Rabu, 09 Agustus 2017

TGB Zainul Majdi: Konflik NW dan Upaya Islah Yang Selalu Gagal

(Diskusi Bersama: Muhammad Hizbullah)
Oleh: Husnul Aqib
Diskusi rutin kami pada hari Minggu kemarin membahas tema yang menarik dan ‘panas’ mengenai berbagai persoalan yang tumbuh dan merayap dalam tubuh Nahdlatul Wathan (NW). Dalam diskusi kali ini, kami mendapatkan kesempatan untuk mengulas hasil penelitian tesis Muhammad Hizbullah yang berjudul “Relasi Kuasa Zaiunl Majdi Dengan Perkembangan dan Upaya Kesatuan Nahdlatul Wathan Di Pulau Lombok (2008-2015).
Seperti biasa, durasi perbincangan kami cukup panjang, dengan beban teoritis yang berat serta lika-liku persoalan NW yang para peserta diskusi sampaikan sehingga beberapa kali saya harus menuntut kejelasan-kejelasan pernyataan untuk mendapat kepastian dari mereka. Di sini, saya hendak mempermaklumkan diri bahwa dengan alasan-alasan tersebut, ditambah kelemahan daya tangkap, serta beberapa pernyataan perlu hanya menjadi pengetahuan di antara peserta diskusi, maka hasil ulasan ini tidak sepenuhnya memuat dinamika perbincangan dan perdebatan yang terjadi.
Saya sebenarnya cukup kesulitan membuat ulasan ini, bahkan untuk menentukan judul yang tepat, sebab ketika berbicara mengenai NW sangat banyak aspek dan persoalan yang tidak mungkin tertinggal. Bahkan, dalam diskusi ini kami seringkali menyerempet ke persoalan-persoalan yang cukup “sensitive” dan tak mungkin diurai secara gamblang dalam ulasan ini sebab membutuhkan konfirmasi data yang lebih valid.
Semangat untuk menempatkan NW sebagai lokus perbincangan dan kritik pada dasarnya mudah dipahami. Bagi kami yang ada di Jakarta misalnya, NW merupakan bagian dari diri kami, atau sebaliknya kami merupakan bagian dari NW. Perasaan ini muncul dari proses panjang menjadi orang NTB, khusunya orang Lombok. Sebagian besar dari kami menempuh pendidikan di lembaga pendidikan NW, belajar tentang agama dan bermasyarakat dari NW, atau setidaknya kami merasa NW merupakan elemen yang tidak mungkin dipinggrikan dari asal-usul primordialitas. Artinya, ketika berbicara tentang Lombok misalnya, hampir tidak mungkin meletakkan NW pada pojok perbincangan.
NW dengan segala signifikansi sekaligus persoalannya memang selalu menarik untuk diulas, dikupas, bahkan untuk “dipergunjingkan”. NW tidak pernah kering dari perhatian, terlebih dengan sosok Tuan Guru Bajang Zainul Majdi yang padanya melekat berbagai status dan citra. Beliau memanggul berbagai jabatan – sebagai gubernur NTB dan ketua pengurus besar NW Pancor – dan menanggung tugas kultural sebagai tuan guru, pendidik, pendakwah, dan suri tauladan secara umum.
Dengan berbagai posisi dan tanggungjawab tersebut, TGB Zainul Majdi akhirnya “berhutang” banyak ekspektasi yakni dalam pemerintahan, dalam organisasi NW, dan sebagai tokoh agama atau tokoh masyarakat. Masalahnya kemudian, TGB menemui banyak kendala untuk memenuhi hutang-hutang ekspektasi tersebut, terutama karena konflik dan perpecahan yang tak kunjung menemukan jalan keluarnya dalam tubuh NW.
Pada konteks inilah penelitian Hizbullah menarik dan penting, serta layak diperhatikan para pemimpin, kader, dan abituren NW. Hizbullah tidak hanya mengulas konflik dan perpecahan NW menjadi NW Pancor dan Anjani, namun juga berhasil menjelaskan karakter konflik tersebut, sekaligus mengidentifikasi bagaimana posisi TGB Zainul Majdi dalam upaya islah. Ini penting sebab selain dapat memberikan insight dan pelajaran bagi para kader NW, penelitian Hizbullah juga dapat memperjelas kendala yang membuat persatuan atau islah selalu menemukan jalan buntu dan karena itu juga berguna untuk mengupayakan niat, upaya, dan cara-cara baru, serta memperhatikan persoalan tersebut secara lebih menyeluruh.
Titik Keberangkatan Teoritis
Penelitian Hizbullah mencoba mengulas konflik NW dari sudut pandang teori-teori budaya dan komunikasi. Grand theory yang coba ia gunakan adalah teori relasi kuasa Paul-Michel Foucault. Pendekatan ini sebenarnya cukup baru dalam beberapa penelitian mengenai NW yang pernah kami diskusikan di lingkaran anak-anak Lombok di Jakarta. Sayangnya, Hizbullah cukup kedodoran memahami dan mengaplikasikan teori kuasa Foucault yang memang terkenal sangat rumit untuk dibaca dan diserap, apalagi untuk digunakan sebagai cara baca mengenai persoalan-persoalan lokal, seperti konflik NW.
Oleh sebab itu, sering sekali dalam uraian maupun penelitiannya, Hizbullah kesusahan membedakan kuasa sebagai strategi budaya dalam terminology Foucault dengan kuasa sebagai strategi politik-administratif sebagaimana secara lumrah dipahami. Hal ini misalnya terlihat ketika Hizbullah mensandingkan teori kuasa Foucault dengan teori kuasa al-Mawardi dan beberapa pemikir lainnya.
Dalam beberapa bagian, Hizbullah memang menunjukkan beberapa perebutan kuasa di antara dua pengurus NW yang masing-masing mengklaim satu wacana yang dianggap benar. Misalnya, mengenai perebutan makna tafsir AD-ART mengenai landasan fiqih NW yang mengacu pada mazhab Imam Syafi’i atau perebutan gelar Tuan Guru Bajang (TGB) yang masing-masing dari pengurus NW Pancor dan Anjani menganggap tokoh mereka yang paling layak, atau perebutan legitimasi sebagai pengurus yang NW yang sah dengan menawarkan berbagai narasi yang diambil dari berbagai sumber di masa lalu, misalnya wasi’at renungan massa, pesan-pesan Maulana Syeikh Tuang Guru Kyai Haji Zainuddin Abdul Majid, dan intensitas kehadiran dalam berbagai moment pengajian Maulana Syeikh.
Terlepas dari problem teoritis yang ada, penelitian Hizbullah berhasil memberikan insight yang cukup berarti mengenai konflik NW.
Konflik NW; Dari Perebutan Kepemimpinan, Aset, hingga Gelar
Pembicaraan tentang konflik NW bisa jadi hanya mengulang-ulang masalah yang sama, namun persoalan itu lah yang membuat setiap perbincangannya selalu menemukan signifikansi. Konflik itu adalah tantangan NW, dan ketika ia masih dibicarakan maka itu menjadi pertanda bahwa NW belum melewati tantangannya. Artinya, masih butuh waktu panjang bagi kita untuk memperbincangkannya. Terlebih, beberapa peserta menyebut bahwa masih sangat jauh waktu yang dibutuhkan untuk NW mampu menyelesaikan masalah tersebut – tentu dengan mengidentifikasi beberapa alasan yang akan diuraikan selanjutnya.
Di samping itu, perpecahan NW menjadi NW Pancor dan Anjani, bukan bifurkasi sederhana. NW tidak membelah diri menjadi dua cabang – yang karena itu bisa disyukuri dan dirayakan – tapi sejenis chaos. Kita tidak mungkin melupakan bagaimana konflik itu pernah berujung pada konflik kekerasan, fragmentasi sosial, bahkan mendorong lahirnya organisasi-organisasi vigilantis seperti Satgas, Hizbullah, dan lain-lain yang sempat membuat kusut ikatan-ikatan keluarga dan sosial di tengah-tengah masyarakat Lombok, bahkan seringkali bergesekan dengan persoalan hukum.
Situasi tersebut hari ini barangkali tidak segawat di awal-awal konflik, namun bukan berarti dampak chaos tersebut menghilang, bahkan seringkali meruncing pada moment-moment tertentu. Berulangkali kita, para kader NW dan orang Lombok, menyaksikan konflik itu dirayakan dipanggung-panggung dakwah oleh elit-elitnya.
Situasi ini sebenarnya paradoks mengingat landasan utama perjuangan NW berpusat pada tiga lokus, yakni pendidikan, dakwah, dan sosial. Ketiga aras perjuangan ini memuat nilai-nilai yang menuntut dan menuntun pada persaudaraan, persatuan, pembangunan sosial, pendidikan masyarakat, dan lain sebagainya. Ketika nilai-nilai tersebut diperjuangkan oleh organisasi yang terpecah, maka di saat itu lah perpecahan di tubuh NW melahirkan paradoks pada dirinya sendiri.
Konflik NW yang berujung pada perpecahan bermula setelah sepeninggalan al-magfurullah TGKH Zainuddin Abdul Majid – pendiri NW – pada 21 Oktober 1997. Kedua putri beliau, Siti Rauhun dan Siti Raihanun masing-masing mengklaim sebagai penerus kepemimpinan ayah mereka. Konflik ini kemudian berkembang pada perebutan kekuasaan sebagai Pengurus Besar NW, yang pada Muktamar X tanggal 24-26 Juli 1998 di Praya Lombok Tengah menghasilkan keputusan Raihanun sebagai ketua umum PBNW. Namun, keputusan tersebut menurut kubu Pancor cacat hukum, tidak sah, dan penuh kecurangan.
Hal tersebut menimbulkan polemik berkepanjangan. Menurut Hizbullah, kedua kubu merasa memiliki landasan pembenaran. Ketika Hizbullah mewawancarai Tuan Guru Anas Asri dari kubu Anjani dan Tuan Guru Yusuf Ma’mun dari Pancor, kedua tuan guru sepuh tersebut masing-masing mengklaim memiliki data yang valid mengenai proses jalannya muktamar X yang menjadi asal-mula konflik. Bahkan, TGB Zainul Majdi pun, menurut Hizbullah mengklaim memiliki data dan informasi yang benar.
Kubu Pancor akhirnya memilih TGB Zainul Majdi, putra Siti Rauhun, sebagai ketua Pengurus Besar NW. TGB Zainul Majdi sendiri terpilih sebagai ketua Pengurus Besar NW pada muktamar tandingan yang kemudian disebut sebagai muktamar reformasi yang diadakan pada tanggap 11-12 September 1999 di Pancor Lombok Timur.
Ada yang menarik dari polemik seputar hasil muktamar yang diadakan di Praya. Hizbullah berhasil menceritakan secara detail dalam tesisnya mengenai proses dan liku-liku muktamar tersebut, namun satu aspek yang cukup menarik adalah mengenai proses perebutan tafsir Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) organisasi. Dalam AD-ART menyebutkan mengenai mazhab fiqih yang dianut adalah mazhab imam Syafi’I, dan perebutan tafsir AD-ART yang dimaksud adalah apakah maksud AD-ART tersebut berarti menganut semua produk hukum mazhab imam Syafi’i atau hanya sebagian. Jika maksudnya adalah semua produk hukum mazhab imam Syafi’i, maka termasuk di dalamnya adalah ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin, dan karena itu, Siti Raihanun tidak sah menjadi ketua PB NW.  
NW Pancor ingin memperjelas maksud AD-ART tersebut dalam sebuah muktamar atau dialog, namun NW Anjani mengatakan bahwa sudah jelas yang dimaksudkan dalam AD-ART tersebut adalah sebagian dari mazhab Imam Syafi’i. Alasan kubu Anjani adalah Maulana Syeikh sendiri semasa hidup pernah merestui kepemimpinan seorang perempuan menjadi kepala desa di Tratak Lombok Timur.
Menurut Hizbullah dan beberapa peserta diskusi menyebutkan ada banyak penjelasan mengenai mengapa NW pecah pada Muktamar X di Praya. Namun yang paling utama adalah ketiadaan sosok yang tepat menggantikan Maulana Syeikh dari kedua putrinya. Siti Rauhun dan Siti Raihanun dianggap tidak mampu mengimbangi figure Maulana Syeikh baik secara intelektual, ketokohan, pemahaman agama, dan pergerekan. Menurut Hizbullah, Siti Rauhun menyadari persoalan ini dan karena itu tidak berniat menjadi pemimpin NW, selain disebabkan oleh penghormatannya terhadap tradisi-tradisi Maulana Syeikh yang berpaham ahlussunnah wal jamaah serta masih ada tokoh lain dari kalangan keluarga yang lebih mampu, misalnya H. Ma’sum Ahmad Abdul Madjid.
Upaya untuk islah beberapa kali dilakukan. Pada tahun 2010 upaya ini sempat berhasil dengan kerjasama kedua pengurus NW Pancor dan Anjani untuk mengusung calon yang sama pada pemilihan Bupati/wakil Bupati Lombok Tengah. Waktu itu, pihak NW mencalonkan Lalu Gede M. Ali Wirasakti Amir Murni (Gede Sakti). Namun, seiring kekalahan calon mereka, konflik kembali berlanjut seperti semula.
Situasi kembali memanas setelah pada tahun 2014 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengeluarkan SK mengenai legalitas organisasi yang memenangkan NW versi Pancor berdasarkan akta pendirian No. 117 di hadapan notaris Hamzan Wahyudi di Mataram.
SK Kemenkumham tersebut kemudian digugat oleh kubu Anjani ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Mereka melandaskan gugatan mereka pada hasil muktamar X dan menurut mereka NW sudah memiliki badan hukum sejak  tahun 1960 yang diumumkan diberita negara RI pada tanggal 8 November 1960. Kubu Anjani mengklaim berdasarkan hal itu, Kemenkumham mencabut SK penetapan kubu Pancor dan Mahkamah Agung telah mengeluarkan surat nomor 37/K/T/UN/2016 tanggal 17 April 2016 yang menegaskan bahwa NW kubu Anjani lah pengurus sah NW. Pikah NW Pancor kemudian membantah klaim tersebut dan menggap kasusnya masih berjalan di MA.
Konflik ini meluas tidak hanya pada persoalan siapa yang layak meneruskan perjuangan Maulana Syeikh, tetapi pada siapa yang paling berhak mengurus NW. Karena itu, konflik pun berujung pada perebutan asset organisasi, yang sayangnya seringkali kita saksikan di panggung-panggung dakwah. Beberapa video mengenai hal ini dapat dicari di youtube.
Salah satu kesimpulan yang muncul dalam diskusi mengenai konflik tersebut adalah tidak ada pemisahan yang jelas antara aset organisasi dan aset keluarga. Misalnya, dalam beberapa kesempatan Zainuddin Tsani, putra Raihanun, mengklaim beberapa bangunan di Pancor adalah kepunyaannya. 
Perpecahan di tubuh NW tidak hanya berlangsung pada perebutan kepengurusan dan aset, tapi menjalar ke persoalan gelar. Tuang Guru Bajang atau TGB yang tersemat pada nama Zainul Majdi digugat oleh pihak Anjani karena dianggap yang layak untuk menggunakan gelar tersebut adalah Zainuddin Tsani. Karena itu Zainuddin Tsani juga menggunakan gelar tersebut dengan menambahkan huruf R menjadi RTGB (Raden Tuan Guru Bajang). Pihak Anjani mengklaim bahwa gelar tersebut diberikan langsung oleh Maulana Syeikh. Klaim ini disampaikan dalam konfrensi pers yang digelar di Restoran Pulau Dua Senayan Jakarta pada tanggal 3 Oktober 2016. Bahkan Lalu Gede M. Ali Wirasakti, Roi’s Am Dewan Mustasyar PB NW Anjani, dalam sebuah kesempatan mengatakan Zainul Majdi telah mengkapitalisasi gelar TGB demi kepentingan-kepentingan politik.
Namun, pihak NW Pancor membantah klaim dan tuduhan pihak Anjani. Menurut Tuan Guru Yusuf Ma’mun, gelar TGB murni panggilan yang diberikan oleh masyarakat, bukan karena faktor keturunan atau pemeberian keluarga. Zainul Majdi sendiri sebagai pengguna gelar tersebut menyebutkan bahwa TGB adalah panggilan masyarakat yang ia peroleh dari aktivitas dakwahnya.
Upaya Islah Yang Selalu Gagal
Persatuan atau islah konon diharapkan oleh kedua pihak dari elit-elit NW Pancor dan NW Anjani. Berbagai cara telah mereka lakukan, tapi jalan ke arah sana tidak kunjung mulus. Hal ini diakui oleh TGB Zainul Majdi dan pengurus-pengurus NW Pancor yang lain. Begitu pula dengan pihak NW Anjani. Mereka menyatakan sangat mendukung upaya islah, namun mereka menganggap pihak NW Pancor tidak serius mengupayakannya. Apa yang mereka anggap sebagai keseriusan NW Pancor mengupayakan islah adalah dengan mengakui kepengurusan NW Anjani yang syah, dan dengan demikian, NW Pancor harus melepaskan jabatan yang mereka klaim.
Menurut pendapat para pemateri dan peserta diskusi ada beberapa kendala kenapa upaya persatuan atau islah selalu gagal. Pertama, dapat disebutkan bahwa faktor yang mula-mula menjadi kendala upaya islah adalah keegoisan kedua pengurus. Hal ini tercermin dari berbagai pernyataan yang saling menegasikan di berbagai kesempatan dan pada klaim masing-masing sebagai pengurus yang paling sah.
Kedua, persaingan politik. Perpecahan antara kedua NW semakin menemukan bahan bakarnya pada setiap moment politik. Kedua NW selalu bersaing dan pada juntrungannya memperbesar konflik dan perpecahan di antara mereka sebab dalam setiap kontestasi mengandaikan negasi satu dengan yang lain. Terlebih dalam perebutan kekuasaan yang menentukan seperti perebutan kursi gubernur/wakil guberunur, bupati/wakil bupati, dan jabatan legislatif. Kendala kedua ini diafirmasi oleh hasil penelitian tesis Hizbullah yang menyebutkan bahwa konflik seringkai meruncing di moment-moment hajatan politik. Beberapa peserta diskusi, salah satunya Ihsan Hamid juga menyetujui pandangan ini. Ia melacak faktor sulit terwujudnya islah dan persatuan karena karakter NW sebagai organisasi dakwah, sosial, dan pendidikan telah bergeser ke persoalan perebutan kekuasaan, terutama setelah Pilkada langsung. Sebagai contoh, untuk hajatan Pilkada 2018, kedua NW Anjani dan Pancor telah mendeklarasikan calon mereka masing-masing. NW Anjani mengusung Lalu Gede M. Ali Wirasakti Amir Murni, sementara NW Pancor mengusung Siti Rohmi Jalilah.
Ketiga, karakter NW yang berbentuk organisasi yayasan. Persoalan konflik NW berakar dari problem kepengurusan yang seringkali muncul dalam organisasi yayasan setelah pendiri pertama mangkat. Pasalnya, organisasi merupakan sumber ekonomi dan kekuasaan, sehingga ia perlu diperebutkan. Ketika sumber ini tidak bisa dikuasai oleh satu tangan, maka sumber tersebut akan menjadi rebutan. Dalam konteks NW, setelah Maulana Syeikh mangkat, tidak ada keturunannya yang dapat secara penuh meneruskan organisasi, terutama karena ketiadaan penerusnya yang putra. Barangkali faktor ini dapat menjelaskan “ramalan” Maulana Syeikh yang termuat di Wasiat Renungan Masa mengenai perpecahan yang akan terjadi di antara kedua putrinya setelah beliau mangkat.
Keempat, faktor internal keluarga. Rauhun dan Raihanun adalah dua bersaudara beda ibu. Meski membutuhkan beberapa penelitian lebih lanjut ataun konfirmasi dari berbagai sumberu, namun asumsi ini perlu mendapat perhatian. Sebab, bisa jadi asal-mula konflik berakar jauh pada persoalan keluarga dan berlanjut pada organisasi yang dikelola sebagai yayasan keluarga.
Kelima, Ada orang-orang yang tidak menginginkan NW bersatu. Kesimpulan dari faktor ini tidak untuk melahirkan prasangka di antara para pengurus NW, tapi kemungkinannya perlu ditelisik. Sebab, NW memang sumber kekuasaan dan ekonomi, dan ketika sumber ini tidak terfokus dan terpusat pada satu organisasi yang padu, maka sumber-sumber tersebut juga membuka kesempatan yang lebih besar bagi pihak-pihak lain untuk turut menikmatinya.
Posisi TGB Zainul Majdi
Bagian ini sebenarnya, pada satu bagian, dapat dianggap sebagai faktor keenam kendala islah di tubuh NW. TGB Zainul Majdi secara umum memang merupakan sosok yang paling lengkap dari semua keturunan Maulana Syeikh. Beliau cerdas dan memiliki karisma seorang tokoh, dan karena itu ia tidak hanya popular di masyarakat, tapi juga menjabat berbagai posisi penting di NTB, yakni sebagai gubernur, ketua PB NW Pancor, dan sebelumnya menjadi Ketua Partai Demokrat di NTB.
TGB Zainul Majdi memiliki kemasyhuran, kebesaran, dan kekuatan politk namun bukan berarti ia sepenuhnya berhasil dengan kelebihan tersebut. Dalam beberapa aspek, berbagai beban struktural yang dipanggulnya, membuat aspek kultural yang juga diembannya justru gagal. Sebagai ketua PBNW Pancor, TGB Zainul Majdi berada di pusat konflik dan dianggap tidak sah oleh kubu Anjani.
Demikian pula dalam jabatannya sebagai gubernur. Menurut hasil wawancara Hizbullah, TGB Zainul Majdi oleh pihak Anjani dianggap tidak adil dalam mendistribusikan bantuan bagi madrasah-madrasah/lembaga pendidikan NW. Pihak NW Anjani menyebut bahwa sepeser pun mereka tidak pernah mendapatkan bantuan selama TGB Zainul Majdi menjadi gubernur. Namun anehnya, pihak Pancor pun menyatakan hal yang sama, sebagaimana ditegaskan Siti Rahmi Djamilah, saudari TGB Zainul Majdi.
Memang, sejak TGB Zainul Majdi menjabat sebagai gubernur, pembangunan di NW Pancor berjalan pesat dan signifikan, serta jauh melangkahi pembangunan di Anjani. Di Pancor, lingkaran akademisnya juga lebih hidup dibandingkan di Pancor. Penyebabnya barangkali karena kekuasaan TGB mempengaruhi berkumpulnya para akademisi dan sarjana di Pancor. Hal ini menimbulkan perasaan iri pada pengurus NW Anjani yang tergambar dari pidato elit-elit mereka yang mengkritik kepemimpinan TGB Zainul Majdi sebagai gubernur dan ketua PBNW Pancor.  
Di samping itu, walaupun TGB Zainul Majdi berhasil menjabat sebagai gubernur NTB selama dua priode, hal tersebut bukan berarti NW berhasil memenangkan politik daerah.  Konflik yang tak kunjung berakhir menyebabkan NW mengalami kekalahan dalam beberapa pertarungan politik di daerah. Di Lombok Timur, pusat NW Pancor dan Anjani, pemimpin pemerintahan dikuasai oleh Ali Bin Dahlan, yang dalam Pilkada sebelumnya berhasil menggeser calon dari NW Sukiman dan Lutfi (Saudara TGB Zainul Majdi). Begitu juga dengan apa yang terjadi di Lombok Tengah. Satu-satunya kabupaten yang dimenangkan oleh NW adalah di kabupaten Lombok Utara dengan bupatinya Najmul Ahyar.

Kesimpulan dan Rekomendasi
Konflik di tubuh NW telah berlangsung hampir dua dekade. Jalan ke arah persatuan atau islah nampaknya masih jauh. Namun, jika pesatuan atau islah yang dimaksud adalah menggabungkan kembali dua kubu NW yang masing-masing telah memiliki tempatnya sendiri, maka hal tersebut tidak perlu dilakukan.
Artinya, pengandaian bahwa persatuan berarti meleburkan kedua kepengurusan NW Pancor dan Anjani bukanlah jalan keluar dan hampir mustahil. Yang diperlukan adalah memperbaiki ikatan-ikatan yang sempat kusut, menurunkan ego, dan membiarkan kedua pengurus NW berjalan masing-masing. Tidak perlu lagi ada negasi mengenai kepengurusan yang sah di antara kedua pengurus karena NW memang lahir bukan semata-mata administrasi. Terlebih, kedua NW tersebut pada dasarnya tidak memiliki kendala sejarah yang terlalu dalam untuk mengupayakan rekonsiliasi. Dengan demikian, masyarakat NW dapat melihat konflik dan perpecahan tersebut berujung menjadi positif dan perjuangan al-Magfurlah Maulana Syeikh dapat berlanjut dengan berbagai tantangan baru.
Di samping itu, kedua pengurus perlu mempertimbangkan ulang mengenai kesempatan-kesempatan politik yang ada. Sebab, kontestasi kekuasaan di tingkat elit NW pada akhirnya mempengaruhi psikologi masyarakat yang dicerca oleh berbagai kampanye yang tidak jarang berlangsung di panggung-panggung dakwah.

Yang tidak kalah penting untuk dipertimbangkan adalah kemungkinan NW menjadi yayasan yang sepenuhnya terbuka. Artinya, kepengurusan NW tidak lagi berdasarkan pada trah atau keturunan sehingga dia tidak berpusat pada satu tokoh. NW Pancor sebenarnya yang paling dekat ke arah ini walaupun jalannya masih cukup panjang.

1 komentar:

  1. Klarifikasi sebagaimana diberitakan dan dimuat di Youtube itu bukan pada substansi yang sebenarnya, apalagi sudah ada framing “para Tuan Guru NU yang mendatangi”.

    Merasa para kiai NU di NTB dimanfaatkan oleh media yang baru diregistrasikan di Jogjacamp pada 3 Mei 2017 itu, aktivis muda NU menyebutframing pemberitaan situs abal-abal sebagai suul adab.

    “Astaghfirullah. Dalam keterangan gambar TGH Turmudzi sowan ke pendopo Gubernur. Siapa yang sangat suul adab menyetting ini. Presiden Jokowi saja sowan ke al-Mukarrom TGH Turmudzi,” ujar Ustadz T.R dalam sebuah diskusi terbatas, Ahad (08/04/2018).

    “Masa kiai/ulama sepuh diberitakan seperti itu?” Ujar AM, yang menangapi respon T.R, tidak terima framing media belum genap berusia satu tahun itu.

    Selengkapnya: TGB Zainul Majdi yang "Habisi" Orang-Orang NU, Bukan Cerita Baru di NTB

    BalasHapus