Pendahuluan
Format
relasi kekuasaan atau pengaturan politik yang menyangkut hubungan antara
otoritas pusat dengan daerah merupakan salah satu pergulatan paling serius yang
telah menguras semua energi dalam sejarah panjang Indonesia. Pergulatan
tersebut berlangsung sudah sejak sangat lama, bahkan sejak awal embrio
Indonesia menggeliat ia telah menjadi pusat pergulatan dan terus berlangsung
dalam aneka mimiknya hingga saat ini. Hingga kini, meski wajah politik
Indonesia sudah menunjukkan rona yang lebih manis dan menyenangkan, namun
persoalan ini masih menjadi momok yang mencemaskan dan mengkhawatirkan.
Relasi
kekuasaan pusat yang diatur dalam desentralisasi dan otonomi daerah seringkali
dicurigai mengandung “cacat alami” yang mengancam integrasi nasional. Aspek ini
selalu menjadi momok yang dihadapi oleh setiap pemerintahan dan rezim apa pun
yang pernah berkuasa di Indonesia, sejak zaman Hindia Belanda sampai saat ini.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, pemberontakan-pemberontakan yang cukup
merepotkan stabilitas kekuasaan pemerintah biasanya datang dari kelompok
masyarakat yang ada di “pinggiran” dimana kekuasaan pemerintah kolonial
tertancap lemah.
Ketika
terjadi pergeseran dari kekuasaan pemerintah kolonial ke pemerintah nasional,
eksperimen dalam kerangka hubungan pusat dan daerah saat itu telah melahirkan
beberapa pemberontakan daerah sebagai wujud ketidakpuasan daerah terhadap
pusat, seperti yang terjadi di Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Pemberontakan-pemberontakan daerah yang tentunya merepotkan penguasa saat itu,
yakni Soekarno.
Demikian
juga ketika terjadi pergeseran kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, persoalan
ini terus menghantui pemerintahan Soeharto. Persoalannya, pemimpin Orde Baru
ini tidak berupaya menemukan sebuah format ideal terkait relasi pusat dengan
daerah, tapi yang dilakukan rezim ini adalah berupaya menegasikannya, dengan
menciptakan kebijakan-kebijakan dan program-program yang bertujuan mengaburkan
kompleksitas yang terjadi di antara daerah dan negara (pusat) atau kompleksitas
di intern dan antardaerah. Akibatnya, relasi kekuasaan antara pusat dan daerah
atau antardaerah berjalan dalam suasana dualistik, yang tidak jarang antara
yang satu dengan yang lainnya saling menegasikan. Namun, pada priode panjang
orde ini, pusat selalu lebih superiyor dan dominan di atas daerah-daerah,
hingga akhirnya lengser pada masa yang kita rujuk dan kenang sebagai era
reformasi.
Pengalaman
terkait pergolakan di daerah-daerah yang terjadi pada priode sebelumnya
tanpaknya menjadi momok yang bagi Soeharto harus diatasi, apabila kekuasaannya
ingin langgeng. Kekhawatiran ini bisa dicermati pada kecenderungan
over-sentralisasi dan politik penyeragaman yang sangat keras yang dilakukan
oleh rezim Orde Baru. Kerangka pengaturan politik selama 32 tahun telah
memungkinkan dan sekaligus memaksa terjadinya penyerapan semua energi sosial,
politik, ekonomi, dan kultural oleh penguasa di Jakarta yang dicurigai
potensial untuk dikonversi oleh daerah-daerah menjadi energi politik untuk
menjauhi Jakarta atau pusat. Energi-energi daerah bukan saja diserap, tapi
sekaligus ditaklukkan melalui proses pendisiplinan yang keras yang berfungsi
melayani kepentingan sepihak penguasa di Jakarta.[1]
Strategi-strategi
pengamanan kekuasaan Orde Baru tersebut memiliki implikasi panjang dan kompleks
yang mempengaruhi bangunan Indonesia hingga saat ini. Kesenjangan distribusi
kemakmuran dan kesenjangan pembangunan antardaerah terutama daerah yang jauh
dari pusat kekuasaan adalah akibat kekuasaan hiper-sentralistik Orde Baru itu
sendiri.
Dampak
terburuk dari sistem kekuasaan ini adalah terjadinya penumpukan segala sumber
daya di pusat. Implikasinya pusat ibarat tumpukan gula yang dikerubuti oleh
kerumunan semut dari segala penjuru. Demikianlah, terjadi migrasi ke pusat
(Jakarta dan Jawa) dalam jumlah yang melampaui batas, sementara penduduk dari
luar tersedot. Daerah-daerah ditinggalkan dengan merana tanpa daya dukung
sumber daya manusia yang potensial. Di sisi lain, banyak daerah kaya sumber
daya alam yang sesungguhnya telah berkontribusi besar kepada pusat, tetapi
masyarakat lokal tersebut hidup dalam lumpur kemiskinan.[2]
Oleh
karena itu, desentralisasi dan politik otonomi daerah merupkan keniscayaan
untuk “mengurai” segala sumber daya yang menumpuk di pusat untuk dikembalikan
pada posisi yang seharusnya, karena mengambil adagium Thomas O’Neill Jr, “All
politics is local”.[3]
Realitas konkret masyarakat dengan semua kepentingannya berada pada tingkat
lokal. Untuk mewujudkan fungsi pemerintah pada pemenuhan kepentingan masyarakat
itu, maka sangat penting memberikan kewenangan pada struktur politik yang
paling dekat dengan masyarakat, yang tiada lain adalah pemerintahan daerah.
Tujuannya agar pemenuhan kepentingan masyarakat dapat berjalan efektif,
efesien, merata, demokratis, adil, dan akuntabel.
Tujuan
utama desentralisasi dan politik otonomi daerah adalah mencegah penumpukan
kekuasaan pada pemerintah pusat yang pada akhirnya berpotensi besar menimbulkan
tirani.[4]
Sebaliknya, sistem politik ini memberi peluang yang lebih besar kepada
masyarakat, perwakilan-perwakilan kelompok politik, agama, etnis, dan suku
untuk berpartisipasi membuat keputusan pembangungan yang lebih adil bagi
kehidupan mereka. Dalam konsep otonomi terkandung kebebasan untuk berprakarsa
dalam mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat yang memiliki status
demikian tanpa kontrol langsung oleh pemerintah pusat. Singkatnya, kaitannya
dengan demokrasi sangat erat.[5]
Karena
itu, desentralisasi dan otonomi daerah memberikan kontribusi yang positif bagi
perkembangan kultur demokrasi nasional karena mampu menjadi sarana bagi
pendidikan politik rakyat dan memberikan pelatihan bagi kepemimpinan politik,
serta mendukung stabilitas politik.
Hubungan
desentralisasi dan otonomi daerah dengan konsolidasi demokrasi ditegaskan
dengan temuan survey Lembaga Survey Indonesia (LSI) yang memberikan kesimpulan
menarik bahwa desentralisasi dan otonomi daerah memiliki kaitan yang
saling-menarik dengan konsolidasi demokrasi dan penguatan NKRI. Semuanya
berjalan beriringan dan tak bisa dilepaskan. Temuan survey tersebut menunjukkan
bahwa kesenjangan otonomi daerah dengan NKRI dapat dijembatani oleh demokrasi.
Tanpa diperantarai oleh demokrasi yang kuat maka otonomi daerah tidak akan
mampu memperkuat keindonesiaan, dan begitu juga sebaliknya. Sementara itu, penguatan
demokrasi tergantung dari praktek atau kinerja demokrasi itu sendiri yang
sangat dipengaruhi oleh kinerja otonomi daerah. Jadi, semakin baik kinerja
otonomi daerah dapat memperkuat kinerja demokrasi, dan kinerja demokrasi
berdampak pada dukungan normatif tentang demokrasi, dan dukungan normatif
terhadap demokrasi memperkuat NKRI.[6]
Apa yang
hendak ditunjukkan di sini sebetulnya adalah argumentasi bahwa desentralisasi
dan otonomi daerah sesungguhnya memiliki pengaruh besar pada penguatan kesatuan
kita sebagai sebuah bangsa dan negara. Karena itu, desentralisasi dan otonomi
daerah merupakan kebijakan yang realistis dan kompromistis sebagai jalan untuk memperkuat
persatuan dan kesatuan nasional. Mengingat keanekaragaman etnis dan kondisi
geografis daerah-daerah di Indonesia, desentralisasi dan otonomi daerah menjadi
pilihan yang mampu menjamin pengakuan terhadap kebhinekaan entitas
Indonesia.
Pengakuan
akan kebhinekaan dan apresiasi terhadap localisme mempunyai arti
yang sangat penting bagi perkembangan politik desentralisasi dan otonomi
daerah.[7]
Jika para pemimpin masa sekarang dan masa depan tetap terjangkiti obsesi untuk
membela Indonesia semata-mata sebagai unit geografis yang kosong tidak
berpenduduk, maka genderang disintegrasi sudah mulai ditabuh.[8]
Dan hal itu bukan dimulai dari daerah-daerah tapi “diprovokasi” oleh pusat
sendiri. Karena itu, pembicaraan tentang desentralisasi dan otonomi daerah akan
terus relevan.
Terlepas
perkembangan politik terakhir sudah lebih bijaksana mengatur tentang
desentralisasi dan otonomi daerah sebagai apresiasi terhadap kebhinekaan dan
lokalitas, namun bukan berarti pencapaian itu sudah final. Yang terpenting
untuk dipahami adalah desentralisasi dan otonomi daerah bukanlah tujuan,
melainkan mekanisme yang paling mungkin bagi pemerataan dan akomodasi segala
kompleksitas kepentingan daerah-daerah. Di sisi lain kita juga tidak menutup
mata pada gejala-gejala kebangkitan kembali spirit sentralisasi yang masih
terus berlanjut.
Landasan
Sosio-Kultural Otonomi
Secara
geografis, Indonesia adalah negara yang sangat luas yang terbentuk dari gugusan
kepulauan-kepulauan yang membentang dari Sabang hingga Merauke, yang jika
diukur dengan bentangan negara-negara di Eropa, luas Indonesia mencapai jarak
dari London hingga Teheran. Bentangan negara yang begitu luas itu ditinggali
oleh populasi penduduk yang cukup besar, dengan perbedaaan demografis yang
sangat jelas, dengan perbedaan struktur sosial, keanekaragaman etnis dan
ekspresi kebudayaan, pluralitas keyakinan dan kepercayaan, hingga perbedaan
historisitas yang membentuk subjektivitas masing-masing kelompok masyarakat.
Inilah yang oleh Charles Taylor disebut dengan deep diversity.
Deep
diversity yang menjadi hakikat bangunan Indonesia mengandaikan
sebuah konstruksi politik yang berlapis dan beragam, dimana tiap-tiap daerah
yang menjadi bagian Indonesia memiliki hak untuk mengatur dirinya sesuai dengan
kepentingan dan kebutuhannya sendiri yang ditentukan oleh deep diversity itu
sendiri. Keberadaan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara ibarat puncak
gunung es yang menyembunyikan lapisan sosial dan budaya yang sangat heterogen.
Karena itu, jika “kodrat alamiah” ini tidak bisa disikapi dengan baik dan
bijak, maka konsekuensi-konsekuensi negatif yang mengikutinya tidak mungkin
dihindari, seperi konflik vertikal dan horizontal, kesenjangan ekonomi,
persoalan pemerataan pembangunan, hingga berdampak pada keberadaan Indonesia
sebagai satu-kesatuan kebangsaan.
Pada
umumnya, kesatuan masyarakat daerah telah tumbuh, berkembang dan eksis sebagai
kesatuan masyarakat hukum sebelum terbentuknya negara nasional. Kesatuan
masyarakat ini telah mengembangkan lembaga sosial untuk mempertahankan
keberadaannya. Lembaga sosial yang dikembangkan mencakup lembaga politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Melalui proses yang panjang
terbentuklah karakteristik yang khas pada masyarakat yang bersangkutan dilihat
dari lembaga-lembaga sosial yang dibentuknya. Misalnya, masyarakat Jawa berbeda
dengan masyarakat Makkasar, masyarakat Aceh berbeda dengan masyarakat Papua,
Masyarakat Sumatra berbeda dengan masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB), dan
seterusnya. Munculnya komunitas yang berbeda-beda tersebut tidak lepas dari
sejarah perkembangan komunitas yang bersangkutan, yang kemudian menggiring pada
perbedaan nilai-nilai seperti nilai agama, nilai adat, atau nilai budaya. Di
samping itu, komunitas juga mengembangkan identitas, yang dikembangkan
berdasarkan kesamaan agama, kesamaan suku, kesamaan wilayah, dan kesamaan
budaya. Oleh karena itu, komunitas-komunitas yang terbentuk sangat beragam.
Kondisi
alamaiah tersebut menjadi fakta politik, sosial, dan budaya yang selanjutnya mempengaruhi
lembaga-lembaga formal yang dibentuk suatu daerah. Konsekuensinya, negara harus
membentuk sistem politik tertentu yang mampu mengakomodasi fakta tersebut dan
menghindari setiap sistem politik yang mereduksi atau mengaburkannya.
Indonesia
memiliki pemahaman yang asimetris antara bangsa dan negara. Sebagaimana
diketahui, pembentukan bangsa Indonesia jauh lebih awal (1926-1928) ketimbang
pembentukan negara Indonesia (1945). Di sisi lain, Indonesia merdeka bukan
seperti di negara-negara merdeka oleh sebab “kerelaan” pihak kolonial sehingga
bangunan kebangsaan (nation building) dikonstruksi setelah bangunan
kenegaraan (state building). Sebaliknya, Indonesia lahir sebagai buah
dari gerak kebangsaan. Karena itu, bentuk negara harus disimetriskan dengan
konstruksi bangsa. Karena apabila state building berkembang menjadi
kekuatan diskriminatif dalam konteks pembangunan kesejahtraan antara satu
daerah dengan daerah lainnya, maka hal itu dengan mudah dipahami sebagai bentuk
ketidakadilan dan wujud dominasi daerah satu terhadap daerah lainnya.
Ketika
ketidakadilan, diskriminasi, dan dominasi mewarnai perjalanan negara yang
terbentuk dari bangsa-bangsa yang sudah lebih dahulu ada dibanding negara, maka
kecenderungan yang terjadi adalah bangkitnya kembali etnonasionalisme. Negara
yang digerakkan oleh etnonasionalisme mayoritas (pusat) otomatis akan
melahirkan gerakan etnonasionalisme minoritas (pinggiran) yang melancarkan
tandingan. Artinya nasionalisme regional (etnonasionalisme) melihat
ketidakadilan pembangunan tersebut sebagai kegagalan dari negara kesatuan dalam
melayani kesejahtraan bagi persatuan bangsa-bangsa dan pembentukan identitas.
Konstruksi
keindonesiaan adalah hasil rekonfigurasi politik terus-menerus selama
berabad-abad di kawasan Nusantara. Dalam proses itu, ada sejumlah elemen sosial
tak terkira jumlah dan ragamnya yang hilang atau pun terpendam secara sosilogis
dan menjadi laten. Namun, meminjam konsep geologi tentang proses rejuvenasi,
akan sangat mungkin terjadi pembalikan proses penuaan elemen menjadi manifes
yang dapat mempengaruhi kekenyalan konstruksi Indonesia yang memitos.
Singkatnya, kesadaran nasionalisme tradisional-regional atau etnonasionalisme
yang telah lama terpendam akan tersingkap kembali tatkala terjadi stagnasi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengabaikan realitas deep
diversity itu.
Sudah
saatnya kita membebaskan belenggu yang melilit pada kata-kata yang selama ini
membuatnya memiliki pengertian-pengertian yang terbatas dan keliru, misalnya
tentang “sosial-budaya” maupun “politk” yang dideretkan sebagai istilah-istilah
yang tak berkaitan. Menurut Clifford Geertz, “sosial-budaya” dan “politik”
adalah ibarat dua mata uang yang sama. “untuk mengerti politik Anda harus
mengerti kebudayaan masyarakat, begitu pula sebaliknya, untuk mengerti
kebudayaan sebuah masyarakat Anda harus mengerti politik”.[9]
Geertz
berpendapat bahwa aspek-aspek budaya sosial-budaya yang dan politik dari suatu
masyarakat merupakan sebuah anyaman sosial yang saling lilit, yang kadang kala
hanya dapat kita mengerti setelah kita cukup lama mengenal masyarakat
bersangkutan sehingga bisa melakukan interpretasi terhadap makna yang berada di
balik tingkah laku yang terlihat dari luar. Pendekatan yang menekankan eratnya
pertautan antara kebudayaan dan politik menunjukkan muskilnya anggapan bahwa
kebudayaan sebuah bangsa adalah suatu yang bersifat homogen hingga dapat
diperlakukan secara seragam. Desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah karena
itu merupakan langkah yang tepat untuk menjamin keberagaman kebudayaan yang
menjadi dasar berkembangnya inisiatif dan kreativitas politik di daerah tanpa
mengurangi arti, apalagi mempertentangkan dengan makna keindonesiaan sebagai
sebuah bangsa.[10]
Oleh
karena itu, pelaksanaan pembangunan di daerah yang menunjukkan kecenderungan
bangkitnya spirit sentralisme, tidak bisa dibiarkan. Kecenderungan
resentralistik dalam arti program pembangunan direncanakan secara terpusat oleh
Pemerintah Pusat, disusun secara seragam tanpa memperhatikan kebutuhan,
karakteristik, dan spesifikasi masing-masing daerah, serta mengasumsikan
kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi setiap daerah, mengandung
kecenderungan mereduksi kompleksitas persoalan yang terjadi di daerah-daerah.
Di sisi lain, hal ini juga akan membawa dampak negatif bagi daerah, seperti
kehilangan kreativitas daerah, tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat dan
tidak terlaksananya prioritas pembangunan sesuai aspirasi dan kebutuhan
masyarakat daerah.[11]
Dampak
terburuk dari kecenderungan resentralisasi itu adalah tereduksinya entitas
kebangsaan yang memiliki akar keragaman yang sangat mendalam (deep diversity).
Untuk menutupi hal itu seringkali penguasa menjadikan satu subkultur besar yang
dijadikan sebagai gambaran ideal bagi penyeragaman daerah-daerah. Dan inilah
dampak terburuk dari setiap kekuasaan yang dijalankan secara sentralistik.
Mengingat
keanekaragaman etnis dan kondisi geografis daerah-daerah di Indonesia,
desentralisasi dan otonomi daerah menjadi pilihan yang mampu menjamin pengakuan
terhadap keragaman tersebut. Pada konteks inilah desentralisasi dan otonomi
daerah menemukan arti pentingnya yang paling mendasar, yakni apresiasi terhadap
lokalisme.
Dengan
adanya pengakuan terhadap karakteristik spesifik masing-masing daerah atau
kelompok masyarakat, maka eksistensi atau keberadaan mereka sesuai dengan
nilai-nilai dan budayanya menjadi terlindungi. Sehingga akan menimbulkan
kebanggaan dan kepercayaan diri mereka sebagai bagian integrasi dari ke-bhineka-an
bangsa Indonesia.
Hasrat
Sentralisme dan Penyangkalan Atas Indonesia
Fakta
tentang deep diversity Indonesia seringkali mengalami pelupaan atau
barangkali sengaja disangkal oleh elit penguasa yang tergambar pada bagaimana
kekuasaan mereka diproyeksikan. Terutama pada rezim Orde Baru Soeharo. Obsesi
tentang integrasi nasional dan moderniasai memperoleh bentuk yang sempurna
melalui berbagai kebijakan dan program yang dirancang oleh dua penyokong
utamanya; elit militer dan para ekonom-teknokrat. Mereka sebagai aktor utama
yang merefresentasikan kekuatan negara memiliki sebuah kesamaan dalam memandang
masyarakat. Mereka mengkonsepsikan masyarakat sebagai kumpulan manusia yang
memiliki keseragaman dalam berbagai karakteristiknya, yang menempati ruang geografis
yang dibayangkan sebagai sebuah bidang datar.
Berdasarkan
konsepsi semacam itu, militer dan ekonom-teknokrat memperlakukan masyarakat
sebagai sesuatu yang secara rasional-sistematis dapat didesain dan direkayasa
dari sebuah pusat pengendali tertentu menuju ke arah yang diinginkan. Perbedaan
dan keragaman etnis yang melekat dalam masarakat dianggap tidak ada atau tidak
relevan, dalam rekayasa sosial dan perencanaan pembangunan. Berbagai kebijakan
dan program dibuat secara seragam untuk seluruh rakyat Indonesia dan dijalankan
melalui pengendalian yang terpusat. Perencanaan pembangunan cukup didasarkan
oleh angka-angka statistik demografis-ekonomis dan berbagai indikator ekonomis
yang bersifat agregatif.
Pluralitas
dan heterogenitas etnis yang terdapat dalam masyarakat Indonesia
sungguh-sungguh berada di luar imajinasi kedua penyokong setia Orde Baru
tersebut. Proses rekonstruksi wacana etnisitas pada masa Orde Baru mencapai
puncaknya ketika berhasil dikemas dalam konsep “SARA” yang kemudian menjadi acuan
utama kebijakan negara yang pada dasarnya mengandaikan sebuah masyarakat tanpa
konflik dan harmoni. Implikasi dari konsep ini adalah perbedaan dan keberagaman
merupakan sumber konflik yang harus dihindari. Heterogenitas etnis yang melekat
pada masyarakat Indonesia dengan demikian harus dilebur melalui berbagai
kebijakan dan program sehingga pada akhirnya akan muncul apa yang disebut
sebagai kebudayaan nasional yang merupakan jati diri bangsa. Rezim Orde Baru
berupaya menyangkal entitas yang paling hakiki dari bangunan Indonesia, yakni
pluralitas dan heterogenitas itu sendiri.
[12]
Politik
penyeragaman bahkan pemusnahan secara sistematis elemen-elemen lokalitas
menjadi harga yang harus ditanggung oleh daerah-daerah selama priode panjang
Orde Baru. Politik penyeragaman itu berlangsung mulai dari hal-hal yang sangat
sederhana seperti pakaian dan makanan sampai pada hal-hal yang sangat
fundamental seperti struktur pemerintahan desa. Karena penyeragaman menggunakan
krangka konseptual dan model yang bersumber pada tradisi Jawa, proses ini
kemudian serta-merta dimaknai sebagai proses jawanisasi. Beberapa peneliti
bahkan dengan terang menyebutnya sebagai jawanisasi Indonesia.[13]
Karenanya, tak mengherankan bila motif-motif kultural dan ideologis sering
menyeruak di balik tuntutan daerah menemukan fondasi bersamanya yang dilawankan
dengan “kolonialisme Jawa” sebagai “musuh bersama” daerah-daerah.
Pengalaman
terkait pergolakan-pergolakan di berbagai daerah yang terjadi pada priode
sebelumnya, benar-benar menjadi momok yang menghawatirkan pemerintahan Presiden
Soerharto. Kecurigaan dan kekhawatiran ini sangat mempengaruhi setiap program
dan kebijakan yang diambil pemimpin Orde Baru tersebut yang secara sistematis
ditujukan untuk menghadang segala hal yang berpotensi menjegal kekuasaannya.
Kecurigaan
dan kekhawatiran ini bisa dicermati pada kecenderungan over-sentralisasi dan
politik penyeragaman yang sangat keras yang dilakukan oleh rezim Orde Baru.
Kecurigaan dan kekhawatiran terhadap kemungkinan pemberontakan daerah dapat
dilacak pada bagaimana pengorganisasian struktur militer. Presiden Soerharto
membuat kebijakan untuk tidak menempatkan perwira dalam jabatan komando dari
daerah asalnya. Karena itu, tidak ada penguasa militer yang memiliki akar
politik yang kuat di daerah. Dengan cara
seperti ini, Presiden Soerhato berupaya mengendalikan di bawah kekuasaannya
segala hal yang berpotensi menopang pemberontakan, terutama dari kalangan
militer.
Langkah
lainnya yang diupayakan rezim Orde Baru untuk memuluskan roda kekuasaannya
adalah dengan mengendalikan kekuatan kewiraswastaan lokal. Sejarah pengaturan
politik lokal Indonesia selama Orde Baru menunjukkan terdapat dua kebijakan
penting yang diterapkan guna menghadapi sayap ekonomi ini dari berbagai aksi
“pemberontakan” di daerah, yakni dengan memangkas secara langsung kehidupan
mereka di tingkat lokal melalui pengembangan prosudur dan sekaligus pengalihan
hak monopoli pada kelompok penguasa baru yang berbasis pada birokrasi
sipil-militer dan keluarganya serta kekuatan minoritas pengusaha Tionghoa.
Strategi selanjutnya – yang paling berpengaruh besar pada lanskap Indonesia
hari ini – adalah dengan menyerap mereka ke Jakarta untuk menjadi bagian dari
“pengusaha nasional”. Kebijakan ini menjadikan para pengusaha lokal kehilangan
pijakannya di daerah-daerah. Deretan nama penting pengusaha lokal masa lalu
akhirnya menemukan Jakarta sebagai arena barunya, sementara mereka yang
berusaha tetap bertahan di daerah masing-masing menemukan tertutupnya ruang
ekonomi bagi aktivitas mereka.
Tidak
berhenti sampai di situ. Pemimpin Orde Baru sangat menyadari bahwa
penggerogotan kekuasaannya berpotensi datang dari sayap politik daerah-daerah
yang direpresentasikan oleh para politisi lokal. Ada dua stategi jitu yang
dijalankan rezim Orde Baru untuk mengeliminasi pengaruh mereka, yaitu melalui
politik pengasingan dan birokratisasi. Politik pengasingan bermakna ganda. Ia
bisa berarti pengasingan politik sebagaimana biasanya melalui pembuangan atau
dapat pula dalam bentuk penarikan mereka ke pusat (Jawa) dan daerah lainnya
untuk menempati jabatan-jabatan yang lebih penting tapi tidak signifikan secara
politik. Sementara strategi birokratisasi dilakukan dengan menyerap para
politisi lokal berpengaruh ke dalam birokrasi lokal. Lewat berbagai strategi
pengaturan politik, termasuk aturan kepegawaian, semua politisi yang memiliki
potensi yang kuat di daerah-daerah diserap untuk menjadi bagian dari jaringan
politisi dan sekaligus birokrasi nasional.
Ada
banyak lagi mekanisme yang digunakan rezim Orde Baru untuk mengebiri kekuatan
para politisi lokal, misalnya dengan perbedaan insentif dan penggajian
berdasarkan hirarki spasial, pemberlakuan sistem dan mekanisme kepartaian, dan
lain-lain, memainkan peran penting dalam menyerap para politisi dan birokrat
potensial daerah untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem kekuasaan
pusat. Ditambah dengan pelembagaan KKN sebagai sebuah sistem pengelolaan
kekuasaan, semakin memaksa para politisi lokal untuk terus menengok pada
lingkaran kekuasaan rezim Orde Baru di Jakarta.[14]
Hal
tesebut berdampak panjang dan kompleks pada realitas Indonesia hari ini.
Terutama pada ketimpangan pembangunan di antara daerah-daerah, khususnya antara
Jawa dan luar Jawa. Ketimpangan pembangunan ini memiliki dampak turunan yang
sangat akut dan kompleks pada semua bidang.
Peta
kesenjangan distribusi kemakmuran dan kesenjangan pembangunan antardaerah
terjadi karena mekanisme kekuasaan yang dijalankan secara sengaja oleh rezim
Orde Baru dan sebagai akibat yang inharen dari sistem kekuasaan yang
sentralistik. Dengan kekuasaan sentralistik Soeharto semua kebijakan bermuara
atau sangat tergantung dari kemauan pribadinya. Dalam konteks pembangunan infrastruktur
wilayah, pemimpin Orde Baru tersebut selalu berpijak pada bagaimana sikap
politik masyarakat daerah terhadap kekuasaannya. Apabila terkategori tidak
sejalan, misalnya tidak mendukung Golkar, maka daerah tersebut seperti terbiasa
miskin atau terus tertinggal. Setidaknya ada perlakuan yang diskriminatif
antara daerah berbasis massa Golkar dengan daerah basis massa partai lain. Dan,
karena kekuasaan sentralistik itu pula, posisi daerah seperti menunggu “belas
kasihan” pusat.
Sejauh
masa Orde Baru, daerah-daerah sistem pajak harus menyetor ke pusat. Tetapi
pengembaliannya untuk daerah tidak lebih dari kisaran angka lima persen. Porsi
terbesar dimiliki Jawa, sedangkan luar Jawa hanya mendapatkan alokasi sisa.
Implikasinya, di satu sisi terjadi migrasi ke Jawa dalam jumlah yang melapaui
batas, sementara penduduk luar Jawa tersedot. Daerah-daerah ditinggalkan dengan
merana, tanpa adanya dukungan sumber daya manusia yang potensial. Di sisi lain,
banyak daerah kaya sumber daya alam yang sesungguhnya telah berkontribusi besar
kepada pusat, tetapi masyarakat lokal tersebut hidup dalam lumpur kemiskinan.[15]
Kesenjangan
distribusi kemakmuran dan kesenjangan pembangunan juga muncul dari konsekuensi
inharen dalam mekanisme kekuasaan sentralistik. Dalam mekanisme kekuasaan yang
menempatkan ibu kota atau pusat sebagi mikroskosmos negara, maka distrubusi
kemakmuran dan pembangunan akan mengalami gradasi sejalan dengan jarak geograifis
sebuah daerah.[16]
Dengan kata lain, semakin dekat sebuah daerah dari pusat, maka biasanya daerah
tersebut memiliki kans lebih besar pada akses-akses pembangunan, sebaliknya
semakin jauh sebuah daerah dari pusat maka semakin langka pula
kebijakan-kebijakan pembangunan berpengaruh pada mereka.
Kelemahan
utama dari model pembangunan sentralistik itu adalah absennya partisipasi yang
genuin dari masyarakat. Pembangunan dilakukan tanpa diketahui apakah masyarakat
memang membutuhkan program-program itu. Masyarakat karenanya ibarat bayi yang
terus bergantung pada asupan susu ibunya. Kecenderungan yang kemudian muncul
adalah menguatnya apatisme dan berkembangnya sindrom ketergantungan yang parah.
Kelemahan ini merupakan kontradiksi internal yang terdapat dalam sistem politik
sentralistik rezim Orde Baru yang terutama bermuara pada situasi masyarakat
yang bersifat apolitik di mana elemen-elemen masyarakat yang seharusnya mampu
memberikan umpan balik terhadap negara telah dimatikan.[17]
Karenanya, Indonesia ibarat bayi besar yang gagap menyikapi eksistensinya,
selalu tergantung pada asupan, pengayoman, dan pembinaan karena segala potensi
kreativitasnya disumbat atas nama stabilitas dan pembangunan.
Hasrat
sentralisme dan politik penyeragaman merupakan penyangkalan atas Indonesia
karena menyangkal entitas yang paling hakiki yang menyusun Indonesia.
Kesepakatan untuk mendirikan Indonesia sebagai bangunan tempat kita bernaung
dan hidup di dalamnya, di dasarkan dari kerelaan dan kesepakatan
masyaraka-masyarakat di segala penjuru negeri. Jadi rakyatlah yang
mendelegasikan atau mengamanatkan diri mereka pada negara, dan bukan negara
yang rela mengayomi mereka yang bergerak dari pusat kepada daerah-daerah. Oleh
karena itu, bentuk negara harus simetris dengan konstruksi bangsa/daerah.
Artinya, negara harus mengakomodasi segala keunikan, heterogenitas, dan
pluralitas yang menjadi identitas daerah-daerah yang telah terbangun jauh
sebelum sebuah bangunan negara Indonesia berdiri.
Politik Otonomi
Daerah dan Penguatan NKRI
Politik
otonomi daerah pasca Orde Baru membawa implikasi pergeseran fokus politik ke
daerah-daerah. Pergeseran tersebut oleh sebagian kalangan dikhawatirkan akan
menguatnya fragmentasi masyarakat politik di daerah yang akan mengancam harmoni
persatuan Indonesia. Kekhawatiran-kekhawatiran semacam ini menyebabkan otonomi
daerah dijalankan secara setengah hati. Purbasangka-purbasangka seperti ini
dilegitimasikan dengan pergolakan-pergolan yang masih terus terjadi di berbagai
daerah. Premis ini, baik empirik maupun teoritik tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Pergolakan yang masih terjadi hingga saat ini adalah
kelanjutan dari pristiwa-pristiwa di masa lalu.[18]
Dan jika kita mau jujur mengakui, pergolakan-pergolakan tersebut terjadi bukan
karena desentralisasi melainkan karena sentralisasi penguasa yang mengabaikan
kepentingan masyarakat di daerah.
Karena
itu, Pristiwa-pristiwa di tingkat lokal antara lain konflik yang mengarah pada
disintegrasi seperti di Aceh, Papua,
Riau, Maluku, dan Kalimantan harus dilihat dengan kacamata yang lebih
bijaksana. Fenomena bangkitnya “etnonasionalisme” sebagai bagian dari kesadaran
identitas/kultural harus dilihat sebagai reaksi dari kebijakan-kebijakan pusat
(Jakarta) yang merugikan daerah. Karena pada faktanya, daerah-daerah tersebut
adalah daerah-daerah yang kaya dengan sumber daya alam tetapi tingkat
pertumbuhan ekonominya rendah karena terjadinya akumulasi kekayaan di Jakarta
dan Jawa.
Suara-suara
separatisme yang masih menggaung hingga saat ini bisa dilihat sebagai dampak
dari ketimpangan pembangunan tersebut. Daerah-daerah yang jauh dari pusat
dibiarkan merana, padahal mereka memiliki sumber daya alam yang melimpah.
Sumber daya yang mereka miliki terus-menerus dieksploitasi demi keuntungan
segelintir orang dan demi menggalakkan pembangunan secara terpusat pada
daerah-daerah tertentu yang dekat di hati penguasa. Sementara daerah-daerah
yang memiliki sumber daya tersebut mendapatkan alokasi sisa dan lebih banyak
“menikmati” anomali sosial dan kerusakan alam yang diakibatkan oleh eksploitasi
besar-besaran.
Literatur-literatur
sejarah banyak yang menjelaskan terkait ambivalensi dari suatu pristiwa
permberontakan di Indonesia. Sejumlah penelitian mengungkapkan hasrat-hasrat
yang tampaknya “separatis” dalam pemberontakan daerah, ternyata diikuti
sekaligus oleh hasrat yang sama kuatnya untuk menjadi bagian dari negara
kesatuan yang ada. Gerakan-gerakan pemberontakan dalam sejarah Indonesia lebih
dimaksudkan sebagai sebuah gerakan politik daerah yang menilai kebijakan
Jakarta sangat tidak adil bagi mereka ketimbang sebuah gerakan politik untuk
memisahkan diri. Jadi, bisa dikatakan bahwa tuntutan daerah yang diekspresikan
lewat berbagai gerakan “separatis” lebih sebagai tindakan koreksi guna memaksa
pusat melakukan perubahan mendasar format hubungan pusat-daerah ketimbang
sebuah hasrat pemisahan diri yang memang inharent dalam setiap gerakan
separatis.[19]
Kenyataan
tersebut setidaknya membuktikan bahwa gerakan-gerakaran separatis merupakan
konsekuensi dari ketidakpuasan terhadap perlakuan negara yang tidak adil.
Suara-suara separatisme memang mempunyai beragam faktor, namun secara generatif
bisa disimpulkan dilandasi oleh kepentingan-kepentingan yang sangat konkret dan
mendasar, meskipun terkadang menggunakan bahasa yang berbeda-beda.[20]
Oleh
karena itu, wacana penguatan negara kesatuan sebagai legitimasi atas integrasi
nasional tidak bisa dihadapkan secara konfrontatif dengan konsepsi dan
implementasi desentralisasi dan otonomi daerah. Kehancuran integrasi nasional
bukan disebabkan sistem pemerintahan desentralisai dan otonomi daerah yang
seutuhnya, namun lantaran negara kesatuan yang bersifat etnik-sentralistik dan
kapasitas politik negara yang lemah
untuk dapat menjangkau dan memenuhi semua kepentingan masyarakat. Seperti
dikatakan Jonh Stuart Mill, bahwa hanya sebagaian kecil urusan publik sebuah
negara yang bisa dikerjakan dengan baik atau diujicoba dengan aman oleh
otoritas sentral atau pemerintah pusat.[21]
Memang
tidak bisa dipungkiri, masih kental terasa bagaimana reproduksi wacana kesatuan
secara terus menerus dibenturkan dengan konsepsi dan implementasi
desentralisasi dan otonomi daerah. Hal ini dilakukan agar para penganut paham
sentralisme dapat melakukan kontrol yang terpusat terhadap pemerintah daerah di
Indonesia. Padahal tanpa diproduksi pun konsep negara kesatuan telah menjadi
pegangan masing-masing pemerintah daerah di Indonesia. Kalaupun masih ada
suara-suara separatis yang terus menggema hingga sekarang, hal tersebut tidak
bisa dilepaskan dari konteksnya panjang sebelumnya.
Saya
meyakini, desentralisasi dan otonomi daerah dapat memperkuat persatuan dan
kesatuan nasional. Hal ini didasarkan pada krangka pikir bahwa dengan
diberikannya kewenangan yang luas kepada daerah, terjadi saling percaya antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan demikian, upaya untuk memisahkan
diri dari pemerintah daerah menjadi kecil.
Berharap
Pada Otonomi Daerah
Pengalaman
dari banyak negara menunjukkan pemberian otonomi secara luas kepada
daerah-daerah merupakan salah satu resep politik paling penting untuk mencapai
sebuah stabilitas sistem dan sekaligus membuka bagi proses demokratisasi yang
pada gilirannya semakin memperkuat stabilitas sistem secara keseluruhan.
Desentralisasi
dan otonomi daerah menjadi harapan kita karena format ini setidaknya dapat
mengakomodasi empat hal yang paling sensitif dalam hubungan politik antara
pusat dan daerah, yakni sharing power, sharing of revenue, empowering
locality, serta pengakuan dan penghormatan terhadap identitas kedaerahan.
Pengalaman
Indonesia menunjukkan inilah empat area paling sensitif yang selalu menjadi
ganjalan hubungan pusat-daerah yang berdampak pada kelabilan sistem secara
makro. Jika substansi dari pergulatan politik kebangsaan Indonesia adalah untuk
mewujudkan sebuah sistem yang stabil yang ditegakkan di atas kebanggaan dan
kepatuhan pada Indonesia, maka pilihan pemberian otonomi daerah yang
seutuh-utuhnya merupakan jawaban niscaya.
Mengurai
atau pemencaran kekuasaan secara geografis akan mencegah penumpukan kekuasaan
secara spasial-primordial dengan segala akibat negatifnya. Pristiwa-pristiwa di
masa lalu menjadi contoh betapa kesatuan kita bisa sangat terganggu akibat
isu-isu primordial bukan sebagai akibat dari realitas kemajemukan Indonesia dan
bukan karena realitas kemajukan yang
kita miliki, tapi lebih sebagai implikasi dari konsentrasi kekuasaan pada
ruang-ruang tertentu yang bertumpang tindih dengan kategori-kategori primordial
tertentu. Dengan alasan tersebut, pemencaran kekuasaan secara geografis akan
menciptakan terjadinya pelunakan-pelunakan sejumlah parameter primordial yang
berpotensi mengancam integrasi nasional.
Demikian
pula, sharing revenue akan memberikan kepuasaan ekonomi bagi
daerah-daerah. Meski terdapat ketimpangan sumber daya alam yang dimiliki
masing-masing daerah, namun dengan sistem pembangunan yang tepat dan
pengembangan sistem alokasi anggaran yang tepat serta penerapan sebuah sistem
distribusi nasional yang baik, kendala-kendala alami tersebut akan terpecahkan.
Otonomi
daerah akan berakibat positif pada pengurangan beban pusat dan sekaligus
meminimalisir potensi kecemburuan antardaerah yang biasanya muncul dalam sebuah
masyarakat politikk yang majemuk. Pelajaran berharga dari pergolakan-pergolakan
yang pernah dan terus terjadi di berbagai daerah hingga saat ini, menurut hemat
saya adalah bahwa kita tidak bisa mempertahankan integrasi bangsa dengan
menodongkan senjata atau tindakan-tindakan militeristik semata. Demikan pula,
integrasi nasional dan keindonesiaan tidak mungkin dicapai lewat kepatuhan yang
dibeli.[22]
Tidak
bisa dipungkiri, otonomi daerah kita saat ini masih menyimpan lubang-lubang
yang musti ditambal di masa depan. Otonomi daerah adalah proses bernegara yang
tidak pernah menemukan kata final dan akan selalu mengalami perubahan, entah
sebagai koreksi atas kelemahan formulasi atau karena faktor perubahan. Meski
otonomi daerah belum bisa dikatakan sempurna, namun harus diapresiasi sejak era
reformasi hingga sekarang telah menunjukkan tanda-tanda perubahan ke arah
pelaksanaan otonomi yang lebih baik, menciptakan demokrasi yang lebih
terkonsolidasi, meningkatnya partisipasi masyarakat, efektivitas dan efesiensi
pelayanan publik, serta yang terpenting, ia menjadi cara kita untuk
mengakomodasi setiap kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang sangat kompleks.
Ia cara kita menghargai deep diversity Indonesia yang merupakan elemen
hakiki pembentuk negara ini.
Meski
masih banyaknya kasus-kasus yang mencederai praktik otonomi secara utuh, namun
saya yakin untuk persoalan-persoalan itu kita hanya membutuhkan waktu.
Sebagaimana diungkapkan Chrisstopher Milligan, direktur Regional Urban
Development USAID, dalam pertemuannya bersama Syahrazard Masdar, bahwa “Transition
to decentralized system will not be easy one, and it will not be immediate. New
ways of thinking and doing things will be learn, methodes improved and refined,
and attitudes changed. In the United State, our decentralization has taken over
200 years and we are still working to improve the system. It wasn’t a smooth
process”.[23]
Setiap
sistem politik yang diterapkan tak pernah mudah, demikian juga dengan
desentralisasi. Jika Amerika Serikat telah mengalami proseses desentralisasi
selama lebih dari 200 tahun dengan segala lika-liku yang dilaluinya dan merasa
apa yang telah diraihnya selama ini belum bisa dikatakan sempurna, maka apalagi
dengan apa yang kita jalankan baru beranjak tidak lebih dari 15 tahun ini.
Kehidupan berotonomi adalah proses belajar tentang penerapan sistem otonomi
daerah yang secara terus menerus mendinamisasi dan melengkapi dirinya. Dan hal
ini adalah bagian dari proses belajar yang tidak pernah selesai.
Kesimpulan
Jika
pemimpin masa sekarang dan masa depan tidak mampu menyingkirkan hasrat mereka
untuk menumpuk kekuasaan mereka dengan politik sentralistik dan tidak mampu
menyingkirkan obesesi mereka untuk melihat Indonesia semata-mata sebagai unit
geografi tanpa penduduk, maka disintegrasi akan menjadi ancaman niscaya.
Karenanya
pembagian kekuasaan melalui politik desentralisasi dan otonomi daerah merupakan
pilihan politik yang realistik dan kompromostis. Kecurigaan pada kebebasan dan
kemandirian dalam otonomi tidak bisa dipertangungjawabkan baik secara teoritik
maupun praktik. Pada kenyataannya, ancaman pada integrasi nasional datang dari
kekecewaan daerah pada sikap sentralistik pemerintah dan ketidakadila
pembangunan.
Pembagian
kekuasaan merupakan dasar bagi pemerintahan yang beradab. Karena pemerintahan
yang sentralistik cenderung mengabaikan pluralitas dan heteronitas etnis yang
merupakan entitas hakiki pembentuk Indonesia. Politik penyeragaman dan
sentralisme kekuasaan selama priode panjang Orde Baru telah mengajarkan kita
bahwa penyangkalan Pluralitas dan heterogenitas Indonesia sama artinya dengan
penyangkalan Indonesia. Karena kekuasaan yang dijalankan seperti itu
mengabaikan realitas tempat ia berpijak.
Karena
itu, setiap upaya untuk membangkitkan kembali spirit sentralisme itu dalam
berbagai bentuknya, harus ditolak, karena upaya penumpukan kekuasaan pada satu
tangan dan ruang spasial memiliki kecenderungan melahirkan tirani dan
ketidakadilan.
[1]Cornelis Lay, Otonomi Daerah dan “Ke-Indonesiaan”. Dalam Abdul Gaffar Karim (ed), Kompleksitas
Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2003),
cet. 1, h. 8-10
[2]AM Saefuddin, Dari Cendana Ke Reformasi, (Jakarta: PPA
Consultants, 2011), cet. 1, h. 44
[3]Dikutip dari Abdul Gaffar Karim (ed), Kompleksitas Persoalan
Otonomi Daerah Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2003), cet. 1,
h. xv.
[4]B.N. Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010; Proses dan Realita,
Perkembangan Otda, Sejak Zaman Kolonial Sampai Saat Ini, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan), cet. 2, h. 185
[5]M.R. Khairul Muluk, Desentralisasi & Pemerintahan Daerah,
(Malang: Bayumedia Publishing, 2007), cet, 2, h. 2.
[6]Isran Noor, Politik Otonomi Daerah Untuk Penguatan NKRI,
(Seven Strategic Studies, 2012), cet. 1, h. 8
[7]Dede Mariana & Caroline Paskarina, Demokrasi & Politik
Desentralisasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), cet. 1, h. 109.
[8]Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia; Demografi-Politik
Pasca-Soeharto, (Jakarta: LIPI Press , 2007), h. 70-71
[9]Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia; Demografi-Politik
Pasca-Soeharto, (Jakarta: LIPI Press , 2007), h. 2.
[10]Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia; Demografi-Politik
Pasca-Soeharto, (Jakarta: LIPI Press , 2007), h. 3.
[11]Isran Noor, Politik Otonomi Daerah Untuk Penguatan NKRI,
(Seven Strategic Studies, 2012), cet. 1.
[12]Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia; Demografi-Politik
Pasca-Soeharto, (Jakarta: LIPI Press , 2007), h. 207.
[13]Lihat: Niels Mulder, Mistisisme Jawa; Ideologi di Indonesia,
(Yogyakarta: LKIS, 2003), cet. 3, h. 147. Terj.
[14]Abdul Gaffar Karim (ed), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah
Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2003), cet. 1, h 8-10
[15] AM Saefuddin, Dari Cendana ke Reformasi, (Jakarta: PPA
Consultants, 2011), cet. 1, h. 44
[16]Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya 3 – Warisan
Kerajaan-Kerajaan Konsentris, (Jakarta: Gramedia, 2008), cet. 4, h. 71
[17]Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia; Demografi-Politik
Pasca-Soeharto, (Jakarta: LIPI Press , 2007), h. xv.
[18]B.N. Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010; Proses dan Realita,
Perkembangan Otda, Sejak Zaman Kolonial Sampai Saat Ini, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan), cet. 2, h. 185
[19]Cornelis Lay, Otonomi Daerah dan “Ke-Indonesiaan”. Dalam Abdul Gaffar Karim (ed), Kompleksitas
Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2003),
cet. 1, h 8
[20]Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1987), cet.1, h. 40
[21]Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi
Daerah, (Jakarta: Grasindo, 2005), h. xi
[22]Cornelis Lay, Otonomi Daerah dan “Ke-indonesiaan”. Dalam Abdul Gaffar Karim (ed), Kompleksitas
Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2003),
cet. 1, h 8-10
[23]Syahrazad Masdar, Tiga Konsep Dasar Memasuki Pelaksanaan Daerah.
Dalam Selamatkan Indonesia (Bekasi: YLSKPI, 2000), cet. 1, h. 277
Tidak ada komentar:
Posting Komentar