Selasa, 16 Juni 2015

Bijak Mengkonsumsi Energi; Sebuah Etika Kemanusiaan

Fenomena Konsumtif dan Dampaknya
Segudang data-data hasil penelitian yang dilakukan oleh berbagai lembaga, seperti pemerintah, komunitas internasional, hingga penelitian-penelitian individu terkait dengan merosotnya kualitas lingkungan dan ekosistem sudah banyak dipublikasikan. Semua data-data itu dapat diakses dan dipelajari oleh setiap orang. Secara general, meski spesipikasi dan signifikansi dari berbagai data-data itu berbeda-beda, tapi tidak ada yang meragukan bahwa gaya hidup kita yang selalu mengharapkan lebih baik, pada kenyataannya tidak lebih baik. Bahwa kemajuan sebagai kata kunci dari peradaban yang kita jalankan, pada berbagai sudut pandang prinsipil sesungguhnya masih jauh dari apa yang kita peroleh hari ini.
Jika keamanan kehidupan sebagai indikator kualitas kehidupan kita, maka tanpa ragu saya katakana bahwa kita sama sekali belum mewujudkannya. Laporan WHO pada 2012 menyebutkan bahwa polusi udara menyebabkan kematian hingga 7 juta di seluruh dunia. Angka tersebut meningkat signifikan karena pada tahun 2008, angka kematian akibat polusi udara di dalam ruangan di angka 1,9 juta, dan di luar ruangan sebesar 1,3 juta (Tempo 2014)
Jika kita menilik pada hak asasi manusia, maka situasi peradaban kita saat ini sangat tidak ramah pada hak-hak hidup. Bahkan, walaupun kita masih mengacu pada data angka kematian global akibat polusi udara tahun 2008 tersebut. Jumlah 3 jutaan untuk angka tahun 2008, terlebih angka 7 juta untuk 2012 merupakan angka kematian yang sangat besar, bahkan melebih angka kematian akibat peperangan yang selama ini menjadi perhatian komunitas hak asasi manusia (HAM).
Saat mengalami peningkatan pendapatan, kita kemudian naik kelas menjadi apa yang biasa disebut ‘kelas menengah’, kosakata yang bermakna sangat pejoratif. Jika sebelumnya istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan kelas pendidikan, kelas professional dan karir, maka hari ini citra yang melekat adalah kelas konsumsi. Maka menjadi lumrah jika citra kelas atas kemudian diletakkan pada seberapa banyak yang bisa dikonsumsi, seberapa banyak kendaraan bermotor yang bisa dikendarai, seberapa besar sumber daya yang bisa dihabisi. Cara pandang yang berkembang adalah mengikuti pola konsumsi masyarakat tradisional “lebih banyak, lebih baik”. Namun, ada yang sangat jauh berbeda dari kedua cara pandang yang sepertinya sama tersebut. Dalam masyarakat tradisional, cara pandang tersebut adalah realistis, dalam arti mereka adalah masyarakat berburu dengan pertanian sederhana di mana kecukupan persediaan kebutuhan dasar mereka sangat ditentukan oleh kondisi temporal alam dan lingkungan mereka. Sementara dalam masyarakat modern ini, cara pandang “lebih banyak, lebih baik” adalah manifestasi dari konsumsi yang konsumtif.
Simbol kenaikan kelas menjadi ‘kelas menengah’ sangat ditentukan pada apa yang dikonsumsi. Mobil pribadi merupakan salah satu dari simbol itu. Saat ini, fenomena konsumsi mobil tidak hanya didominasi oleh negara-negara maju, malahan meski populasi kendaraan bermotor masih yang terbanyak, tetapi pertumbuhan total kendaraan bermotor malah menurun, misalnya Amerika Serikat yang mengalami pertumbuhan total mobil hanya 15%. Sebaliknya, di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, jumlah kendaraan melaju bahkan lebih cepat dari kecepatan roda mereka di jalan raya. Tahun 1990-an armada mobil Cina tumbuh 400%, India 250%, dan Korea Selatan dengan 305%. Di Indonesia, pertumbuhan mobil setiap tahun mencapai 1,2 juta unit.
Ada biaya yang harus dibayar dari gaya konsumsi kita yang berlebihan dan rakus. Persoalannya, biaya itu tidak melulu bisa diukur dengan hitungan-hitungan ekonomi. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi semata, tanpa kearifan dalam gaya konsumsi kita, hanya akan menjadi boomerang bagi kehidupan kita. Konsumsi yang berlebihan dan boros menyebabkan masalah lingkungan seperti polusi skala besar, gunung sampah, krisis energi, dan gejolak iklim. Kita semua berkontribusi untuk berbagai masalah tersebut. Peningkatan pendapatan berarti peningkatan konsumsi barang elektronik, peningkatan penggunaan alat-alat rumah tangga elektronik, dan tentunya kendaraan pribadi. Atas alasan peningkatan status ekonomi, kita menghindari angkutan publik demi mobil pribadi. Mereka dengan pendapatan lebih besar lagi tinggal di rumah mewah dengan garasi penuh mobil dan ruangan ber-AC daripada rumah dengan ventilasi alami, serta ruangan dengan penerangan berlebih.
Konsumsi mobil misalnya, sebagai salah satu ukuran kemakmuran dan gaya hidup kelas menengah merupakan penyebab paling dominan bagi kerusakan lingkungan. Mobil menyebabkan polusi udara, asap perkotaan, hujan asam, gas rumah kaca, dan pemanasan global. Polutan utama adalah partikel-partikel yang berterbangan, sulfur dioksida, dan emisi Co2. Partikel-partikel tersebut berdampak buruk bagi kesehatan bahkan merenggut nyawa hingga ribuan orang setiap tahun di berbagai negara; menyebabkan hujan asam yang berpengaruh negatif pada ekosistem tumbuhan; dan gas rumah kaca yang memperparah pemanasan global.
Di samping itu akibat overkonsumsi, kendaraan bermotor sebagai alat penggerak dan perpindahan dalam sekala laju tertentu dan memperlancar mobilitas orang atau barang kehilangan utilitas dasar tersebut. Overkonsumsi menyebabkan kemacetan di jalan raya, bahkan jarak tempuh dalam hitungan waktu tidak lebih cepat dibandingkan menggunakan kendaraan tanpa mesin seperti sepeda kayuh, bahkan pada situasi-situasi tertenu, kecepatan kendaraan bermotor terutama mobil sama dengan kecepatan jogging dalam jarak/waktu tempuh.
 Etika Konsumsi
Dampak dari konsumsi berlebihan, tidak berkelanjutan, dan boros mengingatkan kita semua mengenai tantangan kita hari ini dan di masa depan. Etika konsumsi yang harus kita galakkan berangkat dari hipotesa bahwa bumi kita berputar, ekosistem berarti jaringan yang saling menjalin antara satu bagian sistem dengan sistem lainnya. Dalam konteks hubungan kemanusiaan, apa yang kita konsumsi tidak hanya berdampak pada diri kita pribadi tapi berhubungan dengan ratusan, ribuan, hingga jutaan orang lainnya. Sebagai contoh, bensin bersubsidi yang kita konsumsi secara berlebihan berdampak pada pasokan energi untuk daerah-daerah terpencil yang sampai hari ini belum menikmati penerangan, menyebabkan krisis energi yang kemudian berdampak pada kenaikan harga-harga komoditas dan mempersulit kaum miskin, merusak lingkungan bahkan untuk daerah terjauh dari pijakan kaki kita saat ini.
Etika konsumsi tidak berarti menghalangi kita untuk menikmati gaya hidup tertentu, melainkan menghimbau dan mengingatkan bahwa jangan sampai gaya hidup kita menghancurkan hidup orang lain. Etika konsumsi tidak melarang mengkonsumsi, tapi membawa kita untuk mengkonsumsi sesuatu secara lebih arif. Ia berangkat dari prinsip sederhana tapi sangat menentukan arah kehidupan kita di masa depan “cukup lebih baik”. Prinsip ini mengajarkan kita bahwa kehidupan yang lebih baik bukan terletak pada penumpukan barang, bukan pada seberapa banyak yang bisa dikonsumsi, tapi pada kecukupan dan pada pertimbangan bahwa konsumsi hari ini tidak boleh menghilangkan kesempatan mengkonsumsi di kemudian hari.
Aktualisasi Etika Konsumsi
Menilik pada biaya yang harus ditanggung akibat pola dan gaya konsumsi kita maka, bijak pola dan gaya konsumsi sangat relevan dikaitkan dengan etika kemanusiaan. Bijak mengkonsumsi adalah salah satu bentuk etika kemanusiaan itu, karena konsumsi kita akan menentukan kualitas kehidupan dan peradaban kita.
Ada banyak upaya yang bisa dilakukan sebagai bentuk aktualisasi etika tersebut. Sebuah terobosan dapat dilakukan oleh semua pihak. Pemerintah harus mengupayakan sistem angkutan massal bagi publik sehingga upaya untuk menekan pertumbuhan kendaraan bermotor menjadi relevan dan realistis; mendorong realisasi energi baru terbarukan dan mobil teknologi tinggi yang ramah lingkungan sehingga upaya untuk menekan tingkat emisi gas buang dan standar emisi yang ketat dapat teralisasi; memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah sebagai sumber energi sehingga bauran energi dan pencegahan krisis energi dapat segera terwujud; pemerintah daerah berkewajiban untuk mewujudkan konsumsi energi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan di setiap daerah yang dipimpin.
Sementara itu, sektor industri harus beralih dari pengejaran keuntungan sebanyak-banyaknya pada upaya menjaga kesempatan konsumsi sekaligus menjaga lingkungan dengan memproduksi kendaraan-kendaraan ramah lingkungan, efesien, dan penelitian-penelitian di bidang teknologi terbarukan.
Dan terakhir, individu-individu harus berani melakukan penyesuai pribadi terhadap gaya hidup dan gaya konsumsi yang konsumtif demi kesempatan konsumsi bagi diri sendiri maupun generasi berikutnya. Individu-individu harus mengkonsumsi sesuai dengan kebutuhan dan prinsip kecukupan. Setiap individu harus percaya bahwa mereka dapat membuat perbedaan. Melakukan perjalan dengan menggunakan angkutan publik, sepeda, atau angkutan lain yang lebih ramah akan mengurangi emsisi Co2 tahunan. Mengurangi listrik rumah tangga, dengan mengurangi penggunaan alat-alat rumah tangga elektrik, dan mengganti bola lampu tradisional dengan lampu neon hemat energi serta tidak menyalakan pada saat tidak diperlukan, atau menurunkan suhu AC ruangan beberapa derajat Fahrenheit akan mencegah lebih dari 1 ton emisi setiap tahun.
Jika kita tidak melakukan penghematan dan konsumsi yang berkelanjutan, maka tanpa sadar kita secara aktif terlibat dalam perusakan lingkungan hidup kita. Hal terakhir ini dapat kita hindari melalui kearifan-kearifan konsumsi yang mungkin terkesan sepele, tidak signifikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar