Rumah Pak Je Abdullah, Pondok Cabe, 30 Agustus 2017
(Diskusi
Mingguan Bersama Dian Ma’ruf)
Oleh:
Husnul Aqib
Diskusi rutin kami pada
hari Minggu yang lalu membahas tema yang tidak kalah menarik dan mencerahkan
dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Kali ini, kami mendapatkan kesempatan
untuk membahas hasil penelitian Dian Ma’ruf – yang sekaligus menjadi pemateri – dengan tema “Ekofeminisme
Pesantren: Kajian Terhadap Pesantren Ath-Thaariq Garut, Jawa Barat”.
Penelitian tesis Dian –
yang sebenarnya masih dalam proses ini – menarik karena selain menunjukkan perkembangan paradigmatik dalam
diskursus feminisme dan pembangunan, ia juga berhasil memperlihatkan
perkembangan perspektif dalam pengelolaan pondok pesantren yang tidak hanya
dimaknai sebagai wadah pembelajaran agama, tetapi juga terlibat dalam merespon
persoalan lokal masyarakat dan terlibat dalam merawat kesetaraan antara sesama
manusia, alam, dan mahluk Tuhan lainnya.
Yang tidak kalah
penting dari penelitian ini adalah karena berangkat dari kasus spesifik atau
contoh nyata pondok pesantren yang menurut Dian menjalankan konsep
ekofeminisme, maka penelitian ini tidak hanya menawarkan perspektif di atas
kertas namun juga aplikatif baik sebagai role
model maupun sebagai inspirasi pengelolaan lembaga pendidikan pondok
pesantren. Hal ini juga memberikan optimisme baru bahwa agama dan lembaga
pendidikannya dapat berperan dalam ikut merawat alam. Sebab, agama selama ini
diragukan keterlibatannya dalam menjaga lingkungan, bahkan dianggap justru
berperan dalam mendorong rusaknya lingkungan akibat doktrin antroposentrisnya. Oleh
sebab itu, hasil penelitian ini layak mendapat perhatian luas, baik di antara
para pengkaji teori-teori sosial dan feminisme, praktisi pendidikan, dan
terutama para santri, kyai, atau pemilik pondok pesantren.
Durasi diskusi kami
cukup panjang, seperti biasa, menguras sekitar 6 jam waktu libur kami di hari Minggu,
yang mulai dari pukul 5.00 sore dan berakhir 11.00 malam. Proses jalannya
diskusi juga beberapa kali menyerempet ke topik-topik yang lebih luas, karena
memang apa yang dibahas oleh Dian memiliki hubungan yang kompleks dengan
berbagai aspek. Sebab itu, saya sempat kesulitan untuk menyusun secara lebih
sistematis proses jalannya diskusi dan kesimpulan-kesimpulan yang muncul.
Untungnya saya ditemani oleh Antonio Vivaldi, Franz Schubert, dan Niccolo
Paganini, dan tentu saja segelas kopi yang membantu saya menjaga ritme dalam
memilah berbagai hal yang muncul dalam perbincangan kami sehingga memiliki
komposisi seperti ini.
Dua
Titik Keberangkatan
Dian memulai
penyampaiannya dengan menceritakan pengalaman pribadinya sebagai perempuan yang
pernah menjalani hidup di berbagai tempat. Dian punya latar belakang primordial
sebagai orang Palembang, tapi menghabiskan masa kecil hingga remaja di Lombok,
dan menjalani masa dewasa di Bandung dan Jakarta sebagai mahasiswi. Perjalanan
hidup di berbagai tempat dengan kultur yang beragam memberi Dian wawasan yang
mendalam tentang berbagai sistem sosial yang bermuara pada pemahamannya tentang
ketidaksetaraan holistik yang terjadi baik di antara laki-laki dan perempuan
maupun di antara sesama manusia serta antara manusia dan alam.
Inilah yang saya anggap
sebagai titik keberangkatan pertama, yakni pengalaman subjektif Dian sebagai
perempuan – dan menjadi peneliti dalam konteks penelitian tesisnya. Pengalaman
subjektif ini menjadi kekuatan dan aspek penting yang membuat penelitiannya
hidup karena mewakili, setidaknya dalam pembagian sex dan gender, satu subjek
yang seringkali paling dirugikan dan sekaligus menjadi korban pertama dari
ketidaksetaraan holistik itu. Terlebih, kerugian yang dialami perempuan sebagai
korban meliputi semua aspek, seperti fisik, psikologis, sosial, ekonomi,
politik, dan budaya.
Kenapa pengalaman
subjektif sebagai perempuan ini penting karena – walaupun dalam ulasan lanjutan
di bawah akan dijelaskan bahwa feminisme tidak lagi woman-oriented perspective – pengalaman menjadi perempuan tetap
khas dan karena itu laki-laki tidak akan sepenuhnya dapat menelusuri posisi
perempuan sebagai korban.
Sementara itu, titik
keberangkatan yang kedua adalah perdebatan konseptual yang menjadi landasan
penelitian Dian. Perdebatan konseptual ini meliputi dua hal, yakni pembangunan
dan feminisme. Menurut Dian, ide pembangunan yang selama ini menginspirasi
pembangunan di berbagai negara, terutama di Dunia Ketiga berangkat dari
kekeliruan paradigmatik bahwa tujuan pembangunan adalah untuk mengejar
perbaikan standar hidup (high standard of
living), bukan pada standar hidup yang berkualitas (high quality of life). Paradigma ini menganggap pertumbuhan ekonomi
sebagai satu-satunya tujuan utama dalam pembangunan. Akibatnya, keberlangsungan
lingkungan hidup termasuk aspek-aspek sosial-budaya sengaja diabaikan. Di
samping itu, ide pembangunan ini meminggirkan keterlibatan perspektif
perempuan, sehingga berujung tidak hanya pada munculnya berbagai krisis
lingkungan, tetapi juga melahirkan diskriminasi. Inilah yang Dian sebut sebagai
ide pembangunan yang patriarkis.
Pembangunanisme yang
patriarkis ini kemudian terjawantah dalam berbagai bentuk. Dalam industri
perkebunan dan pertambangan misalnya, pohon-pohon dan tumbuhan alam dibabat,
bukit dan gunung dikeruk, yang semua ini merusak ekosistem lingkungan dan
sumber daya-sumber daya yang dekat dengan peran sosial perempuan, misalnya air.
Demikian juga dalam pertanian, ide ini akan meminggirkan perspektif perempuan
dengan penggunaan massif alat-alat teknologi berat yang hanya bisa dioperasikan
laki-laki atau penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang merusak kandungan air
dan tanah yang mana dampak buruknya paling mudah dialami perempuan. Dan dampak
buruk tersebut dapat bersifat laten dalam tubuh perempuan.
Mengenai yang terakhir
ini, Dian menceritakan tentang apa yang dialami oleh Ni Luh Kartini, yang harus
menerima kenyataan bahwa anak ketiganya mengidap perilaku mengarah kepada
ciri-ciri awal autisme yang sebabnya memiliki hubungan dengan kejadian buruk
yang ia alami ketika masih remaja. Ni Luh Kartini ketika masih remaja pernah
meminum air dari sumur di sawah yang ternyata tercemar pestisida. Dampaknya
tidak hanya langsung membuatnya pingsan, namun unsur-unsur kimiawi pestisida
tersebut ternyata mengendap dalam jaringan lemak payudaranya hingga puluhan
tahun, yang ia ketahui setelah memeriksa ke dokter kandungan air susunya.
Menurut Dian, pada
konteks inilah ekofeminisme lahir. Dian menyebut ekofeminisme sebagai titik
pertemuan antara feminism dan ekologi, yang ingin merespon diskursus
pembangunan yang dianggap membawa krisis multidimensional tidak hanya pada
lingkungan tetapi juga pada perempuan. Jadi, ekofeminisme sebagai dialektika teoritis
dan gerakan praksis hadir untuk mengkritisi gagasan pembangunanisme dan
mendorong pembacaan ulang atas wacana politik, ekologis, ekonomi, dan
sprititualitas serta sekaligus menjawab persoalan-persoalan krisis relasi
antara sesama manusia dan dengan alam.
Dalam habitat
feminisme, berbagai aliran berkembang dan tidak jarang, baik dalam teori maupun
gerakan, berbagai aliran saling menentang walaupun masing-masing berangkat dari
persoalan dasar yang sama, yakni persoalan kesetaraan dan diskriminasi. Bahkan,
dalam ekofeminsme sendiri, beberapa aliran muncul untuk merespon dan
mengkritisi situasi spesifik tertentu, seperti ekofeminisme kultural spiritual,
konstruksi sosial, ekofeminisme model vegan-vegetarian, dan yang terbaru
ekofeminisme global.
Dalam penelitiannya,
Dian menggunakan ekofeminisme global sebagai titik pijakan. Menurut Dian,
aliran ekofeminisme ini merupakan titik pertemuan sekaligus kritik terhadap
gerakan-gerakan feminisme sebelumnya, yang menurut ekofeminisme, dalam
perjuangan mereka mengahiri dominasi atas perempuan justru menggunakan
ideologi, epistemologi, dan teori yang bersandar pada prinsip maskulinitas.
Sementara itu, ekofeminisme secara holistik melihat bahwa hegemoni dan
penindasan tidak hanya berlangsung dari laki-laki pada perempuan, namun juga
antar manusia dan alam.
Oleh sebab itu, dalam
penjelasan Dian, dualisme biner antara feminitas dan maskulinitas dalam
diskursus ekofeminisme digantikan dengan pemahaman ontologis bahwa manusia, apa
pun jenis kelaminnya, adalah setara dan tidak ada pemisahan dalam relasi baik
sebagai sesama manusia dan dengan alam, sehingga ekofeminisme mengandaikan
relasi ekuilibrium antara pria-perempuan dan alam.
Cara pandang yang
holistik, pluralistik, dan inkusif ini, menurut Dian, menjadi asalan mengapa
ekofeminsime global bisa akomodatif dan bertemu dengan semua pengalaman
personal spesifik individu maupun dengan aliran dan gerakan dalam feminism.
Sebagai contoh, para atheis bisa bertemu dengan agamawan, atau antara feminisme
sosialis dan ekofeminisme natural sebab mereka bertemu pada satu pandangan
dasar tentang relasi ekuilibrium antara sesama manusia dan alam.
Konteks
Pesantren Ath-Thaariq
Pesantren Ath-Thaariq
yang menjadi subjek penelitian Dian lahir dari permasalahan sosio-ekologis dan
pembangunan di Garut. Pesantren ini didirikan oleh para aktivis tahun 2009 yang
melakukan advokasi atas masalah-masalah agraria, demokrasi, dan kemanusiaan.
Namun, latar belakang historis pendirian pesantren ini berasal dari masa-masa
sebelum reformasi. Nissa Wargadipura dan Ibang Lukmanurdin yang merupakan
inisiator dan pemimpin pesantren terlibat dalam aktivis Forum Pelajar, Pemuda,
dan Mahasiswa Garut (FPPMG) sejak tahun 1994. Mereka melakukan advokasi petani
di Desa Segara yang terkait dengan konflik agrarian berhadapan dengan
Perhutani. Pada 1997 konflik ini berakhir dengan kemenangan petani sebab lahan
yang mereka garap dipastikan menjadi milik negara dank arena itu mereka berhak
menggarap, dan bukan milik Perhutani.
Pada 1998 setelah
kejatuhan Soeharto dan situasi tidak kondusif di Jakarta, banyak masyarakat
yang kembali ke kampung. Hal ini juga terjadi di Desa Segara. Masyarakat yang
kembali dari perantauan mencoba mengolah lahan yang ternyata sudah terlebih
dahulu dikelola oleh Perhutani. Konflik agrarian kembali pecah dan memaksa
Ibang dan Nissa mendirikan Serikat Petani Pasundan (SPP) pada 1998. Namun
demikian, persoalan yang dialami oleh masyarakat petani di Desa Segara jauh
lebih konfleks dari sekedar perebutan lahan.
Mereka yang baru pulang
dari perantauan sudah lupa dengan sistem pertanian yang berkelanjutan. Karena
itu, pasca konflik, masyarakat mulai terjerat hutang untuk membeli kebutuhan
pangan serta untuk kebutuhan modal dan produksi pertanian. Mereka terpaksa dan
kemudian terbiasa berhutang untuk membeli benih, pupuk, pestisida, dan lain
sebagainya. Dan hutang ini akan dibayar setelah panen. Jika hasil panen
menguntungkan, maka keuntungan akan dibelanjakan untuk barang-barang konsumtif
dan bergengsi, namun ketika panen gagal maka hutang yang menumpuk menjadi
kepastian.
Fenomena petani yang
terlilit hutang semakin lumrah di kampung. Dampaknya kemudian memiliki efek
beruntun. Banyak petani yang kemudian kehilangan lahan untuk membayar hutang.
Dan pada akhirnya, menikahkan anak di usia dini menjadi lumrah karena dianggap
dapat mengurangi beban hidup keluarga. Inilah yang Dian sebut sebagai
pembangunan patriarkis yang pada akhirnya menempatkan perempuan sebagia korban
pertama dan terakhir.
Indikator persoalan
pertanian dan kelaziman berhutang ini terlihat pada ketergantungan petani dalam
memenuhi kehidupan pangan mereka dari warung, bukan dari hasil pertanian
mereka. Ini disebabkan karena petani melupakan sistem heterokultur dalam
tradisi mereka dan bertani monokultur yang berimbas pada hilangnya sumber
keragaman pangan.
Inilah konteks awal
kelahiran pesantren Ath-Thaariq yang mengkombinasikan antara tradisi pesantren
dan agroekologi.
Ekofeminisme
Pesantren dan Kultur Patriarki Pesantren
Penelitian Dian tentang
ekofeminisme pesantren pada pesantren Ath-Thaariq menegaskan bahwa nilai-nilai
ekofeminisme dapat bertemu dan akomodatif dengan nilai-nilai agama, dan dalam
konteks penelitian Dian, ekofeminisme dapat berwajah pesantren. Dan pesantren
juga dapat memiliki karakter baru, yakni terbebas dari kultur patriarki
sekaligus berperan merawat alam.
Hal ini setidaknya
memberikan dua keuntungan. Pertama,
dalam diskursus feminism dan ekologi, agama, dalam hal ini diwakili oleh pondok
pesantren, merubah pandangan minor bahwa agama cenderung mendorong pada baik
diskriminasi gender maupun kerusakan lingkungan.
Sebagaimana diceritakan
Dian mengenai pembagian peran dalam pondok pesantren Ath-Thaariq bahwa tidak
ada kepemimpinan tunggal pada sosok kyai dalam pengelolaannya sebagaimana umum
dijumpai dalam pondok pesantren yang lain. Di pesantren Ath-Thaariq, peran
Nissa Wargadipura (sebagai ummi atau nyai pesantren) dan suaminya Ibang
Lukmanurdin (sebagai abi atau kyai) berjalan seimbang dan setara. Misalnya
terkait materi pembelajaran, keduanya memiliki peran masing-masing, Ibang
bertanggungjawab untuk wilayah ekoteologis, sementara Nissa pada wilayah
agroekologis. Sementera dalam hal penguatan jaringan pesantren, Nissa mengurus
jaringan internal pesantren, dan Ibang untuk jaringan eksternal. Pola-pola
hubungan semacam ini juga berlaku terhadap santri dan sesama santri. Mereka
mengibaratkan diri sebagai satu keluarga agraria, keluarga besar yang menerima
semua pengalaman manusia. Yang terakhir ini menarik disimak dari apa yang
disampaikan Dian, bahwa selama menjadi santri, ia pernah bertemu dengan “santri
atheis” yang datang dari Amerika Serikat untuk belajar tentang bagaimana
pengelolaan pertanian.
Keuntungan
kedua, dalam diskursus pendidikan Islam, apa yang
direpresntasikan oleh pesanten Ath-Thaariq menjawab keraguan banyak peneliti
tentang peran yang mungkin dimainkan oleh pondok pesantren dalam mengentaskan
persoalan-persoalan sosial. Clifford Geertz misalnya dalam The Javanese Kiyai; The Changing Role of A Culture Broker,
menyindir pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang orientasinya
hanya “kuburan dan ganjaran.” Ini juga sekaligus memberi wawasan pada dunia
pesantren mengenai kemungkinan memperluas target pembelajaran dan kepedulian
sosialnya. Dalam pesantren Ath-Thaariq misalnya, mereka berangkat dari
persoalan-persoalan spesifik yang dialami masyarakat sekitar, seperti krisis
lingkungan, persoalan pertanian, ketahanan pangan keluarga, dan pendidikan.
Persoalan-persoalan ini kemudian coba ditemukan jalan keluarnya dengan
mengkombinasikan antara tradisi-tradisi lokal atau luhur dalam bertani dan
tradisi agama.
Penelitian Dian
mengenai ekofeminisme Ath-Thaariq ini diukur dengan enam prinsip universal
ekofeminisme. Keenam prinsip tersebut adalah (1) kesadaran bahwa tidak ada
sistem kekerasan/operasi yang berdiri sendiri, semua saling terkait; (2)
kesadaran dalam merawat keberagaman pengalaman
perempuan; (3) kesadaran untuk terus merawat keadilan dan kesetaraan;
(4) kesadaran untuk tetap terjaga bahwa manusia adalah mahluk yang tidak final
dan karenanya tetap berwelas asih dan bersahaja terhadap sesame manusia dan
non-manusia; (5) kesadaran untuk merawat nilai-nilai feminin tradisional yang
bersifat menjalin, menghubungkan, dan menyatukan manusia; (6) kesadaran bahwa
ilmu pengetahuan dan teknologi hanya dipergunakan untuk menjaga kelangsungan
bumi.
Keenam prinsip ini
merupkan indikator yang Dian pergunakan untuk mengkategorisasi pesantren
Ath-Thaariq sebagai ekofeminis. Hal ini punya kelebihan dan kekurangannya
tersendiri. Kelebihannya adalah Dian memberikan satu role model konkret yang bisa dirujuk sebagai representasi
ekofeminisme pesantren. Ini bermanfaat dan praksis sehingga nilai-nilai
ekofeminisme dapat ditransmisikan, tidak hanya sebagai sebuah nilai tapi juga
gerakan. Kekurangannya adalah Dian – sebagai peneliti – “memaksakan” diskursus
yang dipahaminya dan menjadi landasan penelitiannya untuk mengkategorikan
pesantren Ath-Thaariq, yang diakui oleh Dian tidak pernah mengkategorikan diri
dan lembaga mereka sebagai ekofeminis. Sebab itu, dalam makalah yang Dian
saringkan dari tesisnya, tidak memuat satu pernyataan atau pemahaman tentang
ekofeminisme global oleh pengurus pesantren. Karena itu, ketika menyebut
pesantren Ath-Thaariq sebagai ekofeminisme pesantren, kategori ini berangkat
dari preposisi teoritis peneliti sendiri, bukan
secara langsung ditegaskan oleh pengurus pesantren.
Kesimpulan
Apa yang diterapkan
dalam pesantren Ath-Thaariq, menurut Dian, merepresentasikan nilai-nilai
ekofeminisme global yang tidak hanya menawarkan perspektif baru mengenai bukan
hanya kesetaraan laki-laki dan perempuan, perjuangan hak-hak kedua jenis sex
tersebut, tetapi juga hubungan setara dengan alam. Perspektif ini melampaui
batasan laki-laki dan perempuan dalam perjuangan merebut hak hidup layak, sebab
itu feminism tidak lagi dimaknai sebagai woman-oriented
perspective, namun lebih luas menjadi holistic/equilibrium-relation
perspective.
Diskusi ini menawarkan
beberapa rekomendasi bagi semua, yakni;
1). Pesantren
Ath-Thaariq dapat menjadi role model dalam
arti luas sebab pesantren-pesantren dapat memiliki situasi spesifik yang
berbeda dengan yang dihadapi Ath-Thaariq. Artinya, pesantren-pesantren di
Lombok misalnya, dapat meneladani misalnya pada pola pengelolaan pesantren yang
mengikis kultur-kultur patriarkisnya, keterbukaan, penghargaan pada nilai-nilai
manusia, tapi tetap memiliki ranah kepedulian sosial yang berbeda.
2) Para pemuda perantauan
seperti kami harus – setidaknya mulai berpikir – untuk pulang setelah
menyelesaikan pendidikan dan membangun desa dengan segala kompleksitas
masing-masing.
3) Menjaga dan merawat
keragaman pangan lokal yang dapat menjaga kedaulatan pangan masyarakat.
4) Jika memungkinkan
membuat modul atau kurrikulum bagi pondok pesantren-pondok pesantren yang
diuraikan dari enam prinsip universal ekofeminisme sehingga dapat diukur dan
dapat diterapkan secara praksis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar