Segudang
data-data hasil penelitian yang dilakukan oleh berbagai lembaga, seperti
pemerintah, komunitas internasional, hingga penelitian-penelitian individu
terkait dengan merosotnya kualitas lingkungan dan ekosistem sudah banyak
dipublikasikan. Semua data-data itu dapat diakses dan dipelajari oleh setiap
orang. Secara general, meski spesipikasi dan signifikansi dari berbagai
data-data itu berbeda-beda, tapi tidak ada yang meragukan bahwa gaya hidup kita
yang selalu mengharapkan lebih baik, pada kenyataannya tidak lebih baik. Bahwa
kemajuan sebagai kata kunci dari peradaban yang kita jalankan, pada berbagai
sudut pandang prinsipil sesungguhnya masih jauh dari apa yang kita peroleh hari
ini.
Jika
keamanan kehidupan sebagai indikator kualitas kehidupan kita, maka tanpa ragu
saya katakana bahwa kita sama sekali belum mewujudkannya. Laporan WHO pada 2012
menyebutkan bahwa polusi udara menyebabkan kematian hingga 7 juta di seluruh
dunia. Angka tersebut meningkat signifikan karena pada tahun 2008, angka
kematian akibat polusi udara di dalam ruangan di angka 1,9 juta, dan di luar
ruangan sebesar 1,3 juta (Tempo 2014)
Jika
kita menilik pada hak asasi manusia, maka situasi peradaban kita saat ini
sangat tidak ramah pada hak-hak hidup. Bahkan, walaupun kita masih mengacu pada
data angka kematian global akibat polusi udara tahun 2008 tersebut. Jumlah 3
jutaan untuk angka tahun 2008, terlebih angka 7 juta untuk 2012 merupakan angka
kematian yang sangat besar, bahkan melebih angka kematian akibat peperangan
yang selama ini menjadi perhatian komunitas hak asasi manusia (HAM).
Saat
mengalami peningkatan pendapatan, kita kemudian naik kelas menjadi apa yang
biasa disebut ‘kelas menengah’, kosakata yang bermakna sangat pejoratif. Jika
sebelumnya istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan kelas pendidikan, kelas
professional dan karir, maka hari ini citra yang melekat adalah kelas konsumsi.
Maka menjadi lumrah jika citra kelas atas kemudian diletakkan pada seberapa
banyak yang bisa dikonsumsi, seberapa banyak kendaraan bermotor yang bisa
dikendarai, seberapa besar sumber daya yang bisa dihabisi. Cara pandang yang
berkembang adalah mengikuti pola konsumsi masyarakat tradisional “lebih banyak,
lebih baik”. Namun, ada yang sangat jauh berbeda dari kedua cara pandang yang
sepertinya sama tersebut. Dalam masyarakat tradisional, cara pandang tersebut
adalah realistis, dalam arti mereka adalah masyarakat berburu dengan pertanian sederhana
di mana kecukupan persediaan kebutuhan dasar mereka sangat ditentukan oleh
kondisi temporal alam dan lingkungan mereka. Sementara dalam masyarakat modern
ini, cara pandang “lebih banyak, lebih baik” adalah manifestasi dari konsumsi
yang konsumtif.
Simbol
kenaikan kelas menjadi ‘kelas menengah’ sangat ditentukan pada apa yang
dikonsumsi. Mobil pribadi merupakan salah satu dari simbol itu. Saat ini,
fenomena konsumsi mobil tidak hanya didominasi oleh negara-negara maju, malahan
meski populasi kendaraan bermotor masih yang terbanyak, tetapi pertumbuhan
total kendaraan bermotor malah menurun, misalnya Amerika Serikat yang mengalami
pertumbuhan total mobil hanya 15%. Sebaliknya, di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia, jumlah kendaraan melaju bahkan lebih cepat dari kecepatan
roda mereka di jalan raya. Tahun 1990-an armada mobil Cina tumbuh 400%, India
250%, dan Korea Selatan dengan 305%. Di Indonesia, pertumbuhan mobil setiap
tahun mencapai 1,2 juta unit.
Ada
biaya yang harus dibayar dari gaya konsumsi kita yang berlebihan dan rakus.
Persoalannya, biaya itu tidak melulu bisa diukur dengan hitungan-hitungan
ekonomi. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi semata, tanpa kearifan dalam gaya
konsumsi kita, hanya akan menjadi boomerang bagi kehidupan kita. Konsumsi yang
berlebihan dan boros menyebabkan masalah lingkungan seperti polusi skala besar,
gunung sampah, krisis energi, dan gejolak iklim. Kita semua berkontribusi untuk
berbagai masalah tersebut. Peningkatan pendapatan berarti peningkatan konsumsi barang
elektronik, peningkatan penggunaan alat-alat rumah tangga elektronik, dan
tentunya kendaraan pribadi. Atas alasan peningkatan status ekonomi, kita
menghindari angkutan publik demi mobil pribadi. Mereka dengan pendapatan lebih
besar lagi tinggal di rumah mewah dengan garasi penuh mobil dan ruangan ber-AC
daripada rumah dengan ventilasi alami, serta ruangan dengan penerangan
berlebih.
Konsumsi
mobil misalnya, sebagai salah satu ukuran kemakmuran dan gaya hidup kelas
menengah merupakan penyebab paling dominan bagi kerusakan lingkungan. Mobil
menyebabkan polusi udara, asap perkotaan, hujan asam, gas rumah kaca, dan
pemanasan global. Polutan utama adalah partikel-partikel yang berterbangan,
sulfur dioksida, dan emisi Co2. Partikel-partikel tersebut berdampak buruk bagi
kesehatan bahkan merenggut nyawa hingga ribuan orang setiap tahun di berbagai
negara; menyebabkan hujan asam yang berpengaruh negatif pada ekosistem
tumbuhan; dan gas rumah kaca yang memperparah pemanasan global.
Di
samping itu akibat overkonsumsi, kendaraan bermotor sebagai alat penggerak dan
perpindahan dalam sekala laju tertentu dan memperlancar mobilitas orang atau
barang kehilangan utilitas dasar tersebut. Overkonsumsi menyebabkan kemacetan
di jalan raya, bahkan jarak tempuh dalam hitungan waktu tidak lebih cepat
dibandingkan menggunakan kendaraan tanpa mesin seperti sepeda kayuh, bahkan
pada situasi-situasi tertenu, kecepatan kendaraan bermotor terutama mobil sama
dengan kecepatan jogging dalam jarak/waktu tempuh.
Etika
Konsumsi
Dampak
dari konsumsi berlebihan, tidak berkelanjutan, dan boros mengingatkan kita
semua mengenai tantangan kita hari ini dan di masa depan. Etika konsumsi yang
harus kita galakkan berangkat dari hipotesa bahwa bumi kita berputar, ekosistem
berarti jaringan yang saling menjalin antara satu bagian sistem dengan sistem
lainnya. Dalam konteks hubungan kemanusiaan, apa yang kita konsumsi tidak hanya
berdampak pada diri kita pribadi tapi berhubungan dengan ratusan, ribuan,
hingga jutaan orang lainnya. Sebagai contoh, bensin bersubsidi yang kita
konsumsi secara berlebihan berdampak pada pasokan energi untuk daerah-daerah
terpencil yang sampai hari ini belum menikmati penerangan, menyebabkan krisis
energi yang kemudian berdampak pada kenaikan harga-harga komoditas dan
mempersulit kaum miskin, merusak lingkungan bahkan untuk daerah terjauh dari
pijakan kaki kita saat ini.
Etika
konsumsi tidak berarti menghalangi kita untuk menikmati gaya hidup tertentu,
melainkan menghimbau dan mengingatkan bahwa jangan sampai gaya hidup kita
menghancurkan hidup orang lain. Etika konsumsi tidak melarang mengkonsumsi,
tapi membawa kita untuk mengkonsumsi sesuatu secara lebih arif. Ia berangkat
dari prinsip sederhana tapi sangat menentukan arah kehidupan kita di masa depan
“cukup lebih baik”. Prinsip ini mengajarkan kita bahwa kehidupan yang lebih
baik bukan terletak pada penumpukan barang, bukan pada seberapa banyak yang
bisa dikonsumsi, tapi pada kecukupan dan pada pertimbangan bahwa konsumsi hari
ini tidak boleh menghilangkan kesempatan mengkonsumsi di kemudian hari.
Aktualisasi Etika
Konsumsi
Menilik
pada biaya yang harus ditanggung akibat pola dan gaya konsumsi kita maka, bijak
pola dan gaya konsumsi sangat relevan dikaitkan dengan etika kemanusiaan. Bijak
mengkonsumsi adalah salah satu bentuk etika kemanusiaan itu, karena konsumsi
kita akan menentukan kualitas kehidupan dan peradaban kita.
Ada
banyak upaya yang bisa dilakukan sebagai bentuk aktualisasi etika tersebut.
Sebuah terobosan dapat dilakukan oleh semua pihak. Pemerintah harus
mengupayakan sistem angkutan massal bagi publik sehingga upaya untuk menekan
pertumbuhan kendaraan bermotor menjadi relevan dan realistis; mendorong
realisasi energi baru terbarukan dan mobil teknologi tinggi yang ramah
lingkungan sehingga upaya untuk menekan tingkat emisi gas buang dan standar
emisi yang ketat dapat teralisasi; memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah
sebagai sumber energi sehingga bauran energi dan pencegahan krisis energi dapat
segera terwujud; pemerintah daerah berkewajiban untuk mewujudkan konsumsi
energi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan di setiap daerah yang dipimpin.
Sementara
itu, sektor industri harus beralih dari pengejaran keuntungan
sebanyak-banyaknya pada upaya menjaga kesempatan konsumsi sekaligus menjaga lingkungan
dengan memproduksi kendaraan-kendaraan ramah lingkungan, efesien, dan
penelitian-penelitian di bidang teknologi terbarukan.
Dan
terakhir, individu-individu harus berani melakukan penyesuai pribadi terhadap
gaya hidup dan gaya konsumsi yang konsumtif demi kesempatan konsumsi bagi diri
sendiri maupun generasi berikutnya. Individu-individu harus mengkonsumsi sesuai
dengan kebutuhan dan prinsip kecukupan. Setiap individu harus percaya bahwa
mereka dapat membuat perbedaan. Melakukan perjalan dengan menggunakan angkutan
publik, sepeda, atau angkutan lain yang lebih ramah akan mengurangi emsisi Co2
tahunan. Mengurangi listrik rumah tangga, dengan mengurangi penggunaan
alat-alat rumah tangga elektrik, dan mengganti bola lampu tradisional dengan
lampu neon hemat energi serta tidak menyalakan pada saat tidak diperlukan, atau
menurunkan suhu AC ruangan beberapa derajat Fahrenheit akan mencegah lebih dari
1 ton emisi setiap tahun.
Jika
kita tidak melakukan penghematan dan konsumsi yang berkelanjutan, maka tanpa
sadar kita secara aktif terlibat dalam perusakan lingkungan hidup kita. Hal
terakhir ini dapat kita hindari melalui kearifan-kearifan konsumsi yang mungkin
terkesan sepele, tidak signifikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar