Rabu, 17 Juni 2015

Mengurai Indonesia; Politik Otonomi Daerah dan Penguatan NKRI



Pendahuluan
Format relasi kekuasaan atau pengaturan politik yang menyangkut hubungan antara otoritas pusat dengan daerah merupakan salah satu pergulatan paling serius yang telah menguras semua energi dalam sejarah panjang Indonesia. Pergulatan tersebut berlangsung sudah sejak sangat lama, bahkan sejak awal embrio Indonesia menggeliat ia telah menjadi pusat pergulatan dan terus berlangsung dalam aneka mimiknya hingga saat ini. Hingga kini, meski wajah politik Indonesia sudah menunjukkan rona yang lebih manis dan menyenangkan, namun persoalan ini masih menjadi momok yang mencemaskan dan mengkhawatirkan.
Relasi kekuasaan pusat yang diatur dalam desentralisasi dan otonomi daerah seringkali dicurigai mengandung “cacat alami” yang mengancam integrasi nasional. Aspek ini selalu menjadi momok yang dihadapi oleh setiap pemerintahan dan rezim apa pun yang pernah berkuasa di Indonesia, sejak zaman Hindia Belanda sampai saat ini. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, pemberontakan-pemberontakan yang cukup merepotkan stabilitas kekuasaan pemerintah biasanya datang dari kelompok masyarakat yang ada di “pinggiran” dimana kekuasaan pemerintah kolonial tertancap lemah.
Ketika terjadi pergeseran dari kekuasaan pemerintah kolonial ke pemerintah nasional, eksperimen dalam kerangka hubungan pusat dan daerah saat itu telah melahirkan beberapa pemberontakan daerah sebagai wujud ketidakpuasan daerah terhadap pusat, seperti yang terjadi di Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Pemberontakan-pemberontakan daerah yang tentunya merepotkan penguasa saat itu, yakni Soekarno.
Demikian juga ketika terjadi pergeseran kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, persoalan ini terus menghantui pemerintahan Soeharto. Persoalannya, pemimpin Orde Baru ini tidak berupaya menemukan sebuah format ideal terkait relasi pusat dengan daerah, tapi yang dilakukan rezim ini adalah berupaya menegasikannya, dengan menciptakan kebijakan-kebijakan dan program-program yang bertujuan mengaburkan kompleksitas yang terjadi di antara daerah dan negara (pusat) atau kompleksitas di intern dan antardaerah. Akibatnya, relasi kekuasaan antara pusat dan daerah atau antardaerah berjalan dalam suasana dualistik, yang tidak jarang antara yang satu dengan yang lainnya saling menegasikan. Namun, pada priode panjang orde ini, pusat selalu lebih superiyor dan dominan di atas daerah-daerah, hingga akhirnya lengser pada masa yang kita rujuk dan kenang sebagai era reformasi.
Pengalaman terkait pergolakan di daerah-daerah yang terjadi pada priode sebelumnya tanpaknya menjadi momok yang bagi Soeharto harus diatasi, apabila kekuasaannya ingin langgeng. Kekhawatiran ini bisa dicermati pada kecenderungan over-sentralisasi dan politik penyeragaman yang sangat keras yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Kerangka pengaturan politik selama 32 tahun telah memungkinkan dan sekaligus memaksa terjadinya penyerapan semua energi sosial, politik, ekonomi, dan kultural oleh penguasa di Jakarta yang dicurigai potensial untuk dikonversi oleh daerah-daerah menjadi energi politik untuk menjauhi Jakarta atau pusat. Energi-energi daerah bukan saja diserap, tapi sekaligus ditaklukkan melalui proses pendisiplinan yang keras yang berfungsi melayani kepentingan sepihak penguasa di Jakarta.[1]
Strategi-strategi pengamanan kekuasaan Orde Baru tersebut memiliki implikasi panjang dan kompleks yang mempengaruhi bangunan Indonesia hingga saat ini. Kesenjangan distribusi kemakmuran dan kesenjangan pembangunan antardaerah terutama daerah yang jauh dari pusat kekuasaan adalah akibat kekuasaan hiper-sentralistik Orde Baru itu sendiri.
Dampak terburuk dari sistem kekuasaan ini adalah terjadinya penumpukan segala sumber daya di pusat. Implikasinya pusat ibarat tumpukan gula yang dikerubuti oleh kerumunan semut dari segala penjuru. Demikianlah, terjadi migrasi ke pusat (Jakarta dan Jawa) dalam jumlah yang melampaui batas, sementara penduduk dari luar tersedot. Daerah-daerah ditinggalkan dengan merana tanpa daya dukung sumber daya manusia yang potensial. Di sisi lain, banyak daerah kaya sumber daya alam yang sesungguhnya telah berkontribusi besar kepada pusat, tetapi masyarakat lokal tersebut hidup dalam lumpur kemiskinan.[2]
Oleh karena itu, desentralisasi dan politik otonomi daerah merupkan keniscayaan untuk “mengurai” segala sumber daya yang menumpuk di pusat untuk dikembalikan pada posisi yang seharusnya, karena mengambil adagium Thomas O’Neill Jr, “All politics is local”.[3] Realitas konkret masyarakat dengan semua kepentingannya berada pada tingkat lokal. Untuk mewujudkan fungsi pemerintah pada pemenuhan kepentingan masyarakat itu, maka sangat penting memberikan kewenangan pada struktur politik yang paling dekat dengan masyarakat, yang tiada lain adalah pemerintahan daerah. Tujuannya agar pemenuhan kepentingan masyarakat dapat berjalan efektif, efesien, merata, demokratis, adil, dan akuntabel.
Tujuan utama desentralisasi dan politik otonomi daerah adalah mencegah penumpukan kekuasaan pada pemerintah pusat yang pada akhirnya berpotensi besar menimbulkan tirani.[4] Sebaliknya, sistem politik ini memberi peluang yang lebih besar kepada masyarakat, perwakilan-perwakilan kelompok politik, agama, etnis, dan suku untuk berpartisipasi membuat keputusan pembangungan yang lebih adil bagi kehidupan mereka. Dalam konsep otonomi terkandung kebebasan untuk berprakarsa dalam mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat yang memiliki status demikian tanpa kontrol langsung oleh pemerintah pusat. Singkatnya, kaitannya dengan demokrasi sangat erat.[5]
Karena itu, desentralisasi dan otonomi daerah memberikan kontribusi yang positif bagi perkembangan kultur demokrasi nasional karena mampu menjadi sarana bagi pendidikan politik rakyat dan memberikan pelatihan bagi kepemimpinan politik, serta mendukung stabilitas politik.
Hubungan desentralisasi dan otonomi daerah dengan konsolidasi demokrasi ditegaskan dengan temuan survey Lembaga Survey Indonesia (LSI) yang memberikan kesimpulan menarik bahwa desentralisasi dan otonomi daerah memiliki kaitan yang saling-menarik dengan konsolidasi demokrasi dan penguatan NKRI. Semuanya berjalan beriringan dan tak bisa dilepaskan. Temuan survey tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan otonomi daerah dengan NKRI dapat dijembatani oleh demokrasi. Tanpa diperantarai oleh demokrasi yang kuat maka otonomi daerah tidak akan mampu memperkuat keindonesiaan, dan begitu juga sebaliknya. Sementara itu, penguatan demokrasi tergantung dari praktek atau kinerja demokrasi itu sendiri yang sangat dipengaruhi oleh kinerja otonomi daerah. Jadi, semakin baik kinerja otonomi daerah dapat memperkuat kinerja demokrasi, dan kinerja demokrasi berdampak pada dukungan normatif tentang demokrasi, dan dukungan normatif terhadap demokrasi memperkuat NKRI.[6]
Apa yang hendak ditunjukkan di sini sebetulnya adalah argumentasi bahwa desentralisasi dan otonomi daerah sesungguhnya memiliki pengaruh besar pada penguatan kesatuan kita sebagai sebuah bangsa dan negara. Karena itu, desentralisasi dan otonomi daerah merupakan kebijakan yang realistis dan kompromistis sebagai jalan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan nasional. Mengingat keanekaragaman etnis dan kondisi geografis daerah-daerah di Indonesia, desentralisasi dan otonomi daerah menjadi pilihan yang mampu menjamin pengakuan terhadap kebhinekaan entitas Indonesia.
Pengakuan akan kebhinekaan dan apresiasi terhadap localisme mempunyai arti yang sangat penting bagi perkembangan politik desentralisasi dan otonomi daerah.[7] Jika para pemimpin masa sekarang dan masa depan tetap terjangkiti obsesi untuk membela Indonesia semata-mata sebagai unit geografis yang kosong tidak berpenduduk, maka genderang disintegrasi sudah mulai ditabuh.[8] Dan hal itu bukan dimulai dari daerah-daerah tapi “diprovokasi” oleh pusat sendiri. Karena itu, pembicaraan tentang desentralisasi dan otonomi daerah akan terus relevan.
Terlepas perkembangan politik terakhir sudah lebih bijaksana mengatur tentang desentralisasi dan otonomi daerah sebagai apresiasi terhadap kebhinekaan dan lokalitas, namun bukan berarti pencapaian itu sudah final. Yang terpenting untuk dipahami adalah desentralisasi dan otonomi daerah bukanlah tujuan, melainkan mekanisme yang paling mungkin bagi pemerataan dan akomodasi segala kompleksitas kepentingan daerah-daerah. Di sisi lain kita juga tidak menutup mata pada gejala-gejala kebangkitan kembali spirit sentralisasi yang masih terus berlanjut.
Landasan Sosio-Kultural Otonomi
Secara geografis, Indonesia adalah negara yang sangat luas yang terbentuk dari gugusan kepulauan-kepulauan yang membentang dari Sabang hingga Merauke, yang jika diukur dengan bentangan negara-negara di Eropa, luas Indonesia mencapai jarak dari London hingga Teheran. Bentangan negara yang begitu luas itu ditinggali oleh populasi penduduk yang cukup besar, dengan perbedaaan demografis yang sangat jelas, dengan perbedaan struktur sosial, keanekaragaman etnis dan ekspresi kebudayaan, pluralitas keyakinan dan kepercayaan, hingga perbedaan historisitas yang membentuk subjektivitas masing-masing kelompok masyarakat. Inilah yang oleh Charles Taylor disebut dengan deep diversity.
Deep diversity yang menjadi hakikat bangunan Indonesia mengandaikan sebuah konstruksi politik yang berlapis dan beragam, dimana tiap-tiap daerah yang menjadi bagian Indonesia memiliki hak untuk mengatur dirinya sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya sendiri yang ditentukan oleh deep diversity itu sendiri. Keberadaan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara ibarat puncak gunung es yang menyembunyikan lapisan sosial dan budaya yang sangat heterogen. Karena itu, jika “kodrat alamiah” ini tidak bisa disikapi dengan baik dan bijak, maka konsekuensi-konsekuensi negatif yang mengikutinya tidak mungkin dihindari, seperi konflik vertikal dan horizontal, kesenjangan ekonomi, persoalan pemerataan pembangunan, hingga berdampak pada keberadaan Indonesia sebagai satu-kesatuan kebangsaan.
Pada umumnya, kesatuan masyarakat daerah telah tumbuh, berkembang dan eksis sebagai kesatuan masyarakat hukum sebelum terbentuknya negara nasional. Kesatuan masyarakat ini telah mengembangkan lembaga sosial untuk mempertahankan keberadaannya. Lembaga sosial yang dikembangkan mencakup lembaga politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Melalui proses yang panjang terbentuklah karakteristik yang khas pada masyarakat yang bersangkutan dilihat dari lembaga-lembaga sosial yang dibentuknya. Misalnya, masyarakat Jawa berbeda dengan masyarakat Makkasar, masyarakat Aceh berbeda dengan masyarakat Papua, Masyarakat Sumatra berbeda dengan masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB), dan seterusnya. Munculnya komunitas yang berbeda-beda tersebut tidak lepas dari sejarah perkembangan komunitas yang bersangkutan, yang kemudian menggiring pada perbedaan nilai-nilai seperti nilai agama, nilai adat, atau nilai budaya. Di samping itu, komunitas juga mengembangkan identitas, yang dikembangkan berdasarkan kesamaan agama, kesamaan suku, kesamaan wilayah, dan kesamaan budaya. Oleh karena itu, komunitas-komunitas yang terbentuk sangat beragam.
Kondisi alamaiah tersebut menjadi fakta politik, sosial, dan budaya yang selanjutnya mempengaruhi lembaga-lembaga formal yang dibentuk suatu daerah. Konsekuensinya, negara harus membentuk sistem politik tertentu yang mampu mengakomodasi fakta tersebut dan menghindari setiap sistem politik yang mereduksi atau mengaburkannya.
Indonesia memiliki pemahaman yang asimetris antara bangsa dan negara. Sebagaimana diketahui, pembentukan bangsa Indonesia jauh lebih awal (1926-1928) ketimbang pembentukan negara Indonesia (1945). Di sisi lain, Indonesia merdeka bukan seperti di negara-negara merdeka oleh sebab “kerelaan” pihak kolonial sehingga bangunan kebangsaan (nation building) dikonstruksi setelah bangunan kenegaraan (state building). Sebaliknya, Indonesia lahir sebagai buah dari gerak kebangsaan. Karena itu, bentuk negara harus disimetriskan dengan konstruksi bangsa. Karena apabila state building berkembang menjadi kekuatan diskriminatif dalam konteks pembangunan kesejahtraan antara satu daerah dengan daerah lainnya, maka hal itu dengan mudah dipahami sebagai bentuk ketidakadilan dan wujud dominasi daerah satu terhadap daerah lainnya.
Ketika ketidakadilan, diskriminasi, dan dominasi mewarnai perjalanan negara yang terbentuk dari bangsa-bangsa yang sudah lebih dahulu ada dibanding negara, maka kecenderungan yang terjadi adalah bangkitnya kembali etnonasionalisme. Negara yang digerakkan oleh etnonasionalisme mayoritas (pusat) otomatis akan melahirkan gerakan etnonasionalisme minoritas (pinggiran) yang melancarkan tandingan. Artinya nasionalisme regional (etnonasionalisme) melihat ketidakadilan pembangunan tersebut sebagai kegagalan dari negara kesatuan dalam melayani kesejahtraan bagi persatuan bangsa-bangsa dan pembentukan identitas.
Konstruksi keindonesiaan adalah hasil rekonfigurasi politik terus-menerus selama berabad-abad di kawasan Nusantara. Dalam proses itu, ada sejumlah elemen sosial tak terkira jumlah dan ragamnya yang hilang atau pun terpendam secara sosilogis dan menjadi laten. Namun, meminjam konsep geologi tentang proses rejuvenasi, akan sangat mungkin terjadi pembalikan proses penuaan elemen menjadi manifes yang dapat mempengaruhi kekenyalan konstruksi Indonesia yang memitos. Singkatnya, kesadaran nasionalisme tradisional-regional atau etnonasionalisme yang telah lama terpendam akan tersingkap kembali tatkala terjadi stagnasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengabaikan realitas deep diversity itu. 
Sudah saatnya kita membebaskan belenggu yang melilit pada kata-kata yang selama ini membuatnya memiliki pengertian-pengertian yang terbatas dan keliru, misalnya tentang “sosial-budaya” maupun “politk” yang dideretkan sebagai istilah-istilah yang tak berkaitan. Menurut Clifford Geertz, “sosial-budaya” dan “politik” adalah ibarat dua mata uang yang sama. “untuk mengerti politik Anda harus mengerti kebudayaan masyarakat, begitu pula sebaliknya, untuk mengerti kebudayaan sebuah masyarakat Anda harus mengerti politik”.[9]
Geertz berpendapat bahwa aspek-aspek budaya sosial-budaya yang dan politik dari suatu masyarakat merupakan sebuah anyaman sosial yang saling lilit, yang kadang kala hanya dapat kita mengerti setelah kita cukup lama mengenal masyarakat bersangkutan sehingga bisa melakukan interpretasi terhadap makna yang berada di balik tingkah laku yang terlihat dari luar. Pendekatan yang menekankan eratnya pertautan antara kebudayaan dan politik menunjukkan muskilnya anggapan bahwa kebudayaan sebuah bangsa adalah suatu yang bersifat homogen hingga dapat diperlakukan secara seragam. Desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah karena itu merupakan langkah yang tepat untuk menjamin keberagaman kebudayaan yang menjadi dasar berkembangnya inisiatif dan kreativitas politik di daerah tanpa mengurangi arti, apalagi mempertentangkan dengan makna keindonesiaan sebagai sebuah bangsa.[10]
Oleh karena itu, pelaksanaan pembangunan di daerah yang menunjukkan kecenderungan bangkitnya spirit sentralisme, tidak bisa dibiarkan. Kecenderungan resentralistik dalam arti program pembangunan direncanakan secara terpusat oleh Pemerintah Pusat, disusun secara seragam tanpa memperhatikan kebutuhan, karakteristik, dan spesifikasi masing-masing daerah, serta mengasumsikan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi setiap daerah, mengandung kecenderungan mereduksi kompleksitas persoalan yang terjadi di daerah-daerah. Di sisi lain, hal ini juga akan membawa dampak negatif bagi daerah, seperti kehilangan kreativitas daerah, tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat dan tidak terlaksananya prioritas pembangunan sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat daerah.[11]
Dampak terburuk dari kecenderungan resentralisasi itu adalah tereduksinya entitas kebangsaan yang memiliki akar keragaman yang sangat mendalam (deep diversity). Untuk menutupi hal itu seringkali penguasa menjadikan satu subkultur besar yang dijadikan sebagai gambaran ideal bagi penyeragaman daerah-daerah. Dan inilah dampak terburuk dari setiap kekuasaan yang dijalankan secara sentralistik.
Mengingat keanekaragaman etnis dan kondisi geografis daerah-daerah di Indonesia, desentralisasi dan otonomi daerah menjadi pilihan yang mampu menjamin pengakuan terhadap keragaman tersebut. Pada konteks inilah desentralisasi dan otonomi daerah menemukan arti pentingnya yang paling mendasar, yakni apresiasi terhadap lokalisme.
Dengan adanya pengakuan terhadap karakteristik spesifik masing-masing daerah atau kelompok masyarakat, maka eksistensi atau keberadaan mereka sesuai dengan nilai-nilai dan budayanya menjadi terlindungi. Sehingga akan menimbulkan kebanggaan dan kepercayaan diri mereka sebagai bagian integrasi dari ke-bhineka-an bangsa Indonesia.
Hasrat Sentralisme dan Penyangkalan Atas Indonesia
Fakta tentang deep diversity Indonesia seringkali mengalami pelupaan atau barangkali sengaja disangkal oleh elit penguasa yang tergambar pada bagaimana kekuasaan mereka diproyeksikan. Terutama pada rezim Orde Baru Soeharo. Obsesi tentang integrasi nasional dan moderniasai memperoleh bentuk yang sempurna melalui berbagai kebijakan dan program yang dirancang oleh dua penyokong utamanya; elit militer dan para ekonom-teknokrat. Mereka sebagai aktor utama yang merefresentasikan kekuatan negara memiliki sebuah kesamaan dalam memandang masyarakat. Mereka mengkonsepsikan masyarakat sebagai kumpulan manusia yang memiliki keseragaman dalam berbagai karakteristiknya, yang menempati ruang geografis yang dibayangkan sebagai sebuah bidang datar.
Berdasarkan konsepsi semacam itu, militer dan ekonom-teknokrat memperlakukan masyarakat sebagai sesuatu yang secara rasional-sistematis dapat didesain dan direkayasa dari sebuah pusat pengendali tertentu menuju ke arah yang diinginkan. Perbedaan dan keragaman etnis yang melekat dalam masarakat dianggap tidak ada atau tidak relevan, dalam rekayasa sosial dan perencanaan pembangunan. Berbagai kebijakan dan program dibuat secara seragam untuk seluruh rakyat Indonesia dan dijalankan melalui pengendalian yang terpusat. Perencanaan pembangunan cukup didasarkan oleh angka-angka statistik demografis-ekonomis dan berbagai indikator ekonomis yang bersifat agregatif.
Pluralitas dan heterogenitas etnis yang terdapat dalam masyarakat Indonesia sungguh-sungguh berada di luar imajinasi kedua penyokong setia Orde Baru tersebut. Proses rekonstruksi wacana etnisitas pada masa Orde Baru mencapai puncaknya ketika berhasil dikemas dalam konsep “SARA” yang kemudian menjadi acuan utama kebijakan negara yang pada dasarnya mengandaikan sebuah masyarakat tanpa konflik dan harmoni. Implikasi dari konsep ini adalah perbedaan dan keberagaman merupakan sumber konflik yang harus dihindari. Heterogenitas etnis yang melekat pada masyarakat Indonesia dengan demikian harus dilebur melalui berbagai kebijakan dan program sehingga pada akhirnya akan muncul apa yang disebut sebagai kebudayaan nasional yang merupakan jati diri bangsa. Rezim Orde Baru berupaya menyangkal entitas yang paling hakiki dari bangunan Indonesia, yakni pluralitas dan heterogenitas itu sendiri. [12]
Politik penyeragaman bahkan pemusnahan secara sistematis elemen-elemen lokalitas menjadi harga yang harus ditanggung oleh daerah-daerah selama priode panjang Orde Baru. Politik penyeragaman itu berlangsung mulai dari hal-hal yang sangat sederhana seperti pakaian dan makanan sampai pada hal-hal yang sangat fundamental seperti struktur pemerintahan desa. Karena penyeragaman menggunakan krangka konseptual dan model yang bersumber pada tradisi Jawa, proses ini kemudian serta-merta dimaknai sebagai proses jawanisasi. Beberapa peneliti bahkan dengan terang menyebutnya sebagai jawanisasi Indonesia.[13] Karenanya, tak mengherankan bila motif-motif kultural dan ideologis sering menyeruak di balik tuntutan daerah menemukan fondasi bersamanya yang dilawankan dengan “kolonialisme Jawa” sebagai “musuh bersama” daerah-daerah.
Pengalaman terkait pergolakan-pergolakan di berbagai daerah yang terjadi pada priode sebelumnya, benar-benar menjadi momok yang menghawatirkan pemerintahan Presiden Soerharto. Kecurigaan dan kekhawatiran ini sangat mempengaruhi setiap program dan kebijakan yang diambil pemimpin Orde Baru tersebut yang secara sistematis ditujukan untuk menghadang segala hal yang berpotensi menjegal kekuasaannya.
Kecurigaan dan kekhawatiran ini bisa dicermati pada kecenderungan over-sentralisasi dan politik penyeragaman yang sangat keras yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Kecurigaan dan kekhawatiran terhadap kemungkinan pemberontakan daerah dapat dilacak pada bagaimana pengorganisasian struktur militer. Presiden Soerharto membuat kebijakan untuk tidak menempatkan perwira dalam jabatan komando dari daerah asalnya. Karena itu, tidak ada penguasa militer yang memiliki akar politik yang kuat di daerah.  Dengan cara seperti ini, Presiden Soerhato berupaya mengendalikan di bawah kekuasaannya segala hal yang berpotensi menopang pemberontakan, terutama dari kalangan militer.
Langkah lainnya yang diupayakan rezim Orde Baru untuk memuluskan roda kekuasaannya adalah dengan mengendalikan kekuatan kewiraswastaan lokal. Sejarah pengaturan politik lokal Indonesia selama Orde Baru menunjukkan terdapat dua kebijakan penting yang diterapkan guna menghadapi sayap ekonomi ini dari berbagai aksi “pemberontakan” di daerah, yakni dengan memangkas secara langsung kehidupan mereka di tingkat lokal melalui pengembangan prosudur dan sekaligus pengalihan hak monopoli pada kelompok penguasa baru yang berbasis pada birokrasi sipil-militer dan keluarganya serta kekuatan minoritas pengusaha Tionghoa. Strategi selanjutnya – yang paling berpengaruh besar pada lanskap Indonesia hari ini – adalah dengan menyerap mereka ke Jakarta untuk menjadi bagian dari “pengusaha nasional”. Kebijakan ini menjadikan para pengusaha lokal kehilangan pijakannya di daerah-daerah. Deretan nama penting pengusaha lokal masa lalu akhirnya menemukan Jakarta sebagai arena barunya, sementara mereka yang berusaha tetap bertahan di daerah masing-masing menemukan tertutupnya ruang ekonomi bagi aktivitas mereka.
Tidak berhenti sampai di situ. Pemimpin Orde Baru sangat menyadari bahwa penggerogotan kekuasaannya berpotensi datang dari sayap politik daerah-daerah yang direpresentasikan oleh para politisi lokal. Ada dua stategi jitu yang dijalankan rezim Orde Baru untuk mengeliminasi pengaruh mereka, yaitu melalui politik pengasingan dan birokratisasi. Politik pengasingan bermakna ganda. Ia bisa berarti pengasingan politik sebagaimana biasanya melalui pembuangan atau dapat pula dalam bentuk penarikan mereka ke pusat (Jawa) dan daerah lainnya untuk menempati jabatan-jabatan yang lebih penting tapi tidak signifikan secara politik. Sementara strategi birokratisasi dilakukan dengan menyerap para politisi lokal berpengaruh ke dalam birokrasi lokal. Lewat berbagai strategi pengaturan politik, termasuk aturan kepegawaian, semua politisi yang memiliki potensi yang kuat di daerah-daerah diserap untuk menjadi bagian dari jaringan politisi dan sekaligus birokrasi nasional.
Ada banyak lagi mekanisme yang digunakan rezim Orde Baru untuk mengebiri kekuatan para politisi lokal, misalnya dengan perbedaan insentif dan penggajian berdasarkan hirarki spasial, pemberlakuan sistem dan mekanisme kepartaian, dan lain-lain, memainkan peran penting dalam menyerap para politisi dan birokrat potensial daerah untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem kekuasaan pusat. Ditambah dengan pelembagaan KKN sebagai sebuah sistem pengelolaan kekuasaan, semakin memaksa para politisi lokal untuk terus menengok pada lingkaran kekuasaan rezim Orde Baru di Jakarta.[14]
Hal tesebut berdampak panjang dan kompleks pada realitas Indonesia hari ini. Terutama pada ketimpangan pembangunan di antara daerah-daerah, khususnya antara Jawa dan luar Jawa. Ketimpangan pembangunan ini memiliki dampak turunan yang sangat akut dan kompleks pada semua bidang.
Peta kesenjangan distribusi kemakmuran dan kesenjangan pembangunan antardaerah terjadi karena mekanisme kekuasaan yang dijalankan secara sengaja oleh rezim Orde Baru dan sebagai akibat yang inharen dari sistem kekuasaan yang sentralistik. Dengan kekuasaan sentralistik Soeharto semua kebijakan bermuara atau sangat tergantung dari kemauan pribadinya. Dalam konteks pembangunan infrastruktur wilayah, pemimpin Orde Baru tersebut selalu berpijak pada bagaimana sikap politik masyarakat daerah terhadap kekuasaannya. Apabila terkategori tidak sejalan, misalnya tidak mendukung Golkar, maka daerah tersebut seperti terbiasa miskin atau terus tertinggal. Setidaknya ada perlakuan yang diskriminatif antara daerah berbasis massa Golkar dengan daerah basis massa partai lain. Dan, karena kekuasaan sentralistik itu pula, posisi daerah seperti menunggu “belas kasihan” pusat.
Sejauh masa Orde Baru, daerah-daerah sistem pajak harus menyetor ke pusat. Tetapi pengembaliannya untuk daerah tidak lebih dari kisaran angka lima persen. Porsi terbesar dimiliki Jawa, sedangkan luar Jawa hanya mendapatkan alokasi sisa. Implikasinya, di satu sisi terjadi migrasi ke Jawa dalam jumlah yang melapaui batas, sementara penduduk luar Jawa tersedot. Daerah-daerah ditinggalkan dengan merana, tanpa adanya dukungan sumber daya manusia yang potensial. Di sisi lain, banyak daerah kaya sumber daya alam yang sesungguhnya telah berkontribusi besar kepada pusat, tetapi masyarakat lokal tersebut hidup dalam lumpur kemiskinan.[15]
Kesenjangan distribusi kemakmuran dan kesenjangan pembangunan juga muncul dari konsekuensi inharen dalam mekanisme kekuasaan sentralistik. Dalam mekanisme kekuasaan yang menempatkan ibu kota atau pusat sebagi mikroskosmos negara, maka distrubusi kemakmuran dan pembangunan akan mengalami gradasi sejalan dengan jarak geograifis sebuah daerah.[16] Dengan kata lain, semakin dekat sebuah daerah dari pusat, maka biasanya daerah tersebut memiliki kans lebih besar pada akses-akses pembangunan, sebaliknya semakin jauh sebuah daerah dari pusat maka semakin langka pula kebijakan-kebijakan pembangunan berpengaruh pada mereka.
Kelemahan utama dari model pembangunan sentralistik itu adalah absennya partisipasi yang genuin dari masyarakat. Pembangunan dilakukan tanpa diketahui apakah masyarakat memang membutuhkan program-program itu. Masyarakat karenanya ibarat bayi yang terus bergantung pada asupan susu ibunya. Kecenderungan yang kemudian muncul adalah menguatnya apatisme dan berkembangnya sindrom ketergantungan yang parah. Kelemahan ini merupakan kontradiksi internal yang terdapat dalam sistem politik sentralistik rezim Orde Baru yang terutama bermuara pada situasi masyarakat yang bersifat apolitik di mana elemen-elemen masyarakat yang seharusnya mampu memberikan umpan balik terhadap negara telah dimatikan.[17] Karenanya, Indonesia ibarat bayi besar yang gagap menyikapi eksistensinya, selalu tergantung pada asupan, pengayoman, dan pembinaan karena segala potensi kreativitasnya disumbat atas nama stabilitas dan pembangunan.
Hasrat sentralisme dan politik penyeragaman merupakan penyangkalan atas Indonesia karena menyangkal entitas yang paling hakiki yang menyusun Indonesia. Kesepakatan untuk mendirikan Indonesia sebagai bangunan tempat kita bernaung dan hidup di dalamnya, di dasarkan dari kerelaan dan kesepakatan masyaraka-masyarakat di segala penjuru negeri. Jadi rakyatlah yang mendelegasikan atau mengamanatkan diri mereka pada negara, dan bukan negara yang rela mengayomi mereka yang bergerak dari pusat kepada daerah-daerah. Oleh karena itu, bentuk negara harus simetris dengan konstruksi bangsa/daerah. Artinya, negara harus mengakomodasi segala keunikan, heterogenitas, dan pluralitas yang menjadi identitas daerah-daerah yang telah terbangun jauh sebelum sebuah bangunan negara Indonesia berdiri.
Politik Otonomi Daerah dan Penguatan NKRI
Politik otonomi daerah pasca Orde Baru membawa implikasi pergeseran fokus politik ke daerah-daerah. Pergeseran tersebut oleh sebagian kalangan dikhawatirkan akan menguatnya fragmentasi masyarakat politik di daerah yang akan mengancam harmoni persatuan Indonesia. Kekhawatiran-kekhawatiran semacam ini menyebabkan otonomi daerah dijalankan secara setengah hati. Purbasangka-purbasangka seperti ini dilegitimasikan dengan pergolakan-pergolan yang masih terus terjadi di berbagai daerah. Premis ini, baik empirik maupun teoritik tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pergolakan yang masih terjadi hingga saat ini adalah kelanjutan dari pristiwa-pristiwa di masa lalu.[18] Dan jika kita mau jujur mengakui, pergolakan-pergolakan tersebut terjadi bukan karena desentralisasi melainkan karena sentralisasi penguasa yang mengabaikan kepentingan masyarakat di daerah.
Karena itu, Pristiwa-pristiwa di tingkat lokal antara lain konflik yang mengarah pada disintegrasi  seperti di Aceh, Papua, Riau, Maluku, dan Kalimantan harus dilihat dengan kacamata yang lebih bijaksana. Fenomena bangkitnya “etnonasionalisme” sebagai bagian dari kesadaran identitas/kultural harus dilihat sebagai reaksi dari kebijakan-kebijakan pusat (Jakarta) yang merugikan daerah. Karena pada faktanya, daerah-daerah tersebut adalah daerah-daerah yang kaya dengan sumber daya alam tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya rendah karena terjadinya akumulasi kekayaan di Jakarta dan Jawa.
Suara-suara separatisme yang masih menggaung hingga saat ini bisa dilihat sebagai dampak dari ketimpangan pembangunan tersebut. Daerah-daerah yang jauh dari pusat dibiarkan merana, padahal mereka memiliki sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya yang mereka miliki terus-menerus dieksploitasi demi keuntungan segelintir orang dan demi menggalakkan pembangunan secara terpusat pada daerah-daerah tertentu yang dekat di hati penguasa. Sementara daerah-daerah yang memiliki sumber daya tersebut mendapatkan alokasi sisa dan lebih banyak “menikmati” anomali sosial dan kerusakan alam yang diakibatkan oleh eksploitasi besar-besaran.
Literatur-literatur sejarah banyak yang menjelaskan terkait ambivalensi dari suatu pristiwa permberontakan di Indonesia. Sejumlah penelitian mengungkapkan hasrat-hasrat yang tampaknya “separatis” dalam pemberontakan daerah, ternyata diikuti sekaligus oleh hasrat yang sama kuatnya untuk menjadi bagian dari negara kesatuan yang ada. Gerakan-gerakan pemberontakan dalam sejarah Indonesia lebih dimaksudkan sebagai sebuah gerakan politik daerah yang menilai kebijakan Jakarta sangat tidak adil bagi mereka ketimbang sebuah gerakan politik untuk memisahkan diri. Jadi, bisa dikatakan bahwa tuntutan daerah yang diekspresikan lewat berbagai gerakan “separatis” lebih sebagai tindakan koreksi guna memaksa pusat melakukan perubahan mendasar format hubungan pusat-daerah ketimbang sebuah hasrat pemisahan diri yang memang inharent dalam setiap gerakan separatis.[19]
Kenyataan tersebut setidaknya membuktikan bahwa gerakan-gerakaran separatis merupakan konsekuensi dari ketidakpuasan terhadap perlakuan negara yang tidak adil. Suara-suara separatisme memang mempunyai beragam faktor, namun secara generatif bisa disimpulkan dilandasi oleh kepentingan-kepentingan yang sangat konkret dan mendasar, meskipun terkadang menggunakan bahasa yang berbeda-beda.[20] 
Oleh karena itu, wacana penguatan negara kesatuan sebagai legitimasi atas integrasi nasional tidak bisa dihadapkan secara konfrontatif dengan konsepsi dan implementasi desentralisasi dan otonomi daerah. Kehancuran integrasi nasional bukan disebabkan sistem pemerintahan desentralisai dan otonomi daerah yang seutuhnya, namun lantaran negara kesatuan yang bersifat etnik-sentralistik dan kapasitas politik negara  yang lemah untuk dapat menjangkau dan memenuhi semua kepentingan masyarakat. Seperti dikatakan Jonh Stuart Mill, bahwa hanya sebagaian kecil urusan publik sebuah negara yang bisa dikerjakan dengan baik atau diujicoba dengan aman oleh otoritas sentral atau pemerintah pusat.[21]
Memang tidak bisa dipungkiri, masih kental terasa bagaimana reproduksi wacana kesatuan secara terus menerus dibenturkan dengan konsepsi dan implementasi desentralisasi dan otonomi daerah. Hal ini dilakukan agar para penganut paham sentralisme dapat melakukan kontrol yang terpusat terhadap pemerintah daerah di Indonesia. Padahal tanpa diproduksi pun konsep negara kesatuan telah menjadi pegangan masing-masing pemerintah daerah di Indonesia. Kalaupun masih ada suara-suara separatis yang terus menggema hingga sekarang, hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari konteksnya panjang sebelumnya.
Saya meyakini, desentralisasi dan otonomi daerah dapat memperkuat persatuan dan kesatuan nasional. Hal ini didasarkan pada krangka pikir bahwa dengan diberikannya kewenangan yang luas kepada daerah, terjadi saling percaya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan demikian, upaya untuk memisahkan diri dari pemerintah daerah menjadi kecil.
Berharap Pada Otonomi Daerah
Pengalaman dari banyak negara menunjukkan pemberian otonomi secara luas kepada daerah-daerah merupakan salah satu resep politik paling penting untuk mencapai sebuah stabilitas sistem dan sekaligus membuka bagi proses demokratisasi yang pada gilirannya semakin memperkuat stabilitas sistem secara keseluruhan.
Desentralisasi dan otonomi daerah menjadi harapan kita karena format ini setidaknya dapat mengakomodasi empat hal yang paling sensitif dalam hubungan politik antara pusat dan daerah, yakni sharing power, sharing of revenue, empowering locality, serta pengakuan dan penghormatan terhadap identitas kedaerahan.
Pengalaman Indonesia menunjukkan inilah empat area paling sensitif yang selalu menjadi ganjalan hubungan pusat-daerah yang berdampak pada kelabilan sistem secara makro. Jika substansi dari pergulatan politik kebangsaan Indonesia adalah untuk mewujudkan sebuah sistem yang stabil yang ditegakkan di atas kebanggaan dan kepatuhan pada Indonesia, maka pilihan pemberian otonomi daerah yang seutuh-utuhnya merupakan jawaban niscaya.
Mengurai atau pemencaran kekuasaan secara geografis akan mencegah penumpukan kekuasaan secara spasial-primordial dengan segala akibat negatifnya. Pristiwa-pristiwa di masa lalu menjadi contoh betapa kesatuan kita bisa sangat terganggu akibat isu-isu primordial bukan sebagai akibat dari realitas kemajemukan Indonesia dan bukan karena realitas kemajukan  yang kita miliki, tapi lebih sebagai implikasi dari konsentrasi kekuasaan pada ruang-ruang tertentu yang bertumpang tindih dengan kategori-kategori primordial tertentu. Dengan alasan tersebut, pemencaran kekuasaan secara geografis akan menciptakan terjadinya pelunakan-pelunakan sejumlah parameter primordial yang berpotensi mengancam integrasi nasional.
Demikian pula, sharing revenue akan memberikan kepuasaan ekonomi bagi daerah-daerah. Meski terdapat ketimpangan sumber daya alam yang dimiliki masing-masing daerah, namun dengan sistem pembangunan yang tepat dan pengembangan sistem alokasi anggaran yang tepat serta penerapan sebuah sistem distribusi nasional yang baik, kendala-kendala alami tersebut akan terpecahkan.
Otonomi daerah akan berakibat positif pada pengurangan beban pusat dan sekaligus meminimalisir potensi kecemburuan antardaerah yang biasanya muncul dalam sebuah masyarakat politikk yang majemuk. Pelajaran berharga dari pergolakan-pergolakan yang pernah dan terus terjadi di berbagai daerah hingga saat ini, menurut hemat saya adalah bahwa kita tidak bisa mempertahankan integrasi bangsa dengan menodongkan senjata atau tindakan-tindakan militeristik semata. Demikan pula, integrasi nasional dan keindonesiaan tidak mungkin dicapai lewat kepatuhan yang dibeli.[22]
Tidak bisa dipungkiri, otonomi daerah kita saat ini masih menyimpan lubang-lubang yang musti ditambal di masa depan. Otonomi daerah adalah proses bernegara yang tidak pernah menemukan kata final dan akan selalu mengalami perubahan, entah sebagai koreksi atas kelemahan formulasi atau karena faktor perubahan. Meski otonomi daerah belum bisa dikatakan sempurna, namun harus diapresiasi sejak era reformasi hingga sekarang telah menunjukkan tanda-tanda perubahan ke arah pelaksanaan otonomi yang lebih baik, menciptakan demokrasi yang lebih terkonsolidasi, meningkatnya partisipasi masyarakat, efektivitas dan efesiensi pelayanan publik, serta yang terpenting, ia menjadi cara kita untuk mengakomodasi setiap kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang sangat kompleks. Ia cara kita menghargai deep diversity Indonesia yang merupakan elemen hakiki pembentuk negara ini.
Meski masih banyaknya kasus-kasus yang mencederai praktik otonomi secara utuh, namun saya yakin untuk persoalan-persoalan itu kita hanya membutuhkan waktu. Sebagaimana diungkapkan Chrisstopher Milligan, direktur Regional Urban Development USAID, dalam pertemuannya bersama Syahrazard Masdar, bahwa “Transition to decentralized system will not be easy one, and it will not be immediate. New ways of thinking and doing things will be learn, methodes improved and refined, and attitudes changed. In the United State, our decentralization has taken over 200 years and we are still working to improve the system. It wasn’t a smooth process”.[23]
Setiap sistem politik yang diterapkan tak pernah mudah, demikian juga dengan desentralisasi. Jika Amerika Serikat telah mengalami proseses desentralisasi selama lebih dari 200 tahun dengan segala lika-liku yang dilaluinya dan merasa apa yang telah diraihnya selama ini belum bisa dikatakan sempurna, maka apalagi dengan apa yang kita jalankan baru beranjak tidak lebih dari 15 tahun ini. Kehidupan berotonomi adalah proses belajar tentang penerapan sistem otonomi daerah yang secara terus menerus mendinamisasi dan melengkapi dirinya. Dan hal ini adalah bagian dari proses belajar yang tidak pernah selesai.
Kesimpulan
Jika pemimpin masa sekarang dan masa depan tidak mampu menyingkirkan hasrat mereka untuk menumpuk kekuasaan mereka dengan politik sentralistik dan tidak mampu menyingkirkan obesesi mereka untuk melihat Indonesia semata-mata sebagai unit geografi tanpa penduduk, maka disintegrasi akan menjadi ancaman niscaya.
Karenanya pembagian kekuasaan melalui politik desentralisasi dan otonomi daerah merupakan pilihan politik yang realistik dan kompromostis. Kecurigaan pada kebebasan dan kemandirian dalam otonomi tidak bisa dipertangungjawabkan baik secara teoritik maupun praktik. Pada kenyataannya, ancaman pada integrasi nasional datang dari kekecewaan daerah pada sikap sentralistik pemerintah dan ketidakadila pembangunan.
Pembagian kekuasaan merupakan dasar bagi pemerintahan yang beradab. Karena pemerintahan yang sentralistik cenderung mengabaikan pluralitas dan heteronitas etnis yang merupakan entitas hakiki pembentuk Indonesia. Politik penyeragaman dan sentralisme kekuasaan selama priode panjang Orde Baru telah mengajarkan kita bahwa penyangkalan Pluralitas dan heterogenitas Indonesia sama artinya dengan penyangkalan Indonesia. Karena kekuasaan yang dijalankan seperti itu mengabaikan realitas tempat ia berpijak.
Karena itu, setiap upaya untuk membangkitkan kembali spirit sentralisme itu dalam berbagai bentuknya, harus ditolak, karena upaya penumpukan kekuasaan pada satu tangan dan ruang spasial memiliki kecenderungan melahirkan tirani dan ketidakadilan.










[1]Cornelis Lay, Otonomi Daerah dan “Ke-Indonesiaan”.  Dalam Abdul Gaffar Karim (ed), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2003), cet. 1, h. 8-10
[2]AM Saefuddin, Dari Cendana Ke Reformasi, (Jakarta: PPA Consultants, 2011), cet. 1, h. 44
[3]Dikutip dari Abdul Gaffar Karim (ed), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2003), cet. 1, h. xv.
[4]B.N. Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010; Proses dan Realita, Perkembangan Otda, Sejak Zaman Kolonial Sampai Saat Ini, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), cet. 2, h. 185
[5]M.R. Khairul Muluk, Desentralisasi & Pemerintahan Daerah, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), cet, 2, h. 2.
[6]Isran Noor, Politik Otonomi Daerah Untuk Penguatan NKRI, (Seven Strategic Studies, 2012), cet. 1, h. 8
[7]Dede Mariana & Caroline Paskarina, Demokrasi & Politik Desentralisasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), cet. 1, h. 109.
[8]Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia; Demografi-Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LIPI Press , 2007), h. 70-71 
[9]Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia; Demografi-Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LIPI Press , 2007), h. 2. 
[10]Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia; Demografi-Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LIPI Press , 2007), h. 3. 
[11]Isran Noor, Politik Otonomi Daerah Untuk Penguatan NKRI, (Seven Strategic Studies, 2012), cet. 1.
[12]Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia; Demografi-Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LIPI Press , 2007), h. 207.
[13]Lihat: Niels Mulder, Mistisisme Jawa; Ideologi di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2003), cet. 3, h. 147. Terj.
[14]Abdul Gaffar Karim (ed), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2003), cet. 1, h 8-10
[15] AM Saefuddin, Dari Cendana ke Reformasi, (Jakarta: PPA Consultants, 2011), cet. 1, h. 44
[16]Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya 3 – Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, (Jakarta: Gramedia, 2008), cet. 4, h. 71
[17]Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia; Demografi-Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LIPI Press , 2007), h. xv.
[18]B.N. Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010; Proses dan Realita, Perkembangan Otda, Sejak Zaman Kolonial Sampai Saat Ini, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), cet. 2, h. 185

[19]Cornelis Lay, Otonomi Daerah dan “Ke-Indonesiaan”.  Dalam Abdul Gaffar Karim (ed), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2003), cet. 1, h 8
[20]Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), cet.1, h. 40
[21]Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta: Grasindo, 2005), h. xi
[22]Cornelis Lay, Otonomi Daerah dan “Ke-indonesiaan”.  Dalam Abdul Gaffar Karim (ed), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2003), cet. 1, h 8-10
[23]Syahrazad Masdar, Tiga Konsep Dasar Memasuki Pelaksanaan Daerah. Dalam Selamatkan Indonesia (Bekasi: YLSKPI, 2000), cet. 1, h. 277

Tidak ada komentar:

Posting Komentar