Minggu, 13 Agustus 2017

Merdeka 100%

Oleh: Husnul Aqib

Dirgahayau Republik Indonesia yang ke-72

Tan Malaka pernah sangat berikukuh bahwa Indonesia harus merdeka sepenuhnya dari unsur-unsur penjajah. Sebab itu ia tidak pernah suka dengan cara-cara diplomatis Soekarno dalam menghadapi Belanda. Bagi Tan Malaka, berunding dengan Belanda sama artinya dengan menyerah pada dualisme penjajah dan terjajah, karena itu mustahil berujung pada terwujudnya kemerdekaan yang seutuhnya. Kemerdekaan 100% hanya lahir dari perlawanan hingga tetes darah penghabisan. “Dia selalu tidak senang dengan politik diplomasi”, tulis Harry A Poeze, sejarawan dan peneliti asal Belanda yang kepincut dengan tokoh revolusioner itu.
Semangat Tan Malaka memang benar. Tapi, mungkinkah negara yang lahir dari kolonialisme dapat merdeka 100%? Bisa jadi, pernah Soekarno dengan caranya sendiri, bukan pada Belanda tapi pada bangsanya sendiri, berupaya menghapus unsur-unsur Belanda. Dalam semangat revolusi, Soekarno memutuskan bahwa segala yang berbau Belanda dan tidak menjiwai semangat revolusi harus dimusnahkan. Maka, bahasa Belanda pun mulai hilang, gedung-gedung dihancurkan, nama-nama organisasi diganti, dan di sisi lain monument-monument yang menjadi simbol nasionalisme dibangun dengan megah.
Meski demikian, Tan Malaka tidak pernah bisa berkata “Akhirnya Indonesia merdeka 100%.” Barangkali ada sesuatu yang lain yang kemudian ia sadari. Bahwa penindasan dan diskriminasi tidak selamanya datang dari negara asing, sebuah bangsa merdeka bisa dicengkram oleh anak kandungnya sendiri.
Tragisnya, itulah yang terjadi pada Tan Malaka. Ia pun mati oleh kebengisan bangsanya sendiri. Ia ditembak mati begitu saja oleh prajurit nasionalis. Mayatnya dikubur seadanya dengan tangan masih terikat. Jasatnya pun ditemukan bukan oleh bangsanya sendiri, tapi oleh Harry A Poeze, orang Belanda yang padanya Bangsa Indonesia harus juga berterimakasih.
Betapa banyak negara yang lahir dengan ceceran darah melawan penjajah, tapi selanjutnya jatuh pada penjajahan yang lain, yang lebih tragis, yang susah digambarkan sebab sebelumnya hanya dipahami sebagai agresi dan kezaliman negara asing. Misalnya Vietnam, setelah berhasil mengusir Amerika Serikat tahun 1960, ternyata negeri itu jatuh pada kediktatoran anak kandungnya sendiri. Joan Baez – seorang Amerika Serikat yang menentang negaranya pada agresi tahun itu dan datang ke Hanoi untuk membela Vietnam – terpaksa datang ke Washington pada 1970 untuk menyatakan protesnya bersama dengan wakil-wakil pengungsi Vietnam atas kediktatoran dan pelanggaran hak-hak asasi manusia oleh negeri yang dulu dibelanya. Demikian pula di Yunani, setelah bebas dari cengkraman tentara Nazi, negeri itu justru dicengkram anak kandungnya sendiri, yang terkenal dengan sebutan “para kolonel”. Begitu pula di Iran, Libya, Irak, Mesir, dan termasuk Indonesia.
Bangsa yang dizalimi, ditindas, dan dicengkram anak kandung sendiri tidak mudah dipahami. Dalam konteks oposisi biner Belanda-Indonesia atau penjajah-korban jajahan, konsep tersebut mudah dimengerti dan karena itu strategi perlawanan juga jelas dan tegas. Tapi, dalam konteks yang menjajah, menzalimi, dan mencengkram adalah anak bangsa sendiri, konsep tersebut tidak mudah dicerna; sebab itu, strategi perlawanan pun rancu dan tanggung.
Mula-mula ada kesulitan idiomatik yang dialami bangsa yang dijajah anak kandungnya sendiri, kemudian berlanjut pada kesulitan konseptual, dan seterusnya berdampak pada kesulitan strategi perlawanan. Misalnya di bawah pemerintahan diktator, tidak ada persekutuan utuh di antara masyarakat dan dengan demikian tak ada perlawanan total. Dalam hal ini, mudah dipahami ketika diktator di satu sisi dihujat, tapi ditempat lain dipuja dan namanya dilapalkan menjadi pahlawan.
Barangkali karena kesulitan-kesulitan semacam itu, pernah Pramoedya Ananta Toer dibuat jengkel dengan tulisan Goenawan Mohammd yang berjudul “Surat Terbuka Untuk Pramoedya Ananta Toer”. Dalam tulisan itu, GM – panggilan singkat Goenawan Mohamad – menyesalkan penolakan Pram atas permintaan maaf Abdurrahman Wahid kepada para korban kekerasan negara di masa lalu. GM menyebut inisiatif Abdurrahman Wahid tersebut ‘mirip “pengakuan dosa” di depan publik.’
Salah satu yang membuat Pram jengkel adalah karena GM membanding-bandingkannya dengan Nelson Mandela dan Indonesia dengan Afrika Selatan. “Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan”, tulis Pram mengawali surat balasannya. Bagi Pram, Mandela dan dirinya begitupun dengan Afrika dan Indonesia tidak bisa dibanding-bangdingkan atau pun disamakan. “…..Di Afrika Selatan penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam. Putih melawan hitam, seperti Belanda melawan Indonesia. Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia tidak sesederhana itu: kulit coklat menindas kulit coklat…”
Penindasan sebuah bangsa oleh anak kandungnya sendiri menghancurkan batas-batas yang mudah dipahami antara penjajah-terjajah, Belanda-Indonesia, orang asing-rakyat, dan seterusnya. Begitu pun dengan semangat “merdeka 100%” Tan Malaka. Semangat itu mudah dipahami dalam istilah-istilah itu, namun sukar ketika konteksnya berganti.

Barangkali semangat merdeka 100% itu justru 100% mustahil tewujud setelah batas-batas istilah yang mudah dipahami itu menguap. Selama hayat masih dikandung badan, selama itu pula kemerdekaan 100% akan selalu dihasrati. Dengan demikian, perjuangan pun tak pernah berakhir dan pahlawan-pahlawan baru tetap diharapkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar