Kamis, 03 Agustus 2017

Ekofeminisme Pesantren; Agama dan Kesetaraan Holistik Dalam Hidup

                                                                           Rumah Pak Je Abdullah, Pondok Cabe, 30 Agustus 2017


(Diskusi Mingguan Bersama Dian Ma’ruf)
Oleh: Husnul Aqib

Diskusi rutin kami pada hari Minggu yang lalu membahas tema yang tidak kalah menarik dan mencerahkan dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Kali ini, kami mendapatkan kesempatan untuk membahas hasil penelitian Dian Ma’ruf – yang sekaligus menjadi  pemateri – dengan tema “Ekofeminisme Pesantren: Kajian Terhadap Pesantren Ath-Thaariq Garut, Jawa Barat”.
Penelitian tesis Dian – yang sebenarnya masih dalam proses ini – menarik karena selain  menunjukkan perkembangan paradigmatik dalam diskursus feminisme dan pembangunan, ia juga berhasil memperlihatkan perkembangan perspektif dalam pengelolaan pondok pesantren yang tidak hanya dimaknai sebagai wadah pembelajaran agama, tetapi juga terlibat dalam merespon persoalan lokal masyarakat dan terlibat dalam merawat kesetaraan antara sesama manusia, alam, dan mahluk Tuhan lainnya.
Yang tidak kalah penting dari penelitian ini adalah karena berangkat dari kasus spesifik atau contoh nyata pondok pesantren yang menurut Dian menjalankan konsep ekofeminisme, maka penelitian ini tidak hanya menawarkan perspektif di atas kertas namun juga aplikatif baik sebagai role model maupun sebagai inspirasi pengelolaan lembaga pendidikan pondok pesantren. Hal ini juga memberikan optimisme baru bahwa agama dan lembaga pendidikannya dapat berperan dalam ikut merawat alam. Sebab, agama selama ini diragukan keterlibatannya dalam menjaga lingkungan, bahkan dianggap justru berperan dalam mendorong rusaknya lingkungan akibat doktrin antroposentrisnya. Oleh sebab itu, hasil penelitian ini layak mendapat perhatian luas, baik di antara para pengkaji teori-teori sosial dan feminisme, praktisi pendidikan, dan terutama para santri, kyai, atau pemilik pondok pesantren.
Durasi diskusi kami cukup panjang, seperti biasa, menguras sekitar 6 jam waktu libur kami di hari Minggu, yang mulai dari pukul 5.00 sore dan berakhir 11.00 malam. Proses jalannya diskusi juga beberapa kali menyerempet ke topik-topik yang lebih luas, karena memang apa yang dibahas oleh Dian memiliki hubungan yang kompleks dengan berbagai aspek. Sebab itu, saya sempat kesulitan untuk menyusun secara lebih sistematis proses jalannya diskusi dan kesimpulan-kesimpulan yang muncul. Untungnya saya ditemani oleh Antonio Vivaldi, Franz Schubert, dan Niccolo Paganini, dan tentu saja segelas kopi yang membantu saya menjaga ritme dalam memilah berbagai hal yang muncul dalam perbincangan kami sehingga memiliki komposisi seperti ini.
Dua Titik Keberangkatan
Dian memulai penyampaiannya dengan menceritakan pengalaman pribadinya sebagai perempuan yang pernah menjalani hidup di berbagai tempat. Dian punya latar belakang primordial sebagai orang Palembang, tapi menghabiskan masa kecil hingga remaja di Lombok, dan menjalani masa dewasa di Bandung dan Jakarta sebagai mahasiswi. Perjalanan hidup di berbagai tempat dengan kultur yang beragam memberi Dian wawasan yang mendalam tentang berbagai sistem sosial yang bermuara pada pemahamannya tentang ketidaksetaraan holistik yang terjadi baik di antara laki-laki dan perempuan maupun di antara sesama manusia serta antara manusia dan alam.
Inilah yang saya anggap sebagai titik keberangkatan pertama, yakni pengalaman subjektif Dian sebagai perempuan – dan menjadi peneliti dalam konteks penelitian tesisnya. Pengalaman subjektif ini menjadi kekuatan dan aspek penting yang membuat penelitiannya hidup karena mewakili, setidaknya dalam pembagian sex dan gender, satu subjek yang seringkali paling dirugikan dan sekaligus menjadi korban pertama dari ketidaksetaraan holistik itu. Terlebih, kerugian yang dialami perempuan sebagai korban meliputi semua aspek, seperti fisik, psikologis, sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Kenapa pengalaman subjektif sebagai perempuan ini penting karena – walaupun dalam ulasan lanjutan di bawah akan dijelaskan bahwa feminisme tidak lagi woman-oriented perspective – pengalaman menjadi perempuan tetap khas dan karena itu laki-laki tidak akan sepenuhnya dapat menelusuri posisi perempuan sebagai korban.
Sementara itu, titik keberangkatan yang kedua adalah perdebatan konseptual yang menjadi landasan penelitian Dian. Perdebatan konseptual ini meliputi dua hal, yakni pembangunan dan feminisme. Menurut Dian, ide pembangunan yang selama ini menginspirasi pembangunan di berbagai negara, terutama di Dunia Ketiga berangkat dari kekeliruan paradigmatik bahwa tujuan pembangunan adalah untuk mengejar perbaikan standar hidup (high standard of living), bukan pada standar hidup yang berkualitas (high quality of life). Paradigma ini menganggap pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya tujuan utama dalam pembangunan. Akibatnya, keberlangsungan lingkungan hidup termasuk aspek-aspek sosial-budaya sengaja diabaikan. Di samping itu, ide pembangunan ini meminggirkan keterlibatan perspektif perempuan, sehingga berujung tidak hanya pada munculnya berbagai krisis lingkungan, tetapi juga melahirkan diskriminasi. Inilah yang Dian sebut sebagai ide pembangunan yang patriarkis.
Pembangunanisme yang patriarkis ini kemudian terjawantah dalam berbagai bentuk. Dalam industri perkebunan dan pertambangan misalnya, pohon-pohon dan tumbuhan alam dibabat, bukit dan gunung dikeruk, yang semua ini merusak ekosistem lingkungan dan sumber daya-sumber daya yang dekat dengan peran sosial perempuan, misalnya air. Demikian juga dalam pertanian, ide ini akan meminggirkan perspektif perempuan dengan penggunaan massif alat-alat teknologi berat yang hanya bisa dioperasikan laki-laki atau penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang merusak kandungan air dan tanah yang mana dampak buruknya paling mudah dialami perempuan. Dan dampak buruk tersebut dapat bersifat laten dalam tubuh perempuan.
Mengenai yang terakhir ini, Dian menceritakan tentang apa yang dialami oleh Ni Luh Kartini, yang harus menerima kenyataan bahwa anak ketiganya mengidap perilaku mengarah kepada ciri-ciri awal autisme yang sebabnya memiliki hubungan dengan kejadian buruk yang ia alami ketika masih remaja. Ni Luh Kartini ketika masih remaja pernah meminum air dari sumur di sawah yang ternyata tercemar pestisida. Dampaknya tidak hanya langsung membuatnya pingsan, namun unsur-unsur kimiawi pestisida tersebut ternyata mengendap dalam jaringan lemak payudaranya hingga puluhan tahun, yang ia ketahui setelah memeriksa ke dokter kandungan air susunya.
Menurut Dian, pada konteks inilah ekofeminisme lahir. Dian menyebut ekofeminisme sebagai titik pertemuan antara feminism dan ekologi, yang ingin merespon diskursus pembangunan yang dianggap membawa krisis multidimensional tidak hanya pada lingkungan tetapi juga pada perempuan. Jadi, ekofeminisme sebagai dialektika teoritis dan gerakan praksis hadir untuk mengkritisi gagasan pembangunanisme dan mendorong pembacaan ulang atas wacana politik, ekologis, ekonomi, dan sprititualitas serta sekaligus menjawab persoalan-persoalan krisis relasi antara sesama manusia dan dengan alam.
Dalam habitat feminisme, berbagai aliran berkembang dan tidak jarang, baik dalam teori maupun gerakan, berbagai aliran saling menentang walaupun masing-masing berangkat dari persoalan dasar yang sama, yakni persoalan kesetaraan dan diskriminasi. Bahkan, dalam ekofeminsme sendiri, beberapa aliran muncul untuk merespon dan mengkritisi situasi spesifik tertentu, seperti ekofeminisme kultural spiritual, konstruksi sosial, ekofeminisme model vegan-vegetarian, dan yang terbaru ekofeminisme global.
Dalam penelitiannya, Dian menggunakan ekofeminisme global sebagai titik pijakan. Menurut Dian, aliran ekofeminisme ini merupakan titik pertemuan sekaligus kritik terhadap gerakan-gerakan feminisme sebelumnya, yang menurut ekofeminisme, dalam perjuangan mereka mengahiri dominasi atas perempuan justru menggunakan ideologi, epistemologi, dan teori yang bersandar pada prinsip maskulinitas. Sementara itu, ekofeminisme secara holistik melihat bahwa hegemoni dan penindasan tidak hanya berlangsung dari laki-laki pada perempuan, namun juga antar manusia dan alam.
Oleh sebab itu, dalam penjelasan Dian, dualisme biner antara feminitas dan maskulinitas dalam diskursus ekofeminisme digantikan dengan pemahaman ontologis bahwa manusia, apa pun jenis kelaminnya, adalah setara dan tidak ada pemisahan dalam relasi baik sebagai sesama manusia dan dengan alam, sehingga ekofeminisme mengandaikan relasi ekuilibrium antara pria-perempuan dan alam.
Cara pandang yang holistik, pluralistik, dan inkusif ini, menurut Dian, menjadi asalan mengapa ekofeminsime global bisa akomodatif dan bertemu dengan semua pengalaman personal spesifik individu maupun dengan aliran dan gerakan dalam feminism. Sebagai contoh, para atheis bisa bertemu dengan agamawan, atau antara feminisme sosialis dan ekofeminisme natural sebab mereka bertemu pada satu pandangan dasar tentang relasi ekuilibrium antara sesama manusia dan alam.
Konteks Pesantren Ath-Thaariq
Pesantren Ath-Thaariq yang menjadi subjek penelitian Dian lahir dari permasalahan sosio-ekologis dan pembangunan di Garut. Pesantren ini didirikan oleh para aktivis tahun 2009 yang melakukan advokasi atas masalah-masalah agraria, demokrasi, dan kemanusiaan. Namun, latar belakang historis pendirian pesantren ini berasal dari masa-masa sebelum reformasi. Nissa Wargadipura dan Ibang Lukmanurdin yang merupakan inisiator dan pemimpin pesantren terlibat dalam aktivis Forum Pelajar, Pemuda, dan Mahasiswa Garut (FPPMG) sejak tahun 1994. Mereka melakukan advokasi petani di Desa Segara yang terkait dengan konflik agrarian berhadapan dengan Perhutani. Pada 1997 konflik ini berakhir dengan kemenangan petani sebab lahan yang mereka garap dipastikan menjadi milik negara dank arena itu mereka berhak menggarap, dan bukan milik Perhutani.
Pada 1998 setelah kejatuhan Soeharto dan situasi tidak kondusif di Jakarta, banyak masyarakat yang kembali ke kampung. Hal ini juga terjadi di Desa Segara. Masyarakat yang kembali dari perantauan mencoba mengolah lahan yang ternyata sudah terlebih dahulu dikelola oleh Perhutani. Konflik agrarian kembali pecah dan memaksa Ibang dan Nissa mendirikan Serikat Petani Pasundan (SPP) pada 1998. Namun demikian, persoalan yang dialami oleh masyarakat petani di Desa Segara jauh lebih konfleks dari sekedar perebutan lahan.
Mereka yang baru pulang dari perantauan sudah lupa dengan sistem pertanian yang berkelanjutan. Karena itu, pasca konflik, masyarakat mulai terjerat hutang untuk membeli kebutuhan pangan serta untuk kebutuhan modal dan produksi pertanian. Mereka terpaksa dan kemudian terbiasa berhutang untuk membeli benih, pupuk, pestisida, dan lain sebagainya. Dan hutang ini akan dibayar setelah panen. Jika hasil panen menguntungkan, maka keuntungan akan dibelanjakan untuk barang-barang konsumtif dan bergengsi, namun ketika panen gagal maka hutang yang menumpuk menjadi kepastian.
Fenomena petani yang terlilit hutang semakin lumrah di kampung. Dampaknya kemudian memiliki efek beruntun. Banyak petani yang kemudian kehilangan lahan untuk membayar hutang. Dan pada akhirnya, menikahkan anak di usia dini menjadi lumrah karena dianggap dapat mengurangi beban hidup keluarga. Inilah yang Dian sebut sebagai pembangunan patriarkis yang pada akhirnya menempatkan perempuan sebagia korban pertama dan terakhir.
Indikator persoalan pertanian dan kelaziman berhutang ini terlihat pada ketergantungan petani dalam memenuhi kehidupan pangan mereka dari warung, bukan dari hasil pertanian mereka. Ini disebabkan karena petani melupakan sistem heterokultur dalam tradisi mereka dan bertani monokultur yang berimbas pada hilangnya sumber keragaman pangan.
Inilah konteks awal kelahiran pesantren Ath-Thaariq yang mengkombinasikan antara tradisi pesantren dan agroekologi.
Ekofeminisme Pesantren dan Kultur Patriarki Pesantren
Penelitian Dian tentang ekofeminisme pesantren pada pesantren Ath-Thaariq menegaskan bahwa nilai-nilai ekofeminisme dapat bertemu dan akomodatif dengan nilai-nilai agama, dan dalam konteks penelitian Dian, ekofeminisme dapat berwajah pesantren. Dan pesantren juga dapat memiliki karakter baru, yakni terbebas dari kultur patriarki sekaligus berperan merawat alam.
Hal ini setidaknya memberikan dua keuntungan. Pertama, dalam diskursus feminism dan ekologi, agama, dalam hal ini diwakili oleh pondok pesantren, merubah pandangan minor bahwa agama cenderung mendorong pada baik diskriminasi gender maupun kerusakan lingkungan.
Sebagaimana diceritakan Dian mengenai pembagian peran dalam pondok pesantren Ath-Thaariq bahwa tidak ada kepemimpinan tunggal pada sosok kyai dalam pengelolaannya sebagaimana umum dijumpai dalam pondok pesantren yang lain. Di pesantren Ath-Thaariq, peran Nissa Wargadipura (sebagai ummi atau nyai pesantren) dan suaminya Ibang Lukmanurdin (sebagai abi atau kyai) berjalan seimbang dan setara. Misalnya terkait materi pembelajaran, keduanya memiliki peran masing-masing, Ibang bertanggungjawab untuk wilayah ekoteologis, sementara Nissa pada wilayah agroekologis. Sementera dalam hal penguatan jaringan pesantren, Nissa mengurus jaringan internal pesantren, dan Ibang untuk jaringan eksternal. Pola-pola hubungan semacam ini juga berlaku terhadap santri dan sesama santri. Mereka mengibaratkan diri sebagai satu keluarga agraria, keluarga besar yang menerima semua pengalaman manusia. Yang terakhir ini menarik disimak dari apa yang disampaikan Dian, bahwa selama menjadi santri, ia pernah bertemu dengan “santri atheis” yang datang dari Amerika Serikat untuk belajar tentang bagaimana pengelolaan pertanian.
Keuntungan kedua, dalam diskursus pendidikan Islam, apa yang direpresntasikan oleh pesanten Ath-Thaariq menjawab keraguan banyak peneliti tentang peran yang mungkin dimainkan oleh pondok pesantren dalam mengentaskan persoalan-persoalan sosial. Clifford Geertz misalnya dalam The Javanese Kiyai; The Changing Role of A Culture Broker, menyindir pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang orientasinya hanya “kuburan dan ganjaran.” Ini juga sekaligus memberi wawasan pada dunia pesantren mengenai kemungkinan memperluas target pembelajaran dan kepedulian sosialnya. Dalam pesantren Ath-Thaariq misalnya, mereka berangkat dari persoalan-persoalan spesifik yang dialami masyarakat sekitar, seperti krisis lingkungan, persoalan pertanian, ketahanan pangan keluarga, dan pendidikan. Persoalan-persoalan ini kemudian coba ditemukan jalan keluarnya dengan mengkombinasikan antara tradisi-tradisi lokal atau luhur dalam bertani dan tradisi agama.    
Penelitian Dian mengenai ekofeminisme Ath-Thaariq ini diukur dengan enam prinsip universal ekofeminisme. Keenam prinsip tersebut adalah (1) kesadaran bahwa tidak ada sistem kekerasan/operasi yang berdiri sendiri, semua saling terkait; (2) kesadaran dalam merawat keberagaman pengalaman  perempuan; (3) kesadaran untuk terus merawat keadilan dan kesetaraan; (4) kesadaran untuk tetap terjaga bahwa manusia adalah mahluk yang tidak final dan karenanya tetap berwelas asih dan bersahaja terhadap sesame manusia dan non-manusia; (5) kesadaran untuk merawat nilai-nilai feminin tradisional yang bersifat menjalin, menghubungkan, dan menyatukan manusia; (6) kesadaran bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi hanya dipergunakan untuk menjaga kelangsungan bumi.
Keenam prinsip ini merupkan indikator yang Dian pergunakan untuk mengkategorisasi pesantren Ath-Thaariq sebagai ekofeminis. Hal ini punya kelebihan dan kekurangannya tersendiri. Kelebihannya adalah Dian memberikan satu role model konkret yang bisa dirujuk sebagai representasi ekofeminisme pesantren. Ini bermanfaat dan praksis sehingga nilai-nilai ekofeminisme dapat ditransmisikan, tidak hanya sebagai sebuah nilai tapi juga gerakan. Kekurangannya adalah Dian – sebagai peneliti – “memaksakan” diskursus yang dipahaminya dan menjadi landasan penelitiannya untuk mengkategorikan pesantren Ath-Thaariq, yang diakui oleh Dian tidak pernah mengkategorikan diri dan lembaga mereka sebagai ekofeminis. Sebab itu, dalam makalah yang Dian saringkan dari tesisnya, tidak memuat satu pernyataan atau pemahaman tentang ekofeminisme global oleh pengurus pesantren. Karena itu, ketika menyebut pesantren Ath-Thaariq sebagai ekofeminisme pesantren, kategori ini berangkat dari preposisi teoritis peneliti sendiri, bukan  secara langsung ditegaskan oleh pengurus pesantren.  
Kesimpulan
Apa yang diterapkan dalam pesantren Ath-Thaariq, menurut Dian, merepresentasikan nilai-nilai ekofeminisme global yang tidak hanya menawarkan perspektif baru mengenai bukan hanya kesetaraan laki-laki dan perempuan, perjuangan hak-hak kedua jenis sex tersebut, tetapi juga hubungan setara dengan alam. Perspektif ini melampaui batasan laki-laki dan perempuan dalam perjuangan merebut hak hidup layak, sebab itu feminism tidak lagi dimaknai sebagai woman-oriented perspective, namun lebih luas menjadi holistic/equilibrium-relation perspective.
Diskusi ini menawarkan beberapa rekomendasi bagi semua, yakni;
1). Pesantren Ath-Thaariq dapat menjadi role model dalam arti luas sebab pesantren-pesantren dapat memiliki situasi spesifik yang berbeda dengan yang dihadapi Ath-Thaariq. Artinya, pesantren-pesantren di Lombok misalnya, dapat meneladani misalnya pada pola pengelolaan pesantren yang mengikis kultur-kultur patriarkisnya, keterbukaan, penghargaan pada nilai-nilai manusia, tapi tetap memiliki ranah kepedulian sosial yang berbeda.
2) Para pemuda perantauan seperti kami harus – setidaknya mulai berpikir – untuk pulang setelah menyelesaikan pendidikan dan membangun desa dengan segala kompleksitas masing-masing.
3) Menjaga dan merawat keragaman pangan lokal yang dapat menjaga kedaulatan pangan masyarakat.

4) Jika memungkinkan membuat modul atau kurrikulum bagi pondok pesantren-pondok pesantren yang diuraikan dari enam prinsip universal ekofeminisme sehingga dapat diukur dan dapat diterapkan secara praksis.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar