi negara-negara pengimpor. Tatkala, produk-produk
pertanian lokal kalah bersaing dengan produk-produk impor di pasar, geliat
pertanian lokal akan jatuh dan ini berdampak pada kelangkaan dan krisis pangan
nasional. Maka, pemenuhan kebutuhan pangan melalui impor merupakan sesuatu yang
niscaya. Sebuah lingkaran setan yang menjebak kita pada situasi ketergantungan
yang sebenarnya paradoks melihat sumber daya alam bangsa Indonesia yang sangat
melimpah dan sumber daya manusia yang tangguh.
Negara
tak lagi berdaulat mengatur produksi, distribusi, dan konsumsi pangan. Berbagai
kebijakan pro pasar dikeluarkan pemerintah tanpa mempedulikan nasib petani.
Misalnya pengurangan subsidi benih, pupuk, pengairan, pengurangan tarif bea
impor bahan pangan pokok, dan merubah status Bulog. Sebagian besar bahan pangan
berasal dari bahan impor yang murah karena petani di luar negeri mendapat
banyak subsidi. Sementara subsidi petani kita terus dikurangi sehingga ongkos
produksi menjadi naik. Alhasil, produksi pangan dalam negeri kalah bersaing dengan
pangan impor. Petani pun enggan bertani. Akibatnya produksi dalam negeri tak
cukup dan semakin menguntungkan pada impor. Ketika harga pangan dipasar naik
yang mekanismenya dikontrol segelintir perusahaan multinasional, harga di
Indonesia juga ikut melambung. Masyarakat miskin makin kesulitan memenuhi
pangannya. Jumlah penduduk kelaparan, kurang gizi, busung lapar, dan mati
karena kelaparan semakin meningkat.
Fakta yang lainnya adalah negara dan rakyat Indonesia saat ini
sudah tidak memiliki kedaulatan pangan, karena kekuatan dalam mengatur
produksi, distribusi, dan konsumsi di sektor pangan telah diserahkan ke
mekanisme pasar yang dikuasai oleh para pemilik modal raksasa. Sebut saja
seperti Badan Urusan Logistik (BULOG) yang telah dijadikan privat dan industri
hilir pangan hingga distribusinya (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan
seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Rakyat Indonesia hanya dijadikan sebagai
para pekerja di sektor pangan atau sekedar konsumen saja.
Sangat
ironis memang mengingat Indonesia yang selalu disebut sebagai negara agraris
dan negara maritim, pada kenyataannya untuk memenuhi kebutuhan pangan
nasionalnya harus bergantung pada negara-negara lain. Masalah ini kemudian
membawa persoalan rembetan yang berantai dalam semua lini. Persoalan ini akan
sangat berpengaruh pada pembangunan pertanian nasional, kesejahtraan petani,
“ketahanan” pangan nasional, hingga pada persoalan yang sangat substansial,
yakni kedaulatan bangsa atau hidup-matinya bangsa ini, seperti yang disebutkan
Bung Karno di atas.
Ketergantunga pangan kita pada pasokan dari luar merupakan
konsekuensi dari keputusan Indonesia menjadi anggota Organisasi Perdagangan
Dunia (World Trade Organization/WTO) dan kebijakan liberalisasi ekonomi
atau perdagangan bebas melalui Agreement on Agriculture (AoA). Indonesia
kemudian semakin terbuka setelah Soeharto menandatangani Letter on Intent
dengan Dana Moneter Internasional (International Monetery Fund/IMF) dan Structutal
Adjustment Program (SAP) dengan Bank Dunia (World Bank) pada tahun
1997. Ditambah dengan Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade
Agreement/FTA), baik secara regional maupun bilateral, yang akhirnya
menghancurkan produk pangan Indonesia, terutama para petani. Sebagai contoh, sejak
Asean-China Free Trade Agreement
(ACFTA) diberlakukan awal tahun 2010,
perjanjian tersebut telah menyebabkan serbuan kentang impor dari Cina di sentra
produksi kentang di Jawa Barat dan Jawa Tengah mulai September 2011. Sebagai
akibatnya, ribuan keluarga petani mengalami kerugian ratusan juta rupiah karena
merosotnya harga kentang para petani oleh serbuan kentang impor.
Mengingat
kedaulatan pangan merupakan jati diri dan martabat bangsa, maka tidak ada
alasan bagi Indonesia untuk menunda pencapaiannya. Lalu dari mana kita harus
memulai? Tidak ada solusi yang mudah untuk keluar dari kondisi yang sistemik
dan kompleks tersebut. Namun, karena “bencana” pangan bangsa ini disebabkan
oleh sistem yang tidak adil yang berlaku dalam perjanjian-perjanjian
internasional di atas, maka tiada lain kecuali mengoreksi kembali posisi bangsa
ini dalam perjanjian-perjanjian itu dan meletakkannya pada posisi yang seharusnya
yang dilandaskan pada prinsip tunggal, yakni kedaulatan bangsa, kedaulatan
pangan, dan kesejahtraan petani. Di samping itu, pembangunan pertanian nasional
harus dijalankan dan harus diarahkan untuk mewujudkan kemandirian dan
kedaulatan pangan negara dan rakyat dalam menentukan kebijakan produksi,
distribusi, dan konsumsi pangan berdasarkan pemanfaatan sumber daya lokal,
tanpa pengaruh pihak luar; mengurangi ketergantungan pada pangan impor;
memanfaatkan keragaman sumber daya hayati untuk memperoduksi berbagai pangan
non beras; menciptakan lapangan kerja pada industri pertanian di desa;
membebaskan petani dari perangkap kemiskinan sehingga mampu menyongsong masa
depan yang lebih baik, dan berlakunya kebijakan yang pro terhadap petani dan
masyarakat miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar