Oleh:
Husnul Aqib
Dirgahayau Republik Indonesia yang ke-72
Tan Malaka pernah
sangat berikukuh bahwa Indonesia harus merdeka sepenuhnya dari unsur-unsur
penjajah. Sebab itu ia tidak pernah suka dengan cara-cara diplomatis Soekarno
dalam menghadapi Belanda. Bagi Tan Malaka, berunding dengan Belanda sama artinya
dengan menyerah pada dualisme penjajah dan terjajah, karena itu mustahil
berujung pada terwujudnya kemerdekaan yang seutuhnya. Kemerdekaan 100% hanya
lahir dari perlawanan hingga tetes darah penghabisan. “Dia selalu tidak senang
dengan politik diplomasi”, tulis Harry A Poeze, sejarawan dan peneliti asal
Belanda yang kepincut dengan tokoh revolusioner itu.
Semangat Tan Malaka
memang benar. Tapi, mungkinkah negara yang lahir dari kolonialisme dapat
merdeka 100%? Bisa jadi, pernah Soekarno dengan caranya sendiri, bukan pada
Belanda tapi pada bangsanya sendiri, berupaya menghapus unsur-unsur Belanda.
Dalam semangat revolusi, Soekarno memutuskan bahwa segala yang berbau Belanda
dan tidak menjiwai semangat revolusi harus dimusnahkan. Maka, bahasa Belanda pun
mulai hilang, gedung-gedung dihancurkan, nama-nama organisasi diganti, dan di
sisi lain monument-monument yang menjadi simbol nasionalisme dibangun dengan
megah.
Meski demikian, Tan
Malaka tidak pernah bisa berkata “Akhirnya Indonesia merdeka 100%.” Barangkali
ada sesuatu yang lain yang kemudian ia sadari. Bahwa penindasan dan
diskriminasi tidak selamanya datang dari negara asing, sebuah bangsa merdeka
bisa dicengkram oleh anak kandungnya sendiri.
Tragisnya, itulah yang
terjadi pada Tan Malaka. Ia pun mati oleh kebengisan bangsanya sendiri. Ia
ditembak mati begitu saja oleh prajurit nasionalis. Mayatnya dikubur seadanya
dengan tangan masih terikat. Jasatnya pun ditemukan bukan oleh bangsanya
sendiri, tapi oleh Harry A Poeze, orang Belanda yang padanya Bangsa Indonesia
harus juga berterimakasih.
Betapa banyak negara
yang lahir dengan ceceran darah melawan penjajah, tapi selanjutnya jatuh pada
penjajahan yang lain, yang lebih tragis, yang susah digambarkan sebab
sebelumnya hanya dipahami sebagai agresi dan kezaliman negara asing. Misalnya Vietnam,
setelah berhasil mengusir Amerika Serikat tahun 1960, ternyata negeri itu jatuh
pada kediktatoran anak kandungnya sendiri. Joan Baez – seorang Amerika Serikat
yang menentang negaranya pada agresi tahun itu dan datang ke Hanoi untuk
membela Vietnam – terpaksa datang ke Washington pada 1970 untuk menyatakan
protesnya bersama dengan wakil-wakil pengungsi Vietnam atas kediktatoran dan
pelanggaran hak-hak asasi manusia oleh negeri yang dulu dibelanya. Demikian
pula di Yunani, setelah bebas dari cengkraman tentara Nazi, negeri itu justru
dicengkram anak kandungnya sendiri, yang terkenal dengan sebutan “para kolonel”.
Begitu pula di Iran, Libya, Irak, Mesir, dan termasuk Indonesia.
Bangsa yang dizalimi, ditindas,
dan dicengkram anak kandung sendiri tidak mudah dipahami. Dalam konteks oposisi
biner Belanda-Indonesia atau penjajah-korban jajahan, konsep tersebut mudah
dimengerti dan karena itu strategi perlawanan juga jelas dan tegas. Tapi, dalam
konteks yang menjajah, menzalimi, dan mencengkram adalah anak bangsa sendiri,
konsep tersebut tidak mudah dicerna; sebab itu, strategi perlawanan pun rancu
dan tanggung.
Mula-mula ada kesulitan
idiomatik yang dialami bangsa yang dijajah anak kandungnya sendiri, kemudian berlanjut
pada kesulitan konseptual, dan seterusnya berdampak pada kesulitan strategi
perlawanan. Misalnya di bawah pemerintahan diktator, tidak ada persekutuan utuh
di antara masyarakat dan dengan demikian tak ada perlawanan total. Dalam hal
ini, mudah dipahami ketika diktator di satu sisi dihujat, tapi ditempat lain
dipuja dan namanya dilapalkan menjadi pahlawan.
Barangkali karena
kesulitan-kesulitan semacam itu, pernah Pramoedya Ananta Toer dibuat jengkel
dengan tulisan Goenawan Mohammd yang berjudul “Surat Terbuka Untuk Pramoedya
Ananta Toer”. Dalam tulisan itu, GM – panggilan singkat Goenawan Mohamad – menyesalkan
penolakan Pram atas permintaan maaf Abdurrahman Wahid kepada para korban
kekerasan negara di masa lalu. GM menyebut inisiatif Abdurrahman Wahid tersebut
‘mirip “pengakuan dosa” di depan publik.’
Salah satu yang membuat
Pram jengkel adalah karena GM membanding-bandingkannya dengan Nelson Mandela
dan Indonesia dengan Afrika Selatan. “Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan
Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan”, tulis Pram mengawali surat
balasannya. Bagi Pram, Mandela dan dirinya begitupun dengan Afrika dan
Indonesia tidak bisa dibanding-bangdingkan atau pun disamakan. “…..Di Afrika
Selatan penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit
hitam. Putih melawan hitam, seperti Belanda melawan Indonesia. Mudah. Apa yang
terjadi di Indonesia tidak sesederhana itu: kulit coklat menindas kulit
coklat…”
Penindasan sebuah
bangsa oleh anak kandungnya sendiri menghancurkan batas-batas yang mudah
dipahami antara penjajah-terjajah, Belanda-Indonesia, orang asing-rakyat, dan
seterusnya. Begitu pun dengan semangat “merdeka 100%” Tan Malaka. Semangat itu
mudah dipahami dalam istilah-istilah itu, namun sukar ketika konteksnya
berganti.
Barangkali semangat
merdeka 100% itu justru 100% mustahil tewujud setelah batas-batas istilah yang
mudah dipahami itu menguap. Selama hayat masih dikandung badan, selama itu pula
kemerdekaan 100% akan selalu dihasrati. Dengan demikian, perjuangan pun tak
pernah berakhir dan pahlawan-pahlawan baru tetap diharapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar